Gavin Lysandros, mematikan mesin mobilnya di garasi rumah mewahnya yang berada di kawasan elit Menteng. Jam tangan mahalnya menunjukkan pukul 10 malam. Seharusnya, saat ini ia masih berada di Singapura menghadiri rapat direksi. Tapi, kejutan ulang tahun untuk sang istri lebih penting dari apapun.
Dengan kue ulang tahun di tangannya, ia melangkah tanpa suara, memasuki rumah, menaiki tangga hingga ke lantai dua. Saat tiba di depan pintu kamar utama, ia mematung. Samar-samar terdengar desahan dari dalam. "Ah ... Daniel ... Kamu begitu gagah perkasa. Gavin tidak pernah bisa memuaskanku seperti ini." Suara Bella terdengar dengan jelas. Lima tahun menikah, Gavin memang terlalu sibuk dengan pekerjaannya. "Di ranjang pun dia payah ... loyo ... tidak bisa membuatku puas," lanjut Bella di sela-sela desahan. "Nyonya Bella memang butuh pria jantan seperti saya ...." Suara Daniel, sopir pribadi yang sudah ia percaya selama tiga tahun, membuat darah Gavin mendidih. "Mmhh ... ya ... Gavin terlalu lembut. Aku butuh yang kasar ... yang bisa mendominasi." Bella terdengar mendesah. "Aahhh ... begitu Daniel ... lebih keras, Sayang ... Ah ... Ah ...." BRAKK! Gavin menendang pintu kamar hingga terbuka. Kue ulang tahun di tangannya kini sudah terhempas ke lantai. Pemandangan di depannya membuat matanya gelap oleh amarah. Bella dan Daniel tersentak kaget, buru-buru menarik selimut menutupi tubuh polos mereka. "Ga-Gavin?" Wajah Bella pucat pasi. "Sayang ... ini tidak—" "DIAM!" Gavin mengaum, matanya menatap nyalang. "Jadi ini kelakuanmu dibelakangku? BERCINTA DENGAN SOPIR DI RANJANG KITA?!" Daniel bergerak panik. Tangannya gemetar ketakutan, buru-buru mengambil pakaiannya. "Ma-maaf, Pak ... saya—" "KELUAR!" Gavin menyambar vas bunga dan melemparnya ke arah Daniel. Vas itu pecah berkeping-keping di dinding. "KELUAR SEBELUM KUHABISI KAU!" Daniel langsung kabur dengan celana setengah terpasang. "Gavin ... dengarkan aku ...." Bella yang masih berbalut selimut mencoba meraih tangan suaminya. "Aku begini karena kesepian. Kamu selalu sibuk." "Kesepian?" Gavin tertawa dingin. "Kamu bilang aku loyo? Tidak bisa memuaskanmu?" Ia mencengkeram rahang Bella. "Katakan di depan wajahku, Bella. KATAKAN!" "Lepaskan!" Bella menjerit ketakutan. "Kau menyakitiku!" "Menyakitimu?" Gavin melepaskan cengkeramannya dengan kasar. "Bagaimana dengan hatiku yang kau hancurkan? Lima tahun, aku selalu setia padamu, berusaha pengobatan agar kau bisa segera hamil. Tapi, ternyata bukan anak yang kau butuhkan ... hanya NAFSU!" "Ya! Aku butuh nafsu! Aku butuh gairah!" Bella balas berteriak. "Kau terlalu sibuk dengan perusahaanmu! Bahkan saat kita bercinta, pikiranmu entah kemana!" Gavin terdiam. Matanya menyorot tajam penuh kebencian. "Kau ingin nafsu? Gairah?" Dia membuka dasi dengan gerakan kasar. "Baik. Malam ini aku akan mencari wanita yang bisa kuhancurkan seperti kau menghancurkan kepercayaanku." "Gavin! Kau mau kemana?" Bella mencoba mengejar, tapi Gavin sudah menuruni tangga dengan langkah menghentak. "Jika kau berselingkuh, aku juga akan melakukan hal yang sama!" Gavin berhenti sejenak tanpa menoleh. "Kau harus merasakan apa yang aku rasakan!" "Ti-tidak, Gavin! Kau tidak boleh mencari wanita lain!" Bella berteriak di ambang pintu. Namun, Gavin tak memedulikan teriakan istrinya itu. Ia memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi menembus malam Jakarta. Setengah jam kemudian, ia sudah duduk di sudut Platinum Bar, bar paling eksklusif di kawasan jakarta. Gelas ketiga wiski di tangannya masih belum bisa menghapus