Aku mengejapkan mata perlahan. Kembali kututup saat cahaya menyilaukan mata. Sosok Mas Ridho pertama kali kulihat saat kesadaran terkumpul sepenuhnya. "Yah, " panggilku lirih. "Alhamdulillah, kamu sudah sadar, Bun." Mas Ridho mendekat, membantuku bersandar di headboard. "Ya Allah, Bu Salma... Saya benar-benar khawatir Ibu jatuh pingsan tadi. Saya langsung menelepon Pak Ridho biar cepet pulang. Untung Ibu gak kenapa-napa," terang Bu Tini. Lagi-lagi bau jengkol menyebar, memenuhi indra penciuman. Tanpa diminta rasa mual pun hadir kembali. "Aku pengen muntah, Yah."Dengan sigap Mas Ridho memapahku hingga ke kamar mandi. Aku muntahkan semua isi perut, meski hanya cairan bening yang keluar. Karena tak ada makanan yang tersisa di lambung. "Bu Salma tidak apa-apa, kan?""Jangan bicara, Bu. Bau mulut Bu Tini membuat saya ingin muntah. Tolong tutup mulutnya rapat-rapat."Seketika Bu Tini menutup mulutnya dengan tangan. Kemudian mundur dan meninggalkan kamarku. Aku pun bernapas lega kala
"Siapa, Bun?"Aku memberikan ponsel kepada Mas Ridho. Lama ia terdiam menatap tulisan di layar smartphone itu. "Dari Pak Adit?" tanyanya sambil menatapku tajam. Senyum seketika lenyap,kini wajah merah menahan amarah yang terlihat jelas di sana. Aku memang tidak tahu siapa pemilik nomor itu, begitu pula Mas Ridho. Namun kami yakin Mas Adit yang menghubungiku. Apa mau dia sebenarnya? Tidak istri, tidak suami... Sama-sama memancing emosi. "Aku tidak tahu, Yah. Kami putus kontak setelah ia pergi. Ketemu lagi kemarin itu, waktu meminta air panas.""Maafkan aku, Bun. Aku cemburu." Sudut bibirku tertarik ke atas, kupeluk Mas Ridho erat. "Kita pindah rumah saja, Yah.""Belum bisa, Bun. Tabungan kita sudah habis untuk pembuatan restoran itu."Aku lepas pelukan ini. Ternyata tak semudah itu keluar dari komplek mawar."Di tempat lain bukan tidak mungkin ada Bu lainnya. Jadi kita harus adaptasi dulu.""Ah, bilang saja belum ada uang." Aku mendengus kesal lalu masuk ke mobil. "Bunda... Bun
"Ayo cepet! Aku mau jemput Tyo!" Bu Susi kembali menengadahkan tangan. "Ibu yang menghalangi saya, kan?""Halah, jangan alasan kamu, Salma! Pokoknya kamu harus ganti rugi! Aku tidak mau tahu!" teriaknya lantang. Dalam sekejap semua mata tertuju pada kami. Ini memang bukan yang pertama. Namun rasanya masih sama. Malu. "Berapa?" "Tiga ratus.""Sebentar."Aku berjalan ke kamar mengambil uang ganti rugi. Tetapi hanya ada dua lembar uang berwarna merah. Biarlah, toh ini lebih dari cukup. "Mana!""Ini, hanya ada 200 ribu.""Kok cuman dua lembar? Saya mintanya tiga lembar."Bu Susi masih tidak terima, Rp. 200.000,- lebih dari cukup untuk mencucikan rok itu di laundry depan gang. "Kalau tidak mau saya ambil lagi."Belum sempat kutarik, Bu Susi lebih dulu memasukkan uang itu ke dalam saku. "Ya sudah. Permisi."Bu Susi pergi setelah mendapatkan apa yang ia inginkan. "Katanya kaya uang 300 ribu aja gak punya," ucapnya tapi masih mampu kudengar dengan jelas. Menggeleng pelan sambil menge
"Apa saya tidak salah dengar, Pak?" Mas Ridho mengernyitkan dahi. "Ti-tidak, Pak. Saya membutuhkan pekerjaan. Tabungan selama menjadi TKI habis untuk membayar hutang Susi. Sekarang saya bingung... Kebutuhan dan pengeluaran banyak tapi tidak ada pemasukan," jawabnya sambil menundukkan kepala. Aku tahu betul, Mas Adit menggadaikan harga diri hanya untuk sesuap nasi. Sedikit heran, ke mana harta yang mereka agungkan. Bahkan karena tidak selevel aku dicampakkan bak sampah. Sungguh aku benci jika mengingat itu. "Tolong saya, Pak," pintanya mengiba. Pasti Mas Ridho jadi tak tega. "Akan saya pikirkan, Pak. Kebetulan karyawan sudah banyak.""O, begitu, ya, Pak," jawab Mas Adit. Dia paksa bibir tersenyum meski kekecewaan terlihat jelas dari sorot matanya. "Kalau ada lowongan saya beritahu, Pak.""Makasih, Pak Ridho. Saya sangat berharap ada pekerjaan untuk saya."Beberapa saat lelaki itu terdiam,ia seruput kembali kopi yang masih tersisa itu. Kemudian berpamitan dengan kekecewaan. ***"
