Sehari sebelumnya ...
Bungkusan plastik berisi kotak makan itu terjatuh begitu saja dari genggaman Livia. Nasi goreng special yang ia masak dengan penuh cinta berhamburan di lantai koridor kontrakan yang sempit. Namun, suara berisik dari kotak makan yang berbenturan dengan lantai tak mampu mengalahkan desahan dan erangan yang terdengar dari balik pintu kamar Evan yang sedikit terbuka. "Ahh ... Sayang ... kamu memang yang terbaik ...." Suara itu, suara yang sangat Livia kenal, menghancurkan seluruh dunianya dalam sekejap. Tubuhnya membeku dan jantungnya seakan berhenti berdetak. Tiga bulan. Hanya tinggal tiga bulan lagi menuju hari pernikahan mereka. Hari yang selama ini Livia impikan, hari yang ia nantikan sejak Evan berlutut dan memasangkan cincin di jari manisnya enam bulan yang lalu. Dengan tangan gemetar, Livia mendorong pintu kamar itu. Pemandangan di hadapannya membuat dunianya seketika runtuh. Di atas ranjang sempit, Evan, pria yang ia percayai dengan sepenuh hati, tengah menindih tubuh seorang wanita. Bukan wanita sembarangan, melainkan Sandra, saudara tirinya. "EVAN!" Teriakan Livia memecah pergumulan mereka. Evan dan Sandra terlonjak kaget, buru-buru membenahi pakaian mereka yang berantakan. Wajah Evan yang biasanya penuh cinta kini dipenuhi amarah karena terganggu. "Apa yang kamu lakukan di sini?" bentaknya kasar, sangat berbeda dengan Evan yang Livia kenal selama ini. "Apa yang kulakukan? Harusnya aku yang bertanya padamu!" Air mata Livia mulai mengalir deras. "Kenapa? Kenapa kalian lakukan ini padaku?" Sandra, bukannya merasa bersalah, justru tersenyum sinis sambil merapikan rambut hitamnya yang berantakan. "Siapa suruh tidak bisa memuaskan Evan?" Livia tersentak. Matanya menatap Evan, meminta penjelasan. "Ya, dan sekarang kamu tahu alasannya," jawab Evan dingin. "Kamu terlalu kuno, Liv. Selalu menolak setiap kali aku ingin lebih dekat denganmu. 'Tunggu sampai menikah', 'Ini tidak benar', bla bla bla .... Sandra berbeda. Dia tahu cara membuatku bahagia." "Tapi ... tapi kita akan menikah tiga bulan lagi." Livia terisak. Evan mendengus. "Pernikahan dibatalkan. Aku tidak bisa menikahi wanita membosankan sepertimu. Ambil saja cincin itu. Jual, dan gunakan uangnya untuk berobat ayahmu yang sekarat itu." Kata-kata kejam itu menusuk tepat ke jantung Livia. Kakinya lemas. Tubuhnya merosot ke lantai. Di sela-sela tangisnya, ia bisa mendengar tawa mengejek Sandra. "Sudahlah, Sayang. Biarkan saja dia. Kita lanjutkan yang tadi ...." Sandra berbisik manja pada Evan. Livia bangkit dengan sisa-sisa harga dirinya yang masih tersisa. Tangannya gemetar saat melepas cincin pertunangan dari jarinya. Cincin yang selama ini ia jaga dan banggakan, kini terasa seperti membakar kulitnya. "Terima kasih sudah menunjukkan wajah aslimu sebelum kita menikah," ucap Livia dengan suara bergetar namun penuh ketegaran. Ia melempar cincin itu ke arah Evan. "Semoga kalian berdua bahagia dengan pengkhianatan ini." Dengan langkah tertatih, Livia berjalan keluar dari kamar tersebut, meninggalkan serpihan hatinya yang hancur berkeping-keping. Air matanya mengalir tanpa henti, membasahi seragam cleaning service yang masih ia kenakan. Di belakangnya, suara tawa dan desahan kembali terdengar, seolah kehadirannya tak pernah ada. **** Livia terduduk di kursi, di samping ranjang rumah sakit. Matanya sembab. Namun, air matanya sudah mengering. Ia tak bisa lagi menangisi pengkhianatan Evan saat melihat kondisi ayahnya yang terbaring lemah dengan berbagai selang menempel di tubuhnya. "Mana Evan? Sudah dua hari dia tidak menjenguk Ayah," tanya