"Maafkan Livia ...."
Air matanya mengalir tak terkendali, ia kembali bangkit dan memeluk tubuh kaku ayahnya. Semua pengorbanannya menjadi sia-sia. Kehormatan yang ia jual, pada akhirnya tak mampu menyelamatkan satu-satunya orang yang benar-benar menyayanginya. Livia terus menangis, mengabaikan perawat yang mencoba menenangkannya. Dunianya telah benar-benar hancur. Ia kini sebatang kara, tanpa orangtua, tanpa tunangan, tanpa harga diri yang tersisa. *** Di bawah langit mendung, sekelompok kecil pelayat berkumpul mengelilingi sebuah makam baru. Livia berdiri terpaku, matanya kosong menatap nisan yang bertuliskan nama ayahnya. Air matanya sudah mengering, tapi hatinya masih terasa seperti tercabik-cabik. "Livia ...." Sebuah pelukan hangat membungkus tubuh mungilnya dari samping. Elena, sahabatnya sejak SMA yang sudah satu Minggu ditugaskan di Surabaya, langsung terbang ke Jakarta begitu mendengar kabar duka ini. "El ...," Suara Livia pecah. Air mata yang ia kira sudah habis kembali mengalir deras. "Aku di sini ...," Elena mengeratkan pelukannya. "Maaf, aku baru bisa datang." Satu persatu pelayat mulai meninggalkan area pemakaman. Hujan rintik mulai turun, seolah langit pun ikut berduka. Elena membuka payung, melindungi mereka berdua. "Ayo, pulang," bisik Elena lembut. "Kamu butuh istirahat." Livia menggeleng lemah. "Aku tidak mau meninggalkan Ayah sendirian." "Liv ...." Elena mengusap air mata di pipi sahabatnya. "Ayahmu sudah tenang di sana. Dia tidak akan senang melihatmu seperti ini." Dengan lembut, Elena menuntun Livia meninggalkan area pemakaman. Sepanjang perjalanan pulang, Livia hanya diam, tatapannya kosong ke depan. Di kontrakan Livia yang sempit, Elena membuatkan teh hangat untuk sahabatnya itu. Livia duduk meringkuk di sudut tempat tidur, masih mengenakan gaun hitam berkabungnya. "Minum dulu," Elena menyodorkan cangkir teh. "Kamu belum makan sejak tadi pagi, kan?" Livia menerima cangkir itu dengan tangan gemetar. "El ... aku ... aku sudah melakukan hal yang sangat buruk." Elena duduk di sebelah Livia, menggenggam tangannya dengan erat. "Ceritakan padaku." Air mata Livia kembali menetes. "Aku ... aku menjual diriku untuk mendapatkan uang operasi Ayah." Elena terkesiap, tapi ia tetap menggenggam tangan Livia. "Liv ...?" "Saat itu, aku tidak punya pilihan lain," Livia terisak. "Mama Rita bilang, hanya itu satu-satunya cara. Tapi dia menipuku. Dia membawa kabur uangnya bersama Sandra." "Sandra? Anak Mama Rita?" Livia mengangguk lemah. "Dia ... dia juga yang merebut Evan dariku, dan sekarang ... mereka kabur dengan membawa uang itu." Elena memeluk Livia erat. "Ya Tuhan, Liv ... tega sekali mereka. Kenapa kamu tidak menghubungiku?" "Aku malu." Livia membenamkan wajahnya di bahu Elena. "Aku kotor ... aku hina ...." "Sshhh ...." Elena mengusap punggung Livia yang bergetar. "Kamu tidak kotor. Kamu hanya anak yang berusaha menyelamatkan nyawa ayahnya." "Tapi aku gagal," Livia terisak semakin keras. "Ayah tetap pergi, dan pengorbananku sia-sia." "Dengar," Elena menatap mata Livia yang sembab. "Kamu korban di sini. Rita dan Sandra yang harus bertanggung jawab. Mereka harus dilaporkan ke polisi." Livia menggeleng lemah. "Percuma. Mereka sudah menghilang. Aku bahkan tidak tahu mereka pergi kemana." Elena menghela napas panjang. "Kalau begitu, mulai sekarang kamu tinggal denganku saja. Aku tidak akan membiarkanmu sendiri." "Tapi pekerjaanmu di Surabaya ...?" "Tugasku di Surabaya sudah selesai, dan mulai besok kembali ke kantor cabang Jakarta." Elena tersenyum lembut. "Kita cari apartemen yang lebih besar. Kamu tidak perlu tinggal di tempat yang penuh kenangan buruk ini." Air mata Livia kembali