Share

Bab 5

Penulis: Merisa storia
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-18 13:47:14

"Ada apa, Gavin?" Pak Hendro menatap putranya dengan seksama.

"Tidak apa-apa, Pa. Dokter Douglas mengatakan ingin bertemu." Gavin memaksakan senyum.

"Semoga kabar baik mengenai program kehamilan kalian, ya."

Sudah satu tahun lebih Pak Hendro menderita penyakit jantung. Ia sangat berharap di sisa hidupnya yang mungkin tidak akan lama lagi, dapat bermain dengan cucu kesayangannya.

"Ayo, makan!" Di ruang makan, Bella sudah menata hidangan bersama Bu Lina. Aroma sup asparagus, menu favorit mertuanya, menguar menggoda. Gavin duduk dengan enggan di sebelah Bella yang tersenyum manis.

"Ini sup spesial buatan Bella, lho, Vin," Bu Lina mengedipkan mata. "Kata Mama, makanan bergizi bagus untuk program kehamilanmu."

Bella tersipu, sementara Gavin hanya menatap kosong ke mangkuk supnya.

"Ngomong-ngomong soal program kehamilan," Bu Lina menyesap tehnya, "Mama dapat rekomendasi klinik fertilitas bagus di Singapura. Dokter Chang sangat berpengalaman dalam program bayi tabung."

"Iya, Ma, kebetulan minggu depan ada pembukaan proyek baru di Singapura," Bella melirik suaminya penuh harap. "Kita bisa sekalian konsultasi, kan, Sayang?"

"Saya masih banyak urusan di Jakarta, Ma," Gavin menjawab datar. "Meeting dengan investor untuk persiapan tender."

"Masa tidak bisa luangkan waktu sehari saja?" Bu Lina mengerutkan kening. "Ini demi cucu Mama, lho."

"Maaf Ma, jadwal saya benar-benar padat."

"Tidak apa-apa, Ma." Bella menggenggam tangan mertuanya, tersenyum pengertian. "Kita bisa atur jadwal lain."

Gavin mendorong mangkuknya yang masih penuh. "Saya permisi dulu, Pa, Ma. Mau menemui Dokter Douglas."

"Loh, harus sekarang?" Bu Lina menatap bingung.

"Tapi kamu belum makan, Sayang ...." Bella mencoba menahan.

"Saya tidak lapar." Gavin bangkit, mengabaikan tatapan kecewa ibunya.

Di mobil, Gavin memukul setir dengan frustasi. Ia merasa sangat kesal dan hampir tidak bisa menyembunyikan rasa bencinya. Bella begitu lihai memainkan perannya sebagai menantu idaman.

Gavin mengusap wajahnya kasar. Mungkin ia harus bicara empat mata dengan Pak Hendro sebelum mengajukan gugatan cerai. Tapi bagaimana cara ia menjelaskan bahwa menantu kesayangannya telah berselingkuh dengan sopir?

Mobil Gavin melaju tak beraturan di jalanan Jakarta. Pikirannya bercampur aduk. Beberapa kali ia nyaris menabrak mobil di depannya karena tidak fokus. Klakson-klakson marah yang ditujukan padanya hanya terdengar samar di telinganya.

"Sial ... sial ...," gumamnya berulang kali, memukul setir dengan frustasi.

Sesampainya di parkiran rumah sakit, Gavin duduk diam beberapa saat di dalam mobil. Matanya terpejam, mencoba menenangkan diri. Namun, bayangan wajah Bella yang tersenyum manis pada orangtuanya membuat darahnya kembali mendidih.

Gavin turun dari mobil, merapikan jasnya yang sebenarnya sudah rapi, berjalan cepat menyusuri koridor rumah sakit. Beberapa perawat yang mengenalinya sebagai pasien rutin menyapa ramah, tapi ia hanya mengangguk singkat. Langkahnya terhenti di depan pintu dengan papan nama "Dr. Douglas SpOG".

"Masuk," terdengar suara dari dalam setelah Gavin mengetuk pintu.

Dr. Douglas, pria berkacamata itu langsung berdiri menyambut kedatangan Gavin. "Silakan duduk, Tuan Gavin. Maaf sudah membuat Anda datang mendadak."

"Langsung saja, Dok. Apa maksudnya hasil tes saya tertukar?"

Dokter Douglas membuka map di mejanya dengan hati-hati. "Begini ... ada kesalahan administrasi di lab. Hasil tes kesuburan Anda tertukar dengan pasien lain."

