Rani mengejar Aulia setelah melihat Aulia dan Ganendra berjalan dengan arah yang berlawanan. Ia merangkul Aulia yang sudah menjadi sahabatnya selama hampir tiga tahun ini.
"Aulia, kau kenal di mana CEO yampan itu?" tanya Rani penasaran.
"Siapa maksudmu, Ran?" tanya Aulia bingung.
"Kau ini, jangan berpura-pura tidak tahu begini!" keluh Rani. "Maksudku, Pak Ganendra Bamantara. CEO yang memberikan kita bimbingan tadi. Jelas, sekarang?" jelas Rani menekankan kata-katanya.
"Aku tidak kenal dengannya" jawab Aulia seadanya.
"Lalu kenapa dia tadi mengatakan kalau kalian sudah bertemu tiga kali?" tanya Rani semakin penasaran.
"Tidak sengaja" jawab Aulia singkat sambil berjalan dengan santai ke bangkunya.
Rani mengejar Aulia karena masih penasaran dengan pertemuan yang tidak sengaja yang dimaksudkan Aulia padanya.
"Maksudmu tidak sengaja bagaimana, Ya?" tanyanya.
"Sudahlah, ceritanya panjang!" kata Aulia yang enggan menanggapi rasa penasaran temannya itu.
"Sebentar, ya. Aku mau nelpon nenekku dulu" ujar Aulia yang teringat kembali akan neneknya.
Aulia keluar kelas untuk mencari tempat yang cukup tenang untuk menelpon neneknya. Aulia duduk di sebuah bangku yang tak jauh dari kantor para dosen. Dengan tenang ia mendial nomor telepon neneknya. Tidak lama panggilan itu tersambung dan segera di jawab dari si empunya nomor.
"Halo, Nek" ucap Aulia dengan nada lembut.
',,'
"Aku sedang di kampus. Nenek gimana? Sudah lebih baik?" tanya Aulia.
',,'
"Baguslah kalau begitu. Aulia tenang mendengarnya" lanjut Aulia.
',,'
"Jangan, Nek. Sabar dulu. Tunggu Dokter yang memang sudah izinkan pulang, baru kita pulang. Kalau sekarang, Nenek sabar sedikit, ya" bujuk Aulia
',,'
"Nenek jangan khawatir dengan hal itu. Aulia pasti dapatkan uangnya dengan cepat. Percaya dengandengan. Yang penting Nenek sehat dulu" kata Aulia menenangkan neneknya itu.
"Ya, sudah kalau begitu. Nenek istirahat. Sore nanti setelah pulang dari cafe Aku ke rumah sakit" ujar Aulia mengakhiri percakapannya.
Aulia menarik nafas panjang sambil melihat kearah ponsel yang baru saja ia kunci. Bayangan tentang tagihan rumah sakit membuat Aulia sedikit pusing. Tapi bagiamana pun ini sudah menjadi kewajibannya yang harus merawat dan mengurus serta mencukupi kebutuhan neneknya. Keluarga satu-satunya itu.
Setelah di rasa tenang, Aulia berbalik. Namun saat ia berbalik, Aulia terkejut mendapati seorang pria berdiri sambil memandang kearahnya.
"Kau ..., Sedang apa kau di situ?" tanya Aulia kaget.
"Mendengarkanmu bicara!" jawabnya santai.
"Dasar tidak waras!" keluh Aulia yang kemudian mengabaikan pria yang tak lain adalah Ganendra sendiri.
"Kau butuh uang?" tanya Ganendra mencegah Aulia pergi.
Aulia yang hendak melanjutkan langkahnya pun berhenti. Ia sedikit menatap tidak suka karena pembicaraannya tadi berhasil diketahui Ganendra dengan kata lain, Ganendra menguping pembicaraannya.
