Share

Bab 5

Author: Mufid Pandri
last update Last Updated: 2025-10-04 14:00:41

Nadira melangkah naik ke dalam bus. Kursi keras yang sudah usang itu berdecit saat dia menyandarkan tubuhnya. Perlahan, bus mulai berjalan. Dari kaca jendela yang buram, Nadira menatap jalanan yang mulai menjauh dari kampungnya.

Bayangan Bapak yang mabuk dan wajah Brama berkelebat di benaknya. Dia memeluk erat tas lusuh sambil menahan Isak tangis agar tidak terdengar penumpang lain.

Sepanjang perjalanan, dia melihat ke luar jendela dengan tatapan kosong. Tanpa sadar, dia tertidur.

Cahaya matahari pagi menerobos kaca jendela, menyinari wajah Nadira yang tertidur bersandar di jendela. Wajahnya tampak polos dan pucat.

Matanya mengerjap, merasakan kehangatan di wajahnya. Dilihatnya bus sudah memasuki wilayah kota. Membawanya melewati jalan raya besar, gedung-gedung tinggi menjulang, serta papan reklame besar dengan warna-warni mencolok. Nadira menarik napas dalam.

"Tempat yang akan memberi harapan sekaligus misteri," pikirnya. Entah apa yang akan dia hadapi setelah ini.

Bus akhirnya sampai di terminal. Nadira berdiri dengan kaki gemetar, dia melangkah keluar dengan kerumunan penumpang lainnya. Lautan manusia yang berlalu lalang, suara klakson, dan teriakan pedagang menyambut kedatangannya.

Kini, dia berdiri di trotoar, menatap sekeliling. Semua terasa asing. Ini pertama kalinya dia datang ke kota.

"Ke mana aku harus pergi?"

Matanya menatap kendaraan di jalanan yang tampak sibuk mengejar waktu.

Kakinya membawanya, berjalan menjauh dari terminal. Tanpa arah tujuan, dia menyusuri trotoar kota yang ramai.

Tanpa terasa, hari sudah gelap. Dia melihat ke kiri dan kanan, mencari tempat untuk tidur malam ini. Tidur di manapun dia tidak masalah baginya, asalkan aman. Namun, hingga kini, dia belum menemukan tempatnya.

Dia ingin mencari kos, tapi uangnya tidak cukup. Rasanya Nadira hampir putus asa.

Perutnya juga terasa melilit karena lapar. Dia ingat kalau perutnya hanya di isi sepotong roti yang di belinya di warung yang di laluinya tadi.

Hingga akhirnya, seorang nenek penjual gorengan yang warungnya hampir tutup melihat Nadira sedang duduk murung di pinggir jalan. Nenek menghampirinya.

"Nak, kamu dari tadi kelihatan bingung... Kamu lagi cari apa?" tanyanya ramah.

"Saya... cari tempat untuk tidur, Nek," jawab Nadira lirih.

Nenek itu tersenyum.

"Kalau mau, tidur saja dulu di warung nenek malam ini."

Tawaran sederhana itu seperti menemukan harta Karun bagi Nadira. Matanya berbinar.

"Benarkah Nek? Saya boleh tidur di sana? Terima kasih Nek..." ucapnya dengan mata berkaca-kaca. Tanpa terasa air matanya jatuh.

Nenek mengangguk dan mengajak Nadira ke warungnya.

"Maaf ya, Nak. Tempatnya seadanya."

"Tidak apa-apa, nek. Ini sudah sangat nyaman. Sekali lagi, terima kasih karena sudah di izinkan tidur di sini Nek."

Sambil menutup warung, Nenek itu mengobrol dengan Nadira. Nenek mengetahui bahwa Nadira belum memiliki tempat tinggal dan sedang mencari pekerjaan.

Namun, Nadira tidak menceritakan alasan utamanya kenapa dia sampai ke kota ini. Karena baginya, cukup dia sendiri yang tahu.

Sebelum nenek pergi, nenek itu memberikan sisa gorengan dagangannya yang di jualnya pada Nadira. Dia bisa menebak pasti Nadira belum makan.

Malam itu, Nadira berbaring di lantai dingin dengan tas lusuh yang dijadikannya bantal.

Tempat ini terasa aman dan nyaman bagi Nadira, walau pun harus tidur seadanya.

