Share

Bab 2

Penulis: Merisa storia
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-18 13:45:15

Sehari sebelumnya ...

Bungkusan plastik berisi kotak makan itu terjatuh begitu saja dari genggaman Livia. Nasi goreng special yang ia masak dengan penuh cinta berhamburan di lantai koridor kontrakan yang sempit. Namun, suara berisik dari kotak makan yang berbenturan dengan lantai tak mampu mengalahkan desahan dan erangan yang terdengar dari balik pintu kamar Evan yang sedikit terbuka.

"Ahh ... Sayang ... kamu memang yang terbaik ...."

Suara itu, suara yang sangat Livia kenal, menghancurkan seluruh dunianya dalam sekejap. Tubuhnya membeku dan jantungnya seakan berhenti berdetak.

Tiga bulan. Hanya tinggal tiga bulan lagi menuju hari pernikahan mereka. Hari yang selama ini Livia impikan, hari yang ia nantikan sejak Evan berlutut dan memasangkan cincin di jari manisnya enam bulan yang lalu.

Dengan tangan gemetar, Livia mendorong pintu kamar itu. Pemandangan di hadapannya membuat dunianya seketika runtuh. Di atas ranjang sempit, Evan, pria yang ia percayai dengan sepenuh hati, tengah menindih tubuh seorang wanita. Bukan wanita sembarangan, melainkan Sandra, saudara tirinya.

"EVAN!"

Teriakan Livia memecah pergumulan mereka. Evan dan Sandra terlonjak kaget, buru-buru membenahi pakaian mereka yang berantakan. Wajah Evan yang biasanya penuh cinta kini dipenuhi amarah karena terganggu.

"Apa yang kamu lakukan di sini?" bentaknya kasar, sangat berbeda dengan Evan yang Livia kenal selama ini.

"Apa yang kulakukan? Harusnya aku yang bertanya padamu!" Air mata Livia mulai mengalir deras. "Kenapa? Kenapa kalian lakukan ini padaku?"

Sandra, bukannya merasa bersalah, justru tersenyum sinis sambil merapikan rambut hitamnya yang berantakan. "Siapa suruh tidak bisa memuaskan Evan?"

Livia tersentak. Matanya menatap Evan, meminta penjelasan.

"Ya, dan sekarang kamu tahu alasannya," jawab Evan dingin. "Kamu terlalu kuno, Liv. Selalu menolak setiap kali aku ingin lebih dekat denganmu. 'Tunggu sampai menikah', 'Ini tidak benar', bla bla bla .... Sandra berbeda. Dia tahu cara membuatku bahagia."

"Tapi ... tapi kita akan menikah tiga bulan lagi." Livia terisak.

Evan mendengus. "Pernikahan dibatalkan. Aku tidak bisa menikahi wanita membosankan sepertimu. Ambil saja cincin itu. Jual, dan gunakan uangnya untuk berobat ayahmu yang sekarat itu."

Kata-kata kejam itu menusuk tepat ke jantung Livia. Kakinya lemas. Tubuhnya merosot ke lantai. Di sela-sela tangisnya, ia bisa mendengar tawa mengejek Sandra.

"Sudahlah, Sayang. Biarkan saja dia. Kita lanjutkan yang tadi ...." Sandra berbisik manja pada Evan.

Livia bangkit dengan sisa-sisa harga dirinya yang masih tersisa. Tangannya gemetar saat melepas cincin pertunangan dari jarinya. Cincin yang selama ini ia jaga dan banggakan, kini terasa seperti membakar kulitnya.

"Terima kasih sudah menunjukkan wajah aslimu sebelum kita menikah," ucap Livia dengan suara bergetar namun penuh ketegaran. Ia melempar cincin itu ke arah Evan. "Semoga kalian berdua bahagia dengan pengkhianatan ini."

Dengan langkah tertatih, Livia berjalan keluar dari kamar tersebut, meninggalkan serpihan hatinya yang hancur berkeping-keping. Air matanya mengalir tanpa henti, membasahi seragam cleaning service yang masih ia kenakan.

Di belakangnya, suara tawa dan desahan kembali terdengar, seolah kehadirannya tak pernah ada.

****

Livia terduduk di kursi, di samping ranjang rumah sakit. Matanya sembab. Namun, air matanya sudah mengering. Ia tak bisa lagi menangisi pengkhianatan Evan saat melihat kondisi ayahnya yang terbaring lemah dengan berbagai selang menempel di tubuhnya.

"Mana Evan? Sudah dua hari dia tidak menjenguk Ayah," tanya Pedro dengan suara serak.

