Michael memelototkan kedua mata dan menatap sengit pada Sandrina. Setelah membaca surat itu, seketika dadanya berdebar kencang dan terasa sesak. Michael tidak menyangka jika Sandrina membawa surat pernyataan bahwa dia yang mengalami kemandulan. Kenyataan ini sungguh membuat Michael merasa terpukul dan tidak percaya. Baru saja dia melepaskan berliannya yaitu Sandrina, tapi kenyataan pahit yang lain kini datang padanya.
"Ini pasti bohong!" tampik Michael mencoba mencari kebenaran.
"Ini benar, Michael," balas Sandrina.
Lorenza yang penasaran, langsung menyambar surat itu. Seperti yang Michael rasakan, dia juga sangat kaget dan syok. "Apa-apaan ini? Michael, ini tidak benar, 'kan?"
Michael menggeleng tegang dan mulai panik. Ada rasa tidak terima dalam dadanya. Namun, beberapa waktu lalu dia dan Sandrina memang telah melakukan pemeriksaan kesehatan sistem reproduksi mereka. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Baru saja dia kehilangan sosok istri yang sangat dia cinta demi Clara yang konon sedang mengandung anaknya.
"Clara, Michael mandul. Jadi, kamu hamil anak siapa?" tanya Sandrina yang berhasil membuat Clara terperanjat kaget.
Clara melebarkan kedua matanya dan dia benar-benar terkejut. Rahangnya kini jatuh, tatapannya panik dan tubuhnya mulai gemetar. Sementara itu, Michael bertambah pusing. Kenyataan pahit tentang kemandulannya benar-benar membuat dia terpukul. Ditambah lagi sekarang dia telah kehilangan Sandrina. Emosinya kian bertambah. Kecerobohan yang dia lakukan telah membuat hancur rumah tangganya dengan Sandrina.
"Clara, jawab!" bentak Michael yang sudah tidak bisa mengontrol emosinya. Dia juga mulai curiga pada Clara.
Clara menelan salivanya dengan kasar. "Ini anak kamu, Michael. Aku tidak berbohong." Ia bicara sedikit gugup tapi berusaha untuk tenang.
Michael mengusap wajahnya kasar. Tatapannya kini tertuju pada Clara. Rahangnya mengeras dan napas naik turun tidak beraturan.
"Aku mandul, mana mungkin bisa punya anak. Katakan yang sebenarnya! Apa yang sedang kamu rencanakan? Dia bukan anakku!" Suara bariton itu menggema di dalam kamar. Kegaduhan mulai terjadi di sana.
Lorenza yang benar-benar syok, kini terduduk lemas di sofa. Apa yang menimpa putranya, sungguh membuat dia terpukul dan merasa sedih. Selain itu, Lorenza juga merasa tertipu oleh Clara yang mengaku hamil anak putranya.
"Dia berbohong! Itu pasti surat palsu!" tuding Clara sembari menatap sengit pada Sandrina.
Sandrina tersenyum miring. Meski tudingan itu membuatnya kesal, tapi dia tetap santai karena kini sudah nampak sifat asli si wanita ular itu. Sudah ketahuan, Clara masih saja berbohong dan justru kini menuding Sandrina yang bukan-bukan.
"Aku atau kamu yang berbohong?" tantang Sandrina sembari melempar sepatu pada perut rata Clara.
Sontak Clara tersentak kaget. Dia benar-benar marah pada tindakan Sandrina. "Jangan mencoba melawanku, perempuan mandul. Aku bisa masukan kamu ke penjara jika berani—" Belum sempat dia menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba Michael menyelanya.
"Diaaaaam!" Bentakan nyaring membuat Clara terperanjat kaget dan kini nyalinya menciut. Melihat tatapan tajam berkilat api kemarahan dari mata Michael, Clara sangat ketakutan.
Eleanor Rose Pratama, adik Michael tiba-tiba masuk ke kamar itu dengan ekspresi kaget dan heran. Dia mendengar keributan yang terjadi di sana. Sementara itu, Lorenza kini bangkit dari duduknya lalu menatap tajam pada Clara.
"Begini saja, ayo kita pergi ke dokter kandungan untuk memeriksa perutmu itu," ucap Lorenza dengan sangat dingin.
