Share

Bab 4

Author: Mufid Pandri
last update Last Updated: 2025-10-03 13:39:34

Udara malam begitu dingin, ketika jam menunjukkan pukul satu dini hari. Rumah sudah tenggelam dalam kesunyian, hanya suara dengkuran Ayah yang terdengar di kamar sebelah. Nadira berdiri di depan jendela kamarnya. Jantungnya berdebar cepat, dan tangannya gemetar saat menyentuh pengait jendela. Perlahan tangannya membuka pengait. Dengan hati- hati, dia membuka jendela itu. Samar-samar terdengar racauan ayah dalam tidurnya, itu membuatnya panik sejenak. Tapi malam tetap sunyi.

Di keluarkannya tas terlebih dahulu. Perlahan, Nadira menaiki jendela. Begitu kakinya menyentuh tanah, Nadira menatap rumah yang selama ini dia tinggali. Rumah yang dulu terasa seperti surga, saat berada di dalamnya. Namun kini tak bedanya seperti neraka.

"Aku tidak tahu akan kembali atau selamanya pergi."

"Maafkan aku, Yah." Jendela di tutupnya kembali.

Dia berjalan cepat menyusuri jalan kecil di belakang rumah, melangkahkan kakinya mengarah terminal. Tas lusuhnya bertengger di bahu, terasa berat, padahal isinya hanya pakaian, beberapa perlengkapan, dan foto ibu.

Langkah kakinya terdengar jelas di jalanan yang sepi. Sesekali dia menengok ke belakang, rasa takut terus menghantuinya.

"Tenang, Dira... Hanya tinggal beberapa jam lagi akan sampai terminal," batinnya menenangkan diri.

Namun, ketika melewati pesimpangan bulu kuduknya merinding, seakan ada yang mengikutinya di belakang. Bukan hantu yang dia takuti, tapi dia takut para anak buah Brama mencarinya.

Langkah kaki itu semakin jelas terdengar. Nadira mempercepat langkahnya, sosok itu pun ikut mempercepat langkahnya.

"Tidak.... jangan sekarang..."

Nadira menggenggam tali tasnya, lalu mempercepat langkah hingga hampir berlari. Saat sudah mulai menjauh dari sosok itu, dia bersembunyi di balik pohon besar. Napasnya memburu, tubuhnya gemetar. Langkah itu semakin dekat terdengar. Bayangan sosok itu semakin jelas, tinggi, kurus, dan membawa sesuatu di tangannya.

Nadira menahan napas sekuat tenaga. Jika dia bersuara sedikit saja pasti akan ketahuan. Sosok itu berhenti tidak jauh dari tempatnya bersembunyi. Dia celangak celinguk melihat ke kiri dan ke kanan. Seperti sedang mencari seseorang.

Air mata Nadira hampir jatuh, tubuhnya terasa lemas.

"Jika itu orang suruhan Brama... habislah aku..."

Namun, suara mesin motor terdengar dari kejauhan. Sosok itu mendekat ke arah jalan raya.

Nadira menutup mulutnya, menahan isakan tangis. Dia merasa lega.

Begitu sosok itu menghilang, dengan diikuti suaraesin motor yang semakin menjauh, dia keluar dari persembunyian dan berlari sekencang-kencangnya.

"Aku harus cepat sampai ke terminal..."

Meski tubuhnya terasa lelah, tapi tekadnya lebih kuat dari rasa takutnya.

Nadira sadar, kabur bukan hanya tentang meninggalkan rumah, tapi dia akan menghadapi beratnya hidup di luar sana, di kota besar.

****

Langkah Nadira tertatih ketika akhirnya cahaya lampu dari terminal sudah terlihat dari kejauhan.

"Sebentar lagi, Dira... harus kuat," dia menyemangati dirinya sendiri.

Waktu sudah menunjukkan pukul tiga dini hari. Dingin terasa menusuk sampai ke tulang.

Napasnya memburu, kakinya gemetar. Bukan hanya karena lelah berlari, tapi rasa takut masih menghantuinya. Rasa takut tidak akan hilang jika dia masih berada di sini.

Terminal itu tampak lengang. Hanya ada beberapa orang yang tampak duduk di bangku panjang. Ada juga yang merebahkan diri di bangku, sebagian besar laki-laki yang terlihat seperti buruh angkut.

