Tega sekali Bude Obed kepada kami. Padahal aku meminjam, akan aku kembalikan nanti. Tapi mengapa seakan bude ku itu tak percaya? Ya Allah, jika ujianMu terlampau berat , aku cuma minta dikuatkan.
Hingga sampai di rumah, aku mengambil pakaian ganti ibuku dan lanjut pergi ke rumah sakit.Sesampainya di rumah sakit, aku di kejutkan dengan kedatangan bos toko roti ku. Ia datang tak sendiri melainkan bersama lelaki yang katanya ingin melamarku untuk anaknya."Hana, sini nak!" panggil ibuku. Aku keheranan sekaligus hanya bisa mengulas senyum pada tamuku itu."Hana,kamu bersediakan nikah sama putra saya? pokoknya kamu tenang aja! kalian tinggal terima beres. Kita buat acara yang megah dan akan menjadi sejarah di kampung kalian nanti," ujar pak Adnan."Gimana Han?" tanya ibuku. Aku seakan kehabisan kata kata dan hanya mengangguk pelan, aku tidak perduli lagi dengan hidupku kedepannya, mungkin nanti aku akan di nikahkan dengan lelaki idiot pun aku pasrah.***POV authorSetelah pertemuan Hana dan Adnan di rumah sakit itu, Hana merasa begitu lega karena biaya rumah sakit sudah ditangani oleh Adnan. Meski berhutang budi, setidaknya dirinya tak lagi harus berpikir keras untuk menebus biaya rumah sakit ini."Kamu yakin, Na? mau nikah sama lelaki yang bahkan belum kamu kenal? Kok Ibu khawatir ya!" ujar Nining. Raut wajahnya menampakkan kecemasan terhadap nasib anaknya di kedepannya."Inshaa Allah Hana siap, Buk," hanya itu kata kata yang Hana ucapkan. Lesu dan muram. Nining menatap pias wajah sang anak. Ada rasa kasihan melihat takdir anaknya itu. Akan tetapi ia percaya bahwa akan ada pelangi setelah hujan.Hana kini sudah bersiap untuk membawa ibunya pulang. Pikirannya bukan tentang pernikahan itu saja melainkan lebih berat ke ucapan Riana yang terus terngiang-ngiang di ingatannya. Riana memutuskan tali persaudaraan dengannya. Bahkan tak ingin lagi menjumpai ibu kandungnya. Entah apa gerangan yang membuat Riana berubah seperti itu. Hana juga ingin mencari tahu. Namun masalah dirinya saja pun belum lagi selesai.Saat sampai di rumah, Hana membawa ibunya ke kamar dan membaringkannya di tempat tidur.Setelah itu Hana pun kembali ke kamarnya. Beberapa hari ini begitu menguras tenaga dan pikirannya. Ia ingin istirahat sejenak dari masalah masalah yang ada.Setelah selesai mandi, Hana langsung merebahkan diri di tempat tidur. Berusaha memejamkan mata namun tak bisa. Kembali duduk dan pikirannya tertuju pada penawaran Adnan.Hana memejamkan mata sambil menarik nafas dalam dalam dan mengeluarkannya perlahan. Tidak bisa berkata kata, hanya bis pasrah dinikahkan dengan orang yang sama sekali tidak ia kenal. Mengelak pun percuma, karena Hana sudah terlanjur berhutang budi pada Adnan.***"Usia kamu itu udah tiga puluh dua tahun, Ray. Kamu nggak bisa terus-terusan seperti ini! kamu nggak pernah ngenalin pacar kamu ke kami. Apa jangan jangan kamu ..., ""Papa apa-apaan sih? Rayhan masih normal Pah. Kalau udah datang jodohnya pasti Rayhan nikah, kok," jawab Rayhan yang menentang permintaan ayahnya untuk menikah. Menurutnya menikah bukan tentang penyatuan dua insan melainkan ada proses yang harus dijalani dan itu tidak bisa dilakukan pada orang yang sama sekali tidak ia kenal.Sudah puluhan bahkan ratusan kali papanya itu meminta sesuatu yang sulit Rayhan kabulkan. Rayhan juga bukan tipe anak yang pembangkang, hanya saja ada sesuatu yang membuat dirinya belum menikah sampai sekarang."Rayhan benar, Pah. Tunggulah sebentar lagi! Mama yakin Rayhan akan menentukan pilihannya," timpal Inggid, ia lah istri dari pengusaha mebel terbesar, pemilik puluhan perumahan elite dan ratusan kontrakan sederhana, Adnan Mbayang""Mau sampai kapan Ma? nunggu papa mati?""Papa ngomongnya kok gitu?" sambut Rayhan."Yah habis