Dia teringat bahwa saat berjalan tadi, dia sempat melihat beberapa kertas yang tertempel dengan tulisan lowongan pekerjaan. Namun, hampir semua pekerjaan itu mencantumkan syarat "lulusan kuliah", sedangkan dia hanya lulusan SMA.

Di sebuah warung makan sederhana yang di lewatinya tadi, dia berhenti sejenak.

"Permisi, Bu... Apa butuh pekerja tambahan?"

Seorang ibu setengah baya yang sedang meracik nasi goreng menatapnya dari atas kepala sampai ujung kaki.

"Tidak ada," jawabnya singkat.

Di beberapa warung dan tempat lain yang di singgahinya, juga memberi jawaban yang sama.

"Ternyata sulit mencari pekerjaan untuk lulusan SMA... Tapi aku harus berusaha. Apa pun itu akan ku kerjakan," tekadnya dalam hati.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dijual Ayah, Dipinang Takdir   Bab 10

    Aroma lembut dari bunga segar yang ada di dalam kamar hotel tercium, ketika Vino membuka pintu. Dia menaruh jas di kursi, melepas dasi yang sejak pagi terpasang di lehernya. Lalu menjatuhkan diri ke sofa panjang di dekat jendela, menyandarkan tubuh sambil memejamkan mata. Dari ketinggian, kamar hotel di lantai dua belas. Lampu jalanan terlihat temaran menggambarkan ketenangan. Tetapi, tidak pada pikiran Malvino Saputra. Seorang CEO di perusahaan besar, Putra Corporation. Hari ini terlalu melelahkan, rapat di pabrik yang penuh tekanan. Kepalanya di penuhi oleh tumpukan laporan yang harus dia bereskan. Dan kini, di tengah kemewahan kamar hotel yang sepi, dia ingin menenangkan pikiran. Tiba-tiba ponselnya bergetar di atas meja. Ditatapnya sejenak, terlihat tulisan "Ibu" di layar ponselnya. Dia menghela napas, lalu mengangkat panggilan itu. "Iya, Bu." Suaranya berat, tetapi terdengar tenang. "Vino, kamu di mana sekarang?" "Masih di hotel, Bu. Aku baru pulang dari pabrik. Ada

  • Dijual Ayah, Dipinang Takdir   Bab 9

    Pagi itu terasa berbeda bagi Nadira. Wajah yang biasanya cemas, kini seperti disinari oleh secercah harapan. Sebelum berangkat dia tidak lupa berpamitan pada nenek. "Nek, terima kasih ya sudah mau menampungku di sini...""Aku tidak akan melupakan kebaikan nenek," lanjutnya.Nenek mengelus lembut pundak Nadira."Iya, sama-sama, Nak. Kamu kerja yang rajin, ya... Kapan-kapan main ke sini lagi."Nadira mengangguk dan tidak lupa menyalami nenek.Dia berjalan dengan langkah ringan menuju pabrik. Meski tubuhnya terlihat lebih kurus karena kurang makan dan kelelahan selama beberapa hari terakhir, langkah tetap penuh semangat.Mulutnya terdengar mendendangkan sebuah lagu sambil berjalan, menandakan bahwa dia kini benar-benar merasa bahagia karena telah mendapatkan pekerjaan sekaligus tempat tinggal."Semangat, Dira. Masa depanmu di mulai hari ini," dia menyemangati dirinya sendiri.****Sesampainya di pabrik, salah satu karyawan menyerahkan seragam dan papan tanda pengenal padanya.Dia berge

  • Dijual Ayah, Dipinang Takdir   Bab 8

    Pagi itu, pasar tradisional sangat ramai, tidak seperti biasanya. Suara pedagang yang saling bersahutan, aroma ikan asin yang bercampur wangi rempah-rempah, dan langkah-langkah kaki pembeli memadati lorong-lorong sempit.Di tengah keramaian itu, dua orang pria memakai topi dan kacamata hitam berjalan pelan sambil membawa sebuah foto di tangan mereka.Mereka adalah anak buah Brama. Tatapan mereka tajam, meneluauri setiap sudut pasar,, seolah sedang berburu mangsa."Apa ada terlihat gelagat Nadira di sini?" tanya salah satu dari mereka, bernama Tono."Aku tidak melihatnya. Coba tanyakan saja pada orang-orang yang ada di sekitar sini." Jawab temannya, Budi.Tono berjalan sambil merapikan topinya, mendekati ibu penjual sayuran. "Bu, pernah lihat gadis ini? Tingginya segini, rambutnya panjang." Sambil menyodorkan foto Nadira.Ibu itu melihat sekilas dan menggeleng. "Tidak tahu."Budi juga menyusuri arah yang berbeda, menanyakan hal yang sama. "Apa pernah melihat gadis yang dia sebutkan tin

