"Ada apa, Gavin?" Pak Hendro menatap putranya dengan seksama.
"Tidak apa-apa, Pa. Dokter Douglas mengatakan ingin bertemu." Gavin memaksakan senyum. "Semoga kabar baik mengenai program kehamilan kalian, ya." Sudah satu tahun lebih Pak Hendro menderita penyakit jantung. Ia sangat berharap di sisa hidupnya yang mungkin tidak akan lama lagi, dapat bermain dengan cucu kesayangannya. "Ayo, makan!" Di ruang makan, Bella sudah menata hidangan bersama Bu Lina. Aroma sup asparagus, menu favorit mertuanya, menguar menggoda. Gavin duduk dengan enggan di sebelah Bella yang tersenyum manis. "Ini sup spesial buatan Bella, lho, Vin," Bu Lina mengedipkan mata. "Kata Mama, makanan bergizi bagus untuk program kehamilanmu." Bella tersipu, sementara Gavin hanya menatap kosong ke mangkuk supnya. "Ngomong-ngomong soal program kehamilan," Bu Lina menyesap tehnya, "Mama dapat rekomendasi klinik fertilitas bagus di Singapura. Dokter Chang sangat berpengalaman dalam program bayi tabung." "Iya, Ma, kebetulan minggu depan ada pembukaan proyek baru di Singapura," Bella melirik suaminya penuh harap. "Kita bisa sekalian konsultasi, kan, Sayang?" "Saya masih banyak urusan di Jakarta, Ma," Gavin menjawab datar. "Meeting dengan investor untuk persiapan tender." "Masa tidak bisa luangkan waktu sehari saja?" Bu Lina mengerutkan kening. "Ini demi cucu Mama, lho." "Maaf Ma, jadwal saya benar-benar padat." "Tidak apa-apa, Ma." Bella menggenggam tangan mertuanya, tersenyum pengertian. "Kita bisa atur jadwal lain." Gavin mendorong mangkuknya yang masih penuh. "Saya permisi dulu, Pa, Ma. Mau menemui Dokter Douglas." "Loh, harus sekarang?" Bu Lina menatap bingung. "Tapi kamu belum makan, Sayang ...." Bella mencoba menahan. "Saya tidak lapar." Gavin bangkit, mengabaikan tatapan kecewa ibunya. Di mobil, Gavin memukul setir dengan frustasi. Ia merasa sangat kesal dan hampir tidak bisa menyembunyikan rasa bencinya. Bella begitu lihai memainkan perannya sebagai menantu idaman. Gavin mengusap wajahnya kasar. Mungkin ia harus bicara empat mata dengan Pak Hendro sebelum mengajukan gugatan cerai. Tapi bagaimana cara ia menjelaskan bahwa menantu kesayangannya telah berselingkuh dengan sopir? Mobil Gavin melaju tak beraturan di jalanan Jakarta. Pikirannya bercampur aduk. Beberapa kali ia nyaris menabrak mobil di depannya karena tidak fokus. Klakson-klakson marah yang ditujukan padanya hanya terdengar samar di telinganya. "Sial ... sial ...," gumamnya berulang kali, memukul setir dengan frustasi. Sesampainya di parkiran rumah sakit, Gavin duduk diam beberapa saat di dalam mobil. Matanya terpejam, mencoba menenangkan diri. Namun, bayangan wajah Bella yang tersenyum manis pada orangtuanya membuat darahnya kembali mendidih. Gavin turun dari mobil, merapikan jasnya yang sebenarnya sudah rapi, berjalan cepat menyusuri koridor rumah sakit. Beberapa perawat yang mengenalinya sebagai pasien rutin menyapa ramah, tapi ia hanya mengangguk singkat. Langkahnya terhenti di depan pintu dengan papan nama "Dr. Douglas SpOG". "Masuk," terdengar suara dari dalam setelah Gavin mengetuk pintu. Dr. Douglas, pria berkacamata itu langsung berdiri menyambut kedatangan Gavin. "Silakan duduk, Tuan Gavin. Maaf sudah membuat Anda datang mendadak." "Langsung saja, Dok. Apa maksudnya hasil tes saya tertukar?" Dokter Douglas membuka map di mejanya dengan hati-hati. "Begini ... ada kesalahan administrasi di lab. Hasil tes kesuburan Anda tertukar dengan pasien lain." Gavin mencondongkan tubuhnya ke depan, jantungnya