"Pak, setahu saya. Seorang CEO seperti Bapak itu memiliki begitu banyak pekerjaan, kenapa masih sempat menguping pembicaraan orang? Apa Bapak tidak memiliki pekerjaan yang lebih baik untuk mengisi waktu senggang Bapak?" tanya Aulia dengan nada ketus namun tetap dalam bahasa sopan.
Ganendra tersenyum tipis. Ia melipatkan kedua tangannya di dada, menyandarkan punggungnya pada dinding ruangan dengan kaki menyilang. Penampakan ini membuatnya kian terlihat gagah dan keren namun tetap hal itu tidak berhasil menarik perhatian Aulia.
"Saya tidak menguping. Tadi saya cuma lewat dan tidak sengaja mendengar percakapan seorang gadis yang berusaha menenangkan neneknya. Menurut saya ini lucu, karena dia memenangkan neneknya sementara dia sendiri terlihat lemah dan tidak berdaya!" ujar Ganendra.
Aulia membulatkan mata mendengar kata demi kata yang Ganendra sematkan pada dirinya. Lemah, tidak berdaya! Kata-kata itu sangat menyakitkan bagi Aulia meski sepenuhnya itu benar.
"Mungkin untuk orang kaya seperti Bapak, hal seperti ini lucu. Tapi tidak bagi kami. Terimakasih sudah menyadarkan saya bahwa saya cukup beruntung menjadi seperti ini. Setidaknya saya punya etika untuk bicara dengan sopan pada orang yang asing alih-alih menyematkan kata-kata menyakitkan padanya" kata Aulia yang kemudian melewati Ganendra dengan angkuhnya.
Ganendra sedikit tersentak mendengar kata-kata Aulia. Tidak disangka jika Aulia bisa bicara dengan kata pedas padanya saat orang lain malah memilih berhati-hati untuk bicara dengannya.
"Sepertinya aku tertarik denganmu, Baby" gumam Ganendra.
* * *
Aulia baru saja hendak memasuki kelasnya, namun seroang teman lelaki menghampirinya.
"Aulia, di panggil Dosen pembimbing kita ke ruangannya sekarang!" ujarnya pada Aulia.
"Astaga, aku lupa!" kata Aulia sambil menepuk dahinya keras. Dengan cepat ia menemui Dosen pembimbingnya.
Tok ... Tok ... Tok ...
Aulia mengetuk pintu ruangan dosennya itu.
"Masuk!" terdengar suara dari dalam ruangan yang mengizinkan Aulia untuk masuk.
"Permisi, Pak" ujar Aulia masih berdiri di muka pintu.
"Masuk, Aulia. Bapak punya kabar gembira untukmu" ujarnya sambil tersenyum lebar pada Aulia.
"Ada apa, ya Pak?" tanya Aulia bingung.
"Selamat, Aulia. Kau terpilih untuk magang di perusahaan Golden Grup. Kamu tidak sendirian karena ada dua teman kamu yang lainnya. Rani dan Rafael" ujarnya pada Aulia.
Aulia tak percaya mendengarnya. Pekerjaan yang ia inginkan kini terwujud. Tapi Aulia tidak sepenuhnya senang karena ia tahu bahwa itu perusahaan Ganendra.
"Kenapa? Kau tidak suka dengan kabar gembiranya?" tanya Dosen Aulia padanya.
"Bu-bukan, Pak. Kaget saja karena saya diterima" jawab Aulia.
"Pasti tidak menyangka, bukan. Maka dari itu gunakan kesempatan ini baik-baik. Siapa tahu kalau kinerjamu bagus, kau akan di pilih sebagai pegawai tetap" kata Dosen Aulia.
"Iya, Pak. Semoga saja" jawab Aulia penuh harap.
"Ya, sudah. Besok kau dengan teman-temanmu kunjungi perusahannya. Bawa ini" kata Dosen Aulia memberikan sebuah map pada Aulia.
"Terimakasih, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu" ujar Aulia sopan.