  • Dijual Ayah, Dipinang Takdir   Bab 7

    Pagi itu, Nadira melangkah dengan tekad yang lebih kuat dan semangat yang menggebu. Walau perutnya hanya di isi dengan gorengan dan teh hangat yang di berikan nenek saat di warung tadi, dia tahu bahwa dia harus kuat. Dengan semangat, dia melangkahkan kaki memasuki warung satu per satu untuk menanyakan pekerjaan.Namun, sampai matahari naik di atas kepala, tidak satupun warung yang mau menerimanya bekerja. Tapi dia tidak menyerah. Kini, dia memasuki warung nasi Padang, menyapa seorang ibu yang sedang menyiapkan pesanan pelanggannya. "Permisi, Bu... Apa di sini butuh pekerja tambahan?" tanyanya sopan. Ibu itu menatap sekilas, lalu menggeleng cepat. "Tidak, sudah ada yang membatu. Cari saja di tempat lain." Nadira menunduk dan berterima kasih. Kakinya kembali melangkah, dengan tubuh yang mulai lelah karena telah berjalan sangat jauh. Saat melewati bangunan besar, matanya menangkap sebuah papan bertuliskan: "Dibutuhkan Karyawan Pabrik Wanita Berusia 18-30 tahun." Dia memberanikan

  • Dijual Ayah, Dipinang Takdir   Bab 6

    Di rumah megah berhalaman luas, pagi itu terasa mencekam. Ruang tamu yang terlihat sejuk dari luar, namun hawa di dalamnya terasa panas karena amarah yang menggelegar.Brama duduk di kursi empuk berlapis kulit. Sebatang rokok menyala di jarinya, asapnya mengepul pekat di udara. Wajahnya tegang, matanya menyipit seperti mata harimau yang siap menerkam mangsanya.Di hadapannya sudah berdiri seorang anak buah yang bertubuh tinggi dan kurus, menunduk dengan perasaan takut. Kaki dan tangannya gemetar saat menyampaikan laporannya."Bos... gadis itu... sepertinya dia kabur tadi malam..."Kedua alis Brama mengerut."Kabur?" Suaranya berat, namun dingin. "I... iya, Bos. Kami sudah mencari di sekitar rumah dan di sekeliling kampung. Tetangganya dan para penduduk pun tidak melihatnya."Brama menghantam meja di depannyadengan tinju."Brakk!" Hantaman keras itu membuat vas bunga di atas meja terguling hampir jatuh."Berani anak itu kabur dari ku? Dia kira dia bisa sembunyi dari ku?" teriak Brama,

  • Dijual Ayah, Dipinang Takdir   Bab 5

    Nadira melangkah naik ke dalam bus. Kursi keras yang sudah usang itu berdecit saat dia menyandarkan tubuhnya. Perlahan, bus mulai berjalan. Dari kaca jendela yang buram, Nadira menatap jalanan yang mulai menjauh dari kampungnya.Bayangan Bapak yang mabuk dan wajah Brama berkelebat di benaknya. Dia memeluk erat tas lusuh sambil menahan Isak tangis agar tidak terdengar penumpang lain.Sepanjang perjalanan, dia melihat ke luar jendela dengan tatapan kosong. Tanpa sadar, dia tertidur.Cahaya matahari pagi menerobos kaca jendela, menyinari wajah Nadira yang tertidur bersandar di jendela. Wajahnya tampak polos dan pucat.Matanya mengerjap, merasakan kehangatan di wajahnya. Dilihatnya bus sudah memasuki wilayah kota. Membawanya melewati jalan raya besar, gedung-gedung tinggi menjulang, serta papan reklame besar dengan warna-warni mencolok. Nadira menarik napas dalam."Tempat yang akan memberi harapan sekaligus misteri," pikirnya. Entah apa yang akan dia hadapi setelah ini.Bus akhirnya sampa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status