Share

Bab 3

Penulis: Merisa storia
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-18 13:45:59

Kembali ke hotel ....

Masih berdiri di ambang pintu, Livia menatap Gavin sejenak sebelum berbisik lirih, "Nama saya ... Aurora."

Sebelumnya, Madam Rose berpesan pada Livia kalau ia tidak boleh memberitahukan nama aslinya kepada pelanggan. Setiap wanita di dunia malam ini mempunyai nama khusus dari Madam Rose.

Livia pulang diantar oleh sopir pribadi Madam Rose. Di dalam mobil, ia hanya diam menatap kosong lampu kota yang berpendar sambil meneteskan air mata.

Begitu tiba, Livia membuka pintu rumah kontrakan kecilnya, Rita sudah menunggu di ruang tamu sempit dengan senyum tersungging di wajahnya. Livia masuk dengan langkah pelan, tubuhnya letih secara fisik dan mental.

"Kamu sudah melakukan hal yang benar," ujar Rita dengan nada lembut yang tidak biasa. "Jangan terlalu dipikirkan. Yang penting sekarang ayahmu bisa mendapat pengobatan yang layak."

Livia hanya mengangguk lemah, tak mampu berkata-kata. Ia langsung masuk ke kamarnya tanpa makan malam terlebih dahulu. Padahal, perutnya belum terisi apapun sejak siang tadi. Begitu kepalanya menyentuh bantal, air matanya mengalir deras. Isakan tertahan lolos dari bibirnya.

"Maafkan aku, Yah ...," bisiknya lirih sebelum jatuh tertidur karena kelelahan.

***

Mentari pagi menyusup melalui celah gorden kusam ketika Livia terbangun. Tubuhnya seolah remuk dan rasa perih masih terasa pada area intinya, tapi ia memaksakan diri bangkit. Ia harus segera ke rumah sakit untuk mengurus pembayaran operasi ayahnya.

Dengan langkah terseok, ia berjalan menuju kamar Rita untuk membicarakan rencana mereka. Namun, begitu membuka pintu kamar, Livia langsung membeku.

Kamar itu kosong. Benar-benar kosong.

Lemari pakaian yang biasanya penuh dengan baju-baju mahal Rita kini terbuka lebar tanpa isi. Meja rias yang biasanya dipenuhi kosmetik, kini bersih. Bahkan bingkai foto Sandra yang selalu tergantung di dinding pun raib.

Jantung Livia berdegup kencang. Dengan panik ia berlari ke kamar Sandra. Pemandangan yang sama menyambutnya, kamar yang kosong melompong.

"Tidak ... tidak mungkin ...." Livia menggeleng, mundur dengan tubuh gemetar.

Livia kembali masuk ke dalam kamarnya, meraih tas. Dengan tangan bergetar hebat, ia mengeluarkan ponselnya dan menghubungi nomor Madam Rose.

"Halo, Madam ...." suara Livia tercekat. "Saya Livia ... yang semalam ...."

"Ah, ya. Ada apa, Sayang?"

"Pembayarannya? Uang untuk operasi ayah saya ... seharusnya ditransfer kemana?"

Terdengar bunyi hembusan rokok sebelum Madam Rose menjawab, "Sudah ditransfer semua ke rekening yang diminta Rita tadi malam. Lima ratus juta rupiah, sesuai kesepakatan."

Tubuh Livia merosot ke lantai. "Ti-tidak ... Mama Rita sudah pergi ... dia mengosongkan kamarnya."

"Apa?!" Nada suara Madam Rose berubah terkejut. "Astaga, Sayang ... sepertinya kamu sudah ditipu."

Air mata Livia mengalir deras. Ponsel di tangannya terjatuh. Ia terisak keras, memeluk lututnya sendiri.

Bukan hanya kehormatannya yang telah hilang, tapi kini uang untuk operasi ayahnya pun raib dibawa kabur Rita dan Sandra. Entah kemana mereka menghilang dengan uang sebanyak itu.

Di tengah isak tangisnya, ponsel Livia bergetar. Nomor rumah sakit.

"Ha-halo ...." Livia menjawab dengan suara serak.

"Selamat pagi, dengan keluarga Pak Pedro? Kami ingin memberitahu bahwa kondisi pasien semakin memburuk. Operasi harus dilakukan hari ini juga."