Pertanyaan itu menghujam tepat ke luka yang masih menganga di hati Livia. Ia menggigit bibir, berusaha menahan air mata yang mengancam akan tumpah lagi.

"Evan ... dia sedang sibuk kerja, Yah."

Di sudut ruangan, Rita, ibu tirinya, mendengus keras. Wanita berusia empat puluh lima tahun itu bangkit dari kursinya dan berjalan mendekat. "Sibuk kerja atau sibuk selingkuh?" bisiknya di telinga Livia.

Livia hanya menunduk dalam. Ia tak ingin ayahnya tahu kalau calon menantunya itu berselingkuh dengan saudara tirinya.

Rita kemudian menarik tangan Livia keluar dari ruangan, menatap gadis berwajah mungil itu dengan tatapan dingin "Tagihan rumah sakit semakin menumpuk, dan sekarang Dokter bilang ayahmu butuh operasi. Dari mana kita dapat uang sebanyak itu?"

Pertanyaan Rita menohok tepat ke titik terlemahnya. Gaji cleaning service-nya tak akan cukup untuk membiayai operasi ayahnya. Tabungannya sudah terkuras habis untuk biaya rumah sakit selama ini.

"Aku ... aku akan cari pinjaman," jawab Livia lirih.

"Pinjaman?" Rita tertawa sinis. "Siapa yang mau meminjamkan uang pada cleaning service sepertimu? Bank? Dengan gaji sekecil itu? Jangan mimpi!"

"Lalu aku harus bagaimana?" Suara Livia bergetar menahan amarah dan putus asa.

Rita mendekatkan wajahnya, berbisik tajam, "Aku punya kenalan yang bisa membantumu dapat uang cepat. Tapi ... kamu harus rela mengorbankan sesuatu."

"Apa maksud Mama?"

"Temui aku di cafetaria nanti malam. Akan kujelaskan caranya." Rita tersenyum misterius, lalu berjalan menuju lift, meninggalkan Livia yang berdiri kaku dengan sejuta pertanyaan dan kekhawatiran.

Livia kembali masuk ke ruangan dan duduk di samping ayahnya. Tangannya menggenggam jemari Pedro yang dingin. Air matanya menetes tanpa suara.

"Maafkan Livia, Yah ...," ucapnya dalam hati. "Livia gagal jadi anak yang baik. Gagal dapat suami yang bertanggung jawab. Tapi Livia janji ... Livia akan lakukan apa saja untuk menyembuhkan Ayah."

Di luar ruangan, langit senja mulai menggelap. Cafetaria rumah sakit nyaris kosong saat Livia melangkah masuk. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Rita sudah menunggu di meja paling pojok, ditemani seorang wanita paruh baya berpenampilan mencolok.

"Duduk," perintah Rita singkat saat Livia mendekat. "Kenalkan, ini Madam Rose."

Wanita itu mengamati Livia dari atas sampai bawah dengan tatapan menilai. Senyum tipis tersungging di bibirnya yang dipoles lipstik merah menyala. "Hmm ... cantik, masih muda, tubuh bagus. Sempurna."

Livia mengerutkan kening, merasa tidak nyaman dengan cara Madam Rose memandangnya seperti barang dagangan.

"Langsung saja," Rita berdeham. "Madam Rose bisa membantumu mendapatkan uang untuk operasi ayahmu. Lima ratus juta. Dalam semalam."

Mata Livia membelalak. "Li-lima ratus juta? Bagaimana caranya?"

Madam Rose mengeluarkan sebatang rokok dari tas mahalnya, tetapi tidak menyalakannya karena berada di rumah sakit. "Mudah saja, Sayang. Aku punya banyak klien, pengusaha kaya yang sedang mencari ... hiburan. Mereka siap membayar mahal untuk gadis secantik dirimu."

Seketika Livia paham apa yang mereka bicarakan. Wajahnya memucat. "Tidak! Aku tidak mungkin—"

"Jangan munafik!" Rita memotong tajam. "Kau bilang akan melakukan apa saja untuk ayahmu. Sekarang kesempatannya ada di depan mata. Lima ratus juta, Livia. Lebih dari cukup untuk operasi dan perawatan ayahmu."

"Tapi ... tapi ini ..."

"Hanya satu malam," Madam Rose tersenyum tenang. "Klienku-klienku orang terpandang, bukan sembarang orang. Dia akan memperlakukanmu dengan baik."

Livia menggeleng kuat-kuat. Air matanya mulai menggenang. "Aku tidak bisa. Pasti ada cara lain!"

