LOGINUdara malam begitu dingin, ketika jam menunjukkan pukul satu dini hari. Rumah sudah tenggelam dalam kesunyian, hanya suara dengkuran Ayah yang terdengar di kamar sebelah. Nadira berdiri di depan jendela kamarnya. Jantungnya berdebar cepat, dan tangannya gemetar saat menyentuh pengait jendela. Perlahan tangannya membuka pengait. Dengan hati- hati, dia membuka jendela itu. Samar-samar terdengar racauan ayah dalam tidurnya, itu membuatnya panik sejenak. Tapi malam tetap sunyi.
Di keluarkannya tas terlebih dahulu. Perlahan, Nadira menaiki jendela. Begitu kakinya menyentuh tanah, Nadira menatap rumah yang selama ini dia tinggali. Rumah yang dulu terasa seperti surga, saat berada di dalamnya. Namun kini tak bedanya seperti neraka. "Aku tidak tahu akan kembali atau selamanya pergi." "Maafkan aku, Yah." Jendela di tutupnya kembali. Dia berjalan cepat menyusuri jalan kecil di belakang rumah, melangkahkan kakinya mengarah terminal. Tas lusuhnya bertengger di bahu, terasa berat, padahal isinya hanya pakaian, beberapa perlengkapan, dan foto ibu. Langkah kakinya terdengar jelas di jalanan yang sepi. Sesekali dia menengok ke belakang, rasa takut terus menghantuinya. "Tenang, Dira... Hanya tinggal beberapa jam lagi akan sampai terminal," batinnya menenangkan diri. Namun, ketika melewati pesimpangan bulu kuduknya merinding, seakan ada yang mengikutinya di belakang. Bukan hantu yang dia takuti, tapi dia takut para anak buah Brama mencarinya. Langkah kaki itu semakin jelas terdengar. Nadira mempercepat langkahnya, sosok itu pun ikut mempercepat langkahnya. "Tidak.... jangan sekarang..." Nadira menggenggam tali tasnya, lalu mempercepat langkah hingga hampir berlari. Saat sudah mulai menjauh dari sosok itu, dia bersembunyi di balik pohon besar. Napasnya memburu, tubuhnya gemetar. Langkah itu semakin dekat terdengar. Bayangan sosok itu semakin jelas, tinggi, kurus, dan membawa sesuatu di tangannya. Nadira menahan napas sekuat tenaga. Jika dia bersuara sedikit saja pasti akan ketahuan. Sosok itu berhenti tidak jauh dari tempatnya bersembunyi. Dia celangak celinguk melihat ke kiri dan ke kanan. Seperti sedang mencari seseorang. Air mata Nadira hampir jatuh, tubuhnya terasa lemas. "Jika itu orang suruhan Brama... habislah aku..." Namun, suara mesin motor terdengar dari kejauhan. Sosok itu mendekat ke arah jalan raya. Nadira menutup mulutnya, menahan isakan tangis. Dia merasa lega. Begitu sosok itu menghilang, dengan diikuti suara mesin motor yang semakin menjauh, dia keluar dari persembunyian dan berlari sekencang-kencangnya. "Aku harus cepat sampai ke terminal..." Meski tubuhnya terasa lelah, tapi tekadnya lebih kuat dari rasa takutnya. Nadira sadar, kabur bukan hanya tentang meninggalkan rumah, tapi dia akan menghadapi beratnya hidup di luar sana, di kota besar. **** Langkah Nadira tertatih ketika akhirnya cahaya lampu dari terminal sudah terlihat dari kejauhan. "Sebentar lagi, Dira... harus kuat," dia menyemangati dirinya sendiri. Waktu sudah menunjukkan pukul tiga dini hari. Dingin terasa menusuk sampai ke tulang. Napasnya memburu, kakinya gemetar. Bukan hanya karena lelah berlari, tapi rasa takut masih menghantuinya. Rasa takut tidak akan hilang jika dia masih berada di sini. Terminal itu tampak lengang. Hanya ada beberapa orang yang tampak duduk di bangku panjang. Ada