LILIANA
Astaga, ada apa denganku? Seharusnya aku benci dia! Setelah sebulan menikah, baru tadi malam dia menunjukkan wajahnya dan menyentuhku! Mungkin karena efek alkohol atau entah apa.
Ethan menenggelamkan wajahnya ke lekuk leherku yang licin karena keringat. Aku tidak berdaya. Bahkan bersuara pun aku terlalu takut. Rambut panjangku berjuntaian di antara belahan dadaku dan menguarkan bau shampo yang begitu wangi dan lembut.
Dia melakukan percintaan yang paling primitif. Dengan kekuatannya, Ethan seolah tidak terbendung. Sedangkan aku hanya bisa menangkap bau alkohol yang keluar dari tubuhnya. Aku hanya terus melakukan apa yang dia perintahkan dan tidak berdaya. Tanganku hanya bisa mengepal kuat. Kuku-kukuku yang sebelumnya dicat warna merah, kini mencengkeram kuat ke telapak tanganku hingga berdarah.
Ethan terus mencumbuku bolak-balik. Dia memang tidak bisa berjalan, tapi kejantanannya sama sekali tidak ada cela!
Aku hanya merasakan kesakitan dan kehancuran yang tidak berakhir. Pada puncaknya, entah bagaimana aku merintih panjang dan noda merah tertinggal di sprei putih tempat kami bercumbu. Aku jijik pada diriku sendiri.
Ethan jatuh limbung usai melampiaskan seluruh hasratnya. Dia jatuh tertidur di sampingku dan meringkuk seperti bayi. Sedangkan aku... Hanya mampu beruraian air mata tanpa suara.
Aku mencoba menepis kenangan semalam dan berbalik ketakutan menghadap ke arah tempat tidur. Mungkin aku telah membangunkannya. Rambut hitam Ethan yang berantakan dan sorot matanya yang dingin menunjukkan ketidaksukaan yang tak berusaha ia sembunyikan dariku.
"K-kau sudah bangun?" tanyaku berusaha menjaga nadaku selembut mungkin.
Ethan tidak menjawab. Ia hanya meraba jam digital khusus di nakas yang akan mengeluarkan suara jam saat ditekan. Pukul lima pagi. Hari masih gelap di luar. Ethan mengambil kemeja yang tergantung di kursi, mengenakannya dengan gerakan cepat. Setelah meraih kursi rodanya dan duduk di sana dengan gerakan yang mengagumkan, dia meraih kunci mobil di atas meja dan melangkah menuju pintu tanpa sepatah kata pun.
"Ethan, tunggu," panggilku, mencoba menghentikannya. "Maksudku, Tuan Darnell ..."
Aku harus memastikan dia tidak marah padaku. Aku ragu apakah semalam aku memenuhi ekspektasinya? Tapi jika aku gagal, tamat sudah riwayatku. Tidak ada jalan kembali untukku. Jika Ethan Darnell menolakku, maka pengorbananku untuk keluargaku akan-. Mereka tidak cukup hanya akan menunuhku, bahkan mungkin akan menyiksaku lebih dulu.
Namun, Ethan mengabaikanku dan terus mendorong kursi rodanya. Aku mengutuki diriku sendiri karena kondisiku yang masih lemah. Aku mencoba mengejar, tapi karena bagian sensitif di antara kedua pahaku belum sepenuhnya pulih, aku malah jatuh ke lantai. Rasa sakit menjalar dari lututku, tetapi yang lebih menyakitkan adalah tatapan Ethan yang penuh penghinaan ketika ia berbalik.
"Apa yang kau lakukan? Berpura-pura lemah? Kau pikir ini akan membuatku merasa iba dan mengampuni keluargamu?" ucapnya dengan nada dingin.
Aku menatapnya, muak. Toh dia juga tidak bisa membaca ekspresi di wajahku. Aku juga tidak inginkan semua ini. Aku hanya terpaksa bersikap lembut di hadapannya jika tidak ingin kepalaku terpisah dari tubuhku.
"Aku ... istrimu, Ethan. Bagaimana bisa kau memperlakukanku seperti ini?" kataku dengan suara gemetar karena tersinggung. Kata-kata istri sebenarnya menggangguku.
Ethan memutar kursi rodanya dan mendekatiku. Dia berdiri di hadapanku dengan aura yang mengintimidasi.
