LOGINLaura bangkit dan panik. Apalagi menyadari dirinya dalam keadaan polos. “Ya Tuhan, apa yang terjadi?!”
Laura bingung dan mencoba mengingat kejadian semalam. “Aku tidak mabuk, aku juga tidak sakit tapi …,” Laura kembali mengintip ke dalam selimut, memastikan jika dirinya benar-benar telanjang. “Oh astaga … tidak, ini tidak mungkin kan? Apakah aku melakukan ‘itu’?" ia mencoba mengingatnya. Lalu menggeleng keras. “Tidak … tidak! Aku tidak merasakan … basah dibawah sana … ehm, jangan-jangan?” Laura melebarkan matanya. “Aku diculik! Yah, benar! Aku pasti diculik. Aku harus segera kabur dari sini!” Laura membelit tubuh polosnya dengan selimut, mencari pakaiannya. Tapi tak ada sehelai pakaian pun miliknya. “Astaga, dimana pakaianku?” Laura semakin panik saat mendengar suara langkah kaki dan suara berat yang mendekat. Ia kebingungan mencari kemungkinan jalan keluar atau minimal… tempat untuk bersembunyi. Tapi sayangnya, pintu terbuka duluan. Seorang pria itu masuk. Pembawaannya tenang, matanya menatap tajam Laura yang tertangkap basah hendak membuka jendela besar di sisi kiri ruangan. “Kau sudah bangun rupanya,” katanya datar sambil berjalan mendekat perlahan. Laura menegang. “Siapa kau, tuan?” “Namaku Brian.” Pria itu tidak menjelaskan lebih dari dua kata. Ia berdiri di sana, memandangi Laura seolah-olah Laura adalah manekin porselen yang sangat berharga. “Aku ... kenapa aku ada disini?” Laura menarik selimutnya yang melorot ke bawah dengan gugup. Brian mengambil kursi, dan duduk. Menarik nafas dalam-dalam sambil menatap Laura. “Kau pingsan di jalan. Aku hanya... menyelamatkanmu.” Entah mengapa jawaban Brian justru membuat bulu kuduknya meremang. “Kau tak mengenalku, tapi aku sudah lama tahu tentangmu,” lanjut Brian. Laura mengerutkan kening. “Apa maksudmu?” “Dave.” Jantung Laura berhenti berdetak sejenak. “Aku tahu apa yang dia lakukan padamu,” kata Brian. Suaranya tenang, nyaris berbisik. “Dan itu adalah ... kesalahan.” Laura menelan ludah. “Jadi, kau teman Dave?” Brian mengangkat alis, “mungkin,” Ia berdiri, lalu berjalan mendekat, memperkecil jarak. Laura ingin mundur, tapi tubuhnya kaku. Ia hanya menjaga agar selimut tipisnya itu tidak melorot. “Aku tidak akan menyakitimu,” katanya. “Tapi aku ingin sesuatu darimu.” Laura menatapnya takut-takut. “A-apa?” Tangan kekar berotot Brian melingkar cepat di pinggang Laura dan menariknya paksa untuk menempel di tubuh beraroma maskulin itu. Mereka saling menatap dalam jarak dekat. Laura merinding merasakan hembusan nafas Brian di wajahnya. Ia berusaha memalingkan wajah tapi Brian mencegahnya. “Aku ingin kau tinggal di sini,” Brian berkata tegas dengan tatapan tajam. Laura menggeleng cepat. “Tidak. Aku tidak akan … apa kau gila?! Aku bahkan tidak mengenalmu!” Brian, semakin menekan Laura dan mempererat pelukannya. Untuk pertama kalinya, wajah Brian memperlihatkan emosi. Sesuatu yang gelap dan ... mengerikan. Brian tak pernah ditolak dan pantang ditolak. Lelaki bertubuh tegap berotot itu hanya memiringkan kepala, seolah menikmati penolakan yang diselimuti kepanikan Laura. “Aku hanya ingin kamu aman. Dunia di luar sangat kejam. Orang-orang seperti Dave ... tidak layak memilikimu.” Laura terdiam. Nama Dave kembali mengiris pikirannya. Ia memutuskan pertunangan itu hanya beberapa jam lalu. Insiden kecil yang menorehkan luka mendalam di hatinya. “Itu tidak menjadikanmu berhak atas hidupku, tuan brian! Kita tidak saling mengenal apalagi pernah bertemu sebelumnya. Aku rasa kau … salah besar memilih siapa yang menjadi wanita mu!” Laura menghardik, matanya berair karena bingung dan takut. Ia kembali berontak tapi tenaga Brian terlalu kuat. “Laura. Selama dua tahun terakhir, aku memantau Dave. Dan aku juga melihatmu. Aku sudah memperhatikanmu. Aku tahu rutinitas mu.” “Aku bahkan tahu kau suka