Gavin mencondongkan tubuhnya ke depan, jantungnya berdebar kencang.

"Setelah dicek ulang ...." Dokter Douglas mengeluarkan selembar kertas, "kondisi sperma Anda normal. Anda sangat fertile dan tidak ada masalah untuk memiliki keturunan. Justru, Nyonya Bella-lah yang bermasalah."

Gavin terhenyak di kursinya. Selama ini ia mengira dirinyalah penyebab mereka belum memiliki anak. Bella bahkan sering menyindirnya dengan halus tentang hal ini.

Mendadak wajah sendu Livia melintas di benaknya. Mereka berhubungan tanpa pengaman semalam. Jika benar ia fertile ...?

"Ya Tuhan ...." Gavin memijat pelipisnya yang berdenyut.

"Tuan Gavin? Anda baik-baik saja?" Dokter Douglas menatapnya khawatir.

"Saya ... saya harus pergi, Dok." Gavin bangkit dengan tergesa. "Terima kasih informasinya."

Di lorong rumah sakit, langkah Gavin goyah. Ia bersandar ke dinding, mencoba mengendalikan napasnya yang memburu. Pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan. Bagaimana jika wanita itu hamil? Ia bahkan tidak ingat nama gadis itu.

Gavin melangkah ke area parkir, menghempaskan tubuhnya ke kursi kemudi, kepalanya bersandar lemas di setir. Tangannya yang gemetar merogoh saku, mengeluarkan sebungkus rokok. Asap mengepul memenuhi mobil, tapi ia tak peduli. Pikirannya hanya dipenuhi bayangan wajah sendu Livia dan kemungkinan terburuk yang bisa terjadi.

"Brengsek!" umpatnya sambil membuang puntung rokok ke luar jendela.

Pria tampan itu kemudian melajukan mobil hitamnya membelah jalanan Jakarta yang padat. Matahari sudah condong ke barat ketika ia sampai di kawasan Senopati. Bar tempat ia mabuk semalam masih tutup. Tentu saja, ini masih sore. Gavin memarkir mobilnya di seberang jalan, menunggu dengan gelisah.

Dua jam berlalu lambat. Gavin menghabiskan hampir sebungkus rokok, matanya tak lepas dari pintu bar yang masih tertutup rapat. Tepat pukul tujuh malam, lampu-lampu mulai menyala. Seorang pria berseragam security membuka gembok pintu utama.

Gavin turun dari mobil, merapikan jasnya yang kusut. Kakinya melangkah mantap memasuki bar yang masih sepi.

"Maaf, kami baru buka, Tuan," sapa bartender yang sedang mengelap gelas.

"Saya mencari Madam Rose."

"Oh, tunggu sebentar."

Tak lama kemudian, seorang wanita paruh baya dengan dandanan mencolok muncul dari balik tirai beludru merah. Gaun merah marunnya menyapu lantai saat ia berjalan anggun menghampiri Gavin.

"Ah, Tuan yang semalam," Madame Rose tersenyum genit. "Ada yang bisa saya bantu?"

"Saya perlu informasi tentang wanita yang semalam."

Madame Rose mengambil tempat di sofa, mempersilakan Gavin duduk di hadapannya. "Maaf, Tuan. Kami tidak memberikan informasi pribadi tentang para gadis."

"Ini penting," Gavin mengeluarkan dompetnya. "Saya akan bayar berapapun."

"Tuan," Madame Rose tersenyum dingin. "Di sini kami menjual jasa, bukan informasi pribadi. Jika Tuan ingin bertemu lagi dengannya, Tuan bisa memesannya seperti biasa."

"Saya harus bicara dengannya," Gavin menekan setiap kata. "Ini menyangkut hal serius."

"Saya mengerti." Madame Rose mengetuk-ngetuk meja dengan jari berkuku panjangnya. "Tapi ini adalah prosedur kami. Kerahasiaan adalah prioritas utama."

Gavin mengusap wajahnya kasar. "Kalau begitu, saya pesan dia untuk malam ini."

"Sayangnya dia sedang tidak available." Madame Rose bangkit dari sofa. "Mungkin Tuan bisa mencoba gadis lain? Amanda sangat cantik, atau Julie yang-"

"Saya hanya perlu dia!" Suara Gavin meninggi, membuat beberapa pelayan menoleh.

Madame Rose menatapnya tajam. "Tuan, jika Anda tidak bisa mengendalikan diri, saya terpaksa meminta Anda meninggalkan tempat ini."