Livia menatap kosong ke depan. Dunianya benar-benar hancur dalam semalam.

"Ba-baik, Sus. Saya akan segera ke rumah sakit."

Dengan tangan gemetar, Livia menyambar handuk dan masuk ke kamar mandi sempit di kontrakannya. Air dingin yang mengguyur tubuhnya tak mampu menghapus rasa kotor yang ia rasakan, tak juga mampu membasuh kehancuran hatinya. Isakan tertahan masih lolos dari bibirnya, sementara ia menggosok tubuhnya dengan kasar, seolah ingin menghapus jejak-jejak sentuhan Gavin semalam.

Berulang kali ia membasuh wajahnya, mencoba menghilangkan mata sembabnya. Ayahnya tidak boleh tahu apa yang telah ia lakukan. Tidak boleh tahu pengorbanannya yang sia-sia.

Livia berpakaian secepat yang ia bisa, kemeja putih kusut dan rok hitam yang sudah agak pudar menjadi pilihannya. Tangannya masih gemetaran saat mengancingkan bajunya, membuat proses sederhana itu terasa begitu sulit. Rambutnya yang masih basah, ia ikat asal-asalan.

"Bang!" Livia berteriak panik pada tukang ojek yang mangkal di ujung gang. "Ke Rumah Sakit Medika, ya! Cepat!"

Sepanjang perjalanan, Livia tak henti-hentinya berdoa. Air matanya mengalir tanpa suara, tersapu angin Jakarta yang panas. Beberapa kali ia hampir terjatuh saat ojek yang ditumpanginya menyalip kendaraan lain dengan nekat.

"Lebih cepat, Bang!" pintanya putus asa. "Ayah saya kritis!"

Begitu sampai di rumah sakit, Livia berlari sekuat tenaga menuju ruang ICU. Napasnya tersengal, kakinya gemetar, tapi ia tak peduli. Yang ada di pikirannya hanya kondisi ayahnya.

Di depan ruangan ICU, seorang perawat langsung menghampirinya. "Anda keluarga Pak Pedro?"

Livia mengangguk cepat. "Bagaimana kondisi ayah saya?"

"Kondisinya semakin kritis. Operasi harus dilakukan sekarang juga. Dokter sudah siap di ruang operasi. Anda sudah siapkan pembayarannya?"

Pertanyaan itu menghantam Livia bagai ribuan jarum. Kakinya lemas. "Sa-saya ... belum punya uangnya."

Perawat itu menghela napas. "Maaf, tapi tanpa pembayaran di muka, kami tidak bisa melakukan operasi. Ini prosedur rumah sakit."

"Tolong ...." Livia jatuh berlutut, air matanya mengalir deras. "Saya mohon ... selamatkan ayah saya dulu. Nanti pasti saya bayar ... saya janji."

"Maaf, Mbak. Tidak bisa." Perawat itu menggeleng tegas. "Silakan cari pinjaman dulu atau—"

"TIDAK!" Livia menjerit, membuat beberapa pengunjung rumah sakit menoleh. "Saya mohon ... dia satu-satunya yang saya punya. Tolong selamatkan dia!"

Perawat itu membantu Livia berdiri. "Maaf, Mbak. Ini sudah prosedur. Tanpa uang muka, operasi tidak bisa dilakukan."

Tepat saat itu, alat monitor di ruang ICU berbunyi nyaring. Para perawat bergegas masuk. Livia ikut menerobos, berlari ke sisi ranjang ayahnya.

"Ayah!" Livia menggenggam tangan Pedro yang dingin. "Ayah, bertahanlah ... Livia mohon."

Pedro membuka matanya yang sayu. Bibirnya yang pucat bergerak lemah. "Li ... via ...."

"Ayah ... maafkan Livia." Livia terisak. "Livia gagal ... Livia tidak bisa ...."

Pedro tersenyum lemah. Tangannya yang bergetar mengusap pipi Livia dengan lembut. "Jangan menangis ... Kamu ... sudah ... jadi anak ... yang ... baik ...."

"Tidak, Yah. Livia anak yang gagal. Livia tidak bisa menyelamatkan Ayah."