pemandangan menjijikkan di kamarnya. "Malam yang berat, Tuan Gavin?" Sebuah suara anggun menyapa. Madam Rose, mucikari terkenal di kalangan elit Jakarta, duduk di sebelahnya dengan senyum menggoda. "Aku butuh wanita malam ini." Gavin meneguk wiskinya. "Yang masih perawan. Yang bisa kuhancurkan!" "Kebetulan sekali, Tuan ...." Madam Rose mengeluarkan ponselnya, menunjukkan foto seorang gadis muda yang polos. "Saya punya barang baru. Masih murni. Dijamin bisa membuat Tuan melupakan masalah." Gavin menatap foto itu dengan mata berkabut alkohol. "Kirim ke kamar 1808 Grand Hyatt. Satu jam lagi." Madam Rose tersenyum penuh kemenangan. "Baik, Tuan. Tapi, tentu saja tidak murah." "Gampang! Aku akan bayar berapapun yang kau mau, asalkan benar dia masih perawan!" Satu jam kemudian .... Livia, gadis cantik bermata hazel, berdiri gemetar di depan pintu kamar sebuah hotel. Ia mengenakan gaun hitam pendek, pilihan Madam Rose. Riasan wajahnya tidak bisa menyembunyikan sorot ketakutan di matanya. "Masuk!" Suara berat itu membuatnya terlonjak. Gavin Lysandros, duduk di sofa dengan segelas wiski di tangan. Jasnya tersampir sembarangan, dua kancing teratas kemejanya terbuka. Matanya yang merah karena alkohol menatap Livia dengan tajam. "Berapa umurmu?" tanya Gavin dingin. "Du-dua puluh tiga, Tuan." Livia menjawab lirih. "Jangan panggil aku Tuan." Gavin meneguk wiskinya. "Apa kau benar-benar masih perawan?" Livia mengangguk pelan, tangannya meremas ujung gaunnya. "Mendekatlah." Dengan langkah ragu, Livia mendekat. Aroma parfum mahal bercampur wiski langsung menguar dari tubuh Gavin. Tanpa peringatan, pria itu menarik tangan Livia hingga jatuh ke pangkuannya. "Tu-tuan ...." Livia mencoba memberontak. "Kubilang jangan panggil aku Tuan!" Gavin mencengkeram dagunya. "Panggil aku, Gavin!" Mata mereka bertemu. Tanpa bicara, Gavin mendekatkan wajahnya, mencium Livia dengan kasar. Rasa wiski langsung memenuhi mulut Livia. "Mmhh ...." Livia mengerang tertahan saat bibir Gavin turun ke lehernya yang jenjang. Tangannya yang kuat meremas pinggul Livia. "Kau cantik." gumam Gavin di antara ciumannya. "Terlalu cantik untuk dijual." Air mata Livia mulai menetes. "Sa-saya butuh uang untuk—" "Sshh ...." Gavin menghentikan kata-katanya dengan ciuman lagi. "Aku tidak ingin dengar alasanmu. Malam ini ... kau milikku." Gavin mengangkat tubuh mungil Livia dengan mudah, membawanya ke ranjang king size. Gaun hitam itu segera terlepas, menyisakan tubuh polos yang gemetar. "Jangan takut." bisik Gavin, untuk pertama kalinya suaranya terdengar lebih lembut. Tangannya mengusap air mata di pipi Livia. "Aku akan pelan-pelan ...." "Ta-tapi, Tuan. Bisakah Anda memakai pengaman terlebih dahulu?" "Aku mandul. Kau tidak akan hamil!" Tanpa ba-bi-bu, Gavin langsung melancarkan aksinya. Tangan wanita berparas cantik itu meremas sprei dengan kuat saat ia merasakan sesuatu yang mendesak masuk ke area intinya. Gavin memperlakukannya dengan campuran kasar dan lembut yang membingungkan. Malam itu, di kamar 1808, Livia memberikan segalanya pada Gavin. Saat akhirnya selesai, Livia berbaring memunggungi Gavin, air matanya mengalir tanpa suara. Rasa sakit dan perih yang ia rasakan tidak seberapa dibanding rasa sesak di dadanya. Kesucian yang selama ini ia jaga, telah rusak oleh pria yang bahkan tidak ia kenal sama sekali. "Kau menangis?" Gavin bertanya dengan suara serak. Livia menggeleng pelan, tapi bahunya yang bergetar menunjukkan kebohongannya. Gavin menghela nafas panjang. Tangannya terulur, menarik Livia ke dalam