berdebar kencang. "Setelah dicek ulang ...." Dokter Douglas mengeluarkan selembar kertas, "kondisi sperma Anda normal. Anda sangat fertile dan tidak ada masalah untuk memiliki keturunan. Justru, Nyonya Bella-lah yang bermasalah." Gavin terhenyak di kursinya. Selama ini ia mengira dirinyalah penyebab mereka belum memiliki anak. Bella bahkan sering menyindirnya dengan halus tentang hal ini. Mendadak wajah sendu Livia melintas di benaknya. Mereka berhubungan tanpa pengaman semalam. Jika benar ia fertile ...? "Ya Tuhan ...." Gavin memijat pelipisnya yang berdenyut. "Tuan Gavin? Anda baik-baik saja?" Dokter Douglas menatapnya khawatir. "Saya ... saya harus pergi, Dok." Gavin bangkit dengan tergesa. "Terima kasih informasinya." Di lorong rumah sakit, langkah Gavin goyah. Ia bersandar ke dinding, mencoba mengendalikan napasnya yang memburu. Pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan. Bagaimana jika wanita itu hamil? Ia bahkan tidak ingat nama gadis itu. Gavin melangkah ke area parkir, menghempaskan tubuhnya ke kursi kemudi, kepalanya bersandar lemas di setir. Tangannya yang gemetar merogoh saku, mengeluarkan sebungkus rokok. Asap mengepul memenuhi mobil, tapi ia tak peduli. Pikirannya hanya dipenuhi bayangan wajah sendu Livia dan kemungkinan terburuk yang bisa terjadi. "Brengsek!" umpatnya sambil membuang puntung rokok ke luar jendela. Pria tampan itu kemudian melajukan mobil hitamnya membelah jalanan Jakarta yang padat. Matahari sudah condong ke barat ketika ia sampai di kawasan Senopati. Bar tempat ia mabuk semalam masih tutup. Tentu saja, ini masih sore. Gavin memarkir mobilnya di seberang jalan, menunggu dengan gelisah. Dua jam berlalu lambat. Gavin menghabiskan hampir sebungkus rokok, matanya tak lepas dari pintu bar yang masih tertutup rapat. Tepat pukul tujuh malam, lampu-lampu mulai menyala. Seorang pria berseragam security membuka gembok pintu utama. Gavin turun dari mobil, merapikan jasnya yang kusut. Kakinya melangkah mantap memasuki bar yang masih sepi. "Maaf, kami baru buka, Tuan," sapa bartender yang sedang mengelap gelas. "Saya mencari Madam Rose." "Oh, tunggu sebentar." Tak lama kemudian, seorang wanita paruh baya dengan dandanan mencolok muncul dari balik tirai beludru merah. Gaun merah marunnya menyapu lantai saat ia berjalan anggun menghampiri Gavin. "Ah, Tuan yang semalam," Madame Rose tersenyum genit. "Ada yang bisa saya bantu?" "Saya perlu informasi tentang wanita yang semalam." Madame Rose mengambil tempat di sofa, mempersilakan Gavin duduk di hadapannya. "Maaf, Tuan. Kami tidak memberikan informasi pribadi tentang para gadis." "Ini penting," Gavin mengeluarkan dompetnya. "Saya akan bayar berapapun." "Tuan," Madame Rose tersenyum dingin. "Di sini kami menjual jasa, bukan informasi pribadi. Jika Tuan ingin bertemu lagi dengannya, Tuan bisa memesannya seperti biasa." "Saya harus bicara dengannya," Gavin menekan setiap kata. "Ini menyangkut hal serius." "Saya mengerti." Madame Rose mengetuk-ngetuk meja dengan jari berkuku panjangnya. "Tapi ini adalah prosedur kami. Kerahasiaan adalah prioritas utama." Gavin mengusap wajahnya kasar. "Kalau begitu, saya pesan dia untuk malam ini." "Sayangnya dia sedang tidak available." Madame Rose bangkit dari sofa. "Mungkin Tuan bisa mencoba gadis lain? Amanda sangat cantik, atau Julie yang-" "Saya hanya perlu dia!" Suara Gavin meninggi, membuat beberapa pelayan menoleh. Madame Rose menatapnya tajam. "Tuan, jika Anda tidak bisa mengendalikan diri, saya terpaksa meminta