Aulia keluar dengan membawa map rekomendasi ditangannya. Jujur saja, ia sekarang ragu untuk melanjutkan keinginannya itu. Pertemuan yang tidak mengenakkan membuat Aulia merasa tidak akan bisa bekerja dengan baik. Tapi bayangan neneknya tiba-tiba memenuhi otaknya. Mau tidak mau ia harus menerimanya.
"Semangat, Aulia. Lagipula kau tidak akan bertemu dengannya selalu. Dia 'kan orang penting tieak mungkin bertemu denganmu yang cuma pegawai magang" ujar Aulia menenangkan hatinya sendiri.
* * *
Aulia melihat jam ditangannya yang sudah menunjukkan pukul satu siang. Aulia pun terburu-buru meninggalkan kampusnya karena memang sudah tidak ada pelajaran yang harus ia ikuti lagi. Kini ia bersiap menuju ke cafe tempat ia bekerja.
"Aulia ...," panggil teman laki-laki Aulia.
Aulia menoleh pada sumber suara. Dan ternyata Rafael yang memanggilnya sambil berlari kecil menuju padanya.
"Ada apa, Raf?" tanya Aulia.
"Mau pulang?" tanya Rafael.
"Tidak. Aku mau ke cafe. Aku masuk shif siang" jawab Aulia seadanya sambil melanjutkan langkahnya keluar gerbang kampus.
"Kebetulan kalau begitu, aku juga mau kearah sana. Perlu tumpangan?" tanya Rafael menawarkan diri.
Kebetulan yang sangat ditunggu oleh Aulia. Jika ia menumpang pada Rafael, maka ia bisa menghemat waktu dan uangnya juga. Tadi pagi ia sudah mengeluarkan uang yang cukup besar. Akhirnya Aulia menyetujui tawaran Rafael padanya.
"Sungguh, aku tidak akan merepotkanmu, Raf?" tanya Aulia basa-basi.
"Sudahlah ..., kau seperti orang asing aja" kekeh Rafael.
"Tunggu sebentar, aku akan ambil motorku dulu" ujar Rafael yang langsung beranjak ke parkiran tempatnya biasa memarkirkan motor maticnya.
"Ayo!" kata Rafael pada Aulia setelah ia kembali dengan motornya.
Aulia pun naik ke atas motor Rafael.
Aulia dan Rafael berboncengan menuju tempat bekerja Aulia. Sesekali mereka berbincang tentang pelajaran yang tidak mereka sukai. Kadang mereka tertawa dengan senangnya karena obrolan konyol mereka. Keduanya nampak tak ada beban padahal saat ini Aulia tengah menghadapi masalah yang cukup membebani pikirannya.Tak lama mereka pun tiba di cafe tempat Aulia bekerja. Aulia turun dan memberikan helm yang ia pakai pada Rafael."Terimakasih ya, Raf. Karena kau aku jadi cepat sampainya" ujar Aulia tulus."Santai, kau adalah temenku. Sudah sewajarnya aku membantumu. Nanti kalau aku sedajg butuh bantuan, giliran kau yang membantuku" jawab Rafael."Oke ..., oke ...," ujar Aulia mengerti.Rafael tengah menggantungkan helm yang tadi dipakai Aulia, namun tiba-tiba ponsel Aulia berdering. Aulia pun mengambil ponselnya dari dalam tas dan melihat nama neneknya di layar ponselnya."Nenekku" ujar Aulia sedikit panik karena neneknya menghubungi dia di jam kerjan