Suara seretan sendal dan tawa kecil sesekali terdengar. Membuat Nadira semakin waspada.

Dia melepas tas lusuh di punggungnya dan mendekapnya erat dalam pelukan sambil berjalan ke arah loket tiket yang masih sangat sepi.

Seorang petugas paruh baya menatapnya heran. Jam segini sudah ada gadis yang membeli tiket.

"Mau ke mana, Neng... Pagi- pagi begini?"

"Ke... kota. Saya mau beli tiket bus keberangkatan pertama, Pak," sahutnya dengan gugup.

Petugas itu mengangguk, mengeluarkan secarik kertas tiket dan menyebutkan harganya.

"Satu jam lagi bus berangkat, Neng."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dijual Ayah, Dipinang Takdir   Bab 10

    Aroma lembut dari bunga segar yang ada di dalam kamar hotel tercium, ketika Vino membuka pintu. Dia menaruh jas di kursi, melepas dasi yang sejak pagi terpasang di lehernya. Lalu menjatuhkan diri ke sofa panjang di dekat jendela, menyandarkan tubuh sambil memejamkan mata. Dari ketinggian, kamar hotel di lantai dua belas. Lampu jalanan terlihat temaran menggambarkan ketenangan. Tetapi, tidak pada pikiran Malvino Saputra. Seorang CEO di perusahaan besar, Putra Corporation. Hari ini terlalu melelahkan, rapat di pabrik yang penuh tekanan. Kepalanya di penuhi oleh tumpukan laporan yang harus dia bereskan. Dan kini, di tengah kemewahan kamar hotel yang sepi, dia ingin menenangkan pikiran. Tiba-tiba ponselnya bergetar di atas meja. Ditatapnya sejenak, terlihat tulisan "Ibu" di layar ponselnya. Dia menghela napas, lalu mengangkat panggilan itu. "Iya, Bu." Suaranya berat, tetapi terdengar tenang. "Vino, kamu di mana sekarang?" "Masih di hotel, Bu. Aku baru pulang dari pabrik. Ada

  • Dijual Ayah, Dipinang Takdir   Bab 9

    Pagi itu terasa berbeda bagi Nadira. Wajah yang biasanya cemas, kini seperti disinari oleh secercah harapan. Sebelum berangkat dia tidak lupa berpamitan pada nenek. "Nek, terima kasih ya sudah mau menampungku di sini...""Aku tidak akan melupakan kebaikan nenek," lanjutnya.Nenek mengelus lembut pundak Nadira."Iya, sama-sama, Nak. Kamu kerja yang rajin, ya... Kapan-kapan main ke sini lagi."Nadira mengangguk dan tidak lupa menyalami nenek.Dia berjalan dengan langkah ringan menuju pabrik. Meski tubuhnya terlihat lebih kurus karena kurang makan dan kelelahan selama beberapa hari terakhir, langkah tetap penuh semangat.Mulutnya terdengar mendendangkan sebuah lagu sambil berjalan, menandakan bahwa dia kini benar-benar merasa bahagia karena telah mendapatkan pekerjaan sekaligus tempat tinggal."Semangat, Dira. Masa depanmu di mulai hari ini," dia menyemangati dirinya sendiri.****Sesampainya di pabrik, salah satu karyawan menyerahkan seragam dan papan tanda pengenal padanya.Dia berge

  • Dijual Ayah, Dipinang Takdir   Bab 8

    Pagi itu, pasar tradisional sangat ramai, tidak seperti biasanya. Suara pedagang yang saling bersahutan, aroma ikan asin yang bercampur wangi rempah-rempah, dan langkah-langkah kaki pembeli memadati lorong-lorong sempit.Di tengah keramaian itu, dua orang pria memakai topi dan kacamata hitam berjalan pelan sambil membawa sebuah foto di tangan mereka.Mereka adalah anak buah Brama. Tatapan mereka tajam, meneluauri setiap sudut pasar,, seolah sedang berburu mangsa."Apa ada terlihat gelagat Nadira di sini?" tanya salah satu dari mereka, bernama Tono."Aku tidak melihatnya. Coba tanyakan saja pada orang-orang yang ada di sekitar sini." Jawab temannya, Budi.Tono berjalan sambil merapikan topinya, mendekati ibu penjual sayuran. "Bu, pernah lihat gadis ini? Tingginya segini, rambutnya panjang." Sambil menyodorkan foto Nadira.Ibu itu melihat sekilas dan menggeleng. "Tidak tahu."Budi juga menyusuri arah yang berbeda, menanyakan hal yang sama. "Apa pernah melihat gadis yang dia sebutkan tin