Sontak saja Clara menggeleng cepat dan ekspresi wajahnya benar-benar tegang. "Tidak! Aku tidak mau."
"Kenapa? Kamu pasti takut ketahuan, ya? Apa mungkin kamu sebenarnya tidak hamil?" desak Sandrina sembari menatap penuh api permusuhan.
Michael benar-benar pusing dengan apa yang terjadi padanya. Hatinya hancur saat menyadari bahwa kini dia seperti orang bodoh yang mau percaya pada Clara, dan menceraikan Sandrina begitu saja. Tentang kehamilan Clara masih transparan, hal itu menambah kesal dan geram dalam dadanya. Kenapa juga tadi dia bersedia menandatangani surat cerai itu. Padahal sejauh ini Michael sendiri belum membawa Clara periksa ke dokter. Memang yang namanya penyesalan itu pasti datangnya di akhir.
"Diam kamu! Ini semua karena kamu nggak terima bercerai dengan Michael, 'kan?" tuding Clara, "Mami, jangan percaya sama dia. Ini mungkin hanya surat palsu yang dia siapkan untuk membuat hubungan kami berantakan," lanjutnya yang kini mengiba pada Lorenza.
Lorenza membuang napasnya kasar. Tatapan yang semula manis dan lembut itu kini berubah menjadi sangar dan dingin. "Ayo kita ke dokter!"
"Kalau dia nggak mau, berarti dia memang pura-pura hamil!" ucap Sandrina.
"Sandrina, kenapa kamu tidak tunjukan surat ini dari tadi? Kenapa kamu menyembunyikannya dariku?" tanya Michael dengan tatapan pahit dan sedih. Berlian yang selama ini dia genggam, kini sudah terlepas dan bukan lagi miliknya. Hatinya hancur dan kecewa.
Sandrina menarik ujung bibirnya membentuk senyuman sinis di sana. "Aku sudah muak menjalani rumah tangga seperti ini, Michael. Kamu diam-diam selingkuh dariku. Selama ini aku diam dan sabar saat Mami dan adikmu menyakitiku. Tapi aku tidak bisa lagi berada dalam keluarga yang toxic seperti ini. Aku tidak sudi lagi mempertahankan rumah tangga yang tidak sehat seperti ini."
Michael menatap kecewa dan hampa. Dadanya semakin sesak setelah menyadari apa yang telah terjadi. Lelaki tampan itu kini mengacak rambutnya frustrasi lalu meninju udara yang tidak salah apa-apa.
"Aaarrgghhhh!" pekik Michael merasa emosi. Hidupnya sudah hancur karena kehilangan Sandrina.
"Selesaikan masalah kalian. Sekarang, aku bukan siapa-siapa di rumah ini. Jadi ... aku harus pergi!" ucap Sandrina yang kemudian melangkahkan kakinya menuju lemari.
Eleanor yang baru tahu bahwa Kakaknya telah bercerai, sangat terkejut dan benar-benar syok. Ditambah lagi dengan surat pernyataan bahwa Michael mengalami kemandulan. Dia sangat sedih dan iba pada Kakaknya itu. Namun, dalam situasi seperti ini, Eleanor tidak bisa banyak bertanya. Karena hal itu hanya akan menambah kekacauan dan kemarahan sang Kakak.
Michael menatap kaget. Dia yang masih mencintai Sandrina, benar-benar menyesal dan tidak ingin kehilangan wanita cantik itu. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Bukti bahwa Michael menalaknya, sudah terdaftar di surat perceraian.
"Sayang, jangan pergi dari sini!" pinta Michael berusaha mencegah Sandrina.
Sandrina tidak menggubris. Wanita cantik berkulit putih itu kini menggeret travel bag nya lalu berjalan ke luar kamar. Lorenza yang benar-benar kacau, hanya bisa diam tanpa membantu apa pun pada putranya. Sementara Clara, wanita berdada besar itu pun kini cepat-cepat memakai bajunya dan hendak kabur begitu saja.
"Sandrina! Aku minta maaf. Aku mengaku salah padamu dan telah menyakitimu," teriak Michael saat Sandrina masuk ke dalam mobilnya.
Sandrina menatap sinis. Kekecewaan dalam hatinya sudah membuatnya enggan untuk memberi kesempatan. "Terlambat! Jalani hidupmu tanpaku. Kita sudah menjadi orang asing." Setelah bicara demikian, dia pun menancap gas lalu meninggalkan Michael dengan sejuta kekecewaan.
