Share

Menerima Paket

"Iya saya sendiri. Maaf saya gak merasa memesan makanan. Mungkin Bapak salah orang atau salah alamat." jawabku.

Mbak Indah yang ada di sampingku tampak berpikir."Iya, Pak. Coba dilihat lagi alamatnya."

Pak Kurir menunjukkan alamat yang dia maksud padaku dan Mbak Indah, memang benar itu alamat rumahku namanya juga sama dengan namaku jadi tak mungkin sebuah kebetulan. Apa mungkin suamiku yang memesan makanan itu untukku. Apa dia menyesal dengan kejadian tadi pagi sehingga dia berinisiatif memberikan aku sesuatu.

"Ini udah dibayar, Mbak. Gak apa-apa ambil aja. Mungkin ada seseorang yang sengaja mengirimkan makanan ini untuk Mbak," ucap Kurir itu.

"Iya, Pak. Saya terima paketnya ya. Barangkali memang suami saya yang sudah memesannya, terima kasih," jawabku sambil tersenyum.

Mbak Indah tersenyum menggodaku."Ternyata Bagas bisa romantis juga ya, Kinan. Mungkin dia mengirimkan makanan itu sebagai ucapan permintaan maafnya padamu."

Aku merasa senang karena setidaknya Mas Bagas mengakui kesalahannya. Dia bahkan melakukan sesuatu yang tak pernah kupikirkan sebelumnya. Dia bisa bersikap romantis setelah sekian lama dingin padaku.

Kubuka paket itu dan isinya ada dua dus yang gambar luarnya sama. Kotak yang satu berisi martabak manis dan yang satunya lagi martabak telur. Dua-duanya makanan kesukaanku dan Caca.

"Wah enak banget ini, Kinan. Merknya juga H*land pasti enak." ucap Mbak Indah dengan mata berbinar.

"Bentar ya, Mbak. Aku ambilin piring. Nanti Mbak makan di rumah sama Nada," sahutku.

"Apa nanti Bagas gak bakalan nanyain? Gak usah deh nanti dia marah tau kamu berbagi makanan sama aku." jawab Mbak Indah.

"Gak apa-apa, Mbak. Banyak ini gak bakalan habis aku makan sama Caca," jawabku seraya memindahkan beberapa kue itu ke piring.

Kuserahkan piring itu ke Mbak Indah. Dia menerimanya dengan senang hati lalu pamit kembali ke rumahnya karena Nada mencarinya.

Saat asyik menyuapi Caca martabak manis, ponselku berdering. Kulihat nama di layar dan ternyata Mas Rangga yang menghubungiku lagi. Kenapa lagi dia, batinku.

*******

Ponselku terus berdering. Kuhentikan sejenak menyuapi Caca. Kuangkat telepon dari Mas Rangga.

"Halo, ada apa lagi, Mas?" tanyaku pada Mas Rangga di seberang sana.

"Kinan, paket makanannya udah kamu terima? Gimana enak, 'kan?" ucap Mas Rangga di seberang sana.

Aku terhenyak, ternyata yang mengirim makanan itu adalah Mas Rangga bukan suamiku. Kenapa aku bisa berpikir bahwa Mas Bagaslah pengirimnya. Tak mungkin dia akan secepat itu berubah. Bodohnya aku ....

"Halo Kinan? Kamu masih disitu, 'kan?" tanya Mas Rangga lagi.

"I-iya, Mas. Aku masih di sini. Jadi kamu yang mengirim makanan itu buatku? Tapi untuk apa, Mas?" tanyaku polos dan terbata.

"Iya aku sengaja mengirimnya buat kamu. Maaf jika tak mengabarimu dulu dan membuat bingung. Aku cuma ingin berbagi hal kecil denganmu," jawabnya.

"Terima kasih, Mas. Sebenarnya kamu gak perlu repot-repot karena aku merasa gak enak sendiri," ucapku.

"Gak apa-apa, Kinan. Kamu harus terbiasa menerima sesuatu dariku. Yaudah, selamat menikmati, semoga kamu suka ya," sahutnya lagi lalu menutup teleponnya.

Dan tadi dia bilang aku harus terbiasa menerima sesuatu darinya. Apa maksud dari pria itu sebenarnya?