Ganendra mendekat pada kakeknya yang juga membawanya mendekat pada Aulia. Dengan tegap di berdiri sambil memandang sinis pada Aulia."Aku juga menolak perjodohan ini, Kek" ujar Ganendra."Kau tidak boleh menolak Ganendra, karena kalau kau menolak maka saham yang berada atas namamu akan diberikan seluruhnya pada Aulia. Itulah perjanjian yang kami buat bersama orang tua kalian!" jelas Opa Hendra.Ganendra terkejut bukan kepalang mendengarnya. Bagaimana mungkin keluarganya akan memberikan semua sahamnya pada Aulia jika ia menolak perjodohan tersebut. Dan tentu saja, perjanjian seperti itu tidak ada. Itu hanya alasan Opa Hendra untuk membuat Ganendra mau menerima perjodohan tersebut dan berharap jika mereka menikah, Ganendra perlahan akan merubah kebiasaan buruknya."Tidak bisa, Opa. Itu milikku! Aku tidak akan memberikannya pada orang lain!" sanggah Ganendra."Jika kau tidak ingin kehilangan apa yang sudah menjadi milikmu. maka kau harus menikah. Kala
Malam harinya, Ganendra masih berada dikediaman utama keluarga Bamantara. Dan saat ini ia tengah bersiap-siap untuk keluar menikmati rutinitas malamnya di bar ataupun klub malam. Menghabiskan waktu dengan minuman beralkohol atau dengan wanita-wanita pramunikmat di sana. Tapi baru saja Ganendra turun dari tangga, Kakeknya sudah menahan dia."Mau kemana kau, Gane?" tanya Opa Hendra dengan suara lantang dan tegasnya."Mau keluar. Cari angin!" jawab Ganendra berbohong."Jangan bodohi Opa. Kau kira Opa tidak tahu apa yang kau lakukan di luaran sana setiap malam, hah?" teriak Opa Hendra keras."Apa salahnya, Opa? Aku anak muda. Wajar saja aku menikmati masa mudaku!" jawab Ganendra santai."Menikmati masa muda dengan pramunikmat atau minuman keras? Itu yang kau maksud masa mudamu?" sinis Opa.Ganendra diam, ia tahu kakeknya itu tidak pernah menyukai kehidupan malam yang ia jalani."Ke rumah sakit sekarang! Temani Aulia menjaga neneknya. Kala
"Di sini dingin, aku tidak memakai jaket. Lebih baik kita masuk!" ujar Aulia memutuskan untuk kembali ke ruangan neneknya. Namun saat ia sedang berdiri, dengan cepat Ganendra menarik tangannya dan membuat Aulia terjatuh ke dalam pangkuannya."Apa yang kau lakukan? Di sini banyak orang!" kata Aulia berusaha untuk bangkit namun tidak bisa karena Ganendra sudah memeluk tubuhnya."Terima pernikahan ini, maka aku pastikan kehidupanmu dan Nenekmu akan aman dan baik-baik saja!" kata Ganendra."Apa kau gila? Menurutmu masa depanku harus aku pertaruhkan hanya dengan selembar uang?" tanya Aulia tajam."Tapi setidaknya kau dan nenekmu tidak akan kesusahan lagi? Kau tahu, penyakit nenekmu semakin lama semakin parah. Itu membutuhkan banyak biaya, apa kau kira dengan bekerja siang malam bisa mencukupi semuanya?" jelas Ganendra."Kau menyelidikiku dan Nenek?" tanya Aulia tidak percaya."Aku harus tahu wanita yang akan menikah denganku. Tidak salah, bukan?"