mau gimana lagi? Adik-adik kamu, lihat mereka! Masing-masing udah punya anak. Lah, kamu? jangankan anak, gebetan aja nggak punya," cibir Adnan."Pokoknya kamu harus nikah sama pilihan Papa, titik." tukasnya lagi."Nggak bisa, Pah. Rayhan nggak bisa. Coba Papah kasih pilihan lain selain nikah! pasti Rayhan turutin." Rayhan tak habis pikir dengan ide konyol ayahnya itu. Bagaimana bisa ia menikah dengan wanita pilihan ayahnya? bagaimana nanti jika wanita itu gendut, jerawatan atau bahkan lebih buruk dari itu?"Nggak bisa, Papa udah terlalu lama ngasih kamu waktu," jawab Adnan yang terkesan memaksa."Terserah Papa! Kalau gitu Papa aja yang nikah lagi," setelah mengatakan hal itu, Rayhan pun pergi begitu saja entah kemana.Inggid membulatkan mata sempurna mendengar jawaban menohok sang anak. Jangankan menjalani, membayangkan saja dirinya tak sudi jika harus dimadu. Sementara Adnan tak percaya bahwa anaknya akan menolak permintaannya itu. Kepalanya terasa berdenyut, dadanya terasa sesak dan terpaksa harus dilarikan ke rumah sakit.***"Sakit baget Ma, dada Papa," ujar Adnan sambil meremas dada kirinya."Sabar ya Pa. Makanya Papa nggak usah berdebat sama anak sontoloyo itu. Papa kan tahu dia itu gimana, keras kepala dan sulit di atur. Tapi akhrinya nyesal kalau udah terjadi yang nggak diinginkan," jawab Inggid berusaha menenangkan hati suaminya.Sebagai seorang ibu, ia paham betul isi hati sang anak, namun ia tak punya kuasa untuk menentang keinginan suaminya itu. Adnan sudah memberikan waktu pada Rayhan untuk mencari calon istri, namun tak kunjung ada jawaban. Sudah berkali-kali juga Inggid meminta agar suaminya itu memberi kebebasan pada Rayhan agar lebih leluasa memilih calon istri sesuai kemauannya sendiri, sama seperti adik-adik Rayhan yang lain."Pah ...," Rayhan masuk ke ruangan ayahnya dengan nafas tersengal. Ia sangat panik ketika mendengar sang ayah masuk rumah sakit setelah pembicaraan dengannya beberapa jam lalu. Adnan diam sambil membuang pandangannya ke arah sembarang. Ia tak mau melihat wajah anak lelakinya itu."Hmmm" Rayhan membuang nafas panjang."Ok Papa atur aja pernikahan Rayhan sama wanita pilihan Papa!" ujar Rayhan yang seketika membuat ayahnya sehat Wal Afiat."Serius kamu Ray?" tanya ayahnya."Jangan ditanyakan lagi. Rayhan bisa berubah pikiran nanti," ketus Rayhan. Sebenarnya dalam hatinya begitu dongkol, apalagi setelah melihat ayahnya sehat, segar bugar seperti itu. Ia malah menyesal telah mengucapkan itu, bahkan lebih sehat dari biasanya.Adnan tersenyum, wajahnya terlihat semeringah. Sementara Rayhan menatap nyalang pada ekspresi wajah itu.***"Papa itu sebenarnya sakit beneran nggak sih?" tanya Inggid pada suaminya, tentu saat keduanya berada di kamar yang menjadi saksi bisu perjalanan cintanya."Maksudnya Papa bohong gitu? ya enggak lah. Papa beneran sakit Ma.""Jadi sekarang apa rencana Papa? oh iya Mama masih heran aja kenapa Papa milihin wanita itu untuk Rayhan? padahal kalau dipikir pikir banyak gadis gadis diluaran sana yang cantik dan pasti sepadan sama kita""Nggak tahu kenapa Papa lihat anak ini tuh kayaknya adem gitu rasanya. Papa suka dia saat pandangan pertama, Papa naksir dia buat jadi mantu kita. Kayaknya dia anak yang baik dan pekerja keras. Lagi pula Papa nggak berminat cari yang punya banyak harta, itu semua kita udah punya, Ma." Sebagai seorang istri yang penurut, Inggid hanya bisa manggut manggut mendengar penuturan suaminya itu.Keesokan harinya, tepat jam empat sore Adnan dan istri sudah bersiap siap akan ke rumah calon besannya. Ia akan meminta sekali lagi Hana pada orang tuanya. Rasanya tidak afdol jika tidak datang langsung ke rumah calon mantunya itu.Setelah melakukan perjalanan sekitar satu jam lebih, Adnan pun tiba di kediaman