Gavin mengepalkan tangannya, mencoba meredam amarah. "Kapan ... kapan dia akan available?"

"Saya tidak bisa memastikan." Madame Rose tersenyum tipis. "Mungkin Tuan bisa mencoba datang lagi minggu depan?"

Gavin bangkit dengan gusar. Ia tahu bahwa wanita licik ini tidak akan memberinya informasi apapun. Langkahnya berat meninggalkan bar, diiringi tatapan penuh selidik Madame Rose.

Di dalam mobil, Gavin memukul setir berkali-kali hingga tangannya memerah. Bagaimana mungkin ia bisa menemukan Livia? Ia bahkan tidak tahu nama lengkapnya, atau dimana gadis itu tinggal. Yang ia ingat hanya wajah sendu dan mata yang berkaca-kaca itu.

"Maafkan aku ...," bisiknya parau, entah pada siapa. Mungkin pada Livia, mungkin juga pada dirinya sendiri yang telah berbuat fatal dalam kondisi mabuk.

Mobil hitam itu melaju pelan meninggalkan kawasan Senopati. Gavin tidak tahu harus mencari kemana lagi. Satu-satunya petunjuk tentang Livia ada di bar itu, tapi Madame Rose jelas tidak akan membantunya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
skatepunk
hamil abis di entod semalem
goodnovel comment avatar
Neng Heryani
Livia hamil
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 183

    Seminggu berlalu dengan cepat. Pagi itu, Gavin akhirnya diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Kondisinya sudah sangat membaik, meski bekas luka tembak di punggungnya masih menyisakan sedikit rasa sakit jika tersentuh."Akhirnya hari ini pulang juga ya, sayang," Livia berkata sambil melipat baju-baju Gavin."Ya! Aku sudah tidak sabar ingin pulang," Gavin duduk di tepi tempat tidur dengan wajah berseri-seri. "Pasti Alaric sudah gemuk sekarang."Elena yang ikut membantu kepulangan Gavin, berdiri sambil membawa tas besar. "Pak Gavin, barang-barang sudah saya kemas semua.""Terima kasih, Elena," Gavin tersenyum tulus.Dika, sudah siap dengan kursi roda. "Tuan, ayo kita siap berangkat.""Dika, saya masih bisa jalan," Gavin protes."Tuan, ini prosedur rumah sakit. Lagipula untuk berjaga-jaga saja," Dika menjelaskan sambil membantu Gavin naik kursi roda.Perjalanan menuju lobi rumah sakit terasa seperti perjalanan kebebasan. Dika mendorong kursi roda dengan hati-hati, matanya selalu waspada

  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 182

    Sandra duduk meringkuk di pojok kasur dengan tatapan kosong. Rambutnya yang dulu selalu rapi kini kusut tidak terurus. Pakaian yang sama sudah ia kenakan selama tiga hari berturut-turut."Sandra ... Sandra, sayang ...." Rita, duduk di tepi kasur sambil mengelus punggung putrinya dengan lembut. "Mama sudah bawakan bubur, ayo makan sedikit."Sandra tidak menjawab. Matanya menatap tembok kosong seolah-olah ada sesuatu yang menarik di sana."Sandra, dengar Mama ...," Rita mencoba lagi dengan sabar. "Kamu belum makan dari kemarin. Badan kamu akan sakit kalau begini terus."Tiba-tiba Sandra tertawa. Tawa yang aneh, tanpa alasan, membuat Rita bergidik ngeri."Hehe ... Bayiku pasti lapar juga ya, Ma," Sandra berkata sambil terus tertawa. "Dia pasti suka makan es krim strawberry. Besok Mama belikan ya ...."Rita merasakan dadanya sesak. Air mata mengalir di pipinya yang sudah keriput karena beban hidup dan kesedihan."Sandra ... Anakmu sudah ...," Rita tidak sanggup melanjutkan kalimatnya."Ba

  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 181

    "Ya. Tuan Gavin sudah tidak memerlukan bantuan ventilator, monitor jantung, dan alat-alat ICU lainnya. Di ruang VVIP, beliau akan lebih nyaman dan bisa menerima lebih banyak pengunjung."Seorang perawat senior yang ikut masuk menambahkan, "Kami akan segera menyiapkan ruang VVIP terbaik untuk Tuan Gavin. Proses pemindahan bisa dilakukan sore ini juga."Gavin tersenyum lega. "Akhirnya saya bisa keluar dari ruangan yang penuh bunyi 'bip-bip' ini."Dokter tertawa. "Memang suara monitor jantung agak mengganggu ya, Tuan. Tapi itu pertanda baik bahwa jantung Tuan berdetak normal terus."Dua jam kemudian, tim medis mulai mempersiapkan proses pemindahan. Perawat dengan hati-hati melepaskan satu per satu alat monitoring yang terpasang di tubuh Gavin."Tuan Gavin, kami akan memindahkan Tuan ke tempat tidur khusus untuk perpindahan ya," perawat utama menjelaskan sambil mengatur roda tempat tidur.Gavin meringis saat menggeser tubuhnya. Luka tembak di punggungnya masih menyisakan rasa sakit dan be