Anda meninggalkan tempat ini." Gavin mengepalkan tangannya, mencoba meredam amarah. "Kapan ... kapan dia akan available?" "Saya tidak bisa memastikan." Madame Rose tersenyum tipis. "Mungkin Tuan bisa mencoba datang lagi minggu depan?" Gavin bangkit dengan gusar. Ia tahu bahwa wanita licik ini tidak akan memberinya informasi apapun. Langkahnya berat meninggalkan bar, diiringi tatapan penuh selidik Madame Rose. Di dalam mobil, Gavin memukul setir berkali-kali hingga tangannya memerah. Bagaimana mungkin ia bisa menemukan Livia? Ia bahkan tidak tahu nama lengkapnya, atau dimana gadis itu tinggal. Yang ia ingat hanya wajah sendu dan mata yang berkaca-kaca itu. "Maafkan aku ...," bisiknya parau, entah pada siapa. Mungkin pada Livia, mungkin juga pada dirinya sendiri yang telah berbuat fatal dalam kondisi mabuk. Mobil hitam itu melaju pelan meninggalkan kawasan Senopati. Gavin tidak tahu harus mencari kemana lagi. Satu-satunya petunjuk tentang Livia ada di bar itu, tapi Madame Rose jelas tidak akan membantunya."Mobil saya sengaja ditabrak mobil lain beberapa kali hingga terguling," kata Gavin dengan nada rendah, matanya menatap kosong ke taman. "Saya masih ingat jelas, mobil itu menabrak dari samping dua kali, kemudian dari belakang dengan kecepatan tinggi sampai mobil kami terbalik."Daniel menarik napas dalam-dalam, wajahnya mengeras. "Saya sangat yakin kalau itu orang suruhan keluarga Bella," desisnya dengan rahang mengeras."Kemungkinan besar," angguk Gavin. "Timing-nya terlalu pas. Tepat setelah Bella dipenjara, tiba-tiba saya mengalami 'kecelakaan' seperti itu.""Mereka sudah kelewat batas! Untung saja Anda dan Livia selamat, kalau sampai ... Saya tidak akan pernah memaafkan mereka.""Maka dari itu saya sudah minta pengacara untuk menindaklanjuti ini," kata Gavin sambil mengepalkan tangannya. "Tidak boleh ada yang lolos. Livia dan Alaric harus aman."©©©Tidak lama kemudian, suara klakson mobil berbunyi. Sekuriti membukakan pintu gerbang untuk seorang pria yang berada di dalam mobil
Tiga hari berlalu dengan cepat. Pagi itu, sinar matahari menyusup masuk melalui jendela kamar rawat VVIP, menerangi wajah damai Livia yang tengah menyusui Alaric. Suasana hangat itu terpancar dari kedekatan ibu dan anak yang baru saja bersatu kembali."Sudah siap pulang, sayang?" tanya Gavin sambil mengelus rambut Livia dengan lembut.Livia mengangguk sambil tersenyum, meski masih terlihat sedikit lelah. "Sudah tidak sabar ingin membawa Alaric ke rumah."Evita yang duduk di kursi samping tempat tidur langsung berdiri dengan antusias. "Ayo, biar Mama yang gendong Alaric," katanya sambil mengulurkan tangan, matanya berbinar-binar menatap cucunya.Dengan hati-hati, Livia menyerahkan Alaric ke pelukan Evita. Wajah Evita langsung berseri-seri, seolah semua kepedihan bertahun-tahun hilang seketika saat memeluk cucu pertamanya."Lihat betapa tampannya cucu Mama," gumam Evita sambil mencium pipi mungil Alaric. "Mirip sekali dengan Gavin, tapi matanya persis seperti kamu waktu kecil."Gavin te