menetes, kali ini karena terharu. "El ... aku tidak pantas mendapatkan kebaikanmu." "Hei," Elena menghapus air mata di pipi Livia. "Kita sahabat, ingat? Dalam susah maupun senang. Aku tidak akan meninggalkanmu." **** Sementara itu, di kamar hotel .... Gavin terbangun dengan kepala berdenyut. Efek alkohol semalam masih terasa. Ia mengerjapkan mata, membiasakan diri dengan cahaya matahari yang menembus tirai. Matanya tertumbuk pada noda merah di sprei putih. Bukti keperawanan yang ia renggut semalam. Mendadak, bayangan wajah cantik yang basah air mata itu memenuhi benaknya. "Siapa Nama wanita itu?" Gavin berusaha mengingatnya. Namun, efek alkohol membuatnya lupa. Gavin bangkit dan berjalan ke jendela. Jakarta tampak sibuk di bawah sana. Ia merogoh saku jasnya yang tersampir di sofa lalu mengeluarkan ponsel. [Sayang ... pulanglah, aku mohon.] Pria yang hanya mengenakan celana hitam panjangnya itu kemudian melempar ponsel ke atas tempat tidur setelah membaca pesan dari Bella. "Istri sialan!" Gavin keluar dari kamar, menatap pantulan dirinya di cermin lift hotel. Rambutnya berantakan, kemeja kusut dengan dasi yang tergantung asal. Mata merahnya memperlihatkan efek alkohol dan kurang tidur. Ia mengusap wajahnya kasar, mencoba mengumpulkan kesadaran sebelum melangkah ke lobi. Petugas resepsionis meliriknya dengan tatapan penuh selidik saat check out, tapi Gavin tak peduli. Pikirannya campur aduk antara amarah pada Bella, rasa bersalah pada dirinya sendiri, dan bayangan wajah sendu gadis semalam yang tidur dengannya. Mobilnya melaju pelan di jalanan Jakarta yang mulai padat. Sesekali ia memijat pelipisnya yang berdenyut. Ponselnya terus bergetar, dipenuhi oleh pesan dan panggilan dari Bella yang ia abaikan. Saat mobilnya memasuki halaman rumah, Gavin melihat Bella sudah menunggunya di teras. Wanita itu mengenakan dress biru muda di atas lutut dengan riasan make up flawless. "Sayang ...." Bella bergegas menghampiri. "Kamu kemana saja? Aku khawatir." "Khawatir?" Gavin tertawa getir. "Sayang, dengarkan aku ...." Bella mencoba meraih tangan Gavin, tapi pria itu langsung menepisnya. "Jangan sentuh aku. Aku tidak sudi disentuh oleh tangan kotor." "Sayang ... aku menyesal. Aku janji tidak akan mengulanginya lagi. Kita bisa mulai dari awal." "Mulai dari awal?" Gavin menghentikan langkah dan menatapnya tajam. "Setelah kau tidur dengan sopir kita? Di ranjang kita?" "Itu kesalahan! Aku frustasi karena program hamil kita tidak berhasil-berhasil." Air mata buaya Bella mengalir. "Aku juga kesepian. Kamu selalu sibuk." "Dan kau pikir aku tidak frustasi?" Suara Gavin meninggi. "Aku sibuk bekerja keras agar bisa memenuhi semua keinginanmu!" "Aku tahu ... maafkan aku, Sayang" Bella terisak. "Tapi kumohon jangan cerai. Mama dan Papa akan kecewa." "Kau hanya memikirkan orang tua kita? Bagaimana dengan kepercayaanku yang sudah kau hancurkan?" Perdebatan mereka terhenti oleh suara mobil yang memasuki halaman. Mercy hitam mengkilap berhenti di depan teras. Pak Hendro dan Bu Lina, orangtua Gavin, keluar dengan anggun. "Mama! Papa!" Bella langsung menghapus air matanya, berlari memeluk mertuanya dengan senyum cerah yang kontras dengan suasana tegang sebelumnya. "Bella sayang." Bu Lina mengelus rambut menantunya dengan sayang. "Bagaimana program kehamilanmu? Mama baru dapat info dokter spesialis bagus di Singapura." "Iya, Ma, minggu depan kami ada jadwal konsultasi lagi." Bella melirik Gavin yang masih berdiri kaku. "Gavin, kenapa penampilanmu berantakan begini?" Pak Hendro mengerutkan kening. "Dan kenapa matamu merah?" "Maaf, Pa, saya kurang tidur dan kurang sehat." Gavin mencoba tersenyum. "Saya permisi ganti baju