  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 180

    Joseph tersenyum dengan tenang menghadapi amukan Pak Sugeng. Pria berjas rapi itu tidak bergeming sedikitpun meskipun dihadapkan dengan amarah yang meledak-ledak."Saya tidak peduli siapa Anda," Joseph berkata dengan nada datar namun tegas. "Saya hanya menjalankan tugas untuk klien saya. Fakta tetap fakta, dan hukum tetap hukum."BRAK!Pak Sugeng mendorong meja dengan kasar hingga bergeser beberapa sentimeter. Wajahnya memerah padam, urat-urat di leher dan pelipisnya tampak menonjol karena marah.Namun Joseph tetap duduk dengan tenang, bahkan tidak berkedip sedikitpun. Ketenangan yang ditunjukkannya justru semakin membuat Pak Sugeng frustasi."SAYA AKAN MENCARI PENGACARA TERBAIK!" Pak Sugeng berteriak sambil menunjuk-nunjuk Joseph. "PENGACARA YANG BISA MENGALAHKAN ANDA!"Joseph mengangguk pelan sambil merapikan berkas-berkasnya. "Silakan saja, Pak. Saya ingin tahu apakah masih ada yang mau menjadi lawyer Anda setelah melihat bukti-bukti yang sudah ada.""SIALAN! BRENGSEK! ANDA—"Pak S

  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 179

    Evita terdiam sejenak, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Kemudian matanya mulai berkaca-kaca."BENARKAH?!" Evita berteriak senang. "GAVIN SUDAH SADAR?!"Bu Lina yang mendengar teriakan itu langsung ikut menangis bahagia. "Syukurlah! Syukurlah! Tuhan masih sayang sama kita!""Kita kesana sekarang!" Evita langsung berdiri dari kursinya. "Bu Lina, ayo kita ke rumah sakit!""Tunggu dulu, Bu. Dokter bilang jangan terlalu banyak pengunjung dulu. Biarkan Gavin istirahat sebentar. Besok pagi saja ya," Livia menjelaskan."Baiklah, sayang. Yang penting Gavin sudah pulih. Terima kasih sudah menelepon kami," Evita masih sesekali terisak bahagia.Setelah menutup telepon, Evita dan Bu Lina saling berpelukan sambil menangis haru."Syukurlah! Gavin selamat!" Bu Lina mengusap air matanya. "Keluarga kita lengkap lagi."©©©Kembali di ruang ICU, suasana sudah lebih tenang. Dokter dan perawat sudah keluar setelah memastikan kondisi Gavin benar-benar stabil. Kini hanya Livia dan Gavin b

  • Dicampakkan Calon Suami, Dikejar Tuan Kaya Raya   Bab 178

    Sudah seminggu berlalu sejak insiden penembakan. Di ruang ICU, suasana tampak lebih tenang. Mesin ventilator yang tadinya membantu pernapasan Gavin sudah dilepas tiga hari yang lalu.Livia duduk di kursi yang sama, di tempat yang sama, sejak seminggu terakhir. Pakaiannya sudah diganti berkali-kali, tapi ia tidak pernah meninggalkan Gavin."Halo, Suster ... Alaric sedang apa?" Livia menelepon suster Dessy. "Halo, Nyonya. Alaric baru saja selesai mandi dan menyusu. Berat badannya sudah naik 300 gram," terang Suster Dessy.Livia tersenyum. "Boleh saya video call?" "Tentu saja, Nyonya." Livia langsung mengubah panggilan telepon ke mode video. Ini sudah menjadi rutinitas harian Livia. Setiap pagi dan malam, ia selalu melakukan video call dengan Alaric. Dokter bilang meskipun Gavin koma, indra pendengarannya mungkin masih berfungsi.Video call tersambung. Di layar muncul wajah menggemaskan Alaric yang sedang dalam pelukan suster Dessy."Alaric sayang ... Mama disini," Livia tersenyum mel

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status