Evita menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian untuk membuka luka lama yang sudah bertahun-tahun ia pendam."Malam itu," mulai Evita sambil terisak, "aku dan seorang pria memutuskan untuk kawin lari. Aku sangat mencintai dia, walaupun ibuku menentang keras karena dia hanyalah seorang sopir. Ibuku ingin aku menikah dengan pria yang sederajat, dari keluarga kaya, tapi rasa cintaku sangat besar padanya. Aku tidak peduli dengan status sosial."Livia mendengarkan dengan seksama, tangannya mencengkeram lengan kursi dengan erat."Kami pergi ke sebuah perkampungan terpencil dan menikah secara sederhana. Tak lama kemudian aku hamil, dan melahirkan seorang putri yang sangat cantik." Evita menatap Livia dengan mata berkaca-kaca. "Walaupun hidup kami pas-pasan dan aku harus beradaptasi dengan kehidupan yang berubah 180 derajat—dari mewah menjadi sederhana—tapi itu bukanlah menjadi penghalang. Secara batin aku sangat bahagia memiliki pria itu dan bayi kecilku."Suara Evita semakin be
Evita menoleh, wajahnya pucat pasi mendapati Livia yang sudah berdiri di ambang pintu bersama Gavin. Matanya membulat kaget, dan untuk sesaat ia kehilangan kata-kata. Tangannya yang dipenuhi gelang dan jam tangan mahal sedikit bergetar."Sa-saya ingin menjengukmu, tapi mereka menahan saya," kata Evita dengan suara tergagap, berusaha menenangkan diri sambil melirik nervous ke arah petugas keamanan.Salah satu petugas keamanan langsung membungkuk pada Gavin. "Maaf, Tuan, saya sudah berusaha mencegah nyonya ini untuk masuk tetapi beliau memaksa. Beliau terus berteriak ingin bertemu dengan Tuan dan Nyonya."Gavin mengangguk dengan tenang. "Tidak apa-apa, terima kasih sudah menjaga dengan baik."Kemudian Gavin beralih pada Evita. "Silakan masuk, Bu Evita."Evita masuk dengan langkah perlahan. Begitu memasuki ruangan, ia langsung mendekati Livia dan tanpa ragu-ragu mengelus rambut panjang Livia dengan penuh kasih sayang. Sentuhan tangannya begitu lembut, seolah takut Livia akan menghilang.
Livia menghela napas panjang. "Masih diselidiki oleh polisi. Gavin curiga ada yang sengaja menabrak kami, tapi kita belum punya bukti."Elena mengerutkan dahi, kekhawatiran tergambar jelas di wajahnya. "Ini pasti ada hubungannya dengan drama kemarin, bukan?"Tidak lama kemudian, pintu kembali terbuka. Daniel dan Aruna masuk dengan wajah cemas namun lega melihat kondisi Livia dan Gavin."Syukurlah kalian selamat," kata Aruna sambil menghampiri Livia dan memeluknya."Kami sangat khawatir," tambah Daniel, matanya berkaca-kaca. "Dika menelepon dengan nada panik, kami pikir terjadi sesuatu yang buruk.""Justru ada keajaiban," kata Livia sambil menunjuk ke arah Gavin yang menggendong Alaric. "Bayi kami lahir dalam perjalanan ke rumah sakit."Aruna terkesiap, tangannya menutup mulut karena terkejut sekaligus terharu. "Ya Tuhan! Jadi dia lahir di ambulans?""Ya, dengan bantuan paramedis yang luar biasa," jawab Gavin.Aruna menghampiri Gavin, menatap bayi dalam gendongannya dengan mata berkaca
Dalam hitungan jam, pemberitaan tentang kecelakaan yang menimpa mobil mewah Gavin telah menyebar bagai api dalam sekam. Video amatir yang direkam oleh pengendara lain memperlihatkan mobil Mercedes hitam yang ringsek parah di tengah jalan tol, dengan ambulans yang datang untuk mengevakuasi korban. Media sosial dipenuhi spekulasi dan komentar, sementara stasiun televisi berlomba-lomba menyiarkan berita terbaru tentang kecelakaan yang melibatkan pengusaha muda yang baru-baru ini viral karena konflik dengan keluarga mantan istrinya.Tim forensik polisi bekerja dengan cermat di lokasi kecelakaan, mengumpulkan setiap jejak yang tersisa. Serpihan kaca, bekas rem di aspal, dan reruntuhan logam difoto dari berbagai sudut. Seorang investigator senior mengerutkan dahi saat memeriksa pola kerusakan pada mobil Gavin."Ini bukan kecelakaan biasa," gumamnya pada rekan kerjanya. "Lihat sudut benturannya—ini seperti sengaja ditabrak."©©©Di kantornya, Elena sedang fokus menyelesaikan pekerjaannya ket