Share

Bab 5 Menjumpai Bude Obed

Di sisi aku juga membutuhkan biaya besar untuk penyembuhan ibu dan membayar biaya rumah sakit yang semakin lama akan semakin membengkak. Setelah gagalnya acara lamaran ku tempo hari, rasanya aku sudah tidak perduli lagi tentang sakit di hati ini, sepertinya aku sudah mati rasa untuk membuka hati. Saat ini aku hanya ingin bekerja saja untuk menaikkan derajat orang tua ku.

Aku percaya suatu saat nanti wanita baik-baik akan dipertemukan dengan lelaki yang baik-baik. Tugasku hanya menjadi wanita baik-baik itu.

"Kamu tenang saja! lamaran ini bukan untuk saya, tapi untuk anak saya." lelaki itu kelihatannya serius. Apa mungkin? Ah ..., anggap saja ini semua sebagai sebuah candaan. Akan tetapi, bolehkah aku berharap?

"Bapak, kalau mau melamar saya, mintalah saya sama orang tua saya, Pak. Itu baru benar," ucapku sambil tersenyum, sungguh aku hanya menganggap ini semua sebagai gurauan.

"Ini foto anak saya." ia menunjukkan foto keluarga di handphonenya.

" Anak bapak masih kecil, Pak?"

" Sekarang udah dewasa. Ini foto lima belas tahun lalu."

'Astaga, pasti penampilannya yang sekarang tidak jauh dengan yang ada di foto. Gemuk dan hitam'

"Kami memang tidak pernah foto keluarga semenjak itu," imbuh lelaki yang belakangan ku ketahui bernama pak Adnan.

Lagi lagi aku tidak serius menanggapi ucapannya itu. Setelah obrolan singkat itu, aku pergi ke ruangan bos untuk mengutarakan maksud dan tujuan ku.

"Permisi buk," ucapku setelah dipersilahkan masuk.

"Ada apa, Hana? bagaimana kabar ibu kamu?" tanya wanita paruh baya itu sambil menatap labtopnya.

"Udah boleh pulang, Buk. Sore ini insya Allah saya bawa pulang. Mmm, Buk ..., Saya boleh nggak libur satu hari lagi? besok saya janji akan masuk, Buk."

Ratna membuang nafas kasar, sepertinya tidak mengijinkan ku untuk memperpanjang cuti.

"Ya udah, besok janji masuk ya!"

"Siap Buk. Terimakasih," ucapku bersemangat. Aku pun keluar dari ruangan itu.

***

"Ada apa Han? kamu lagi ada masalah? kok tadi nangis?" tanya Sintia saat kami sedang beristirahat sambil menunggu pelanggan datang.

"Gimana aku nggak sedih, Tia. Ibuku masuk rumah sakit dan sekarang harus bayar tagihan sebesar sepuluh juta. Aku nggak tau gimana caranya dapetin uang sebanyak itu."

"Ya ampun, Han. Sabar ya!"

"Gimana aku bisa sabar, coba? Semakin lama Ibuku di sana, maka biayanya pun akan semakin membengkak, Tia"

Tia manggut manggut, wajahnya menampakan wajah kekhawatiran.

"Han, boleh nggak aku bantu kamu?" Ucapnya hati hati. Mungkin ia takut aku menolak dan itu pasti akan aku lakukan karena tujuanku saat ini adalah bude Obed, kakak kandung ibuku. Aku yakin dia akan membantu.

"Makasih, Tia. Tapi ini aku mau minta tolong dulu sama bude ku. Mudah mudahan dia bisa bantu"

Sintia pun tersenyum lega.

"Kalau kamu butuh bantuan jangan sungkan ya, Han!" ujar wanita berkacamata itu.

Akupun tersenyum sambil memeluk Sintia.

Tepat jam sepuluh pagi, aku bersiap siap untuk pulang. Akan aku temui bude Obed dan meminta bantuannya, bagaimana pun caranya .

"Kamu hati-hati dijalan ya, Han. Semoga ibu kamu segera pulih," ucap Sintia sambil mengantarkan ku menuju depan toko.

Lagi-lagi aku hanya mengulas senyum, bersyukur setidaknya ada yang memberiku semangat menghadapi cobaan ini.

***

"Assalamualaikum, Bude," ucapku sambil celingukan ke dalam rumah.

"Wa'alaikumussalam, Hana? Ada apa, Han? Ibu kamu gimana, udah baikan?" cecar wanita bertubuh gempal itu, bibirnya tebal tak lepas dari lipstick merah meronanya.

"Bude, Hana mau ...," kata- kataku terhenti saat bude Obed membulatkan mata seakan ingin memakanku hidup-hidup. Sungguh, kakiku sampai bergetar dibuatnya. Aku rasa ia sudah tahu apa maksudku datang kemari.

"Kalau kamu kesini cuma mau bilang pinjam uang, maaf, bude nggak ada. Hutang kalian yang tempo hari aja belum dibayar. Masak iya ini mau hutang lagi" ucap bude Obed memotong kata kataku. Aku langsung ketakutan. Wajah bude Obed sangat menyeramkan bagiku. Matanya membulat menatapku, kemudian aku tertunduk. Tampaknya tidak ada harapan disini.

" Yaudah, Bude. Kalau gitu Hana pulang ya! Makasih, Bude," ucapku sambil tertunduk lesu. Ingin sekali rasanya aku menangis dan mengiba. Namun aku tahu watak dan karakter bude Obed ini. Sekali ia bilang tidak, maka selamanya tidak.

Ku tarik langkahku menuju rumah yang hanya berkelang beberapa rumah dari rumah Bude Obed. Sambil berjalan, aku tak lagi bisa menahan air mataku untuk tidak tumpah.

Bersambung

****

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Fitry Suhana
Kenapa gak pake bpjs han ?
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status