Share

6.Tertinggal

"Bu Tini," ucapku pelan.

"Bu Salma liburan di sini juga? Kok bisa kebetulan, ya?"

Aku rasa ini kebetulan. Kalau pun kebetulan, mana mungkin wanita itu tahu kamarku. Apa jangan-jangan....

Ah, kenapa aku jadi memikirkan hal yang tidak-tidak. Bisa saja ini kebetulan. Namun kenapa harus di sini? Saat aku ingin bebas dari mereka tapi kenyataan menolaknya.

"I-iya, Bu."

"Sebentar lagi Bu Susi, Tyo dan Bu Santi akan ke sini. Biasalah kami selalu piknik bersama. Namanya juga orang kaya, duitnya ada di mana-mana."

"Putri Ibu tidak diajak?"

"Dia sudah SMP, jadi tidak suka pergi dengan emak-emak."

"0...." Hanya itu yang kukatakan.

"Kita juga bisa berlibur bersama lho, Bu Salma. Eh, tapi kalau Ibu punya uang." Dia menutup mulut seakan mengejekku.

Astaga, kenapa ada orang seperti itu. Menilai sesuatu dari materinya.

"Saya permisi, selamat berlibur."

"Bu Salma, tunggu...."

Segera kututup pintu rapat-rapat. Tidak kuhiraukan Bu Tini yang kembali mengetuk pintu.

"Siapa, Bun? Kok ditutup pintunya?"

"Trio wek-wek."

"Memang masih ada trio wek-wek? Itu kan jaman kita anak-anak, Bun?"

Aku menghela napas, melangkah ke arah ranjang. Kujatuhkan bobot di atas kasur empuk itu.

"Siapa sih, Bun?" tanya Mas Ridho lagi.

"Bu Tini dan sebentar lagi Bu Susi dan Bu Santi datang. Ya Allah kenapa sulit terbebas dari mereka?"

"Lha, kenapa mereka juga di sini?" Mas Ridho menjatuhkan bobot di sampingku, menatap netra ini untuk mencari tahu sebuah alasan.

"Aku tidak tahu, Yah."

"Ya sudah, abaikan saja." Aku mengangguk meski begitu berat. Bayangan kehancuran liburan ini sudah menari di pelupuk mata.

Jarum jam menunjukkan pukul 15.30 aku dan Mas Ridho sudah bersiap pergi ke pantai. Kami ingin menikmati matahari terbenam di Pantai Parangtritis. Duduk bergandengan tangan dengan semilir angin dan sentuhan ombak, pasti sangat menyenangkan. Sudah lama aku ingin merasakan itu.

"Kenapa senyum-senyum sendiri?" Mas Ridho menyenggol lenganku. Seketika lamunan indah itu hilang dalam pelupuk mata.

"Ah, Ayah menganggu saja. Lagi ngebayangin lihat sunset di pantai."

"Mau ngebayangin atau mau lihat beneran nih?"

"Ya beneran dong."

"Ayo berangkat!"

Aku mengangguk lalu menyambar tas ransel di atas ranjang. Mas Ridho pun menggendong tas berisi pakaian ganti kami. Kami melangkah seraya bergandengan tangan. Obrolan ringan menemani kami.

"Kuncinya gak ketinggalan, kan, Mas?"

"Aman." Dia menepuk saku celananya.

Langkah kami terhenti saat mendengar suara teriakan memanggil nama kami bergantian. Mendadak perasaanku tak enak.

"Ayo jalan lagi, Yah." Aku menarik tangan Mas Ridho. Namun suamiku justru membalikkan badan. Tidak kompak!

"Ibu-ibu kenapa lari-lari?" tanya Mas Ridho.

Dengan berat hati aku membalikkan badan. Benar dugaanku, trio wek-wek berdiri sambil mengatur napasnya yang tersengal. Firasat buruk akan menjadi nyata.

"Bersiaplah, Salam. Mimpi buruk akan segera mula," batinku.

"Ada apa, Bu Tini, Bu Susi dan Bu Santi? Maaf, kami sedang terburu-buru!" ucapku penuh penekanan.