Pedro dengan suara serak. Pertanyaan itu menghujam tepat ke luka yang masih menganga di hati Livia. Ia menggigit bibir, berusaha menahan air mata yang mengancam akan tumpah lagi. "Evan ... dia sedang sibuk kerja, Yah." Di sudut ruangan, Rita, ibu tirinya, mendengus keras. Wanita berusia empat puluh lima tahun itu bangkit dari kursinya dan berjalan mendekat. "Sibuk kerja atau sibuk selingkuh?" bisiknya di telinga Livia. Livia hanya menunduk dalam. Ia tak ingin ayahnya tahu kalau calon menantunya itu berselingkuh dengan saudara tirinya. Rita kemudian menarik tangan Livia keluar dari ruangan, menatap gadis berwajah mungil itu dengan tatapan dingin "Tagihan rumah sakit semakin menumpuk, dan sekarang Dokter bilang ayahmu butuh operasi. Dari mana kita dapat uang sebanyak itu?" Pertanyaan Rita menohok tepat ke titik terlemahnya. Gaji cleaning service-nya tak akan cukup untuk membiayai operasi ayahnya. Tabungannya sudah terkuras habis untuk biaya rumah sakit selama ini. "Aku ... aku akan cari pinjaman," jawab Livia lirih. "Pinjaman?" Rita tertawa sinis. "Siapa yang mau meminjamkan uang pada cleaning service sepertimu? Bank? Dengan gaji sekecil itu? Jangan mimpi!" "Lalu aku harus bagaimana?" Suara Livia bergetar menahan amarah dan putus asa. Rita mendekatkan wajahnya, berbisik tajam, "Aku punya kenalan yang bisa membantumu dapat uang cepat. Tapi ... kamu harus rela mengorbankan sesuatu." "Apa maksud Mama?" "Temui aku di cafetaria nanti malam. Akan kujelaskan caranya." Rita tersenyum misterius, lalu berjalan menuju lift, meninggalkan Livia yang berdiri kaku dengan sejuta pertanyaan dan kekhawatiran. Livia kembali masuk ke ruangan dan duduk di samping ayahnya. Tangannya menggenggam jemari Pedro yang dingin. Air matanya menetes tanpa suara. "Maafkan Livia, Yah ...," ucapnya dalam hati. "Livia gagal jadi anak yang baik. Gagal dapat suami yang bertanggung jawab. Tapi Livia janji ... Livia akan lakukan apa saja untuk menyembuhkan Ayah." Di luar ruangan, langit senja mulai menggelap. Cafetaria rumah sakit nyaris kosong saat Livia melangkah masuk. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Rita sudah menunggu di meja paling pojok, ditemani seorang wanita paruh baya berpenampilan mencolok. "Duduk," perintah Rita singkat saat Livia mendekat. "Kenalkan, ini Madam Rose." Wanita itu mengamati Livia dari atas sampai bawah dengan tatapan menilai. Senyum tipis tersungging di bibirnya yang dipoles lipstik merah menyala. "Hmm ... cantik, masih muda, tubuh bagus. Sempurna." Livia mengerutkan kening, merasa tidak nyaman dengan cara Madam Rose memandangnya seperti barang dagangan. "Langsung saja," Rita berdeham. "Madam Rose bisa membantumu mendapatkan uang untuk operasi ayahmu. Lima ratus juta. Dalam semalam." Mata Livia membelalak. "Li-lima ratus juta? Bagaimana caranya?" Madam Rose mengeluarkan sebatang rokok dari tas mahalnya, tetapi tidak menyalakannya karena berada di rumah sakit. "Mudah saja, Sayang. Aku punya banyak klien, pengusaha kaya yang sedang mencari ... hiburan. Mereka siap membayar mahal untuk gadis secantik dirimu." Seketika Livia paham apa yang mereka bicarakan. Wajahnya memucat. "Tidak! Aku tidak mungkin—" "Jangan munafik!" Rita memotong tajam. "Kau bilang akan melakukan apa saja untuk ayahmu. Sekarang kesempatannya ada di depan mata. Lima ratus juta, Livia. Lebih dari cukup untuk operasi dan perawatan ayahmu." "Tapi ... tapi ini ..." "Hanya satu malam," Madam Rose tersenyum tenang. "Klienku-klienku orang terpandang, bukan sembarang orang. Dia akan memperlakukanmu dengan baik." Livia menggeleng kuat-kuat. Air matanya