juga yang merebahkan diri di bangku, sebagian besar laki-laki yang terlihat seperti buruh angkut. Suara seretan sendal dan tawa kecil sesekali terdengar. Membuat Nadira semakin waspada. Dia melepas tas lusuh di punggungnya dan mendekapnya erat dalam pelukan sambil berjalan ke arah loket tiket yang masih sangat sepi. Seorang petugas paruh baya menatapnya heran. Jam segini sudah ada gadis yang membeli tiket. "Mau ke mana, Neng... Pagi-pagi begini?" "Ke... kota. Saya mau beli tiket bus keberangkatan pertama, Pak," sahutnya dengan gugup. Petugas itu mengangguk, mengeluarkan secarik kertas tiket dan menyebutkan harganya. "Satu jam lagi bus berangkat, Neng."Sore itu, rumah keluarga Vino terasa jauh lebih sunyi dari biasanya. Nadira berjalan pelan menaiki tangga, menuju kamar yang dia dan Vino tempati. Begitu dia membuka pintu, suara lembut shower terdengar dari kamar mandi. Vino baru pulang, lebih dulu dan langsung mandi. Nadira melepas tas kerjanya, melep[as cardigannya, dan duduk di sofa.Nadira menarik napas panjang, mengingat apa yang sudah terjadi di kantor tadi. "Kenapa hari ini rasanya... aneh sekali?" pikirnya.Pintu kamar mandi terbuka, Vino keluar dengan rambut yang masih basah. Dengan memakai kaos hitam dan celana santai yang terlihat rapi. Dia mengeringkan rambut sambil berjalan melintasi ruangan, tanpa menoleh sedikit pun pada Nadira."Tiba-tiba baik, tiba-tiba dingin, dia kenapa sih?" Nadira bertanya dalam hatinya.Tanpa menyapa, Nadira langsung masuk ke kamar mandi. Dia ingin cepat-cepat mengguyur kepalanya yang terasa panas. Mungkin dengan mandi air dingin, pikiran dan perasaannya bisa sedikit lebih tenang.Jujur saja se
Baru saja Nadira mendudukkan dirinya di kursi di ruangannya, menarik napas panjang setelah pagi hingga hampir siang yang cukup menguras energi jantungnya, tiba-tiba ponselnya bergetar tanda satu pesan masuk. Pesan dari Vino, "Temani aku makan siang."Alis Nadira terangkat, mulutnya sedikit menganga, matanya membulat. Dia baru saja keluar dari ruangan pria itu. Di suruh mengecek laporan yang seharusnya bisa dia kerjakan di ruangannya sendiri. Setelah itu dia mengira semuanya akan benar-benar selesai, ternyata..."Kenapa tidak sekalian tadi memberi tahu?" gerutu Nadira pelan, sambil menatap ponselnya.Bukannya Nadira tidak senang, ini bahkan sudah dia impikan dari beberapa bulan lalu. Bisa makan berdua dengan suaminya, tapi rasanya terlalu mendadak dan tidak masuk akal. Nadira merasa ada yang aneh dari perlakuan Vino. "Dia kenapa sih?"Satu pesan lagi masuk, "Aku tunggu di restoran, tiga pulih menit lagi.""Iya, Mas," balas Nadira singkat.Sebelum jam makan siang, dia mencoba fokus me
Sejak hari itu, hari ketika Vino tanpa sengaja melihat Nadira dan Doni mengobrol di depan ruang divisi administrasi umum, ada sesuatu yang berubah dari sikapnya. Sesuatu yang tidak pernah Nadira bayangkan akan muncul dari pria yang selama satu tahun ini menjadi suami kontraknya.Perubahan itu dimulai dengan hal yang tampak sepele.Pagi ini, ketika Nadira baru menyalakan komputer di mejanya, pesan masuk dari nomor Vino. Bukan dari Rama, tapi langsung dari Vino sendiri."Dira, datang ke ruanganku, sekarang!"Nadira mengerutkan kening saat membaca isi pesannya. Biasanya Vino hanya menyuruhnya melalui Rama, dan itu pun jarang sekali. Selama dia bekerja di sini, pertemuannya dengan Vino bisa di hitung dengan jari. Apa lagi sampai ke ruanannya, dia tidak pernah sama sekali menginjakkan kaki ke sana."Kenapa tiba-tiba menyuruh ke ruangannya?" gumamnya pelan.Nadira pun bergegas menuju lantai paling atas. Saat sampai di atas dia menghampiri meja karyawan yang ada di dekat ruangan CEO."Permis