"Istriku? Jangan membuatku tertawa. Kau hanya alat keluargamu untuk mendapatkan pengampunan dan kekayaan dariku. Jangan pernah berpikir kau berarti lebih dari itu," ucapnya dengan nada tajam.
Kata-kata itu menghantamku seperti pukulan telak. Diam-diam kukepalkan kedua tanganku di atas pangkuan. Aku telah menanggung penghinaan karena menikahi Ethan, dan juga menanggung penghinaan yang selalu dia lontarkan padaku. Tetapi, tetap saja saat mendengarnya secara langsung melukai hatiku. Aku mencoba menahan tangis, tetapi air mata tetap mengalir di pipiku.
Ethan menghela napas, lalu membungkuk dari atas kursi rodanya. Dia meraih daguku dengan kasar. Matanya menatap dalam padaku, seperti mencoba menembus semua pertahanan diriku.
Di saat seperti ini, aku mengira bahwa Ethan sebenarnya tidak buta. Meski mereka mengatakan dia buta parsial, hanya tidak bisa mengenali wajah. Tapi, rasanya dia bisa melihat segalanya. Sepasang matanya begitu indah dan menyala. Dan dia... sama sekali tidak tua. Sebaliknya, Ethan adalah pria tampan yang sedang berada di usia kejayaan seorang manusia serigala.
"Sayangnya, sebentar lagi kau tidak akan menjadi Nyonya Darnell lagi. Wanita tak tahu malu sepertimu tidak layak berada di sini," katanya dengan nada yang begitu dingin hingga membuat bulu kuduk Liliana meremang.
Aku mengerjap, mencoba menahan air mataku. "Aku tidak layak? Kamu yang bilang aku tidak layak? Aku belum melakukan apa pun, Ethan. Kenapa kau terus menghinaku seperti ini? Bahkan kau sendiri yang menginginkan aku untuk berada di sini!" suaraku gemetar. Harga diriku terusik oleh ucapannya. "Seharusnya kau bunuh saja Raymond!"
Ethan tertawa kecil, tawa yang penuh ejekan. Ia mempererat cengkeramannya pada daguku, nyaris membuatku kesakitan.
"Yah, kau benar. Membunuh orang yang sudah membunuh sahabatku saja tidak cukup. Aku pasti akan membuat dia membayarnya berkali lipat. Dan... menjadikan Nona Lennox tawanan saja juga tidak cukup. Karena... aku tahu kau bukan Sophia Lennox seperti yang aku inginkan! Kau pikir aku bodoh? Aku tahu permainan ini sejak awal. Tapi aku membiarkanmu di sini karena aku punya alasan sendiri!" ucapnya dengan dingin.
Aku kaget setengah mati mendengarnya, Sophia Lennox? Jadi selama sebulan aku menjadi tawanannya... sebenarnya yang dia inginkan adalah Sophia?
"Apa maksudmu dengan Sophia? Bagaimana kau mengenalnya?" Aku bertanya dengan cemas dan ketakutan dengan kemungkinan bahwa aku juga ditipu oleh keluargaku sendiri.
Ethan menyeringai muak. "Apa aku menghinamu? Kau sendiri yang membuat dirimu pantas dihina. Kau pikir dengan berpura-pura menjadi Sophia Lennox, aku akan benar-benar percaya pada permainanmu?" katanya sinis.
Aku tersentak. "Aku tidak pernah berpura-pura menjadi Sophia! Aku hanya..."
"Hanya apa? Hanya alat keluargamu untuk mendapatkan pengampunan dan kekayaan dariku? Jangan lupa, aku sudah menyelidikimu sejak awal. Kau pikir aku tidak tahu? Anak tidak sah. . Bahkan kau..." Ethan memotongku dengan tajam. "Kau jelek!"
Wajahku memucat. Aku terdiam. Apakah itu kesalahanku jika lahir dari rahim ibuku yang hanya seorang pekerja miskin di rumah keluarga Darnell? Lantas bagaimana dengan dirinya sendiri yang menjadi contoh sempurna ketidaksampurnaan?
Kemarahan menguasai sekujur tubuhku. Oh, seharusnya memang bukan aku yang harus ditumbalkan dan menjadi tawanan Ethan Darnell sejak awal. Rupanya, dia menginginkan Sophia Lennox, saudari tiriku, yang sempurna itu.
