LOGIN
Laura sudah menunggu selama satu jam.
Ia duduk di dalam kafe kecil dengan lilin ulang tahun yang menyisakan setengah dari panjangnya saja di atas slice kue red velvet pesanan Laura. Gadis cantik itu gelisah, berusaha menghubungi Dave tapi ponselnya mati. Penampilan all out-nya malam ini, rasanya bakal sia-sia. Padahal Laura sampai harus pulang awal untuk menyiapkan acara makan malam spesialnya malam ini. Laura melihat jam tangan untuk kesekian kali. Dave terlambat. Lagi. Kali ini... ada rasa aneh yang bergelanyar di hatinya. Entah kenapa, insting Laura berkata Dave tidak akan datang. Tepat ketika dia hendak meraih ponsel untuk menelepon, sepasang pria dan wanita melewati tempat duduknya. Seseorang yang sangat dia kenal berjalan mesra dengan seorang perempuan di pelukannya. Laura membeku. Napasnya seakan hilang dari dadanya. Itu Dave, dan wanita dalam pelukannya itu … Bella, teman sekantor Dave. Hati Laura mencelos menyaksikan kemesraan keduanya. Dave yang setengah mabuk terlihat mencumbu Bella tanpa malu. Aroma parfum mahal tercium saat keduanya berjalan didepan meja Laura. Itu aroma yang sangat dikenalnya, spesial diberikan pada Dave saat anniversary pertama mereka. Branded dan limited edition! Laura bahkan harus merogoh kocek sangat dalam untuk memesan sebotol parfum keluaran produk ternama Paris itu. Laura menahan diri tak ingin membuat keributan. Meski hatinya sakit sekali saat perempuan dengan heels tinggi, rambut pirang bergelombang, dan bibir merah menyala itu melumat bibir kekasihnya dengan penuh nafsu. Di hadapannya. “Jalang sialan ..,” ucapnya menahan geram. Mereka duduk tepat di meja seberang, dan tertawa lepas dengan tatapan bergairah tanpa menyadari kehadiran Laura. Dave tidak melihatnya. Atau … pura-pura tidak melihat. Laura tak tahan lagi, ia memutuskan untuk mendekat. “Dave?” suaranya kecil, hampir terselip di antara deru musik dan gelas kopi. “Apa yang kau lakukan?’ Pria brengsek itu akhirnya menoleh. Sekilas. Lalu menghela napas. “Laura.” Cuma itu. Tanpa senyum. Tanpa penjelasan. “Aku … menunggumu, apa kau lupa janji kita hari ini?” Laura beralih menatap Bella yang segera menjauh dan bersikap canggung di sampingnya. “Bella, apa yang kau lakukan dengan tunanganku?” Airmata Laura nyaris menetes. Bella tersenyum kikuk, “Ah Laura, aku pikir kau … pergi keluar kota.” “Keluar kota? Aku? Untuk apa?” Laura tak bisa lagi menahan diri. “Jadi … kalau aku keluar kota inikah yang kau lakukan Dave?” Dave berdiri mendekati Laura, berusaha meraih tangannya. “Dengar Laura, ini salah paham. Aku pikir kau … kau itu ..,” “Apa … aku kenapa? Kau tega melakukannya bahkan di hari anniversary kita?!” “Dengar, Laura ini … tidak seperti yang kau kira. Ini hanya makan malam biasa.” Kilah Dave berusaha membela diri. “Kau pria terbrengsek yang pernah aku kenal Dave,” suara Laura gemetar, bulir bening itu akhirnya tak terbendung lagi. “Kita putus!” “Laura, please! Jangan bersikap kekanak-kanakan seperti ini?!’ Dave meraih cepat tangan tangannya dan mendekapnya dalam pelukan. Tapi panas dan sesak di hati Laura butuh lebih dari sekedar pelukan untuk bisa meredamnya. “Minggu depan kita menikah, kau tidak bisa melakukan ini padaku?!” Laura melepas paksa pelukan Dave. “Tidak bisa katamu, coba saja! Pernikahan itu tidak akan pernah berlangsung!” Laura membuang cincin berliannya dan tepat jatuh ke dalam gelas wine Bella. Ia keluar dari ruangan yang begitu sesak baginya dengan derai air mata. Mengindahkan Dave yang berteriak di belakang sana. “Oke, fine! Leave it! Kau terlalu banyak drama. Dan jujur aja, aku bosan dengan kenaifan mu!” Kata-kata itu menampar keras Laura. Ia tak berbalik ataupun menoleh. Saat ini ia hanya ingin menjauh dan pergi dari Dave. Langit mulai menangis