Tok! Tok! Aku berjalan cepat menuju kamar. Rasa takut seketika menelusup dalam rongga dada. Tok! Tok! Pintu kembali diketuk, sedikit kencang hingga membuat Mas Ridho terbangun. Dia menatap kanan dan kiri, kebingungan. "Ada apa, Bun?" tanyanya kebingungan. "Bu Salma! Bu!" teriak seseorang dari depan. "Siapa, Bun?" tanyanya. "Gak tahu, Yah. Tadi mereka teriak maling di depan."Mas Ridho berjalan ke depan, sesekali ia menguap karena kantuk yang masih mendera. Baru beberapa menit ia terpejam tapi keributan memaksanya kembali membuka mata. Kami melangkah menuju pintu depan. Aku mengekor di belakang Mas Ridho. Takut dengan ucapan dua lelaki yang sempat kudengar tadi.Pintu dibuka, dua lelaki berdiri di balik pintu itu. Pak Rudi dan Pak Samsul berdiri dengan napas tersengal. Terlihat mereka kelelahan setelah berlari ke sana kemari. "Ada apa, Pak? Kenapa malam-malam mengetuk pintu?" tanya Mas Ridho seraya mengucek matanya. "Maaf, Pak. Tadi ada maling lari kemari.""Lalu hubungan den
"Nanti ribut lagi, Yah. Kita bisa disalahkan jika diam saja."Seketika Mas Ridho meletakkan laptop, lalu beranjak dari duduk. Suamiku segera melangkah menuju sumber keributan. Kedua laptop kumasukan ke dalam kamar. Kemudian aku kembali melangkah menuju depan. Lagi, rumah Bu Susi sudah dipenuhi warga yang penasaran dengan keributan ini. Selalu saja rumah ini yang terkenal dengan kontroversi. Apa mereka tak lelah? Aku saja lelah. Mas Ridho sudah tak tampak, dia masuk ke kerumunan orang-orang. Entah di mana ia sekarang."Apa-apaan ini? Kenapa kalian mengusik waktu istirahatku?" Bu Susi keluar dengan berkacak pinggang. Kulihat dari sela orang yang berkerumun. "Kembalikan ponselku." "Jangan asal menuduh tanpa bukti. Itu fitnah namanya.""Ck! Aku sudah lacak dan di sini titiknya. Kamu pasti yang maling.""Nga-ngapain kamu?""Jangan masuk!" Aku hanya mendengar teriakan mereka. Kaki ini enggan melangkah mendekat meski rasa penasaran memenuhi isi kepala. Aku takut sesuatu yang buruk terja
"Kyaa ... Setan!""Mana setannya, Sal?" "Astagfirullah, Pak Adit! Bikin orang jantungan saja!"Adit... Mas Adit? Aku keluar dari punggung Mas Ridho. Benar saja, setan yang membuatku ketakutan justru suami tetangga sebelah. Dia memakai sarung berwarna putih yang menutupi kepala hingga bagian dadanya. Senter ponsel ia letakkan di bawah mulut. Sudah persis lontong terbang. "Ada perlu apa, Pak? Hujan-hujan justru kemari," tanya Mas Ridho setelah kami duduk di ruang tamu. Mas Adit menunduk, sesekali ia menghela napas yang terasa berat. Dari gelagatnya aku tahu, ia tengah gelisah. Namun apa yang tengah ia pikirkan, aku tidak tahu. "Boleh saya pinjam uang, Pak Ridho. Saya akan ganti jika sudah memiliki pekerjaan. Saya tidak mau Susi masuk penjara," ucapnya setelah beberapa saat terdiam. Aku mengangkat bahu ketika Mas Ridho menatapku. Terserah dia mau meminjamkan atau tidak. Kuberikan semua keputusan padanya. "Butuh berapa, Pak?" tanya Mas Ridho pada akhirnya. Suamiku mana tega ditatap
Aku sibuk menyiram berbagai tanaman yang ada di halaman. Rutinitas yang selalu membuatku senang. Sedikit menghilangkan penat. Tanaman yang kubeli dari Bu Susi tumbuh dengan subur. Daunnya lebat dengan buah yang mulai terlihat. Kebanyakan tanaman itu adalah buah, bukan bunga. Namun tak apa, justru semakin lengkap berbagai tanaman yang kupunya. Melihat tanaman itu membuatku tertawa sendiri. Teringat wajah Bu Susi saat ditagih bayaran tanaman-tanaman itu. Namun kejadian itu tidak membuatnya jera. Berulang kali ia melakukan hal yang sama. Astaga, wanita itu memang unik dan tidak ada duanya. "Wong ko ngene kok dibanding-bandingke, saing-saingke... Yo mesti kalah."Aku menoleh ke belakang. Seorang lelaki bernyanyi sambil membawa gitar kecil. Lantunan lagu yang tengah viral ia nyanyikan berulang kali. "Tunggu sebentar, Mas." Aku matikan kran kemudian melangkah menuju rumah untuk mengambil uang receh. Sebenarnya sudah ada tulisan pengamen dilarang masuk, tapi masih saja ada pengamen yang