"Cara lain apa?" Rita mendesis. "Mau tunggu sampai ayahmu mati dulu? Dokter bilang operasinya harus dilakukan minggu ini! Kamu mau dapat uang dari mana dalam waktu secepat itu?"

Livia terdiam. Bayangan ayahnya yang terbaring lemah memenuhi benaknya. Suara Dokter yang mengatakan kondisi Pedro semakin memburuk terngiang-ngiang di telinganya.

Madam Rose mengeluarkan kartu nama dan meletakkannya di meja. "Kalau kau berubah pikiran, hubungi aku. Tapi ingat, tawaran ini tidak berlaku lama."

Madam Rose bangkit dan melenggang pergi, meninggalkan aroma parfum mahalnya yang menyengat. Rita menatap Livia dengan pandangan mencela.

"Kesucianmu itu tidak ada gunanya, Livia. Yang ada gunanya adalah uang." Rita berdiri, menepuk bahu Livia dengan kasar. "Pikirkan baik-baik. Nyawa ayahmu atau harga dirimu yang tidak berguna itu?"

Sepeninggal Rita, Livia masih terpaku di kursinya. Kartu nama Madam Rose seolah mengejeknya, menantangnya untuk segera mengambil keputusan.

Bayangan kondisi Pedro, satu-satunya orang yang benar-benar menyayanginya semakin memburuk.

Dengan tangan bergetar, Livia meraih kartu nama itu dan memandanginya. "Baiklah. Aku bersedia!"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 183

    Seminggu berlalu dengan cepat. Pagi itu, Gavin akhirnya diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Kondisinya sudah sangat membaik, meski bekas luka tembak di punggungnya masih menyisakan sedikit rasa sakit jika tersentuh."Akhirnya hari ini pulang juga ya, sayang," Livia berkata sambil melipat baju-baju Gavin."Ya! Aku sudah tidak sabar ingin pulang," Gavin duduk di tepi tempat tidur dengan wajah berseri-seri. "Pasti Alaric sudah gemuk sekarang."Elena yang ikut membantu kepulangan Gavin, berdiri sambil membawa tas besar. "Pak Gavin, barang-barang sudah saya kemas semua.""Terima kasih, Elena," Gavin tersenyum tulus.Dika, sudah siap dengan kursi roda. "Tuan, ayo kita siap berangkat.""Dika, saya masih bisa jalan," Gavin protes."Tuan, ini prosedur rumah sakit. Lagipula untuk berjaga-jaga saja," Dika menjelaskan sambil membantu Gavin naik kursi roda.Perjalanan menuju lobi rumah sakit terasa seperti perjalanan kebebasan. Dika mendorong kursi roda dengan hati-hati, matanya selalu waspada

  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 182

    Sandra duduk meringkuk di pojok kasur dengan tatapan kosong. Rambutnya yang dulu selalu rapi kini kusut tidak terurus. Pakaian yang sama sudah ia kenakan selama tiga hari berturut-turut."Sandra ... Sandra, sayang ...." Rita, duduk di tepi kasur sambil mengelus punggung putrinya dengan lembut. "Mama sudah bawakan bubur, ayo makan sedikit."Sandra tidak menjawab. Matanya menatap tembok kosong seolah-olah ada sesuatu yang menarik di sana."Sandra, dengar Mama ...," Rita mencoba lagi dengan sabar. "Kamu belum makan dari kemarin. Badan kamu akan sakit kalau begini terus."Tiba-tiba Sandra tertawa. Tawa yang aneh, tanpa alasan, membuat Rita bergidik ngeri."Hehe ... Bayiku pasti lapar juga ya, Ma," Sandra berkata sambil terus tertawa. "Dia pasti suka makan es krim strawberry. Besok Mama belikan ya ...."Rita merasakan dadanya sesak. Air mata mengalir di pipinya yang sudah keriput karena beban hidup dan kesedihan."Sandra ... Anakmu sudah ...," Rita tidak sanggup melanjutkan kalimatnya."Ba