dulu." "Ayo masuk, Ma, Pa." Bella menggandeng kedua mertuanya. "Saya sudah siapkan teh melati kesukaan Mama." Di ruang keluarga, Bella duduk mengobrol akrab dengan mertuanya. Ia memang pandai mengambil hati pasangan Hendro dan Lina sejak sebelum pernikahan. "Gavin terlalu sibuk dengan perusahaan." Bu Lina menghela nafas. "Mama khawatir ini mempengaruhi program kehamilan kalian." "Iya, Ma. Tapi saya mengerti, kok." Bella tersenyum manis. "Gavin bekerja keras untuk aku." Gavin yang baru saja turun setelah mandi, mendengar percakapan itu dari tangga. Dadanya sesak menahan amarah melihat kemunafikan Bella. Semalam, wanita itu menghina dan mengkhianatinya, sekarang berpura-pura menjadi istri pengertian di depan orangtuanya. "Duduklah, Gavin." Pak Hendro menepuk sofa di sebelahnya. "Luangkan sedikit saja waktumu untuk fokus pada program kehamilan. Sebelum Papa mati, Papa ingin menimang cucu." Belum sempat Gavin menjawab, telepon rumah berbunyi nyaring. Seorang pelayan menjawab panggilan. "Halo ... Dengan kediaman Tuan Gavin, ada yang bisa dibantu?" "Saya Dokter Douglas. Apakah Tuan Gavin ada di rumah?" Pelayan yang bernama Nita itu menoleh. "Maaf, Tuan Gavin. Dari Dokter Douglas." Gavin meraih gagang telepon. "Ya, Dok." "Maaf, Tuan Gavin. Saya ingin memberitahukan bahwa hasil tes kesuburan Anda tertukar. Bisa segera datang?" "Maksud Anda?!" Gavin tersentak.Di dalam mobil, suasana menjadi canggung antara Elena dan Dika. Dika sesekali melirik Elena saat menoleh ke kaca spion kiri, sementara Elena sibuk memandang pemandangan di luar jendela."Ehm ... cuacanya bagus hari ini, ya," Dika mencoba memecah keheningan."Iya, tadi siang tidak terlalu panas, sekarang juga tidak hujan dan ada bintang." Elena menjawab sambil melihat ke atas melalui kaca jendela."Nona Elena ... boleh aku tanya sesuatu?"Elena menoleh. "Iya, apa?""Apakah ... Nona Elena ... sudah punya pacar?"Elena tersentak. "Eh? Kenapa tanya begitu?""Tidak, hanya penasaran saja. Nona kan cantik, pasti banyak yang naksir."Elena tertawa kecil. "Tidak ada yang naksir kok. Aku kan cuma pekerja biasa.""Jangan bilang begitu. Nona baik hati dan cantik. Pasti banyak pria yang suka sama Nona.""Beneran, tidak ada. Oh, ya, jangan panggil Nona, panggil Elena saja."Dika mengangguk. Tangannya masih mencengkram setir."Kamu juga belum punya pacar kan, Dika?""Belum. Pekerjaan bodyguard seper
Pagi hari yang cerah menyinari kota ketika Dika sudah bersiap di depan kediaman Evita. Mobil hitam mengkilap terparkir rapi, menunggu sang majikan muda."Gavin, aku ingin mengunjungi rumah sebentar," Livia berkata sambil menggendong Alaric. "Aku ingin mengambil buku pemeriksaan Alaric yang tertinggal."Gavin mengangguk sambil mengecup kening Livia. "Baiklah, tapi jangan lama-lama. Dika akan mengantarmu.""Terima kasih, sayang."©©©Mobil melaju melewati jalanan yang sudah tidak asing bagi Livia. Ketika tiba di rumah pemberian Gavin itu, Livia merasakan perasaan campur aduk. Rumah yang dulunya hangat kini terasa asing.Livia langsung menuju kamar Elena. Suster Dessy mengikutinya dari belakang. Pintu kamar terbuka dan Elena sedang merapikan pakaian."Elena!" Livia memanggil dengan riang.Elena menoleh dan wajahnya langsung cerah. "Livia! Kamu datang!"Mereka berpelukan erat. Livia duduk di tepi tempat tidur Elena. Melihat keakraban dua sahabat, Suster Dessy tidak ikut masuk ke kamar, ia