Michael terjatuh di lantai. Dia benar-benar sedih dan terpukul. Hatinya hancur, kepalanya pusing, emosinya bersemayam di dada, penyesalan menggerogoti dirinya.
"Clara, ini semua gara-gara kamu!" ucap Michael saat melihat Clara keluar dari rumah dan hendak kabur.
Eleanor mengejar Clara dan mencoba mencegah wanita ular itu. Lorenza yang masih syok dan sedih, kini menyiapkan mobil untuk mengajak Clara ke dokter kandungan. Keadaan semakin tegang dan mencekam. Clara yang hendak keluar gerbang, tiba-tiba ditarik oleh Michael dengan kasar lalu menyeretnya masuk ke dalam mobil.
"Lepaskan aku! Kalian tidak bisa memaksa aku seperti ini!" ujar Clara sembari menatap marah satu persatu orang di sana.
Michael yang mengendarai mobil, tampak mengeraskan rahangnya dan menatap penuh api kemarahan. "Kalau kamu tidak berbohong, kamu tidak akan takut seperti ini."
"Clara, kita selesaikan biar semuanya jelas," timpal Lorenza.
Clara tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Meski keadaannya begitu tegang dan gemetar, tapi dia tidak bisa kabur begitu saja. Hingga detik demi detik telah berlalu. Mobil yang mereka tumpangi kini sudah masuk ke area klinik dokter kandungan.
"Tunggu beberapa saat lagi, maka kita akan tahu hasilnya," ucap Lorenza saat mereka sudah mendapatkan nomor antrean.
Bersambung...
Kabar kehamilan Sandrina sudah sampai ke telinga kedua orang tuanya. Mendengar kabar itu, mereka berdua sangat bahagia dan bersyukur. Sejak putri mereka menikah dengan Michael, sejujurnya keduanya sangat menantikan sosok seorang cucu, tapi mereka tidak berani mendesak atau memaksa putri mereka untuk segera memberikan cucu pada mereka. Sekarang, tanpa diminta pun Sandrina sudah dipercayai oleh Tuhan untuk mengandung anaknya. "Alhamdulillah, anak kita benar-benar sehat dan subur, Yah. Berarti memang rezeki dia bersama Hurraim. Tuhan memang tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya," ucap Marlinda penuh syukur. Sang suami mengangguk pelan diiringi senyuman kemenangan. Mereka juga sudah tahu kalau nanti malam di kediaman Pristilla akan mengadakan acara syukuran atas kehamilan Sandrina. Jadi, keduanya akan hadir untuk ikut mendoakan, serta memberikan ucapan selamat dan support terhadap Sandrina juga Hurraim. "Semoga Tuhan selalu menjaga mereka. Menjaga Sandrina dari hal buruk. Menjaga calon
Hurraim berlari ke loteng. Mendengar hal yang mengkhawatirkan tentang istrinya, dia langsung menemui Sandrina di sana. Jantungnya berdetak kencang. Hurraim takut Sandrina kenapa-kenapa. Saat ini, Sandrina tengah duduk sembari memegangi perutnya. Ekspresinya membuat Hurraim semakin panik. Tentu saja Sandrina mulai berakting. Perempuan cantik itu seolah sedang merasakan sakit di bagian perutnya. "Arrgggh!!" pekik Sandrina."Sayang, apa yang terjadi padamu?" tanya Hurraim dengan kekhawatiran yang semakin mendalam. Ditangkapnya tubuh sang istri. Kemudian dia mengelus perut rata Sandrina yang tanpa disadari tengah mengandung sang buah hati. Sandrina meringis seperti kesakitan. Pristilla dan Fery hanya menonton saja. Begitu juga dengan Eleanor. Mereka diam-diam sedang menunggu waktu untuk memberikan surprise pada Hurraim."Perutku, sayang...." Sandrina mengeluh. "Ayo kita ke rumah sakit! Ini tidak bisa dibiarkan," ucap Hurraim tampak panik. Hampir saja dia menggendong tubuh Sandrina, ta