  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 181

    "Ya. Tuan Gavin sudah tidak memerlukan bantuan ventilator, monitor jantung, dan alat-alat ICU lainnya. Di ruang VVIP, beliau akan lebih nyaman dan bisa menerima lebih banyak pengunjung."Seorang perawat senior yang ikut masuk menambahkan, "Kami akan segera menyiapkan ruang VVIP terbaik untuk Tuan Gavin. Proses pemindahan bisa dilakukan sore ini juga."Gavin tersenyum lega. "Akhirnya saya bisa keluar dari ruangan yang penuh bunyi 'bip-bip' ini."Dokter tertawa. "Memang suara monitor jantung agak mengganggu ya, Tuan. Tapi itu pertanda baik bahwa jantung Tuan berdetak normal terus."Dua jam kemudian, tim medis mulai mempersiapkan proses pemindahan. Perawat dengan hati-hati melepaskan satu per satu alat monitoring yang terpasang di tubuh Gavin."Tuan Gavin, kami akan memindahkan Tuan ke tempat tidur khusus untuk perpindahan ya," perawat utama menjelaskan sambil mengatur roda tempat tidur.Gavin meringis saat menggeser tubuhnya. Luka tembak di punggungnya masih menyisakan rasa sakit dan be

  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 180

    Joseph tersenyum dengan tenang menghadapi amukan Pak Sugeng. Pria berjas rapi itu tidak bergeming sedikitpun meskipun dihadapkan dengan amarah yang meledak-ledak."Saya tidak peduli siapa Anda," Joseph berkata dengan nada datar namun tegas. "Saya hanya menjalankan tugas untuk klien saya. Fakta tetap fakta, dan hukum tetap hukum."BRAK!Pak Sugeng mendorong meja dengan kasar hingga bergeser beberapa sentimeter. Wajahnya memerah padam, urat-urat di leher dan pelipisnya tampak menonjol karena marah.Namun Joseph tetap duduk dengan tenang, bahkan tidak berkedip sedikitpun. Ketenangan yang ditunjukkannya justru semakin membuat Pak Sugeng frustasi."SAYA AKAN MENCARI PENGACARA TERBAIK!" Pak Sugeng berteriak sambil menunjuk-nunjuk Joseph. "PENGACARA YANG BISA MENGALAHKAN ANDA!"Joseph mengangguk pelan sambil merapikan berkas-berkasnya. "Silakan saja, Pak. Saya ingin tahu apakah masih ada yang mau menjadi lawyer Anda setelah melihat bukti-bukti yang sudah ada.""SIALAN! BRENGSEK! ANDA—"Pak S

  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 179

    Evita terdiam sejenak, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Kemudian matanya mulai berkaca-kaca."BENARKAH?!" Evita berteriak senang. "GAVIN SUDAH SADAR?!"Bu Lina yang mendengar teriakan itu langsung ikut menangis bahagia. "Syukurlah! Syukurlah! Tuhan masih sayang sama kita!""Kita kesana sekarang!" Evita langsung berdiri dari kursinya. "Bu Lina, ayo kita ke rumah sakit!""Tunggu dulu, Bu. Dokter bilang jangan terlalu banyak pengunjung dulu. Biarkan Gavin istirahat sebentar. Besok pagi saja ya," Livia menjelaskan."Baiklah, sayang. Yang penting Gavin sudah pulih. Terima kasih sudah menelepon kami," Evita masih sesekali terisak bahagia.Setelah menutup telepon, Evita dan Bu Lina saling berpelukan sambil menangis haru."Syukurlah! Gavin selamat!" Bu Lina mengusap air matanya. "Keluarga kita lengkap lagi."©©©Kembali di ruang ICU, suasana sudah lebih tenang. Dokter dan perawat sudah keluar setelah memastikan kondisi Gavin benar-benar stabil. Kini hanya Livia dan Gavin b

  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 178

    Sudah seminggu berlalu sejak insiden penembakan. Di ruang ICU, suasana tampak lebih tenang. Mesin ventilator yang tadinya membantu pernapasan Gavin sudah dilepas tiga hari yang lalu.Livia duduk di kursi yang sama, di tempat yang sama, sejak seminggu terakhir. Pakaiannya sudah diganti berkali-kali, tapi ia tidak pernah meninggalkan Gavin."Halo, Suster ... Alaric sedang apa?" Livia menelepon suster Dessy. "Halo, Nyonya. Alaric baru saja selesai mandi dan menyusu. Berat badannya sudah naik 300 gram," terang Suster Dessy.Livia tersenyum. "Boleh saya video call?" "Tentu saja, Nyonya." Livia langsung mengubah panggilan telepon ke mode video. Ini sudah menjadi rutinitas harian Livia. Setiap pagi dan malam, ia selalu melakukan video call dengan Alaric. Dokter bilang meskipun Gavin koma, indra pendengarannya mungkin masih berfungsi.Video call tersambung. Di layar muncul wajah menggemaskan Alaric yang sedang dalam pelukan suster Dessy."Alaric sayang ... Mama disini," Livia tersenyum mel

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status