Jam 11 malam, di kamar gelap yang hanya ada sedikit cahaya dari lampu luar, Danisha menggigil di pojok ruangan dengan lebam dan panas di sekujur tubuhnya. Kepalanya terasa sakit, luka di keningnya pun infeksi karena terlalu lama dibiarkan, dan jari di tangan kirinya sudah bengkak karena tadi diinjak oleh Bian. Bahkan sekarang cincin pernikahannya pun tidak bisa dilepas karena jarinya ikut membesar.
"Ah! Bagaimana ini? Sakit sekali!" Danisha sudah tidak tahan lagi. Kalau terus berada di sana, bisa-bisa dirinya mati konyol. "Aku harus keluar!" ucap Danisha sambil menatap seisi kamar yang nampak gelap. Dari jendela minimalis berukuran lebar 60x150 cm, terlihat ada cahaya dari lampu luar di balik tirai yang tertutup. Sekuat tenaga Danisha bangkit berdiri, menghampiri jendela itu dengan harapan dirinya bisa memanfaatkan itu untuk kabur. "Aishhh!" Danisha mendesis sambil menahan lututnya yang tidak bertenaga saat berdiri. Gaun pengantinnya yang panjang lumayan berat, Danisha semakin kesulitan untuk berjalan. "Aku harus mencari gunting dulu!" Danisha berencana memotong pendek gaunnya agar dirinya bisa lebih leluasa bergerak. Untungnya, kamar gelap itu merupakan ruangan bekas kamar pembantu yang sudah tidak dipakai. Selain ada lemari yang sudah usang, juga ada laci yang terdapat beberapa barang di dalamnya. Entah barang apa saja itu, Danisha tidak bisa melihatnya dengan jelas. "Aku harus cepat!" ucapnya sambil menarik laci, lalu membawanya ke lantai. Dengan tangannya yang bengkak dan rasa sakit yang luar biasa, Danisha menumpahkan isi laci itu ke lantai, lalu mencari sesuatu yang bisa dipakai untuk memotong gaunnya. Setelah ditumpahkan ke lantai, ada satu gunting kecil yang terbuat dari bahan stainless steel kualitas bagus. Walau sudah lama tidak dipakai pun gunting itu masih tajam dan bisa dipakai untuk memotong kain. Setelah selesai memotong pendek gaunnya dengan penuh perjuangan dan rasa sakit yang luar biasa, akhirnya tubuhnya terasa ringan. Dirinya lebih leluasa untuk bergerak. Tanpa membuang waktunya lagi, Danisha membuka jendela itu, lalu naik dan manjat ke jendela. Ia loncat ke luar dengan penuh waspada, menatap kiri dan kanan, lalu berjalan membungkuk agar tidak dilihat orang. Di taman belakang yang sepi, Danisha berjalan mengendap-endap sambil memeluk kain putih bekas gaunnya. Ia tidak berani kabur lewat depan, karena di depan selalu ada petugas keamanan yang berjaga 24 jam. Mentok di halaman belakang, Danisha terdiam sambil melihat tembok kokoh dengan tinggi tiga meter dan pagar besi runcing di atasnya. Tidak ada cara lain untuk keluar dari rumah itu, Danisha harus manjat dan melewati pagar tersebut. "Kalau tidak mati karena menahan sakit, mungkin aku akan mati karena tertusuk besi itu," gumamnya sambil melihat besi runcing di atas tembok. Tapi, daripada pasrah menunggu kematiannya di dalam rumah, lebih baik Danisha berikhtiar keluar dari kematian dengan cara memanjat tembok. "Tidak apa-apa, Danish! Kau pasti bisa!" Ia menyemangati dirinya sendiri. Padahal tubuhnya sudah sangat sakit, tidak ada semangat untuk memanjat atau melakukan hal lain. Walau berat, ia tetap harus mencoba. Biar nanti setelah keluar dari rumah besar itu, ia bisa meminta tolong di jalan. Dengan rasa sakit di dalam hati dan wajahnya yang bengkak karena tamparan, juga kening yang terluka, Danisa melempar kain di tangannya ke atas, lalu tersangkut ke pagar runcing yang ada di atasnya. Ia pun mulai menarik kain tiga lapis itu, lalu memanjat dengan kekuatan terakhirnya. Bruk! "Ah!" Baru saja sampai di puncak dan melewati besi itu, tiba-tiba Danisha terjatuh ke bawah dan langsung mendarat di tanah. Untung saja, jatuhnya keluar dari batas rumah Bian, itu artinya Danisha berhasil keluar dari rumah setan tersebut. "Sedikit lagi! Sedikit lagi Danish! Kau hanya perlu berjalan sedikit ke