"Carilah Evita ...." Nafas Pedro semakin lemah. "Maaf ... Ayah ... harus ... pergi ...."

"TIDAK!" Livia menjerit histeris saat alat monitor menunjukkan garis lurus. "AYAH! BANGUN, YAH! JANGAN TINGGALKAN LIVIA!"

Para perawat berusaha melakukan resusitasi, tapi sia-sia. Pedro telah pergi dengan senyum damai di wajahnya. Meninggalkan Livia yang menangis histeris di sisi ranjangnya.

"AYAAAAH!" Jeritan pilu Livia memenuhi ruang ICU. Tubuhnya limbung, jatuh berlutut di lantai dingin rumah sakit. "Maafkan Livia ... maafkan Livia ...."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Maya Safitri
waaahhh..aku ..ga tega nerusin bacanya , apa Livia akan terus semenderita ini. π π
goodnovel comment avatar
Neng Heryani
ibu tiri lucnut
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 183

    Seminggu berlalu dengan cepat. Pagi itu, Gavin akhirnya diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Kondisinya sudah sangat membaik, meski bekas luka tembak di punggungnya masih menyisakan sedikit rasa sakit jika tersentuh."Akhirnya hari ini pulang juga ya, sayang," Livia berkata sambil melipat baju-baju Gavin."Ya! Aku sudah tidak sabar ingin pulang," Gavin duduk di tepi tempat tidur dengan wajah berseri-seri. "Pasti Alaric sudah gemuk sekarang."Elena yang ikut membantu kepulangan Gavin, berdiri sambil membawa tas besar. "Pak Gavin, barang-barang sudah saya kemas semua.""Terima kasih, Elena," Gavin tersenyum tulus.Dika, sudah siap dengan kursi roda. "Tuan, ayo kita siap berangkat.""Dika, saya masih bisa jalan," Gavin protes."Tuan, ini prosedur rumah sakit. Lagipula untuk berjaga-jaga saja," Dika menjelaskan sambil membantu Gavin naik kursi roda.Perjalanan menuju lobi rumah sakit terasa seperti perjalanan kebebasan. Dika mendorong kursi roda dengan hati-hati, matanya selalu waspada

  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 182

    Sandra duduk meringkuk di pojok kasur dengan tatapan kosong. Rambutnya yang dulu selalu rapi kini kusut tidak terurus. Pakaian yang sama sudah ia kenakan selama tiga hari berturut-turut."Sandra ... Sandra, sayang ...." Rita, duduk di tepi kasur sambil mengelus punggung putrinya dengan lembut. "Mama sudah bawakan bubur, ayo makan sedikit."Sandra tidak menjawab. Matanya menatap tembok kosong seolah-olah ada sesuatu yang menarik di sana."Sandra, dengar Mama ...," Rita mencoba lagi dengan sabar. "Kamu belum makan dari kemarin. Badan kamu akan sakit kalau begini terus."Tiba-tiba Sandra tertawa. Tawa yang aneh, tanpa alasan, membuat Rita bergidik ngeri."Hehe ... Bayiku pasti lapar juga ya, Ma," Sandra berkata sambil terus tertawa. "Dia pasti suka makan es krim strawberry. Besok Mama belikan ya ...."Rita merasakan dadanya sesak. Air mata mengalir di pipinya yang sudah keriput karena beban hidup dan kesedihan."Sandra ... Anakmu sudah ...," Rita tidak sanggup melanjutkan kalimatnya."Ba

  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 181

    "Ya. Tuan Gavin sudah tidak memerlukan bantuan ventilator, monitor jantung, dan alat-alat ICU lainnya. Di ruang VVIP, beliau akan lebih nyaman dan bisa menerima lebih banyak pengunjung."Seorang perawat senior yang ikut masuk menambahkan, "Kami akan segera menyiapkan ruang VVIP terbaik untuk Tuan Gavin. Proses pemindahan bisa dilakukan sore ini juga."Gavin tersenyum lega. "Akhirnya saya bisa keluar dari ruangan yang penuh bunyi 'bip-bip' ini."Dokter tertawa. "Memang suara monitor jantung agak mengganggu ya, Tuan. Tapi itu pertanda baik bahwa jantung Tuan berdetak normal terus."Dua jam kemudian, tim medis mulai mempersiapkan proses pemindahan. Perawat dengan hati-hati melepaskan satu per satu alat monitoring yang terpasang di tubuh Gavin."Tuan Gavin, kami akan memindahkan Tuan ke tempat tidur khusus untuk perpindahan ya," perawat utama menjelaskan sambil mengatur roda tempat tidur.Gavin meringis saat menggeser tubuhnya. Luka tembak di punggungnya masih menyisakan rasa sakit dan be