"Awas, hati-hati. Jangan sampai jatuh," ucap Pristilla dengan sangat antusias. Begitu tahu bahwa menantunya sedang mengandung, Pristilla sangat menjaga ketat Sandrina. Tentu saja dia takut Sandrina dan juga calon bayi dalam perutnya kenapa-kenapa. Sandrina digandeng oleh dua asisten rumah tangga. Ini terlalu berlebihan, tapi Sandrina tidak bisa menolak. Sebenarnya dia juga bisa berjalan sendiri sampai kamarnya. Namun, kekhawatiran sang mertua telah membuatnya seperti seorang ratu. "Kita akan mempunyai cucu!" seru Pristilla pada Fery. Sontak hal itu membuat Fery melebarkan kedua mata dan menatap setengah tidak percaya. "Hah, yang benar? Maksudnya Sandrina hamil?" Fery bertanya dengan raut wajah kaget serta penasaran. Pristilla mengangguk cepat. "Iya! Kita harus merayakan ini. Secepatnya kita atur acara perayaan kehamilan Sandrina.""Bun, itu terlalu berlebihan," protes Sandrina sedikit tidak setuju. "Apanya yang berlebihan? Kita akan mengadakan syukuran atas kehamilan kamu, Sandri
Hari demi hari terus berlalu. Sandrina dan Hurraim sudah menjalani rumah tangga selama satu bulan. Hari demi hari mereka lalui dengan penuh kebahagiaan. Tidak ada satu pun orang yang berani mengganggu kebahagiaan mereka. Dalam satu bulan ini, Sandrina masih tinggal bersama mertuanya. Hal itu dikarenakan keinginan Pristilla yang merasa masih belum siap berpisah jauh dengan Hurraim. Hurraim sendiri sudah ingin pindah rumah. Bahkan sebelum menikah pun, Hurraim sudah membeli rumah untuk dihuni dengan istrinya. Namun, saat ini dia belum bisa meninggalkan rumah orang tuanya itu. Padahal Hurraim sudah membujuk Pristilla berulang kali. Namun, Pristilla tetap kekeuh belum siap dan tidak mengizinkan Hurraim untuk pindah rumah. Pagi ini, Sandrina terbangun dalam keadaan lemas. Dia yang sudah tidak menjadi sekretaris Hurraim, hanya melakukan tugasnya sebagai seorang istri sekaligus owner San Kitchen. Selain itu, Sandrina juga mulai menekuni bisnis perhiasan media online. Hal ini sengaja dia lak
Hurraim mengelus lembut perut rata Sandrina. Perasaannya senang tak menentu. Telah terpikirkan olehnya bagaimana jika di dalam perut rata itu ada janin sang buah hati mereka. Tentu saja Hurraim sangat tidak sabar. Dia menikah, tujuan menikah memang tidak melulu tentang anak. Akan tetapi, memiliki anak setelah menikah adalah suatu kebahagiaan. Hurraim sendiri tidak pernah berniat untuk menunda-nunda punya anak. Jika Tuhan berkehendak, maka dia berharap Sandrina segera diberi momongan. "Semoga secepatnya kamu mengandung anak kita, sayang," ucap Hurraim dengan suara lembut. Sandrina tersenyum tipis. Waktu itu dia dengan Michael pun mengharapkan hal yang sama. Setiap saat menanti kehadiran sang buah hati mereka. Namun, takdir tidak sampai membuat mereka memiliki anak. Bahkan Sandrina sempat dituding wanita mandul oleh mertuanya sendiri. Semoga saja kali ini tidak. Sandrina sebenarnya sedikit trauma jika seandainya Tuhan sedikit lama memberikan anak padanya. Khawatir mertuanya mengira di
Selesai pesta pernikahan, Hurraim membawa kabur Sandrina ke sebuah hotel mewah yang sudah dipesannya. Segenap keluarga melepas dengan penuh kebahagiaan. Senyuman mengembang di sudut bibir kedua mempelai pengantin pria dan wanita. Taburan bunga mengiringi kepergian mereka. Sorak sorai keceriaan menambah kesan bahagia di sana. "Kamu milikku sayang!" ucap Hurraim. Pria tampan itu membopong tubuh ramping Sandrina dari luar hingga ke dalam hotel. Nuansa honeymoon terasa kental di sana. Taburan bunga dan gemerlapan lampu menyambut mereka. Belum lagi aroma harum dari berbagai sudut pun tercium menyengat indera penciuman mereka. "Malam ini aku tidak akan menahan diri lagi," ucap Hurraim lagi. Pria tampan itu nampak perkasa. Dia bahkan tergesa-gesa dan tidak sabaran. Maklum, Hurraim adalah sosok pria dewasa yang tidak pernah melakukan hubungan intim dengan wanita mana pun. Maka saat dia telah menikahi wanita pujaan hatinya, jangan heran jika Hurraim begitu semangat dan tidak sabar. Sekaran