jalan, lalu mencari pertolongan!" lirihnya dengan air mata dan darah yang bercampur di wajah cantiknya. Ia berbaring di tanah sambil menatap langit yang gelap. Akhirnya Danisha bangkit berdiri. Ia terhuyung, berjalan menuju jalan utama dengan harapan ada seseorang yang akan menolongnya. Danisha menangis sepanjang jalan.Ia berharap akan ada satu atau dua kendaraan yang lewat, lalu seseorang menolongnya. Tapi ini, dirinya sudah lama berjalan, dan sudah lebih dari lima kendaraan yang lewat, tapi tidak ada satu orang pun yang mau menolongnya. Mungkin mereka mengira bahwa Danisha merupakan korban tabrak lagi. Jadi mereka tidak ada yang berani memberinya tumpangan. Semakin lama, tubuh Danisha semakin lemah. Mau dipaksakan sekeras apapun, tubuh dan kakinya tidak mampu lagi untuk berjalan. Akhirnya Danisha memutuskan untuk berhenti sejenak. Ia duduk dan bersandar di pohon yang besar di pinggir jalan, lalu istirahat sambil memejamkan mata. Jam 1 malam, hujan mulai turun. Danisha pun sudah tertidur di bawah pohon dengan tubuh lebam dan tangannya yang bengkak. Rasa basah dan dingin pun sudah tidak bisa dia rasakan lagi. Ingatannya menghilang seperti tidak terjadi apa-apa. "Nona! Bangun, Nona! Apa Anda baik-baik saja?" tanya seorang pria di depannya. Orang itu begitu wangi, berjongkok sambil memegang payung hitam dan melindungi tubuhnya dari air hujan. Dia memperhatikan tubuh Danisha dari atas hingga ke bawah. Lalu menyentuh luka di kening Danisha sambil mengerutkan kening. "Nona! Bangunlah!" ucapnya lagi sambil menyentuh pipinya yang merah dan bengkak. "Ah .... Si-siapa kau?" Antara hidup dan mati, Danisha bertanya pada orang yang ada di depannya. Ia membuka matanya sedikit, namun tiga detik kemudian kesadarannya menghilang."Kenapa neraka?" tanya Jane sambil tersenyum, seolah dirinya tidak setuju dengan apa yang dikatakan oleh Wihaldy. "Kalau kita menikah, bukankah itu akan menjadi surga dunia yang sangat indah?" ucap Jane sambil bangkit berdiri. Dia berjalan menghampiri Wihaldy sambil menatapnya dengan tajam. "Haha!" Namun, tiba-tiba Jane tertawa. "Aku jadi ingat, pacarmu yang cupu itu tadi keluar dari kantornya dengan kasihan." "Ckckck, suruh siapa dia bersaing denganku? Dia akan kalah dalam segala hal," cibirnya lagi sambil tersenyum membayangkan kemenangannya akan sesuatu hal. Mendengar hal itu, Wihaldy mengerutkan kening. Ia membuyarkan lipatan kakinya, lalu meminta Jane untuk menjelaskan apa yang dia katakan tentang pacarnya. "Apa yang kau lakukan di tempat kerja Danish?" "Kenapa? Apa kau begitu peduli pada pacarmu? Haha!" Jane tertawa lagi. Dia duduk di samping Wihaldy, lalu mencondongkan tubuhnya pada pria itu dengan gerakan yang sangat menggoda. "Kalau kubilang, aku baru s
Di dalam ruangan yang luas dan bersih, juga dekorasi yang sangat mewah dan modern, Danisha duduk di sofa kulit sambil menatap kagum pada semua yang ada di depannya. Di sana ada meja kerja yang terbuat dari marmer berwarna abu, yang biasa digunakan saat Wihaldy bekerja. "Nona! Anda bisa menunggu Tuan di sini. Sebentar lagi Tuan kembali!" ucap Fay sesuai dengan apa yang dikatakan oleh sekretaris bosnya tadi di telepon. Mendengar hal itu, Danisha pun mengerti. Ia mengangguk, duduk dengan tenang di sofa sambil menatap kiri dan kanan dan memperhatikan sekelilingnya. "Baiklah! Kalau ada apa-apa, Anda bisa menghubungi saya!" ucap Fay lagi. Setelah itu, Fay keluar dari ruangan itu. Ditinggal sendirian di ruangan mewah itu, Danisha merasa gugup. Ini pertama kalinya ia masuk dan bahkan duduk di ruang kerja Wihaldy setelah mereka bersama. Ia pun menatap sekeliling, memperhatikan setiap sudut ruangan itu, khawatir ada kamera tersembunyi yang sedang memperhatikan dirinya. Ketik