Aku menyeringai tanpa suara menyadari berkali-kali aku telah dibodohi oleh orang-orang yang aku sayangi. Ditipu oleh keluargaku sendiri. Dan yang lebih mengejutkan, rupanya Ethan sudah tahu sejak awal kalau aku bukan wanita yang dia inginkan. Apakah karena itu dia menunda menemuiku selama sebulan ini? Bahkan semalam dia tetap mencumbuku meski tahu aku bukan Sophia. Apakah ini penghinaan untukku?
Tubuhku terasa lemah, seolah seluruh kekuatanku menghilang dalam sekejap.
"Jika kau benar-benar peduli pada keluargamu, tinggalkan Solaris Heights sekarang juga. Kau tidak pantas menjadi bagian dari keluarga Darnell," lanjut Ethan sebelum melangkah pergi.
Meninggalkan Solaris Heights? Dia membuangku setelah merusakku?
LILIANA“Ayo, sudah saatnya kembali!” Suara Ryder terdengar tegas, seperti perintah yang tak bisa diganggu gugat.Aku masih berdiri di sana, tubuhku menolak untuk bergerak. Udara dingin mulai menusuk kulit, tapi pikiranku jauh lebih ribut daripada rasa dingin itu. Dia hendak pergi begitu saja, tanpa menjawab pertanyaanku? Tidak. Aku tidak akan membiarkannya mengabaikanku kali ini.“Aku tidak ingin pertanyaanku diabaikan,” ucapku pelan, nyaris berbisik, tapi cukup untuk menghentikan langkahnya.Ryder tidak menoleh. Bahunya sedikit menegang, lalu kembali rileks. Dia pura-pura tidak mendengar, pura-pura sibuk menyalakan mobil.Dengan nekat, aku melangkah mendekat dan menarik ujung kemejanya. Tarikanku cukup kuat untuk membuatnya berbalik. Sepasang matanya menatapku, tajam, namun ada sesuatu di balik tatapan itu yang tidak bisa kuartikan.“Mengapa kau memanggilku Ana?” tanyaku, suaraku bergetar, entah karena gugup atau karena rasa ingin tahu yang sudah terlalu lama kupendam.Wajah Ryder m
LILIANA“Ryder…” bisikku, setengah ingin memprotes, setengah tak tahu lagi harus berkata apa.Dia tidak menjawab. Satu tangannya bergerak ke punggungku, menahan, membuatku tak punya pilihan selain tetap berada di sana. Aku mencoba menggeliat, tapi genggamannya terlalu kuat—tidak kasar, tapi tak memberi celah.Jarak di antara kami nyaris hilang sepenuhnya. Aku bisa merasakan detak jantungnya, cepat dan mantap, menghantam dinding dadanya. Air di sekitar kami bergoyang pelan, seolah ikut merespons ketegangan ini.“Apa ini… juga bagian dari hukuman?” tanyaku, suaraku lirih dan nyaris tak terdengar.Dia menatapku lama, begitu lama hingga aku mulai gelisah. Lalu ia berkata pelan namun tegas, “Ini… bagian dari mengingatkanmu. Bahwa aku memegang kendali.”Tubuhku menegang. Ada amarah di sana, tapi juga rasa aneh yang tak bisa kujelaskan.Aku mencoba memalingkan wajah, namun tangan Ryder di pinggangku tetap tak bergerak. Dan aku benci mengakuinya—aku tidak sepenuhnya ingin ia melepaskanku.Ket
LILIANADi balik celah sempit yang awalnya kurutuki karena harus merayap seperti ular, aku melihat sesuatu yang membuat napasku tercekat.Bukan aurora. Bukan langit malam yang dilukis Tuhan.Sesuatu yang lebih ajaib dari itu.Kolam. Kolam air panas alami yang tersembunyi di antara batu-batu raksasa. Uapnya mengepul seperti kabut di pagi buta, membelai permukaan air dengan manja. Di sekelilingnya, lumut hijau menggantung, dan bebatuan granit membentuk semacam pelindung alami, seakan tempat ini disembunyikan Tuhan sendiri dari dunia.Aku terpaku. Mulutku sedikit menganga. Bahkan aku sempat lupa cara berkedip. Sampai seseorang di sampingku berdeham pelan.“Tidak buruk, kan?”Ryder—makhluk misterius yang baru saja menyeretku dari pondok, yang membuatku hampir menyumpahinya dalam sepuluh bahasa berbeda—sekarang berdiri dengan dagu terangkat. Senyum tipis sombong terselip di wajahnya seolah ia baru saja menunjukkan keajaiban dunia ketujuh dan dia adalah arsiteknya.“Ini... tempat apa?” tan