  • Dijual Ayah, Dipinang Takdir   Bab 7

    Pagi itu, Nadira melangkah dengan tekad yang lebih kuat dan semangat yang menggebu. Walau perutnya hanya di isi dengan gorengan dan teh hangat yang di berikan nenek saat di warung tadi, dia tahu bahwa dia harus kuat. Dengan semangat, dia melangkahkan kaki memasuki warung satu per satu untuk menanyakan pekerjaan.Namun, sampai matahari naik di atas kepala, tidak satupun warung yang mau menerimanya bekerja. Tapi dia tidak menyerah. Kini, dia memasuki warung nasi Padang, menyapa seorang ibu yang sedang menyiapkan pesanan pelanggannya. "Permisi, Bu... Apa di sini butuh pekerja tambahan?" tanyanya sopan. Ibu itu menatap sekilas, lalu menggeleng cepat. "Tidak, sudah ada yang membatu. Cari saja di tempat lain." Nadira menunduk dan berterima kasih. Kakinya kembali melangkah, dengan tubuh yang mulai lelah karena telah berjalan sangat jauh. Saat melewati bangunan besar, matanya menangkap sebuah papan bertuliskan: "Dibutuhkan Karyawan Pabrik Wanita Berusia 18-30 tahun." Dia memberanikan

  • Dijual Ayah, Dipinang Takdir   Bab 6

    Di rumah megah berhalaman luas, pagi itu terasa mencekam. Ruang tamu yang terlihat sejuk dari luar, namun hawa di dalamnya terasa panas karena amarah yang menggelegar.Brama duduk di kursi empuk berlapis kulit. Sebatang rokok menyala di jarinya, asapnya mengepul pekat di udara. Wajahnya tegang, matanya menyipit seperti mata harimau yang siap menerkam mangsanya.Di hadapannya sudah berdiri seorang anak buah yang bertubuh tinggi dan kurus, menunduk dengan perasaan takut. Kaki dan tangannya gemetar saat menyampaikan laporannya."Bos... gadis itu... sepertinya dia kabur tadi malam..."Kedua alis Brama mengerut."Kabur?" Suaranya berat, namun dingin. "I... iya, Bos. Kami sudah mencari di sekitar rumah dan di sekeliling kampung. Tetangganya dan para penduduk pun tidak melihatnya."Brama menghantam meja di depannyadengan tinju."Brakk!" Hantaman keras itu membuat vas bunga di atas meja terguling hampir jatuh."Berani anak itu kabur dari ku? Dia kira dia bisa sembunyi dari ku?" teriak Brama,

  • Dijual Ayah, Dipinang Takdir   Bab 5

    Nadira melangkah naik ke dalam bus. Kursi keras yang sudah usang itu berdecit saat dia menyandarkan tubuhnya. Perlahan, bus mulai berjalan. Dari kaca jendela yang buram, Nadira menatap jalanan yang mulai menjauh dari kampungnya.Bayangan Bapak yang mabuk dan wajah Brama berkelebat di benaknya. Dia memeluk erat tas lusuh sambil menahan Isak tangis agar tidak terdengar penumpang lain.Sepanjang perjalanan, dia melihat ke luar jendela dengan tatapan kosong. Tanpa sadar, dia tertidur.Cahaya matahari pagi menerobos kaca jendela, menyinari wajah Nadira yang tertidur bersandar di jendela. Wajahnya tampak polos dan pucat.Matanya mengerjap, merasakan kehangatan di wajahnya. Dilihatnya bus sudah memasuki wilayah kota. Membawanya melewati jalan raya besar, gedung-gedung tinggi menjulang, serta papan reklame besar dengan warna-warni mencolok. Nadira menarik napas dalam."Tempat yang akan memberi harapan sekaligus misteri," pikirnya. Entah apa yang akan dia hadapi setelah ini.Bus akhirnya sampa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status