Hana."Pa, bener ini alamatnya? nggak salah, Pa?" Inggid menatap heran rumah tepas di hadapannya. Rumah tua yang hampir roboh namun terlihat sejuk karna tanaman hijau yang mengelilinginya."Benar lah Ma. Kan Bu Ratna teman mama itu yang ngasih tau. Masak ia dia bohong?"Keduanya mulai turun dari mobil dan pelan pelan mengamati sekeliling. Ada banyak pasang mata menatap heran kedatangan Adnan dan istri. Namun lelaki itu tak menghiraukan, ia tatap fokus pada tujuan utamanya datang ke sini."Assalamualaikum" ucap Adnan dan Inggid bersamaan."Wa'alaikumussalam" sambut Hana yang baru saja pulang kerja. Ia masih bersantai melepas penat. Ia kaget sekaligus bingung dengan kedatangan orang yang beberapa hari ini ia pikirkan.Bersambung***Langit sore itu terlihat semburat jingga. Rumah besar di kawasan elite milik Rayhan dan Hana terlihat lebih hidup dari biasanya. Wajah Hana tampak bersinar, tak hanya karena sinar matahari yang menyelinap melalui jendela kaca besar, tapi karena hatinya sedang berbunga. Setelah melewati berbagai badai dalam rumah tangga mereka, kini Hana dan Rayhan seperti menemukan ritme baru. Mereka lebih terbuka, lebih saling mendengarkan, dan… kini mereka mulai berbicara tentang mimpi kecil yang selama ini hanya mengendap di hati: anak. "Sayang," panggil Rayhan dari balik pintu kamar. Ia baru saja selesai mandi, rambutnya masih basah, dan handuk tergantung di leher. "Kamu udah mikir lagi soal yang kita obrolin kemarin?" Hana yang sedang duduk di meja rias, menoleh dengan senyum malu-malu. "Soal program hamil?" Rayhan berjalan pelan, memeluk bahu istrinya dari belakang. "Aku serius, Na. Kita udah cukup waktu buat adaptasi. Sekarang saatnya kita punya keluarga kecil yang lengkap. Tatapan Hana mer
Hana menghela napas pelan, mencoba meredam gelombang perasaan yang menyeruak dari sentuhan dan kata-kata Rayhan. Ia menunduk, membiarkan dagunya menyentuh dada suaminya yang hangat dan kokoh. “Aku cuma… belum terbiasa,” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar. Rayhan tersenyum kecil, menggenggam jemari istrinya yang dingin dan membawanya ke dada kirinya. “Biasakanlah perlahan, Sayang. Aku akan sabar menuntunmu.” Kata-katanya bukan sekadar janji manis, Hana bisa merasakannya dalam cara Rayhan menyentuh dan menatapnya—penuh penghargaan, bukan sekadar nafsu. Mereka berdiri seperti itu dalam diam, hanya suara detak jam dinding dan hembusan lembut pendingin udara yang terdengar. Sampai akhirnya Rayhan mengecup kening Hana dengan pelan, lalu melepaskan pelukannya. “Masih ada waktu sebelum aku berangkat. Temani aku sarapan, ya?” pintanya. Hana mengangguk dan tersenyum kecil. “Aku masakin nasi goreng spesial, mau?” Rayhan memiringkan kepalanya, menatapnya penuh makna. “Kalau kamu ya
Pergi begitu saja meninggalkan Anisa dan senyum Anisa yang tadinya semeringah memudar kala Rayhan berdiri dan mulai meninggalkannya. "Rayhan ...," panggil Anisa sambil mengejar Rayhan, tetapi langkah Rayhan terlalu panjang sehingga tak terkejar olehnya. Sementara Rayhan tetap memaksa mengendarai mobilnya agar sampai di rumah. Dorongan hasrat ini harus segera dituntaskan, jika tidak maka itu akan menjadi siksaan batin yang bisa saja membuatnya gila. Rayhan membuka kancing kemeja bagian atas hingga menampakkan bulu-bulu halus itu. Setelah sampai di garasi, ia pun lantas berlari ke arah rumah. Masuk dengan kunci yang ada padanya. Hana baru saja keluar dari kamarnya dengan kepala yang masih berbalut handuk. Ia terperanjat melihat gelagat aneh sang suami yang tak seperti biasa. "Hana," lirih Rayhan sambil berjalan mendekat pada wanita yang hanya memiliki tinggi tubuh sekitar seratus enam puluh cm itu. Mengangkat tubuh Hana dan membawanya menuju kamar terdekat, yaitu kamar Hana.