pelukannya. "Maaf," bisiknya. "Aku terlalu kasar." "Tidak apa-apa." Livia menjawab lirih. "Ini ... ini memang sudah tugas saya." "Tugas?" Gavin tertawa getir. "Kau terlalu polos untuk pekerjaan ini." Mereka terdiam beberapa saat. Deru AC menjadi satu-satunya suara yang terdengar di kamar tersebut. "Di laci nakas ada amplop untukmu," ujar Gavin akhirnya. "Itu hanya bonus." Livia mengangguk pelan, masih dalam pelukan Gavin. "Setelah ini ...." Gavin melanjutkan, "carilah pekerjaan yang lebih baik. Kau ... kau pantas mendapatkan yang lebih baik dari ini." Tak lama kemudian, Gavin tertidur karena pengaruh alkohol. Livia perlahan melepaskan diri dari pelukannya. Dengan tangan gemetar, ia mengambil amplop dari laci nakas. Sepuluh juta. Livia segera memasukkan uang tersebut ke dalam tasnya. Air matanya menetes lagi saat mengambil gaunnya yang tercecer di lantai. Sambil menahan rasa sakit, ia berpakaian dan berjalan tertatih ke pintu. Sebelum keluar, Livia menoleh sekali lagi pada sosok Gavin yang tertidur. Baru saja tangannya meraih gagang pintu, suara Gavin kembali terdengar, "tunggu ... siapa namamu?Seminggu berlalu dengan cepat. Pagi itu, Gavin akhirnya diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Kondisinya sudah sangat membaik, meski bekas luka tembak di punggungnya masih menyisakan sedikit rasa sakit jika tersentuh."Akhirnya hari ini pulang juga ya, sayang," Livia berkata sambil melipat baju-baju Gavin."Ya! Aku sudah tidak sabar ingin pulang," Gavin duduk di tepi tempat tidur dengan wajah berseri-seri. "Pasti Alaric sudah gemuk sekarang."Elena yang ikut membantu kepulangan Gavin, berdiri sambil membawa tas besar. "Pak Gavin, barang-barang sudah saya kemas semua.""Terima kasih, Elena," Gavin tersenyum tulus.Dika, sudah siap dengan kursi roda. "Tuan, ayo kita siap berangkat.""Dika, saya masih bisa jalan," Gavin protes."Tuan, ini prosedur rumah sakit. Lagipula untuk berjaga-jaga saja," Dika menjelaskan sambil membantu Gavin naik kursi roda.Perjalanan menuju lobi rumah sakit terasa seperti perjalanan kebebasan. Dika mendorong kursi roda dengan hati-hati, matanya selalu waspada
Sandra duduk meringkuk di pojok kasur dengan tatapan kosong. Rambutnya yang dulu selalu rapi kini kusut tidak terurus. Pakaian yang sama sudah ia kenakan selama tiga hari berturut-turut."Sandra ... Sandra, sayang ...." Rita, duduk di tepi kasur sambil mengelus punggung putrinya dengan lembut. "Mama sudah bawakan bubur, ayo makan sedikit."Sandra tidak menjawab. Matanya menatap tembok kosong seolah-olah ada sesuatu yang menarik di sana."Sandra, dengar Mama ...," Rita mencoba lagi dengan sabar. "Kamu belum makan dari kemarin. Badan kamu akan sakit kalau begini terus."Tiba-tiba Sandra tertawa. Tawa yang aneh, tanpa alasan, membuat Rita bergidik ngeri."Hehe ... Bayiku pasti lapar juga ya, Ma," Sandra berkata sambil terus tertawa. "Dia pasti suka makan es krim strawberry. Besok Mama belikan ya ...."Rita merasakan dadanya sesak. Air mata mengalir di pipinya yang sudah keriput karena beban hidup dan kesedihan."Sandra ... Anakmu sudah ...," Rita tidak sanggup melanjutkan kalimatnya."Ba