croissant isi almond dari toko roti di sebelah florist tak jauh dari kantormu. Aku tahu makanan favoritmu.” “Cara kau memeluk lengan bajumu saat gugup. Cara kau memutar cincin saat kau bohong. Aku tahu semua omong kosong Dave padamu. Dan aku pun tahu kalau kau … pernah menangis di halte bus jam tujuh malam karena ibumu sakit.” “Kau … pantas mendapatkan lebih.” Brian berbicara tanpa jeda, penuh penekanan dan intimidasi. Laura tercengang, tak percaya dengan apa yang didengarnya barusan. “Kau menguntit ku?” Brian mendekat. Nafasnya hangat di wajah Laura. “Aku ... memperhatikan. Karena kau sangat menarik.” ia terdiam sejenak memperhatikan manik hazel Laura yang membayang. “Kau seharusnya menjadi milikku.” lanjutnya lagi dengan suara yang lebih pelan, nyaris menyeramkan. “Kau gila,” ucap pelan Laura, tangannya mulai gemetar. “Aku bukan Dave, Laura. Aku takkan menyakitimu. Tapi aku juga tidak akan melepaskan mu.” Brian menegaskan kembali. “Kamu akan tinggal di sini, Laura. Selamanya.” “Kau benar-benar kehilangan akalmu, tuan Brian!” bisik Laura. Brian tersenyum samar. Tapi matanya menunjukkan hal sebaliknya. Ada amarah yang berkilat jelas di dalam sana. “Dave membuang sesuatu yang berharga. Aku berjanji tidak akan membuat kesalahan yang sama.” Laura menatapnya, dadanya terasa sesak. “Kau bukan siapa-siapa untukku, Brian. Lepaskan aku, brengsek! Kau sama pengecutnya dengan Dave!” Brian semakin mencengkeram tubuh Laura dan wajahnya semakin menggelap. “Kau boleh menolak sekarang. Tapi aku akan tetap menahan mu. Bahkan jika kamu harus tetap terkurung di kamar ini sekalipun. Kau … milikku!”Keesokan harinya, mereka beralih ke prosesi pembaptisan Elias. Ethan ditunjuk khusus Laura untuk menjadi ayah baptis bagi Elias. Brian tentu saja setuju. Dengan begitu ia tak perlu khawatir Ethan akan bertingkah macam-macam pada Laura.Prosesi pembaptisan dimulai. Ethan berdiri di samping pendeta, menyiapkan air suci. Laura menggendong Elias, sementara Brian berdiri di belakang mereka, menatap dalam diam—tatapan seorang ayah yang siap menantang dunia demi anaknya.Ethan meneteskan air di kepala kecil Elias. “Dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus …” katanya lembut.Air menetes perlahan di kulit bayi itu, memantulkan sinar senja.Laura tersenyum, sementara Brian menunduk, menatap buah hatinya penuh haru.Dalam hatinya, Brian berjanji. Tidak akan ada seorangpun yang dapat menyentuh dan menyakitimu, Nak. Tidak selama ayahmu masih bernafas.Laura menoleh, menatap Brian dengan senyum yang hanya dimengerti oleh hati mereka berdua.Ketika lonceng gereja kecil berdentang di kejauhan, mereka be
Cahaya senja menembus lembut melalui tirai tipis berwarna krem, membentuk garis keemasan di lantai kamar. Aroma susu bayi, mawar putih, dan sedikit wangi musk dari parfum Brian bercampur menjadi satu — hangat, menenangkan. Laura duduk disisi tempat tidur, mengenakan gaun rumah sederhana dari linen. Rambutnya dibiarkan terurai, sebagian menempel di pipi karena lembab. Di lengannya, Elias baru saja tertidur setelah disusui. Bayi mungil itu mendengkur pelan, wajahnya begitu damai seolah seluruh dunia berhenti hanya untuknya. Brian berdiri di ambang pintu, masih mengenakan kemeja hitam dengan lengan digulung sampai siku. Ia diam beberapa saat, hanya menatap Laura dan putra mereka. Kebahagiaan Brian berada pada titik puncak saat ini. Elias dinyatakan sehat setelah melalui serangkaian tes di fasilitas medis Dominic. Tubuh kecilnya sama sekali tidak berpengaruh dari sejumlah obat yang pernah disuntikkan Rafael Ortega pada Laura. Bahkan Elias terlihat lebih sehat dan mengalami per
