LOGIN
Suara derit ranjang memenuhi kamar hotel bernuansa putih itu. Di sana, di atas ranjang, dua manusia beda gender itu tengah mereguk surga dunia yang sama-sama baru pertama kali mereka rasakan. Minuman memabukkan yang sebelumnya mereka nikmati, menuntun keduanya pada kegiatan yang harusnya tak pernah terjadi.
Wanita itu menggigit bibir bawahnya, menahan desahan yang tak bisa dikendalikan. Sementara pria di atasnya terus saja mengerang menikmati sensasi yang belum pernah ia rasakan hingga akhirnya ia sampai pada pelepasannya yang memuaskan. Keesokan harinya, wanita dengan rambut berantakan itu berusaha membuka mata yang terasa berat. Dan hal pertama yang ia temukan adalah, kamar yang tampak asing baginya. “Sssh … di mana ini?” Suara parau wanita bernama Hanina Noura itu mengudara bersamaan saat ia bangun menegakkan punggungnya sambil memegangi kepala yang terasa berat. Ia mengedarkan pandangan dan seketika matanya melebar kala bayangan yang terjadi semalam terlintas. Wajah wanita yang lebih sering dipanggil Nina itu memucat, tubuhnya gemetar, dan semakin gemetar saat menyadari keadaannya yang berantakan. Di lain sisi, seorang pria baru saja keluar dari hotel tempatnya semalam menghabiskan malam panas bersama Nina. Pria itu bernama Riyon Arshaka, pendiri Riyon Group, sebuah perusahaan logistik di negeri seberang yang mulai berkembang beberapa tahun terakhir. Riyon mengusap tengkuk yang terasa berat dan pegal setelah memasuki mobilnya. Ia sempat terkejut saat bagun dan menemukan wanita telanjang di sampingnya, membuatnya teringat kegiatan panas mereka semalam. Riyon yakin ada yang tak beres dengan dirinya, biasanya ia dapat mengendalikan diri, tapi semalam, ia benar-benar tak bisa menahan hasrat yang begitu menggebu setelah menikmati segelas minuman di acara yang dihadirinya di hotel itu. Riyon mengembuskan napas panjang dari mulut sesaat sebelum menyalakan start mobilnya dan tak lama, mobilnya pun meninggalkan area parkir hotel tersebut. Ia sama sekali tak memikirkan wanita yang ia tinggalkan, sebab ia telah meninggalkan beberapa lembar uang sebagai bayaran kegiatan mereka semalam. *** Nina menatap pantulan wajahnya di depan cermin. Saat ini wanita berusia 25 tahun itu telah berada di rumahnya, duduk di depan meja rias tanpa bisa berhenti menyesali apa yang dilakukannya semalam. Meski ia berusaha melupakannya, jejak yang pria itu tinggalkan pada tubuhnya membuatnya terus mengingatnya. Drt … drt …. Nina tersentak dari renungan dan menoleh pada ponselnya di ujung meja. Mengambil benda pipih itu, diangkatnya panggilan yang tak lain dari teman sekaligus rekan kerjanya, Asher Roland yang mana lebih kerap dipanggil Ash. “Halo. Ada apa, Ash?” “Nina, kau baik-baik saja? Suaramu terdengar berbeda.” Nina tersenyum getir. Ash selalu memperhatikannya dalam hal sekecil apapun. “Tidak apa-apa, Ash, aku baik-baik saja. Aku hanya … baru bangun tidur.” “Sungguh? Tidak biasanya kau bangun terlambat. Oh, ya, semalam kau jadi pergi? Maaf, aku tidak jadi berangkat. Ada sedikit masalah dengan mobilku.” “Ada apa dengan mobilmu?” “Mobilku tiba-tiba mogok di tengah jalan.” “Kenapa tidak menghubungiku? Aku bisa menjemputmu.” “Aku melupakan ponselku, Nin. Sepertinya, tadi malam adalah hari sialku. Padahal aku sudah sangat antusias bisa pergi denganmu.” Nina hanya menyunggingkan senyum tipis dan mengatakan, “Jangan bicara begitu, Ash. Jadi, bagaimana kau pulang?” “Ada orang baik yang menolongku. Dia membantu membawa mobilku ke bengkel.” “Syukur lah.” “Nin, apa kau ada waktu? Bagaimana jika kita keluar? Mungkin sekedar jalan-jalan, atau makan siang bersama.” Nina tersenyum kecut. Andai saja tidak dalam keadaan seperti ini, tentu saja ia akan dengan senang hati menerima ajakan Ash. Namun, apa yang terjadi semalam membuatnya ingin mengurung diri dan merenung. “Maaf, Ash. Mungkin lain kali. Aku … sedikit tidak enak badan. Maaf.” “Apa? Ada apa denganmu? Kau sakit? Aku akan mengantarmu ke dokter.” “Tidak Ash. Aku