"I-ini tidak seperti yang Bu Susi pikirkan. Saya tidak berduaan dengan Pak Adit," ucapku terbata. "Tak seperti yang aku pikirkan gimana? Jelas-jelas kalian berduaan di warung es. Duduk berhadapan. Apa namanya kalau tidak selingkuh? Kalian sengaja, kan bertemu di sana. Supaya bebas pacaran, kan? Ngaku!""Saya bersama Alisa. Ibu lihat sendiri, kan? Saya boncengan dengan Alisa. Jangan menuduh orang sembarangan, Bu. Nanti jadinya fitnah!""Fitnah apa? Jelas-jelas kalian selingkuh. Ini buktinya!" Bu Susi terus saja menuduhku. Dia tak percaya dengan penjelasan yang aku berikan. Entah dari mana ia mendapatkan foto itu. Siapa yang iseng melakukan hal ini? Astaga... Kapan hidupku tenang? Terbebas dari masalah seperti ini? "Ngaku kamu, Salma! Ngaku!" Bu Susi menatapku tajam! Lelah memberi penjelasan pada orang yang tidak mau mendengar. Aku ambil teh yang sudah dingin itu,meminumnya sambil mendengar ocehan Bu Susi. Ini seperti di cafe menikmati minuman sambil mendengarkan musik. Namun kali i
Seketika semua orang berlari menuju gerbang. Mas Adit dengan cepat membopong Bu Susi yang meringis kesakitan. "Da... Darah." Aku menunjuk cairan merah yang ada di mata kakinya. Mas Adit menatap kaki Bu Susi, wajah lelaki itu semakin tegang."Mama kenapa, Pa?" Tyo menarik ujung koko yang Mas Adit kenakan. Anak itu bingung harus bagaimana. "Tolong!" teriak Mas Adit. Namun warga yang lain seolah diam. Entah ke mana hati nurani mereka. Mungkin kesal dengan tingkah Bu Susi yang selalu memancing emosi. "Adi, tolong antar Pak Adit," ucap Mas Ridho akhirnya. Setelah mendapatkan kunci mobil, asisten Mas Ridho itu segera mengantar Bu Susi ke rumah sakit terdekat. Aku hanya berharap janin dalam perutnya bisa selamat. Hanya itu. Tetangga terdekat mulai meninggalkan rumah kami. Hanya aku dan Mas Ridho yang masih duduk di teras. "Bunda gak capek?" tanya Mas Ridho. Aku menggeleng sambil membenarkan posisi dudukku. Pantat panas dengan pinggang serasa mau patah. Namun rasa khawatir membuatku
"Bu Susi bilang apa tadi? Rp. 200.000,- ?" ucap Bu Rini sambil menatap Bu Aini. Kedua wanita itu saling pandang. "Saya juga dengar seperti itu, Bu." Alisa ikut berkomentar. Kini semua mata tertuju pada satu titik yang sama, Bu Tini. Namun wanita itu tersenyum tanpa rasa bersalah sedikit pun. "Ibu-Ibu, saya permisi pulang dulu, ya." Bu Tini melangkah pergi. "Tunggu, Bu!" Sebuah tangan menghentikan gerakan tubuh wanita itu. Dengan sedikit kesal Bu Tini membalikkan badan, menatap tajam Alisa. Anak itu selalu berani. "Saya mau pulang, kenapa kamu cekal? Jangan kurang ajar sama orang tua!"Alisa tersenyum datar, melepaskan lengan yang sempat ia genggam. Tak ada raut bersalah. Sikapnya membuat Bu Tini naik darah. Anak itu terlampau berani. Tapi aku suka. "Bukankah dana sosial harusnya Rp. 500.000,- untuk anggota yang masuk rumah sakit. Tapi kenapa cuman Rp 200.000,-?""Dari mana kamu tahu uangnya hanya Rp. 200.000,-?""Tadi suara Bu Susi terdengar jelas. Memangnya Bu Tini gak denger?