mulai menggenang. "Aku tidak bisa. Pasti ada cara lain!" "Cara lain apa?" Rita mendesis. "Mau tunggu sampai ayahmu mati dulu? Dokter bilang operasinya harus dilakukan minggu ini! Kamu mau dapat uang dari mana dalam waktu secepat itu?" Livia terdiam. Bayangan ayahnya yang terbaring lemah memenuhi benaknya. Suara Dokter yang mengatakan kondisi Pedro semakin memburuk terngiang-ngiang di telinganya. Madam Rose mengeluarkan kartu nama dan meletakkannya di meja. "Kalau kau berubah pikiran, hubungi aku. Tapi ingat, tawaran ini tidak berlaku lama." Madam Rose bangkit dan melenggang pergi, meninggalkan aroma parfum mahalnya yang menyengat. Rita menatap Livia dengan pandangan mencela. "Kesucianmu itu tidak ada gunanya, Livia. Yang ada gunanya adalah uang." Rita berdiri, menepuk bahu Livia dengan kasar. "Pikirkan baik-baik. Nyawa ayahmu atau harga dirimu yang tidak berguna itu?" Sepeninggal Rita, Livia masih terpaku di kursinya. Kartu nama Madam Rose seolah mengejeknya, menantangnya untuk segera mengambil keputusan. Bayangan kondisi Pedro, satu-satunya orang yang benar-benar menyayanginya semakin memburuk. Dengan tangan bergetar, Livia meraih kartu nama itu dan memandanginya. "Baiklah. Aku bersedia!"Di dalam mobil, suasana menjadi canggung antara Elena dan Dika. Dika sesekali melirik Elena saat menoleh ke kaca spion kiri, sementara Elena sibuk memandang pemandangan di luar jendela."Ehm ... cuacanya bagus hari ini, ya," Dika mencoba memecah keheningan."Iya, tadi siang tidak terlalu panas, sekarang juga tidak hujan dan ada bintang." Elena menjawab sambil melihat ke atas melalui kaca jendela."Nona Elena ... boleh aku tanya sesuatu?"Elena menoleh. "Iya, apa?""Apakah ... Nona Elena ... sudah punya pacar?"Elena tersentak. "Eh? Kenapa tanya begitu?""Tidak, hanya penasaran saja. Nona kan cantik, pasti banyak yang naksir."Elena tertawa kecil. "Tidak ada yang naksir kok. Aku kan cuma pekerja biasa.""Jangan bilang begitu. Nona baik hati dan cantik. Pasti banyak pria yang suka sama Nona.""Beneran, tidak ada. Oh, ya, jangan panggil Nona, panggil Elena saja."Dika mengangguk. Tangannya masih mencengkram setir."Kamu juga belum punya pacar kan, Dika?""Belum. Pekerjaan bodyguard seper
Pagi hari yang cerah menyinari kota ketika Dika sudah bersiap di depan kediaman Evita. Mobil hitam mengkilap terparkir rapi, menunggu sang majikan muda."Gavin, aku ingin mengunjungi rumah sebentar," Livia berkata sambil menggendong Alaric. "Aku ingin mengambil buku pemeriksaan Alaric yang tertinggal."Gavin mengangguk sambil mengecup kening Livia. "Baiklah, tapi jangan lama-lama. Dika akan mengantarmu.""Terima kasih, sayang."©©©Mobil melaju melewati jalanan yang sudah tidak asing bagi Livia. Ketika tiba di rumah pemberian Gavin itu, Livia merasakan perasaan campur aduk. Rumah yang dulunya hangat kini terasa asing.Livia langsung menuju kamar Elena. Suster Dessy mengikutinya dari belakang. Pintu kamar terbuka dan Elena sedang merapikan pakaian."Elena!" Livia memanggil dengan riang.Elena menoleh dan wajahnya langsung cerah. "Livia! Kamu datang!"Mereka berpelukan erat. Livia duduk di tepi tempat tidur Elena. Melihat keakraban dua sahabat, Suster Dessy tidak ikut masuk ke kamar, ia