Di luar gedung perusahaan, Danisha berjalan perlahan sambil melamun. Saat ini, dirinya tidak tahu harus pergi ke mana dan harus bagaimana? Pemecatannya yang tiba-tiba ini membuatnya syok dan juga tidak percaya. Tid! Dari belakangnya, sebuah mobil keluar dari kawasan itu lalu membunyikan klakson saat akan melewati Danisha. Tanpa rasa curiga, Danisha segera menyingkir ke samping. Ia melihat seseorang yang ada di dalam mobil menurunkan kaca mobilnya, lalu menatap Danisha dengan penuh keangkuhan. Setelah berpapasan, kacanya kembali diturunkan, dan mobil itu melaju pergi. "Eh ... itu?" Danisha terdiam sejenak. Ia ingat dengan wajah itu. Wanita yang baru saja lewat di depannya memakai make up tebal, juga kacamata dan topi berjaring hitam yang menutupi mata dan sebagian dari wajahnya. Tapi walaupun begitu Danisha bisa dengan mudah mengenalinya. "Jane! Apa dia dari kantorku?" gumam Danisha sambil terus menatap mobil yang mulai menghilang di balik jalanan yang lumayan padat itu. "
Di jam 7 pagi, Danisha keluar dari tempat tinggalnya dengan pakaian rapi yang lengkap dengan tas dan sepatu. Ia turun ke bawah, lalu masuk ke dalam mobil yang sudah terparkir di depan gedung apartemen. Bruk! Danisha menutup pintu mobilnya. Ia duduk di depan, samping Stefia yang akan mengemudi. "Ayo!" ajak Danisha sambil memakai sabuk pengaman. Setelah itu mereka pergi dari sana dan berjalan menuju kantor tempatnya bekerja. Pagi ini, Danisha sudah menelepon Wihaldy di kamarnya, meminta ijin pada pria itu untuk pergi ke kantor bersama Stefia. Jadi, sopir pribadinya tidak perlu mengantarnya pergi ke kantor. Di perjalanan, Stefia penasaran apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa teman baiknya itu ingin pergi ke kantor bersama, sedangkan Stefia baru saja punya kendaraan roda empat hasil kreditnya kemarin. Danisha sendiri pun ada mobil dan sopir pribadi yang akan mengantarnya ke manapun dia pergi. "Ada apa, Sha? Apa kalian bertengkar lagi?" "Kalau tidak, kau tidak
Malam ini, Danisha nampak murung selama perjalanan menuju tempat tinggalnya. Ia terdiam, tidak mempedulikan apapun selama berada di dalam mobil. Karena merasa tidak nyaman dengan situasi itu, akhirnya Wihaldy bertanya, "Ada apa?" "Apa kau tidak suka kuajak makan bersama Jane?" tanyanya lagi karena wanita di sampingnya tidak menjawab. Danisha masih terdiam sambil memalingkan muka ke samping, melihat pemandangan yang ada di luar, tidak melihat Wihaldy yang sedang menyetir. "Ya, maaf kalau kau tidak suka! Lain kali, aku akan memberitahumu lebih awal. Tidak akan melakukan apapun tanpa persetujuanmu! Sekarang, maafkan aku, ya!" bujuk Wihaldy sambil memegang tangan Danisha dengan satu tangan. Dan, satu tangannya lagi memegang roda kemudian sambil sesekali menatap ke depan, melihat jalanan yang mulai macet. Sebenarnya Danisha ingin marah, pipinya masih sakit karena ditampar oleh Jane. Tapi, melihat ketulusan dan kebaikan Wihaldy, Danisha menjadi tidak tega. Akhirnya ia menatap Wih
Suasana di ruangan itu terasa hening dan sepi. Semua orang terdiam beberapa detik, lalu saling tatap, setelah itu Wihaldy berdiri, mempersilahkan Jane untuk duduk. "Hemmm!" Jane mengiyakan ucapan Wihaldy dengan enggan. Dia pun langsung duduk di kursi depan Danisha. "Sayang! Perkenalkan, ini Jane, mantan tunanganku! Eh, ya! Waktu itu kalian sudah pernah bertemu di rumahku," ucap Wihaldy tanpa ragu sedikitpun. Danisha tergagap sejenak. Namun kemudian ia membungkukkan badan dan menyapa. Di depannya Jane menatap Danisha dengan sinis. Ia ingin berkata kasar, namun diurungkan karena Wihaldy ada di depannya. Tadi siang Wihaldy sudah berbicara serius dengan Jane. Ia pun sudah menjelaskan alasan dirinya tidak bisa kembali pada wanita itu. Awalnya Jane tidak setuju. Ia tetap ingin mempertahankan pernikahan itu dan ingin Wihaldy menikah dengannya sesuai dengan apa yang telah dibicarakan oleh kedua keluarga. Namun Jane pun tersadar, keputusan Wihaldy sudah bulat, ia menyetujui keput