Pagi ini Ganendra kembali mendatangi rumah sakit. Ia akan mengantar Aulia dan pergi bersama ke kantor.Tok ... Tok ... Tok ...Ganendra mengetuk pintu yang memang sudah sedikit terbuka. Kedua orang yang berada dalam ruangan tersebut menoleh bersamaan."Nak Ganendra, masuklah!" kata Nenek Aulia memberi izin."Terimakasih, Nek." Ganendra masuk dan mendekat pada keduanya. Nenek Aulia tersenyum hangat hanya Aulia saja yang memalingkan wajah, menolak melihat Ganendra."Ada apa kau pagi-pagi sekali ke sini?" tanya Nenek Aulia."Saya di suruh Opa untuk mengantar Aulia. Kebetulan hari ini hari pertamanya magang di kantorku" jelas Ganendra."Wah, kebetulan sekali. Aulia, cepat bersiap!" titah Nenek Aulia pada Aulia."Aku sudah siap, Nek. Aku pergi dulu, Nek. Jaga diri Nenek. Kalau ada apa-apa telepon aku secepatnya!" ujar Aulia dan neneknya hanya mengangguk menanggapinya.Aulia dan Ganendra pamit. Mereka meninggalkan ruang perawa
Aulia baru saja hendak meninggalkan perusahaan Ganendra namun Rani memanggilnya dengan suara yang cukup keras hingga membuat semua pandangan tertuju pada mereka. "Rani, kenapa teriak-teriak?" kesal Aulia. "Kau mau kemana, Ya? Kita di suruh menghadap HRD untuk laporan!" ujar Rani dengan nafas tersengal-sengal. Tak lama Rafael ikut bergabung dengan mereka. "Dia tidak perlu melapor, Ran. Aulia sudah pasti di terima" celetuk Rafael dengan muka masam. "Apa maksudmu, Raf?" tanya Rani bingung. Rafael memandang sekilas pada Aulia. Raut wajahnya menampakkan kekecewaan mendapatkan wanita yang ia cintai sudah menjadi tunangan orang lain. "Dia tunangan Pak Ganendra" ujar Rafael lemah. "Tunangan?" teriak Rani terkejut. Ia menatap pada Aulia, namun Aulia hanya tertunduk lesu. "Benar apa yang Rafael katakan, Ya?" tanya Rani memastikan. Dengan anggukan pelan Aulia menjawabnya. Mata Rani pun membulat sempurna. Ia tidak menyangka
Aulia bergegas ke kantin untuk menemui Rani. Dan kini Rani tengah mengantri untuk makan siangnya. Aulia pun segera menyusul dibelakangnya."Kau lambat sekali, aku terpaksa memesan lebih dulu" kata Rani saat menyadari kehadiran Aulia dibelakangnya."Maaf, tadi aku ...," Aulia tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Ia tidak ingin membahas semua yang berkaitan dengan Ganendra. Itu terlalu membuatnya muak."Kau kenapa?" tanya Rani bingung."Aku tadi ke toilet!" dusta Aulia.Rani pun tidak membahas lebih jauh. Sementara Aulia terlihat mengamati sekelilingnya, ia mencari seseorang yang seharusnya bergabung dengan mereka."Kau mencari Rafael?" tanya Rani tiba-tiba."Di mana dia?" tanya Aulia langsung."Itu ...," Rani menunjuk pada pojok kantin yang terdapat sebuah meja. Di sana ada Rafael yang tengah makan dan berbincang dengan rekan kerjanya. Terlihat sekali Rafael sangat senang bergabung dengan rekan-rekan Devisinya. Aulia pun hanya b
Ganendra mengurai pelukannya dari Aulia. Aulia masih tertunduk dengan wajah basahnya. Ganendra memegang kedua pundaknya dan berkata, "Bujuklah Nenek, aku akan mengurus semuanya. Jika Opa tahu dia pasti akan melakukan hal yang sama" ujar Ganendra pada Aulia.Aulia mengangguk pelan. Ia mengusap wajahnya yang basah dan berlari ke dalam toilet untuk membasuh wajahnya. Ganendra masih setia menunggunya.Tak lama Aulia keluar dan melihat Ganendra masih menunggu dirinya."Kenapa kau masih di sini?" tanya Aulia."Pulanglah, kau mungkin butuh waktu untuk menenangkan diri" jawab Ganendra.Aulia tersenyum kecil. Ia memandang pada Ganendra dengan tatapan tidak dimengerti Ganendra."Kau menyuruhku meninggalkan kantor di hari pertamaku bekerja? Apa kau ingin aku dipecat, hah?" tanya Aulia tajam."Jangan khawatir untuk hal itu, aku akan mengurusnya dengan kepala devisimu. Jadi pulanglah!" titah Ganendra."Aku akan tetap bekerja seperti seharus