mengiringi Laura yang melangkah gontai tanpa tujuan. Di hari ulang tahunnya, Laura harus menelan pil pahit. “Seharusnya aku mendengar kata-kata mereka … seharusnya aku tahu jika Dave hanya menginginkan uang dan warisan ayah. Seharusnya aku … aaaaaaargh!” Laura berhenti, mendongak ke atas dan meluapkan kekesalannya. Yah, semua sudah terlambat untuk disadari tapi belum terlambat untuk mundur. Puas melampiaskan kekesalannya, ia kembali berjalan ditengah lebatnya hujan. Mobil-mobil melintas cepat. Sorot lampu menusuk mata. Dan suara-suara klakson yang memekakkan telinga. Laura tak peduli tubuhnya mulai.menggigil, lututnya lemas, dan ia mulai kehilangan kendali atas dirinya. Seketika Laura ambruk di tengah trotoar. Tapi seseorang menangkapnya sebelum Laura benar-benar jatuh. Bukan orang asing. Tapi bukan juga orang yang dikenalnya. Lelaki itu memakai setelan hitam. Wajahnya tajam dan dingin. Matanya kelam, tapi menyala samar tertimpa sorot lampu jalan yang temaram. Laura tidak sempat bertanya siapa dia karena dunianya berubah gelap dalam hitungan detik. Suara dering ponsel membangunkan kesadaran Laura. Ia membuka mata perlahan. Untuk sesaat, Laura tidak menyadari keadaan sekitar. Lalu samar terdengar suara seorang lelaki yang tengan berbicara dengan seseorang. Saat itulah, Laura sadar bahwa dirinya berada di kamar mewah yang asing. Kasur empuk. Dinding putih bersih. Tirai beludru biru tua. Dan bau... kayu manis dan tembakau halus. “Astaga, dimana ini?!”Keesokan harinya, mereka beralih ke prosesi pembaptisan Elias. Ethan ditunjuk khusus Laura untuk menjadi ayah baptis bagi Elias. Brian tentu saja setuju. Dengan begitu ia tak perlu khawatir Ethan akan bertingkah macam-macam pada Laura.Prosesi pembaptisan dimulai. Ethan berdiri di samping pendeta, menyiapkan air suci. Laura menggendong Elias, sementara Brian berdiri di belakang mereka, menatap dalam diam—tatapan seorang ayah yang siap menantang dunia demi anaknya.Ethan meneteskan air di kepala kecil Elias. “Dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus …” katanya lembut.Air menetes perlahan di kulit bayi itu, memantulkan sinar senja.Laura tersenyum, sementara Brian menunduk, menatap buah hatinya penuh haru.Dalam hatinya, Brian berjanji. Tidak akan ada seorangpun yang dapat menyentuh dan menyakitimu, Nak. Tidak selama ayahmu masih bernafas.Laura menoleh, menatap Brian dengan senyum yang hanya dimengerti oleh hati mereka berdua.Ketika lonceng gereja kecil berdentang di kejauhan, mereka be
Cahaya senja menembus lembut melalui tirai tipis berwarna krem, membentuk garis keemasan di lantai kamar. Aroma susu bayi, mawar putih, dan sedikit wangi musk dari parfum Brian bercampur menjadi satu — hangat, menenangkan. Laura duduk disisi tempat tidur, mengenakan gaun rumah sederhana dari linen. Rambutnya dibiarkan terurai, sebagian menempel di pipi karena lembab. Di lengannya, Elias baru saja tertidur setelah disusui. Bayi mungil itu mendengkur pelan, wajahnya begitu damai seolah seluruh dunia berhenti hanya untuknya. Brian berdiri di ambang pintu, masih mengenakan kemeja hitam dengan lengan digulung sampai siku. Ia diam beberapa saat, hanya menatap Laura dan putra mereka. Kebahagiaan Brian berada pada titik puncak saat ini. Elias dinyatakan sehat setelah melalui serangkaian tes di fasilitas medis Dominic. Tubuh kecilnya sama sekali tidak berpengaruh dari sejumlah obat yang pernah disuntikkan Rafael Ortega pada Laura. Bahkan Elias terlihat lebih sehat dan mengalami per