Aku merasa malu menerima pemberiannya begitu saja. Takut jika Mas Rangga punya maksud buruk terhadapku. Tapi setelah aku pikir, mana mungkin dia mempunyai maksud buruk sedangkan aku tidak pernah menyakitinya.

Aku memilih tak banyak berpikir lagi dan memakan makanan pemberian Mas Rangga. Menurutku tak baik jika menolak rejeki apalagi aku memang sudah sangat jarang membeli jajanan karena uang belanja yang memang sangat terbatas. Jangankan untuk jajan, bisa untuk makan sebulan saja sudah bersyukur.

****

Sore hari seperti biasa, aku mengajak Caca bermain di depan rumah dengan Ibu-Ibu lain yang juga memiliki balita.

Suasana sore di kampung ini memang ramai. Banyak anak kecil bermain atau sekedar jajan di luar. Beberapa Ibu-Ibu juga kulihat bergerombol membahas apa saja yang menurut mereka menarik.

Caca sudah mulai belajar berjalan, jadi aku harus mengikutinya takut jika dia terjatuh. Bocah itu memang sedang aktif-aktifnya.

Dari jauh kulihat Mas Rangga baru pulang dari kerja, dia masih memakai sepatu dan tas yang terselempang di bahunya.

Aku dengar sekarang dia sudah membuka usaha interior sendiri meskipun masih baru. Sebelumnya, dia masih kerja ikut dengan orang lain. Pantas saja Mbak Risa sekarang semakin sombong.

Sudah jadi pembicaraan orang-orang di kampung bagaimana sikap Mbak Risa dan keluarganya yang selalu tinggi hati. Di sini memang Mas Rangga masih tinggal bersama dengan Mertuanya.

Motor Mas Rangga semakin mendekat, saat melewatiku dia tersenyum manis sekali namun tak berani menyapa karena ada banyak Ibu-Ibu di sini.

Refleks aku membalas senyuman manis pria itu. Saat aku amati, Mas Rangga terlihat benar-benar tampan. Itulah kenapa istrinya selalu cemburu buta kepadanya.

Entah kenapa hatiku merasa lebih baik setelah melihat senyuman Mas Rangga. Apakah aku mulai menyukainya, entahlah ....

Setiap Mas Rangga berbicara dengan perempuan lain yang masih tetangga bisa dipastikan Mbak Risa akan terus mengawasi, tidak melepaskan pandangannya walau sekejap saja.

Jika Mas Rangga keluar dan lama kembali, maka perempuan itu akan bingung mencarinya ke sana ke sini. Kadang dia sibuk menelpon suaminya itu agar segera kembali ke rumah.

Tak lama terdengar suara motor Mas Bagas. Caca melihat ke arah Ayahnya itu. Ia tersenyum bahagia dan berlari kecil ke Mas Bagas. Meskipun kerap kali dibentak dan dimarahi, tak membuat bocah kecil itu kapok mendekati Ayahnya.

Caca mengarahkan tangannya ke Mas Bagas, putriku ingin digendong oleh Ayahnya. Tangan Mas Bagas menepis tangan kecil itu dan dia berlalu masuk ke dalam.

Caca menangis menjerit memanggil Ayahnya, tubuhnya berontak saat aku mencoba mengangkatnya. Aku tak ingin dia mendapat bentakan lagi dari Mas Bagas.

Kubawa bocah itu ke kamar dan kuberikan mainan. Setelah beberapa saat aku bujuk, akhirnya dia bisa tenang kembali dan bermain dengan mainan yang tadi kuberi.

Sakit hatiku melihat perlakuan Mas Bagas ke putrinya sendiri. Lelaki itu selalu memasang wajah muramnya di depan kami. Tak pernah dia memberikan senyum tulusnya untuk anak istrinya.

Saat aku memgambil air wudhu karena terdengar adzan maghrib berkumandang, kulihat suamiku itu makan sesuatu yang dibawanya saat pulang kerja. Jangankan menawariku, menoleh pun tidak. Seakan-akan aku ini tidak ada di hadapannya.

Aku tersenyum miris. Bagaimana mungkin lelaki seperti dia mempunyai pikiran mengirimi istrinya paket makanan.

"Tega sekali kamu, Mas," batinku.

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status