hanya butuh istirahat. Sungguh. Kalau begitu, sampai jumpa besok di kantor.” Setelah mengatakan itu Nina mengakhiri panggilan meski ia tahu, Ash seperti masih ingin memperbanyak pembicaraan. Namun, keadaannya sekarang benar-benar membuatnya ingin merenung sendirian. Di tempat Ash sendiri, ia masih menatap layar ponsel di tangan. Ia merasa ada yang aneh dengan Nina, tapi sepertinya Nina tak mau mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Ash mengutak-atik ponselnya hingga terpampang foto Nina yang begitu menawan. Nina adalah temannya sejak kuliah dan ia telah mencintainya sejak dulu. Bahkan, ia sengaja bekerja di tempat Nina bekerja agar bisa selalu memperhatikannya. Sayangnya, ia terlalu pengecut untuk mengungkapkan perasaanya. Terlalu takut hubungan pertemanan mereka justru hancur dengan pengungkapan cinta darinya. *** Dua minggu berlalu sejak kejadian malam panas waktu itu, Nina merasa ada yang aneh dengan tubuhnya. Ia merasa pusing dan mual ketika melihat atau hendak menyantap makanan tertentu. Ia bahkan memuntahkan makan siangnya padahal makanan itu adalah makanan favoritnya. “Nina, kau baik-baik saja?” Ash bertanya dengan khawatir melihat wajah Nina begitu pucat. Nina juga tampak lemas. Ia dan Nina tengah makan siang bersama sampai Nina pergi ke toilet dan kembali dengan keadaan yang tampak memprihatinkan. Nina hanya tersenyum dan menjawab, “Aku … baik-baik saja, Ash. Jangan khawatir.” “Tapi, akhir-akhir ini kulihat kau tidak baik-baik saja. Bagaimana kalau kuantar ke dokter?” tawar Ash sedikit memaksa. Bagaimanapun ia mencintai Nina, ia tak mau terjadi sesuatu padanya. “Ta- tapi ….” Nina hendak menolak. Namun, Ash bersikeras bahkan tak menunggu pulang bekerja. Mereka segera pergi ke klinik terdekat setelah selesai makan siang. Sesampainya di klinik dan diperiksa oleh dokter, Nina tak dapat menyembunyikan keterkejutannya, sebab dokter itu mengatakan bahwa ia tengah hamil sekarang."Nin, kau … mau ke mana?”Dengan raut wajah penuh tanya, Ash menatap Nina menunggunya menjawab sambil sesekali melirik koper di balik kaki Nina.Nina mulai sedikit gugup setelah dibuat begitu terkejut dengan keberadaan Ash.“Ah, ini ….” Nina berusaha mencari jawaban, tapi ia tak bisa menemukannya dengan segera.Ash mendorong Nina pelan dan masuk ke dalam rumah kemudian menutup pintu.“Jangan bilang kau mau kabur?” tanya Ash menuduh seraya menahan koper Nina.Nina tak menjawab, mau berbohong rasanya percuma sebab, Ash pasti tak akan percaya.Ash mendongak saat ia mengembuskan napas panjang dari mulutnya. Ia lalu menggenggam tangan Nina yang memegang troli koper dan melepaskannya.“Kenapa, Nin? Kenapa kau mencoba kabur?”Tangan Nina gemetar, merasakan tangan Ash yang gemetar.“Apa karena kakakku? Ah, atau … bagaimana kalau kita kabur bersama-sama? Kita bisa pindah jauh dari sini, menikah, dan memulai kehidupan yang baru.”Nina segera mengangkat kepala menatap Ash. Padahal ia berniat kab
Riyon menatap Nina dengan raut wajah yang dingin dan sorot mata setajam elang, seakan Nina adalah ular kecil yang menjadi calon santapannya.Nina menelan ludah susah payah kemudian menunduk mengalihkan pandangan. Ia seakan tak mampu menatap mata tajam Riyon lama-lama.“Aku … mau pulang,” ucap Nina dengan suara pelan.“Tidak punya sopan santun.”Tubuh Nina menegang, ulu hatinya seolah dicubit mendengar ucapan Ruyon.“Kau datang ke sini baik-baik, dan ingin pergi dengan cara seperti ini?”Nina menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Ia tahu caranya mungkin salah, tapi ia tak punya pilihan lain. Ia ingin kabur dari masalah ini.Tiba-tiba Nina mengangkat kepala menatap Riyon dengan keberanian. “Bagaimana jika kita selesaikan masalah ini sekarang? Aku akan pergi, kita tidak perlu menikah, dan aku tidak akan menikah dengan Ash,” ucap Nina dengan tegas. Ia sudah memikirkannya dan itu lah keputusan yang diambilnya.Riyon menatap Nina dalam diam, ia kemudian meraih tangan Nina dan menariknya.“A-