"Baiklah, Pak. Kami ambil," Rita akhirnya berkata. "Tapi kami bayar minggu depan boleh?""Boleh, Bu. Tapi saya perlu uang muka dulu setengahnya."Sandra mengeluarkan dompetnya dan memberikan uang 400 ribu. "Ini, Pak."Pak Joko mengangguk. "Baiklah. Kalian bisa masuk sekarang."©©©Malam telah tiba ketika Sandra dan Rita akhirnya duduk di kamar kontrakan baru mereka. Rita meletakkan cucunya di atas kasur tipis yang berbau apek.Bayi Sandra menangis karena kepanasan. Udara di kamar yang sempit itu terasa pengap dan panas."Aduh, panasnya," Sandra menggerutu sambil mengipas-ngipas bayinya dengan tangan. "Kamarnya tidak ada AC.""Kita harus bersabar, Sandra," Rita berkata sambil duduk di ujung kasur. "Uang kita tidak banyak dan kita harus memikirkan bagaimana caranya hidup lebih baik dari ini.""Ini semua gara-gara Evan yang tidak bertanggung jawab!" Sandra memukul kasur dengan frustasi. "Kalau dia tidak meninggalkan aku, kita tidak akan berakhir seperti ini!"Rita menatap putrinya dengan
Senja mulai turun ketika Sandra dan Rita menyeret koper-koper mereka di trotoar yang ramai. Langkah mereka tertatih-tatih, beban koper yang berat membuat mereka harus berhenti sejenak untuk mengatur napas."Kita harus mencari kontrakan yang murah saja," Rita berkata sambil menggendong cucunya yang mulai rewel. "Uang kita tidak banyak."Sandra menggerutu sambil menarik kopernya yang roda-rodanya sudah aus. "Ini semua gara-gara si brengsek Elena. Evan juga! Dia pergi begitu saja meninggalkan aku tanpa rasa tanggung jawab sedikitpun!"Rita menatap putrinya dengan pandangan jengkel. "Sudah dari awal aku bilang! Kamu sudah tahu Evan itu pria brengsek yang mengkhianati Livia, kamu malah mau menikah dengannya!""Mama pikir aku tidak tahu?" Sandra membalik badan menghadap ibunya. "Tapi aku sudah terlanjur hamil! Aku butuh dia untuk bertanggung jawab!""Bertanggung jawab?" Rita tertawa sinis. "Laki-laki seperti dia tidak akan pernah bertanggung jawab! Kamu harusnya sadar dari awal!"Sandra men
Terdengar suara Livia yang terdiam di seberang sana. Setelah beberapa detik, Livia menjawab dengan suara yang bergetar. "Bagaimana kamu bisa tahu?""Aku kesal padamu, Livia. Mengapa kamu tidak memberitahukan perbuatan mereka selama ini? Mengapa kamu diam saja?""Aku sudah memaafkannya, Gavin," Livia menjawab dengan nada yang lemah. "Mereka sudah minta maaf.""Memaafkan?" Gavin meninggi suaranya. "Mereka tetap jahat dan hanya memanfaatkan kebaikanmu! Mereka tidak pantas mendapat maaf!""Gavin, aku akan ke sana sekarang untuk menjelaskan semuanya.""Tidak!" Gavin langsung melarang dengan tegas. "Kamu tidak perlu ke sini. Ini sudah menjadi keputusanku dan tidak ada yang bisa merubahnya. Aku sudah mengusir mereka dari rumah. Ini demi kebaikan kita semua."Livia terdiam lagi di seberang sana. "Baiklah, kalau itu maumu.""Terima kasih sudah mengerti, Livia. Aku akan segera ke sana."Setelah menutup telepon, Elena menatap Gavin dengan penuh rasa terima kasih. "Terima kasih, Pak Gavin. Bapak
Suasana kamar mendadak menjadi mencekam. Gavin melangkah masuk dengan wajah yang semakin gelap, matanya menatap Elena dengan pandangan yang menuntut penjelasan lebih lanjut."Aku tanya sekali lagi, Elena," suara Gavin terdengar dingin dan menuntut. "Apa maksudmu dengan 'uang itu'? Jelaskan dengan jelas!"Elena merasakan dadanya berdebar kencang. Ia tahu bahwa kata-kata yang baru saja keluar dari mulutnya telah membuka kotak pandora yang seharusnya tetap tertutup. Namun, melihat sikap Sandra dan Rita yang sudah terlalu keterlaluan, Elena merasa sudah saatnya kebenaran terungkap."Pak Gavin," Elena menarik napas dalam-dalam. "Maaf, tapi saya merasa Bapak harus tahu kebenaran ini. Bu Rita dan Sandra pernah memaksa Livia untuk ... untuk bekerja di tempat hiburan malam demi mendapatkan uang untuk biaya pengobatan ayahnya."Gavin terdiam sejenak, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Matanya beralih menatap Rita dan Sandra yang berdiri dengan wajah pucat."Apa ini bena