"Ya. Tuan Gavin sudah tidak memerlukan bantuan ventilator, monitor jantung, dan alat-alat ICU lainnya. Di ruang VVIP, beliau akan lebih nyaman dan bisa menerima lebih banyak pengunjung."Seorang perawat senior yang ikut masuk menambahkan, "Kami akan segera menyiapkan ruang VVIP terbaik untuk Tuan Gavin. Proses pemindahan bisa dilakukan sore ini juga."Gavin tersenyum lega. "Akhirnya saya bisa keluar dari ruangan yang penuh bunyi 'bip-bip' ini."Dokter tertawa. "Memang suara monitor jantung agak mengganggu ya, Tuan. Tapi itu pertanda baik bahwa jantung Tuan berdetak normal terus."Dua jam kemudian, tim medis mulai mempersiapkan proses pemindahan. Perawat dengan hati-hati melepaskan satu per satu alat monitoring yang terpasang di tubuh Gavin."Tuan Gavin, kami akan memindahkan Tuan ke tempat tidur khusus untuk perpindahan ya," perawat utama menjelaskan sambil mengatur roda tempat tidur.Gavin meringis saat menggeser tubuhnya. Luka tembak di punggungnya masih menyisakan rasa sakit dan be
Joseph tersenyum dengan tenang menghadapi amukan Pak Sugeng. Pria berjas rapi itu tidak bergeming sedikitpun meskipun dihadapkan dengan amarah yang meledak-ledak."Saya tidak peduli siapa Anda," Joseph berkata dengan nada datar namun tegas. "Saya hanya menjalankan tugas untuk klien saya. Fakta tetap fakta, dan hukum tetap hukum."BRAK!Pak Sugeng mendorong meja dengan kasar hingga bergeser beberapa sentimeter. Wajahnya memerah padam, urat-urat di leher dan pelipisnya tampak menonjol karena marah.Namun Joseph tetap duduk dengan tenang, bahkan tidak berkedip sedikitpun. Ketenangan yang ditunjukkannya justru semakin membuat Pak Sugeng frustasi."SAYA AKAN MENCARI PENGACARA TERBAIK!" Pak Sugeng berteriak sambil menunjuk-nunjuk Joseph. "PENGACARA YANG BISA MENGALAHKAN ANDA!"Joseph mengangguk pelan sambil merapikan berkas-berkasnya. "Silakan saja, Pak. Saya ingin tahu apakah masih ada yang mau menjadi lawyer Anda setelah melihat bukti-bukti yang sudah ada.""SIALAN! BRENGSEK! ANDA—"Pak S
Evita terdiam sejenak, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Kemudian matanya mulai berkaca-kaca."BENARKAH?!" Evita berteriak senang. "GAVIN SUDAH SADAR?!"Bu Lina yang mendengar teriakan itu langsung ikut menangis bahagia. "Syukurlah! Syukurlah! Tuhan masih sayang sama kita!""Kita kesana sekarang!" Evita langsung berdiri dari kursinya. "Bu Lina, ayo kita ke rumah sakit!""Tunggu dulu, Bu. Dokter bilang jangan terlalu banyak pengunjung dulu. Biarkan Gavin istirahat sebentar. Besok pagi saja ya," Livia menjelaskan."Baiklah, sayang. Yang penting Gavin sudah pulih. Terima kasih sudah menelepon kami," Evita masih sesekali terisak bahagia.Setelah menutup telepon, Evita dan Bu Lina saling berpelukan sambil menangis haru."Syukurlah! Gavin selamat!" Bu Lina mengusap air matanya. "Keluarga kita lengkap lagi."©©©Kembali di ruang ICU, suasana sudah lebih tenang. Dokter dan perawat sudah keluar setelah memastikan kondisi Gavin benar-benar stabil. Kini hanya Livia dan Gavin b
Sudah seminggu berlalu sejak insiden penembakan. Di ruang ICU, suasana tampak lebih tenang. Mesin ventilator yang tadinya membantu pernapasan Gavin sudah dilepas tiga hari yang lalu.Livia duduk di kursi yang sama, di tempat yang sama, sejak seminggu terakhir. Pakaiannya sudah diganti berkali-kali, tapi ia tidak pernah meninggalkan Gavin."Halo, Suster ... Alaric sedang apa?" Livia menelepon suster Dessy. "Halo, Nyonya. Alaric baru saja selesai mandi dan menyusu. Berat badannya sudah naik 300 gram," terang Suster Dessy.Livia tersenyum. "Boleh saya video call?" "Tentu saja, Nyonya." Livia langsung mengubah panggilan telepon ke mode video. Ini sudah menjadi rutinitas harian Livia. Setiap pagi dan malam, ia selalu melakukan video call dengan Alaric. Dokter bilang meskipun Gavin koma, indra pendengarannya mungkin masih berfungsi.Video call tersambung. Di layar muncul wajah menggemaskan Alaric yang sedang dalam pelukan suster Dessy."Alaric sayang ... Mama disini," Livia tersenyum mel