Nadira duduk di ruang tengah, memeluk bantal dengan pandangan kosong. Apartemen Vino terlalu luas, telalu sunyi, dan terlalu asing baginya. Nadira menarik napas panjang, matanya melihat ke sekeliling, hanya kesunyian malam yang menemaninya di sini.Kini tatapannya tertuju ke meja makan, ada sepiring roti dan segelas susu, yang belum disentuhnya sejak sore tadi. Dia tidak punya selera makan. Entah karena sunyi atau karena perasaannya yang tidak tenang. Nadira masih mengkhawatirkan Ayahnya, walau pun tadi Vino sudah mengatakan kalau semua sudah diurus.Nadira ingin pulang ke kampung, untuk merawat Ayahnya. Tapi dia segan mengatakan keinginannya pada Vino. Karena sebentar lagi mereka akan menikah, sudah pasti Vino tidak mengizinkan.Dia bangkit perlahan, melangkah ke arah jendela. Melihat pemandangan yang terlihat di luar sana, untuk mengusir lelah. Hingga suara ketukan pintu, tiba-tiba terdengar.Nadira menoleh cepat. "Apa itu orang suruhan Vino?" gumam Nadira."Permisi, Nona Nadira?"
Mobil Vino melaju pelan menembus kemacetan sore ibu kota, suasana di dalam mobil terasa tenang. Nadira duduk di kursi penumpang dengan sedikit canggung, kedua tangannya terlipat di pangkuan, sementara matanya menatap keluar jendela menatap gedung-gedung tinggi menjulang.Setelah pertemuan dengan orang tua Vino tadi, hatinya merasakan rasa bersalah. Sambutan ramah dari ibu Vino, walau tatapan rasa ingin tahunya pada Nadira terasa sangat jelas. Dan tatapan hangat ayah Vino, walau tidak banyak bicara, seperti mengisyaratkan dia menerima segala keputusan putranya."Bagaimana kalau mereka tahu, bahwa ada kebohongan dalam pernikahan ini, apa orang tua Vino akan membencinya?" batin Nadira.Vino yang duduk di belakang kemudi tampak fokus. Tangannya mantap memegang setir, pandangannya lurus ke depan. Dia bukan tipe pria yang banyak bicara, tapi bukan pula pria yang dingin. Ada wibawa tenang dalam dirinya."Capek?" tanyanya tiba-tiba, tanpa menoleh pada Nadira.Nadira terkejut sejenak, lalu men
"Rama sudah memberitahu apa yang harus kau lakukan?" Pertanyaan Vino memecah keheningan di dalam mobil. Dia menoleh sesaat pada Nadira, lalu kembali fokus melihat jalanan. Mereka menuju kediaman orang tua Vino.Nadira yang duduk di kursi penumpang di sebelahnya mengangguk pelan. "Iya..."Kemarin saat Rama mengantarnya pulang, dia memberitahu beberapa hal. "Ra, ingat saat bertemu orang tua Vino nanti kau jangan memanggilnya "Tuan", kau harus memanggilnya "sayang" agar mereka yakin bahwa kau dan Vino benar-benar saling menyayangi. Kau jangan terlihat canggung, dan kau harus mengingat cerita yang sudah ku karang tentang pertemuan pertama."Nadira hanya mengangguk saja saat mendengar arahan dari sutradaranya. "Ingat! Hubungan kalian ini atas dasar cinta pada pandangan pertama. Vino yang langsung jatuh cinta dan tergila-gila padamu, saat tidak sengaja kamu menabraknya di depan pintu kantin pabrik."Mengingat kata tergila-gila, rasanya bulu kuduk Nadira berdiri. Dia melirik Vino sekilas, p
Nadira berdiri di depan gerbang mess karyawan. Dia berdiri dengan perasaan gelisah, wajahnya cemas, tapi dia harus pasrah. Hari ini Rama berjanji menjemputnya untuk bertemu Vino. Ini kali keduanya dia akan bertemu dengan Vino, setelah dia menabrak pria itu di depan pintu kantin pabrik.Sebuah mobil berhenti di depannya, kaca jendelanya perlahan turun. “Dira,” sapa Rama.“Kak Rama,” Nadira melangkah mendekati mobil Rama, dengan tangan gemetar dia membuka pintu. Nadira duduk di kursi penumpang di samping Rama.“Kamu sudah siap?”Nadira mengangguk pelan. Sepanjan perjalanan, suasana di dalam mobil terasa hening. Nadira memandangi keluar jendela, mencoba menenangkan diri.Sekilas Rama melihat Nadira di sampingnya. “Jangan terlalu tegang, Ra,” katanya akhirnya, memecah keheningan.Nadira menoleh cepat. “Aku… takut, Kak.”“Bagaimana kalau aku membuat kesalahan?” lanjutnya.“Jangan takut, Santai saja. Aku juga akan ada di sana.”Ucapan Rama membuat Nadira sedikit tenang, walau jantungnya tet
Nadira berdiri di bagian pengepakan, dia mengepak barang sesuai jenisnya. Tangannya bergerak lambat, pikirannya melayang ke kejadian pagi tadi. Anak buah Brama sudah menemukannya, dia merasa sangat tidak aman.Diwaktu bersamaan, kata-kata Rama di pos satpam tadi terus terngiang di telinganya."Seseorang yang bisa membayar lunas hutang ayahmu pada Brama."'Apa aku sebaiknya menerima tawaran Kak Rama, soal pernikahn kontrak dengan CEO Malvino Saputra itu?'Tatapannya kosong ke depan, karena terlalu memikirkan tawaran Rama. Hingga sebuah suara memanggil namanya."Ra... Dira..." Nisa sedikit berbisik di sampingnya, sambil melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Nadira.Panggilan Nisa membuyarkan lamunannya, dia buru-buru mengalihkan pandangannya melihat Nisa."Ah, iya?""Ku lihat kamu dari tadi melamun terus, Ra. Kamu ada masalah?""Kamu jadi tidak fokus bekerja."Nisa menunjuk pekerjaannya yang dari tadi terbengkalai."Kalau ada masalah cerita dong, Ra,"lanjutnya sedikit khawatir."Aku
Rama melangkah menuju pos satpam di dekat gerbang pabrik. Tangan kirinya menggenggam pergelangan tangan Nadira yang lemah. Napas Nadira terengah, rambutnya sedikit berantakan, wajahnya tampak pucat dan langkahnya masih tidak seimbang. Nadira masih terkejut dengan kejadian barusan.Satpam bernama Darto yang berjaga langsung berdiri, ketika melihat Rama masuk bersama karyawan pabrik."Mas Rama? Ada apa ini?" tanyanya khawatir."Boleh kami duduk di sini sebentar?""Boleh, boleh." Darto menarik kursi plastik yang bersandar di dinding.Nadira duduk perlahan. "Terima kasih, Pak."Rama menoleh pada Darto. "Pak, bisa tolong ambilkan segelas air hangat?""Bisa, Mas. Saya buatkan sebentar." Darto bergegas ke ruangan belakang tempat dispenser berada.Pos satpam itu tidak besar, hanya sekitar tiga kali empat meter. Di dalamnya ada meja kayu panjang, beberapa alat komunikasi dan televisi kecil yang menampilkan kamera CCTV area pabrik.Rama duduk di samping Nadira. "Tenang... Sekarang kamu aman. Me