"Apa betul mama menerima sejumlah uang dari keluarga Rina dan sebagai gantinya aku harus menikahi Rina? Betul itu, Ma?" tanya Ridwan dengan suara lantang dan mata yang membulat. "Ridwan, kamu ini datang-datang bukannya kasih salam dulu, malah nanya yang nggak-nggak." Lastri mencebik kesal, ada rasa takut dalam hatinya sekaligus heran mengapa rahasia ini bisa sampai bocor."Tolong jawab aja, Ma! Jawab yang jujur!" sentak Ridwan sehingga Lastri terkejut dan semakin ketakutan. Namun, berusaha bersikap tenang.Lastri terdiam dan itu sudah menjadi jawaban untuk Ridwan. Ia menggeleng pelan, tak menyangka bahwa sang ibu telah menjual dirinya demi uang, padahal Ridwan berusaha menerima jodoh yang ibunya pilihkan. Berharap ini adalah pilihan terbaik, meski Harau mengabaikan hati dan cintanya pada Hana."Ridwan ... Wan, mau kemana kamu? Mama mau jelasin sesuatu sama kamu," teriak Lastri saat Ridwan pergi dari hadapannya.Melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi hingga ia tak perduli lagi ten
"Seharusnya Abang pulang langsung ke rumah. Bukannya malah cari perhatian sama Hana. ingat, Bang! Hana itu udah punya suami dan kamu juga udah punya aku," ucap Rina. Dengan kondisinya yang sedang sakit, ia nekad pergi ke rumah Nining untuk menjemput sang suami. Karena sedari tadi ia duduk di depan terasnya untuk memantau acara yang dibuat Hana dan ibunya. Melihat mobil yang biasa suaminya kendarai pulang cepat, Rina pun bergegas ke rumah itu. Namun, kedatangannya itu ternyata untuk melihat sang suami sedang saling tatap dengan Hana. Kedua tangan Ridwan menyangga tubuh Hana agar tidak jatuh. Ingin rasanya ia langsung berteriak dan melerai keduanya. Namun, ia tak kuasa melakukannya karena kakinya terasa lemas. Pun Nining segera memberi kode kepada kedua orang yang tengah berpandangan itu hingga keduanya sadar dan melepaskan diri. Rina bisa melihat bahwa suaminya masih menyimpan rasa terhadap Hana. Terbukti saat Ridwan masih saja menatap Hana yang melenggang pergi. "Abang nggak senga
"Bangun! Bangun, Mas!" Hana menggoyang dan menepuk punggung tangan Rayhan supaya bangun. Kerena waktu subuh tidak banyak jika untuk mengerjakan wajibnya. Berulang kali Hana mencoba membangunkan hingga ia lelah dan membelakangi posisi Rayhan. Tetiba muncul keisengannya. Hana mendekat pada wajah Rayhan yang masih tertidur pulas. Menatapnya dari dekat, begitu dekat, bahkan sangat dekat. Hingga Hana dapat merasakan terpaan hangat nafas Rayhan. Ia pejamkan mata merasakan debaran jantung yang mulai tak beraturan. Rayhan mengerjapkan mata, melihat Hana yang begitu dekat dengannya. Entah mengapa ada rasa nyaman dan menginginkan waktu berhenti agar Hana tak berlalu dari hadapannya. Muncul pula ide dalam benaknya agar Hana tak segera berlalu. Rayhan memeluk Hana sambil membenarkan posisi ternyaman, matanya masih terpejam agar Hana menganggap ini adalah ketidak sengajaan yang tercipta. Hana membulatkan matanya saat dirinya malah terjebak dalam pelukan Rayhan. Semakin ia berusaha melepaskan d