  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 180

    Joseph tersenyum dengan tenang menghadapi amukan Pak Sugeng. Pria berjas rapi itu tidak bergeming sedikitpun meskipun dihadapkan dengan amarah yang meledak-ledak."Saya tidak peduli siapa Anda," Joseph berkata dengan nada datar namun tegas. "Saya hanya menjalankan tugas untuk klien saya. Fakta tetap fakta, dan hukum tetap hukum."BRAK!Pak Sugeng mendorong meja dengan kasar hingga bergeser beberapa sentimeter. Wajahnya memerah padam, urat-urat di leher dan pelipisnya tampak menonjol karena marah.Namun Joseph tetap duduk dengan tenang, bahkan tidak berkedip sedikitpun. Ketenangan yang ditunjukkannya justru semakin membuat Pak Sugeng frustasi."SAYA AKAN MENCARI PENGACARA TERBAIK!" Pak Sugeng berteriak sambil menunjuk-nunjuk Joseph. "PENGACARA YANG BISA MENGALAHKAN ANDA!"Joseph mengangguk pelan sambil merapikan berkas-berkasnya. "Silakan saja, Pak. Saya ingin tahu apakah masih ada yang mau menjadi lawyer Anda setelah melihat bukti-bukti yang sudah ada.""SIALAN! BRENGSEK! ANDA—"Pak S

  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 179

    Evita terdiam sejenak, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Kemudian matanya mulai berkaca-kaca."BENARKAH?!" Evita berteriak senang. "GAVIN SUDAH SADAR?!"Bu Lina yang mendengar teriakan itu langsung ikut menangis bahagia. "Syukurlah! Syukurlah! Tuhan masih sayang sama kita!""Kita kesana sekarang!" Evita langsung berdiri dari kursinya. "Bu Lina, ayo kita ke rumah sakit!""Tunggu dulu, Bu. Dokter bilang jangan terlalu banyak pengunjung dulu. Biarkan Gavin istirahat sebentar. Besok pagi saja ya," Livia menjelaskan."Baiklah, sayang. Yang penting Gavin sudah pulih. Terima kasih sudah menelepon kami," Evita masih sesekali terisak bahagia.Setelah menutup telepon, Evita dan Bu Lina saling berpelukan sambil menangis haru."Syukurlah! Gavin selamat!" Bu Lina mengusap air matanya. "Keluarga kita lengkap lagi."©©©Kembali di ruang ICU, suasana sudah lebih tenang. Dokter dan perawat sudah keluar setelah memastikan kondisi Gavin benar-benar stabil. Kini hanya Livia dan Gavin b

  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 178

    Sudah seminggu berlalu sejak insiden penembakan. Di ruang ICU, suasana tampak lebih tenang. Mesin ventilator yang tadinya membantu pernapasan Gavin sudah dilepas tiga hari yang lalu.Livia duduk di kursi yang sama, di tempat yang sama, sejak seminggu terakhir. Pakaiannya sudah diganti berkali-kali, tapi ia tidak pernah meninggalkan Gavin."Halo, Suster ... Alaric sedang apa?" Livia menelepon suster Dessy. "Halo, Nyonya. Alaric baru saja selesai mandi dan menyusu. Berat badannya sudah naik 300 gram," terang Suster Dessy.Livia tersenyum. "Boleh saya video call?" "Tentu saja, Nyonya." Livia langsung mengubah panggilan telepon ke mode video. Ini sudah menjadi rutinitas harian Livia. Setiap pagi dan malam, ia selalu melakukan video call dengan Alaric. Dokter bilang meskipun Gavin koma, indra pendengarannya mungkin masih berfungsi.Video call tersambung. Di layar muncul wajah menggemaskan Alaric yang sedang dalam pelukan suster Dessy."Alaric sayang ... Mama disini," Livia tersenyum mel

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status