Sang pengantin pria telah selesai berjabat tangan dengan Ayah Sandrina. Ijab dan kabul baru saja selesai diucapkan. Segenap saksi, mengatakan 'sah'. Saat itu juga sorak sorai dan ucapan syukur terdengar riuh di telinga. Detik ini juga, Sandrina telah resmi menjadi istri bagi Hurraim. Mereka telah disatukan dalam ikatan yang suci. Murni karena cinta dan jodoh dari ilahi. "Alhamdulillah, sah!" ucap Pristilla sembari menatap haru pada putranya yang tampan nan gagah. Senyuman kebahagiaan mengembang di bibir Hurraim. Tak sabar rasanya ingin melihat sang wanita pujaan. Selesai dengan ritual ijab kabul, penuntun acara memanggil sang mempelai pengantin wanita agar segera keluar. Para tamu nampak antusias. Di antara mereka ada yang sudah pernah hadir di acara pernikahan Sandrina dengan Michael. Namun, tetap saja mereka sangat penasaran pada Sandrina kali ini. Dari segi pesta, dekorasi dan gaya pernikahan Sandrina kali ini jauh berbeda dengan pernikahannya waktu lalu. Tentu ini sengaja Sandri
“Bunda walaupun belum pernah jadi mertua, tapi bunda pastikan bakal jadi mertua yang baik. Kamu jangan asal kalau bicara, Hurraim! Jangan bikin Sandrina takut dan berasumsi buruk tentang Bunda!” Pristilla mengomeli dengan kekesalan yang mendalam. Bagaimana tidak kesal, putranya sendiri membicarakan hal buruk tentangnya di hadapan calon menantu. Hurraim tersenyum simpul. Sebenarnya dia hanya bercanda. Hurraim juga tentu berharap Bundanya akan menjadi mertua yang baik untuk Sandrina. Akan tetapi seperti biasa sang Bunda menanggapi dengan serius. “Yang benar saja? Aku hanya ngomong sesuai fakta. Tapi, tetaplah aku percaya kalau Bunda bisa jadi mertua yang baik untuk istri aku nanti,” ucap Hurraim sembari memeluk Sandrina. Pristilla memencengkan bibirnya. “Ada juga kamu! Jangan sampai jari suami zalim terhadap istri. Dan jangan jadi anak durhaka terhadap Bunda! Awas aja kalau sampai itu terjadi,” ancam Pristilla. Sedikit memberikan nasihat pada putranya. “Tenang aja, Bun. Nanti bakala
Clara tersenyum miring. Kini dia bersedekap dan menatap remeh. Gundukan kesal seakan terlihat di atas kepalanya saat ini. Mengingat Michael sempat drop, dia seperti tidak percaya jika Michael bisa menjebloskan Clara ke dalam penjara. “Kamu tidak punya kuasa atau kekuatan sedikit pun, Michael sayang. Sekarang aku ingin bertanya, dari mana kamu dapatkan modal untuk membuka usaha seperti ini? Kamu pasti meminjam bank, ya? Haha. Jangan sombong dulu! Kalau bisnis kamu berkembang dan sukses, kamu mungkin akan mendapatkan kekuatan dan kekuasaan lagi seperti dulu. Tapi kalau bisnismu mangkrak dan bangkrut, maka apa yang akan kamu dapat? Pastinya sebuah kerugian dan keterpurukan seperti beberapa waktu lalu. Haha!” Clara tertawa terbahak-bahak. Suaranya nyaring dan dia benar-benar menghina Michael. Michael mengepalkan tangan. Mustahil dia tidak marah. Semenjak kejadian itu, kebencian mulai merambat dalam pekarangan hati Michael. Kendati demikian, Michael tidak ingin menjadi arogan lagi. Dia h