Brian berdiri panik, nyaris menjatuhkan kursi di belakangnya. “A-Air ketuban?! Tunggu, sekarang? Ya Tuhan … sekarang?!”“Kalau kamu masih bertanya, ya Brian, sekarang!” teriak Laura dengan amarah bercampur rasa sakit.Pria yang biasanya mengatur anak buah bersenjata tanpa gentar kini berlari ke pintu, suaranya menggema di seluruh rumah.“Siapkan mobil! Panggil dokter! SEKARANG!”“Tuan, ada apa ini?” Alfred yang baru tiba di villa ikut panik.“Laura, dia … dia … ah sudahlah, cepat siapkan mobil dan hubungi rumah sakit segera!”Brian berlari mondar mandir kebingungan, sementara Laura terus merintih kesakitan. Sesekali wanita yang dicintainya itu berteriak memanggil Brian yang terus bergerak mengatur anak buahnya.“Brian, berhenti dan cepat kemari!” seru Laura seraya menarik tangan suaminya.“Tuan, tenangkan dirimu atau Anda akan membuat proses ini semakin sulit.” Madeline menenangkan Brian agar bisa berada di sisi Laura.Beberapa jam kemudian, di rumah sakit keluarga Marchetti.Laura be
Brian menekan tombol di tablet kecil yang ia bawa, dan dalam sekejap layar di depan ruangan menampilkan hasil voting digital dewan direksi. Pada barisan teratas nama pemilik saham terbesar membuat Richard terbelalak. Brian Castellano Marchetti berada pada posisi 48,9 persen. Sorot lampu dari layar memantul di mata Richard, membuat wajahnya tampak lebih pucat. Ia terdiam, bibirnya bergetar seperti ingin protes tapi tak ada kata yang bisa keluar. “Permainanmu sudah selesai,” ucap Brian tenang. “Kau melanggar kontrak, menyalurkan dana ke proyek yang bukan milikmu, dan berusaha menutupi jejak itu dengan manipulasi laporan. Aku hanya mengembalikan Hartwell ke tangan yang lebih mampu menjaganya.” Richard terdiam. Tubuhnya perlahan merosot kembali ke kursi, seperti tikus yang terjebak dalam perangkap. Semua mata kini beralih padanya—bukan dengan hormat, melainkan dengan rasa iba. Brian menatapnya satu kali lagi sebelum berdiri tegak. “Kau pernah mengatakan padaku, kekuasaan hanya milik
Ruang rapat utama di gedung Hartwell Tower siang itu terlihat tenang. Cahaya matahari menerobos lembut, menyinari meja panjang yang terbuat dari kaca obsidian, tempat para direktur yang kini duduk berjajar dalam diam.Wajah-wajah serius mendominasi ruangan. Sebagian ada yang memilih fokus pada layar ponsel, sebagian lagi mengerutkan kening, melihat laporan terakhir yang disajikan para divisi.Suasananya terlalu hening untuk disebut pertemuan biasa.Di ujung meja, Richard Hartwell duduk menatap satu persatu anggota Dewan Direksi. Dasi hitamnya sedikit longgar, sementara jemarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja tanpa sadar.“Bagaimana ini bisa terjadi Asher?” Ia berbisik pada asisten pribadinya.“Kita benar-benar hancur, apa kau menemukan Kenny dan Miller?” lanjutnya lagi degan cemas, ia mengusap peluh yang menetes di keningnya.Asher menggeleng pelan, “jejaknya saja tidak terlihat, Tuan.”Richard menarik nafas dalam dan panjang, bersiap pada kemungkinan terburuk.Di hadapannya, layar d
“Sudah cukup tenang sekarang?” Laura tersenyum manis, menatap wajah Brian yang terlihat lebih rileks.Brian mengangguk kecil. “Cukup tenang untuk menghadapi masalah lain hari ini.”Brian mengambil ponselnya yang lain, lalu menekan satu tombol. “Bersiaplah kedatangan tamu spesial, Dom.” Ujarnya singkat sebelum menutup panggilan.Laura menaikkan alisnya. “hm, masalah lain?”Brian menoleh pada Laura. “Ethan,” ia terdiam sejenak, menatap mata bening Laura. “Kau tahu alasan aku mengusirnya? Dia memakai penyadap dan mungkin saja ada alat pengintai lain yang sengaja dibawanya untuk memata-matai mansion ini dan juga dirimu.”Laura terkejut. “Menyadap? Kamu yakin?”Brian melepaskan pelukannya perlahan, mendekati lemari kayu di sebelah ranjang. Ia membuka laci paling atas dan mengeluarkan kotak unik dengan kode digital.“Microbee mendeteksi sinyal aneh begitu dia masuk. Ada transmitter di tubuhnya. Aku harus mengusir Ethan sebelum dia mendapatkan banyak informasi.”Di telapak tangan Brian micro