"Baiklah, Pak. Kami ambil," Rita akhirnya berkata. "Tapi kami bayar minggu depan boleh?""Boleh, Bu. Tapi saya perlu uang muka dulu setengahnya."Sandra mengeluarkan dompetnya dan memberikan uang 400 ribu. "Ini, Pak."Pak Joko mengangguk. "Baiklah. Kalian bisa masuk sekarang."©©©Malam telah tiba ketika Sandra dan Rita akhirnya duduk di kamar kontrakan baru mereka. Rita meletakkan cucunya di atas kasur tipis yang berbau apek.Bayi Sandra menangis karena kepanasan. Udara di kamar yang sempit itu terasa pengap dan panas."Aduh, panasnya," Sandra menggerutu sambil mengipas-ngipas bayinya dengan tangan. "Kamarnya tidak ada AC.""Kita harus bersabar, Sandra," Rita berkata sambil duduk di ujung kasur. "Uang kita tidak banyak dan kita harus memikirkan bagaimana caranya hidup lebih baik dari ini.""Ini semua gara-gara Evan yang tidak bertanggung jawab!" Sandra memukul kasur dengan frustasi. "Kalau dia tidak meninggalkan aku, kita tidak akan berakhir seperti ini!"Rita menatap putrinya dengan
Senja mulai turun ketika Sandra dan Rita menyeret koper-koper mereka di trotoar yang ramai. Langkah mereka tertatih-tatih, beban koper yang berat membuat mereka harus berhenti sejenak untuk mengatur napas."Kita harus mencari kontrakan yang murah saja," Rita berkata sambil menggendong cucunya yang mulai rewel. "Uang kita tidak banyak."Sandra menggerutu sambil menarik kopernya yang roda-rodanya sudah aus. "Ini semua gara-gara si brengsek Elena. Evan juga! Dia pergi begitu saja meninggalkan aku tanpa rasa tanggung jawab sedikitpun!"Rita menatap putrinya dengan pandangan jengkel. "Sudah dari awal aku bilang! Kamu sudah tahu Evan itu pria brengsek yang mengkhianati Livia, kamu malah mau menikah dengannya!""Mama pikir aku tidak tahu?" Sandra membalik badan menghadap ibunya. "Tapi aku sudah terlanjur hamil! Aku butuh dia untuk bertanggung jawab!""Bertanggung jawab?" Rita tertawa sinis. "Laki-laki seperti dia tidak akan pernah bertanggung jawab! Kamu harusnya sadar dari awal!"Sandra men
Terdengar suara Livia yang terdiam di seberang sana. Setelah beberapa detik, Livia menjawab dengan suara yang bergetar. "Bagaimana kamu bisa tahu?""Aku kesal padamu, Livia. Mengapa kamu tidak memberitahukan perbuatan mereka selama ini? Mengapa kamu diam saja?""Aku sudah memaafkannya, Gavin," Livia menjawab dengan nada yang lemah. "Mereka sudah minta maaf.""Memaafkan?" Gavin meninggi suaranya. "Mereka tetap jahat dan hanya memanfaatkan kebaikanmu! Mereka tidak pantas mendapat maaf!""Gavin, aku akan ke sana sekarang untuk menjelaskan semuanya.""Tidak!" Gavin langsung melarang dengan tegas. "Kamu tidak perlu ke sini. Ini sudah menjadi keputusanku dan tidak ada yang bisa merubahnya. Aku sudah mengusir mereka dari rumah. Ini demi kebaikan kita semua."Livia terdiam lagi di seberang sana. "Baiklah, kalau itu maumu.""Terima kasih sudah mengerti, Livia. Aku akan segera ke sana."Setelah menutup telepon, Elena menatap Gavin dengan penuh rasa terima kasih. "Terima kasih, Pak Gavin. Bapak
Suasana kamar mendadak menjadi mencekam. Gavin melangkah masuk dengan wajah yang semakin gelap, matanya menatap Elena dengan pandangan yang menuntut penjelasan lebih lanjut."Aku tanya sekali lagi, Elena," suara Gavin terdengar dingin dan menuntut. "Apa maksudmu dengan 'uang itu'? Jelaskan dengan jelas!"Elena merasakan dadanya berdebar kencang. Ia tahu bahwa kata-kata yang baru saja keluar dari mulutnya telah membuka kotak pandora yang seharusnya tetap tertutup. Namun, melihat sikap Sandra dan Rita yang sudah terlalu keterlaluan, Elena merasa sudah saatnya kebenaran terungkap."Pak Gavin," Elena menarik napas dalam-dalam. "Maaf, tapi saya merasa Bapak harus tahu kebenaran ini. Bu Rita dan Sandra pernah memaksa Livia untuk ... untuk bekerja di tempat hiburan malam demi mendapatkan uang untuk biaya pengobatan ayahnya."Gavin terdiam sejenak, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Matanya beralih menatap Rita dan Sandra yang berdiri dengan wajah pucat."Apa ini bena