LOGINPukul setengah tujuh malam Zelena bersiap-siap untuk menemui Jeandra di tempat yang telah ditentukan lelaki itu.Zelena berdiri di depan cermin kamarnya. Rambutnya dibiarkan tergerai rapi, tidak terlalu ditata, hanya disisir lurus agar jatuh natural. Ia memilih gaun hitam sederhana dengan potongan simpel. Tidak menarik perhatian, tapi cukup pantas untuk pertemuan profesional. Blazer tipis ia sematkan di lengan, berjaga-jaga jika udara malam terasa dingin.Ia menatap pantulan dirinya beberapa detik lebih lama dari biasanya.Ia sama sekali tidak gugup. Ia hanya ingin memastikan satu hal, bahwa dirinya terlihat seperti Zelena yang sekarang. Bukan perempuan yang dulu pernah terlalu mencintai seseorang bernama Jeandra.Ponselnya bergetar di atas meja. Pesan dari Jeandra masuk.[Zel, aku sudah di resto. Kamu sudah berangkat?]Zelena sengaja tidak membalas pesan itu. Biar saja Jeandra tahu bagaimana rasanya terombang-ambing tanpa kabar seperti yang dulu Zelena rasakan.Ia memasukkan map beri
"Gimana, Zel?" tanya Nayaka begitu Zelena muncul di hadapannya. "Cutiku nggak disetujui," jawab Zelena sembari menunjukkan formulir cutinya pada laki-laki yang selama satu tahun ini setia mendampinginya. Dahi Nayaka sontak berkerut. Tangannya menerima lembaran itu, membaca cepat alasan penundaan yang tertulis rapi di bagian bawah. “Ditunda karena permintaan klien,” gumamnya. “Klien siapa?” Zelena menghela napas. “Pak Jeandra.” Nama itu membuat Nayaka terdiam sesaat sebelum mengembalikan lembaran kertas tersebut pada Zelena. "Waktu itu kamu udah bilang aku nggak bisa kan, Ka?" tanya Zelena memastikan. "Udah. Nggak ngerti juga kenapa dia ngotot mau sama kamu. Nggak lolos di aku dia langsung ke pak bos. Padahal waktu itu aku udah bilang ke dia kamu nggak available. Tapi ya itu, dia nggak mau dengar.” "Terus kalau cutinya ditunda kita liburannya gimana?" tanya Yuri yang duduk di sebelah Zelena dan diam menyimak sejak tadi. "Kalian tetap lanjut bertiga. Nggak usah cancel gar
Zelena tengah sibuk mengisi form pengajuan cuti. Setelah proyek besarnya selesai, ia ingin sedikit bersenang-senang menikmati hidup. Anggap saja ini sebagai self reward. Zelena tidak sendiri tapi ia akan pergi dengan Nayaka, Yuri, dan juga Bayu. Tidak jauh-jauh. Cukup di dalam negeri. Rencananya mereka akan ke Bali. Ketiga rekan kerjanya kemarin sudah mengajukan permohonan cuti dan telah disetujui. Zelena agak sedikit terlambat karena kemarin tidak masuk. Zelena memastikan sekali lagi semua kolom sudah terisi dengan benar. Setelahnya ia melangkah keluar ruangan menuju ruangan atasannya. Tapi ternyata lelaki itu tidak berada di tempat sehingga Zelena meninggalkannya di atas meja. Setelahnya Zelena keluar dari sana. * "Zel, dipanggil ke ruangan bos." Yuri yang baru datang memberitahu. Zelena baru saja makan siang dengan Nayaka di kantin dekat kantor. “Sekarang?” “Iya. Barusan,” jawab Yuri sambil mengangguk. Nayaka yang duduk di seberang meja langsung menangkap peruba
Mobil Nayaka melaju meninggalkan area Mutiara Mall. Suasana di dalam mobil jauh lebih tenang dibanding hiruk-pikuk acara tadi.Zelena menyandarkan punggung, melepas heels-nya sedikit, melepaskan napas panjang.“Capek?” tanya Nayaka sambil melirik sekilas lalu fokus ke jalan.“Lumayan,” jawab Zelena jujur. “Tapi acaranya sukses. Itu yang penting.”Nayaka tersenyum tipis. Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Sampai akhirnya Nayaka berdeham kecil dan memanggil Zelena.“Zel.”“Hm?”“Kira-kira … kamu mau nikah kapan?”Zelena menoleh cepat. Alisnya sedikit terangkat. “Hah?”Nayaka tertawa. “Santai. Bukan aku yang nanya.”“Terus siapa?” “Mama.” “Lagi?” Ini bukanlah pertama kalinya Nayaka bercerita mamanya minta untuk segera menikah.“Iya. Tadi pagi nelepon aku dan nanya lagi. Katanya, ‘Kasihan juga Zelena kalau kelamaan nunggu kamu.’”Zelena memalingkan wajah ke jendela. Lampu merah membuat mobil berhenti, dan pantulan wajahnya terlihat samar di kaca.“Kamu, kan, tahu kita nggak pacara
Acara grand opening Mutiara Mall akhirnya benar-benar mencapai ujungnya. Musik latar mulai dipelankan, para tamu satu per satu meninggalkan area utama, dan kru event sudah sibuk membereskan dekorasi. Suasana yang tadi penuh sorak dan kilatan kamera kini perlahan kembali ke ritme normal.Zelena berdiri bersama Nayaka di dekat area VIP. Ia mengecek jam tangan sekilas, lalu mengembuskan napas lega. Hari panjang yang melelahkan, tapi hasilnya memuaskan.“Saya balik duluan, Pak Abi,” pamit Zelena sopan sambil mengulurkan tangan.Nayaka ikut berdiri di sampingnya. “Terima kasih banyak atas kepercayaannya, Pak. Kami tunggu kabar lanjutannya soal apartemen.”Abi menyambut jabatan tangan mereka dengan senyum puas. “Terima kasih juga. Proyeknya luar biasa. Sampai ketemu lagi.”Zelena membalas dengan senyum singkat dan profesional. Tidak berlebihan.Di sisi lain, Jeandra berdiri agak menjauh. Sejak kejadian di toilet tadi, kepalanya terasa penuh. Kalimat-kalimat Zelena terus berputar di kepalan
Acara terus berlanjut dan Jeandra masih berada di tempat itu. Walau raganya duduk di kursi, tapi jiwanya tidak di sana. Pikirannya mengelana ke mana-mana. Lebih tepatnya pada masa lalu.Jeandra tidak habis pikir pada perubahan Zelena yang begitu drastis. Bagaimana bisa dia berubah secepat itu?Dan tadi kenapa dia terlihat biasa-biasa saja? Tidak grogi bertemu dengan Jeandra. Dan entah mengapa Jeandra tidak bisa menerima sikap Zelena. Seolah-olah dirinya bukan seseorang yang pernah berarti bagi perempuan itu.Sekali lagi Jeandra mencuri pandang ke arah Zelena tanpa sepengetahuan Abi. Perempuan itu tampak ceria dan bahagia. Senyumnya, tawanya, terlihat begitu lepas dan tanpa beban. Siapa yang bisa membuatnya sebahagia itu? Nayaka?Zelena tiba-tiba berdiri dari kursinya. Dengan cepat Jeandra ikut bangkit."Mau ke mana, Je?" tanya Abi."Ke toilet sebentar."Abi hanya mengangguk, tidak menaruh curiga.Jeandra melangkah cepat. Ia tidak mau kehilangan jejak Zelena. Bukan apa-apa. Ia mengiku