Brian berdiri panik, nyaris menjatuhkan kursi di belakangnya. “A-Air ketuban?! Tunggu, sekarang? Ya Tuhan … sekarang?!”“Kalau kamu masih bertanya, ya Brian, sekarang!” teriak Laura dengan amarah bercampur rasa sakit.Pria yang biasanya mengatur anak buah bersenjata tanpa gentar kini berlari ke pintu, suaranya menggema di seluruh rumah.“Siapkan mobil! Panggil dokter! SEKARANG!”“Tuan, ada apa ini?” Alfred yang baru tiba di villa ikut panik.“Laura, dia … dia … ah sudahlah, cepat siapkan mobil dan hubungi rumah sakit segera!”Brian berlari mondar mandir kebingungan, sementara Laura terus merintih kesakitan. Sesekali wanita yang dicintainya itu berteriak memanggil Brian yang terus bergerak mengatur anak buahnya.“Brian, berhenti dan cepat kemari!” seru Laura seraya menarik tangan suaminya.“Tuan, tenangkan dirimu atau Anda akan membuat proses ini semakin sulit.” Madeline menenangkan Brian agar bisa berada di sisi Laura.Beberapa jam kemudian, di rumah sakit keluarga Marchetti.Laura be
Brian menekan tombol di tablet kecil yang ia bawa, dan dalam sekejap layar di depan ruangan menampilkan hasil voting digital dewan direksi. Pada barisan teratas nama pemilik saham terbesar membuat Richard terbelalak. Brian Castellano Marchetti berada pada posisi 48,9 persen. Sorot lampu dari layar memantul di mata Richard, membuat wajahnya tampak lebih pucat. Ia terdiam, bibirnya bergetar seperti ingin protes tapi tak ada kata yang bisa keluar. “Permainanmu sudah selesai,” ucap Brian tenang. “Kau melanggar kontrak, menyalurkan dana ke proyek yang bukan milikmu, dan berusaha menutupi jejak itu dengan manipulasi laporan. Aku hanya mengembalikan Hartwell ke tangan yang lebih mampu menjaganya.” Richard terdiam. Tubuhnya perlahan merosot kembali ke kursi, seperti tikus yang terjebak dalam perangkap. Semua mata kini beralih padanya—bukan dengan hormat, melainkan dengan rasa iba. Brian menatapnya satu kali lagi sebelum berdiri tegak. “Kau pernah mengatakan padaku, kekuasaan hanya milik
Ruang rapat utama di gedung Hartwell Tower siang itu terlihat tenang. Cahaya matahari menerobos lembut, menyinari meja panjang yang terbuat dari kaca obsidian, tempat para direktur yang kini duduk berjajar dalam diam.Wajah-wajah serius mendominasi ruangan. Sebagian ada yang memilih fokus pada layar ponsel, sebagian lagi mengerutkan kening, melihat laporan terakhir yang disajikan para divisi.Suasananya terlalu hening untuk disebut pertemuan biasa.Di ujung meja, Richard Hartwell duduk menatap satu persatu anggota Dewan Direksi. Dasi hitamnya sedikit longgar, sementara jemarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja tanpa sadar.“Bagaimana ini bisa terjadi Asher?” Ia berbisik pada asisten pribadinya.“Kita benar-benar hancur, apa kau menemukan Kenny dan Miller?” lanjutnya lagi degan cemas, ia mengusap peluh yang menetes di keningnya.Asher menggeleng pelan, “jejaknya saja tidak terlihat, Tuan.”Richard menarik nafas dalam dan panjang, bersiap pada kemungkinan terburuk.Di hadapannya, layar d
“Sudah cukup tenang sekarang?” Laura tersenyum manis, menatap wajah Brian yang terlihat lebih rileks.Brian mengangguk kecil. “Cukup tenang untuk menghadapi masalah lain hari ini.”Brian mengambil ponselnya yang lain, lalu menekan satu tombol. “Bersiaplah kedatangan tamu spesial, Dom.” Ujarnya singkat sebelum menutup panggilan.Laura menaikkan alisnya. “hm, masalah lain?”Brian menoleh pada Laura. “Ethan,” ia terdiam sejenak, menatap mata bening Laura. “Kau tahu alasan aku mengusirnya? Dia memakai penyadap dan mungkin saja ada alat pengintai lain yang sengaja dibawanya untuk memata-matai mansion ini dan juga dirimu.”Laura terkejut. “Menyadap? Kamu yakin?”Brian melepaskan pelukannya perlahan, mendekati lemari kayu di sebelah ranjang. Ia membuka laci paling atas dan mengeluarkan kotak unik dengan kode digital.“Microbee mendeteksi sinyal aneh begitu dia masuk. Ada transmitter di tubuhnya. Aku harus mengusir Ethan sebelum dia mendapatkan banyak informasi.”Di telapak tangan Brian micro