LILIANAAku tak bisa tenang. Hati ini gelisah sejak pagi buta. Duduk, berdiri, lalu duduk lagi. Aku meremas jemariku sendiri, menatap keluar jendela kayu pondok Ryder yang dingin dan tak berjiwa. Hari-hari di sini seperti menunggu eksekusi. Hening, sunyi, dan penuh rasa tak pasti.Apa yang mereka lakukan di luar sana? Apa yang terjadi pada anak-anak itu? Terutama... pada bayi kecilku? Aku tahu mereka bisa melakukan apa saja untuk memenuhi ambisi mereka—para serigala itu. Mereka tak pernah benar-benar peduli pada siapa pun kecuali diri sendiri dan kawanan mereka.Apalagi kalau sampai Ethan Darnell tahu tentang bayi itu…Aku menggigit bibir. Lelaki itu punya hati yang hanya berdetak untuk kekuasaan. Dan kalau dia tahu aku memiliki darah keturunannya—walau hanya setetes yang mengalir di urat anakku—aku tak bisa membayangkan seperti apa neraka yang akan dia ciptakan.Dan Ryder… lelaki keras kepala, kejam, dan penuh rahasia. Aku tak pernah tahu apa yang dipikirkannya. Pagi ini pun, dia han
LILIANA"Sarah, aku tahu kau punya banyak pekerjaan lain yang harus kau selesaikan. Kau tidak harus tinggal di sini dan menungguiku," kataku, mencoba terdengar setenang mungkin. Aku hanya ingin sedikit ruang untuk diriku sendiri, jauh dari tatapan menghakimi—atau penuh rasa iba.Sarah yang baru saja mengantarkanku kembali ke pondok milik Ryder, menatapku dengan heran. "Kau sudah mencoba melarikan diri," katanya tegas.Nada suaranya membuatku mengerutkan kening. Memang benar. Tapi aku tak menyangka dia akan terus mengungkitnya.Seharusnya memang Serina yang menjagaku hari ini, tapi karena aku membuat dia marah, dia pergi begitu saja dan meninggalkanku hanya dengan bibi Sarah."Aku takkan mencobanya lagi," kataku meyakinkan.Sarah mendesah. "Seharusnya kau tahu Ryder akan menemukanmu."Aku menunduk. "Kurasa aku tahu... tapi aku merasa harus mencobanya."Ada sesuatu dalam tatapan Sarah yang mengatakan bahwa dia tidak benar-benar mengerti, dan mungkin memang tak bisa. Dia hidup dalam ling
LILIANAAku melemparkan kentang yang sudah aku kupas ke dalam baskom berisi air bersih. Airnya memercik sedikit ke bajuku, tapi aku tidak peduli. Tanganku sudah mulai pegal, tapi entah kenapa, pikiranku jauh lebih lelah.“Sarah…” gumamku akhirnya. “Aku sulit menerima ceritamu tentang Ryder. Maksudku… aku jarang melihat kebaikan hatinya.”Sarah tidak langsung menjawab. Dia sibuk memotong wortel, mata tajamnya fokus ke talenan, seolah sayuran itu menyimpan jawaban hidup. Lalu, pelan-pelan dia menggumam, “Oh, itu…”Aku mengangkat alis, menunggu.“Dia hanya masih belum bisa melepaskan kematian kakek dan adik perempuannya,” lanjut Sarah. “Mereka meninggal saat konflik perebutan tanah di Hutan Merah. Saat itu... keluarga kami benar-benar di ujung tanduk.”Aku mendadak diam. Jantungku terasa melambat.“Waw,” gumamku. “Apakah sang kakek adalah panutan dalam hidupnya?”Sarah mengangguk pelan. “Ya. Ryder sangat mengidolakan kakeknya. Tapi tidak dengan ayahnya. Mereka hampir selalu bertengkar… t