Nina berusaha membuka mata yang terasa berat. Dan setelah matanya menangkap cahaya, ia membuka matanya lebar.“Nina, syukurlah kau sudah bangun.”Nina menoleh ke sumber suara dan menemukan Rahayu duduk di sisi ranjang di sampingnya. Wajah wanita paruh baya itu tampak cemas.Nina berusaha bangun untuk duduk di tengah sakit kepala yang kembali terasa. Rasanya ia ingin pingsan saja bahkan selamanya agar sakit kepalanya sirna.“Jangan memaksakan diri,” ucap Rahayu seraya membantu Nina bangun menegakkan punggungnya.“Jam berapa sekarang, Tante?” tanya Nina dengan suara parau. Ia ingin segera pulang berharap dengan begitu mengurangi beban pikiran. Melihat keluarga Ash membuatnya tidak tenang.“Ini sudah malam, kau mau pulang? Menginap saja di sini, ya,” kata Rahayu sambil menggenggam tangan Nina.“Ta- tapi ….”“Tidur di kamarku.”Sebuah suara tiba-tiba terdengar membuat Nina dan Rahayu menoleh dan menemukan Riyon berdiri di depan pintu kamar Ash.Riyon mengambil langkah dan berhenti di depa
Riyon masih mematung saat ingatan malam itu berputar dalam kepala. Tentu ia masih mengingat dengan jelas wajah wanita yang menikmati malam panas dengannya.“Riyon … Riyon? Ada apa?”Riyon tersentak saat suara Rahayu menginterupsi pendengaran. Ia pun segera melanjutkan langkah dan duduk di kursi kosong dekat kursi yang ibunya duduki dan berhadapan dengan Nina.Nina menundukkan kepala. Senyuman dan wajah hangat yang sebelumnya ia tunjukkan, kini lenyap entah ke mana dan Ash menyadarinya.“Nin, ada apa? Kau baik-baik saja?” tanya Ash dengan memegang bahu Nina. Dan ia pun terkejut merasakan bahu Nina sedikit bergetar.“Ri, kenalkan. Dia Nina, calon istri adikmu,” ujar Rahayu memperkenalkan Nina.Riyon hanya diam. Ia bahkan tak mengalihkan pandangan dari Nina. Ia tak percaya, dunia ini begitu sempit. Tak ada yang mengira, wanita yang menghabiskan malam dengannya adalah calon istri adiknya.“Nina, ini kakakku, Riyon. Dan Kak, ini Nina, calon istriku,” ujar Ash memperkenalkan Nina.Nina tak
Riyon memasuki ballroom hotel bintang 5 itu dengan penuh wibawa. Ia datang sebagai tamu undangan dalam acara ulang tahun perusahaan tempat Nina bekerja yang diadakan di sana. Acara itu dihadiri banyak tamu undangan, bukan hanya seluruh karyawan perusahaan tapi juga para kolega dan kenalan pemilik perusahaan.Di sisi lain, Nina berjalan anggun memasuki ruang acara. Penampilannya yang memukau membuat beberapa pasang mata mengarah padanya. Bukan hanya rekan kerja, tapi juga tamu undangan lainnya. Rambut sebahunya ia sanggul rendah dengan menyisakan sedikit anak rambut bergelombang yang membingkai wajahnya. Hiasan rambut berbentuk bunga sakura warna putih yang menghiasi surai hitamnya itu kian mempercantik tatanan rambutnya, membuatnya terlihat semakin manis. Make up tipis yang terpoles di wajah justru membuatnya tampak cantik alami. Meski hanya memakai gaun sederhana berwarna khaki, tak mengurangi kesan anggun darinya.Seorang pria menghampiri Nina setelah tak berhenti memperhatikannya
"Kalau begitu, bagaimana dengan tawaranku kemarin? Menikahlah denganku, Nin. Aku tahu kau tak akan melakukan sesuatu pada kandunganmu, kau wanita yang baik. Jadi, izinkan aku membantumu, kita bisa membesarkannya bersama-sama.”Nina terdiam, tak mengira Ash kembali menanyakan hal yang sama. “Tapi Ash ….”“Tidak ada tapi, Nin. Bukankah sudah kukatakan? Aku menerimamu apa adanya karena aku mencintaimu. Aku tidak ingin menyesal lagi di kemudian hari. Sudah cukup aku menyesal karena memendam perasaanku selama ini.”“Ta- tapi … bagaimana dengan orang tuamu? Keluargamu? Bagaimana jika mereka tahu kalau–”“Bilang saja itu adalah anakku. Aku akan katakan bahwa bayi dalam perutmu adalah darah dagingku,” potong Ash tanpa ragu. Ia tak masalah mengakui jabang bayi dalam perut Nina adalah anaknya asal ia dan Nina bisa menikah. Ia tak ingin melihat Nina menderita, bahkan tak ingin melihat Nina hidup bersama pria lain selain dirinya. Tak peduli Nina mengandung anak orang tak dikenal, ia akan menerim