Pagi terasa berjalan lambat hari itu. Vino memutuskan datang lebih awal ke kantor untuk meninjau laporan dari beberapa pabrik yang baru dia kunjungi minggu lalu. Dia sudah berjanji untuk mengurangi jadwal ke luar kota, jadi sekarang dia meminta Rama yang mengurus pekerjaan di luar kota dan bertemu klien.Dia biasanya langsung menuju lantai paling atas, ke ruangan CEO. Namun entah kenapa langkah kakinya membawanya ke lantai divisi tempat Nadira bekerja. Dia bilang pada dirinya itu hanya kebetulan, dia hanya ingin melihat aktivitas para karyawan. Tapi dalam hatinya, dia tahu itu hanya sebuah alasan untuk memastikan sesuatu.Ketika dia keluar dari lift, suara percakapan ringan dan gelak tawa kecil, samar terdengar dari arah ruang divisi administrasi umum. Vino tidak berniat mencari tahu, tapi langkahnya berhenti begitu saja ketika suara itu semakin jelas. "Suara Dira," batinnya.Dan satu suara pria yang terdengar begitu akrab mengobrol dengan Nadira.Vino berdiri beberapa meter dari rua
Malam itu menjadi makan malam keluarga yang yang hangat bagi Nadira. Untuk pertama kali dalam beberapa bulan, Vino tidak berada di luar kota. Dia pulang lebih cepat dari biasanya, langsung menuju rumah keluarga besarnya, tanpa singgah ke kantor.Nadira yang baru saja selesai membersihkan diri sepulang dari kantor, tampak terkejut ketika melihat Vino sudah duduk di sofa di kamar mereka."Mas..." ucapnya pelan sedikit terkejut, entah kenapa ada rasa bahagia di hatinya. Melihat Vino ada di kamar."Kamu... tidak keluar kota malam ini?" tanya Nadira pelan, sekedar memastikan."Besok pagi," jawab Vino singkat. Suaranya datar, tapi ada sedikit nada lelah yang tertangkap oleh Nadira.Vino berdiri, berjalan masuk ke kamar mandi. "Tunggu aku, kita turun sama-sama," pintanya pada Nadira.Nadira mengangguk pelan. "Iya."Ketika mereka sampai di ruang makan, Vina langsung tersenyum lebar. "Akhirnya, Kak Dira bisa makan malam bareng suami.""Ibu kira kamu sudah lupa jalan pulang, Vin.""Maaf, Bu. Ak
Suatu pagi di kantor, Doni datang dengan membawa dua gelas kopi. "Aku lihat kamu sibuk banget, masih pagi loh ini," katanya sambil menyodorkan segelas kopi.Nadira tertawa kecil, mengambil gelas. "Makasih, Don. Repot-repot deh.""Repot apanya," jawab Doni, namun menahan sisa kalimatnya. Yang seharusnya berbunyi "kalau untuk kamu, aku tidak akan merasa repot."Bagi Nadira, sikap itu hanya bentuk perhatian dari teman. Dia tidak pernah menganggapnya lebih dari itu. Nadira tidak menyadari tatapan Doni yang sedikit lebih lama dari saat pertama dia bergabung ke divisi ini, atau senyum gugup Doni ketika berbicara dekat dengannya.Mungkin karena dari awal Nadira sudah menjaga hatinya. Setiap kali nama Vino terlintas di pikirannya, dia otomatis menjaga jarak dan hatinya dari siapa pun. Meski Vino sendiri sedang jauh dan mungkin tidak peduli.Dia lebih sering bertukar pesan dengan Rama, menanyakan mereka sedang apa, sudah makan atau belum. Hanya sebatas itu, dia merasa segan untuk menanyakan l