"Saya kurang tahu, Bu. Saya, kan bukan pengurus.""Ah, payah kamu ini, Sal. Apa-apa kok gak tahu. Percuma saya ke sini."Jadi kedatangannya kemari untuk mengorek informasi tentang dana sosial itu. Bu Susi... Bu Susi, kapan tingkahnya bisa berubah? "Ini harganya berapa, Sal? Tapi kalau anaknya perempuan gimana?" tanya Bu Susi sambil menyentuh lemari itu. "Gak papa, Bu Susi. Ini hadiah dari Mas Ridho. Bu Susi dapat hadiah apa dari Pak Adit?""Sebentar lagi juga dapat, Sal. Kamu jangan ngiri, ya." "Iya," jawabku sekenanya. "Pulang dulu. Mas Adit pasti nyiapin hadiah istimewa untukku." Wanita itu segera pergi dari rumahku. Lega, tak sia-sia aku memanas-manasi dia. Terbakar juga, kan? Memiliki sikap yang iri hati membuat Bu Susi mudah terbakar emosi. Padahal hanya untuk masalah sepele saja. ***"Bagaimana lemarinya, Bun?" tanya Mas Ridho ketika aku menyambut kedatangannya."Suka, Yah, semoga anaknya lelaki, ya, Yah. Agar sesuai dengan motif lemarinya."Seketika Mas Ridho menepuk jid
"Eh, Bu Salma belum bayar iuran seragam, ya?" Aku menoleh ke samping, menatap wanita yang berjalan sambil mengelus perutnya itu. Dadaku bergemuruh, marah. Baru semalam Bu RT mengirim pesan tapi kabar itu sudah sampai di telinga Bu Susi, ratu gosip di komplek mawar. "Saya sudah membayar, Bu. Tapi bukan kepada Bu RT. Tapi pada Bu Tini," jawabku."Gak mungkin sudah bayar tapi mendapat pesan dari Bu RT, iya, kan? Ngaku aja kalau belum bayar, Bu. Apa Bu Salma malu karena pemilik restoran belum membayar uang seragam? Mau ngomong begitu saja kok susah to, Bu," ucap Bu Susi kekeh. Dia tak mau mendengarkan penjelasanku. Aku tahu, dia ingin menjatuhkan aku di depan umum. Menjelek-jelekkan namaku agar semua orang membenciku. Entah kenapa dia suka mengibarkan bendera perang padaku. "Saya sudah membayar pada Bu Tini, Bu. Mungkin belum dilaporkan kepada Bu RT," jawabku datar. Aku tahan emosi yang hampir meledak. "Sabar... Sabar," batinku seraya mengelus perut yang sudah semakin membesar ini.
"Keluar, Tyo. Mama cariin itu.""Gak mau, Tante."Anak itu mengalihkan pandangan, ia ketuk-ketuk meja untuk mengalihkan perhatianku. "Kenapa? Disuruh makan sama Mama itu."Aku terus merayu agar Tyo mau pulang ke rumah. Bukan tak mengizinkan ia bermain di sini. Namun aku tak mau kembali beradu mulut dengan ibunya. Lelah selalu disalahkan dan dianggap musuh besar. Sejujurnya aku ingin hidup tenang dan memiliki tetangga yang baik, saling membantu dan menghargai satu dan lainnya. Bukan justru bersaing dan saling mengejek. Seperti Bu Susi dan Bu Tini. "Aku takut, Tante." Tyo menundukkan kepala sambil memainkan ujung kaos yang ia kenakan. Aku mendekat, menatap lekat wajahnya. "Kenapa? Mama, kan gak galak?""Tyo menendang lemari plastik sampai jebol, Tante.""Lemari Tyo?" tanyaku memastikan. "Bukan, Tante. Lemari buat adik."Pantas saja Bu Susi marah, lemari yang baru saja dibeli sudah dihancurkan. Alamat beli baru lagi. "Tyo!"Suara Bu Susi kembali menggelegar. Terdengar bagai kilata
"Siapa yang menunggu Bu Tini, Yah?" tanyaku seraya meletakkan secangkir kopi di atas meja. "Aldo.""Terus anaknya yang kecil siapa yang jaga? Pak Gunawan?""Bu Tini melarang Kinar diasuh Pak Gunawan.""Lha terus Kinar yang rawat siapa?""Bu Tini minta tolong Bunda merawat Kinar. Nanti diantar Bu RT kemari."Aku menghela napas, dengan kesal menjatuhkan bobot di kursi dekat Mas Ridho. Kenapa setiap kali mereka susah, aku yang harus menolongnya. Tapi setelah masalah selesai, mereka kembali ke sifat aslinya. Menyebalkan. Mas Ridho meletakkan koran, mengambil secangkir kopi lalu meneguknya perlahan. "Kurang manis dikit, Bun," ucapnya sambil meletakkan secangkir kopi itu. "Iya pahit kek hidup Bunda.""Kenapa memang?" Mas Ridho menatapku lekat, sorot tanda tanya tergambar jelas di sana. "Pahit aja, tetangga yang kena masalah kita yang nolong. Giliran sehat mereka memusuhi kita. Kan nyebelin tu. Mereka pikir kita lembaga sosial apa?" ucapku kesal. Aku tahu sesama manusia wajib tolong me
"Kinar!""Kinar!"Aku berteriak memanggil nama anak Bu Tini seraya menoleh ke kanan dan kiri. Namun gadis itu tetap tak kutemukan. Dia bak tenggelam dalam dasar samudra, hilang tanpa jejak. Bagaimana jika anak itu benar-benar hilang? Apa yang akan aku katakan pada Bu Tini. Oh, Tuhan... "Kinar!" Aku berjalan keluar rumah, melangkah menuju rumah Bu Tini, siapa tahu anak itu pulang untuk mengambil bonekanya. Komplek Mawar sepi, tak ada ibu-ibu atau anak-anak yang terlihat di luar. Maklum ini jam kerja dan sekolah. Tak banyak warga yang ada di lingkungan ini. "Kinar!"Aku ketuk pintu sambil memanggil namanya berulang kali. Namun sepi, seperti tak ada tanda kehidupan. Seketika perasaan takut menyelimuti. Jangan sampai anak itu hilang, diculik lalu organnya dijual seperti berita yang tengah viral diperbincangkan. Ya Tuhan... Jangan sampai itu terjadi. "Kinar!"Tenggorokanku terasa kering karena terus berteriak manggil namanya. Tetapi Kinar tak juga menampakkan batang hidungnya. "Mbak