"Pak Ridho bawa mobil, kan?"

"Iya, memangnya ada apa, Bu?"

"Nebeng, ya, Pak. Mau ke pantai, kan?" ucap Bu Santi tanpa rasa malu.

Astaga, kenapa mimpi buruk ini jadi nyata? Menyebalkan.

"Maaf, Bu. Tidak bisa. Kalian bawa mobil sendiri, kan?"

"Itu ... Mobil kami mogok."

"Kasihan Tyo kalau menunggu lama, Bu. Nebeng sampai pantai saja. Toh tempatnya longgar, kan?" pinta Bu Susi mengiba.

Aku melirik Mas Ridho. Kali ini aku benar-benar berharap semoga dia menolaknya.

"Sampai pantai saja, ya."

Aku memutar badan lalu melangkah tempat parkir mobil. Sesekali mengepalkan tangan di samping, rasa kesal semakin memuncak. Bukan hanya pada Trio wek-wek tapi juga kepada suamiku yang terlalu baik.

Mobil melaju menuju pantai. Sepanjang jalan ketiga wanita itu terus saja bercerita. Berkali-kali tertawa lepas kala menceritakan harta dan uang. Bahkan keberadaan kami seolah tak dianggap. Ini mobil kami tapi mereka bagai menyewa taksi online.

Ah, aku sangat tersiksa!

"Sabar, Sayang," bisik Mas Ridho seraya mengelus tangan ini. Aku hanya mampu diam sambil sekuat tenaga menahan amarah yang hampir saja meledak.

Jarak antara hotel dan pantai sekitar satu jam. Beruntung kali ini tidak terlalu banyak kendaraan yang menuju ke sana. Justru kebanyakan kendaraan menuju arah berlawanan dengan kami.

"Kita mau ke pantai, Bu?" tanya Tyo antusias.

Anak berusia lima tahun itu asyik menatap luar. Mengawasi mobil yang terus berlalu lalang. Kadang dia tersenyum lalu berbicara sendiri. Entah apa yang dia katakan, aku tak mampu mendengar dengan jelas.

Jujur ada rasa iri yang menelusup sanubari. Tidak bisa dipungkiri, aku merindukan hadirnya buah hati. Namun Tuhan memintaku bersabar lagi.

"Tyo suka ke pantai?" tanyaku seraya menoleh, menatap anak lelaki yang memakai kaos biru laut.

"Suka, Tante. Tapi Mama gak pernah ajak Tyo ke pantai. Mama sukanya ajak ke mall, makan di lantai atas terus lihat-lihat baju tapi tidak beli," jawabnya polos tanpa ada yanv ditutup-tutupi.

"Sstt! Tyo, diam." Bu Susi menatap tajam membuat anak kecil itu menunduk ketakutan. Astaga.

"Tapi,kan benar, Ma," jawab Tyo seraya menundukkan kepala.

"Jangan didengarkan, Ibu-Ibu. Tyo memang suka ngawur ngomongnya," ucap Bu Susi dengan wajah tegang.

Aku tertawa dalam hati mendengar kata-kata jujur itu. Anal kecil tak mungkin berbohong. Ternyata pamer ke mall hanya sekedar makan sambil lihat-lihat. Bukan memborong seperti yang selalu ia katakan.

Hening, ketiga wanita itu memilih diam. Lebih tepatnya bungkam karena kejujuran seorang anak kecil.

"Ma, Tyo pengen pipis," ucap Tyo sambil mengguncang tubuh wanita di sebelahnya.

"Hutang... Nanti," ucap Susi.

Aku menoleh ke belakang, wanita itu tampak kebingungan.

"Ma, pipis."

"Aduh Tyo, kenapa bangunin Mama? Kalau mau pipis tinggal pipis. Kan pakai popok."

Popok? Apa aku tak salah dengar? Anak lima tahun masih memakai popok. Apa tidak dilatih ke kamar mandi. Bu Susi... Bu Susi, kamu benar-benar keterlaluan.

Aku kembali menatap depan, pura-pura tak mendengar perkataan itu.

Setelah satu jam kami sampai di pantai. Bu Susi segera keluar disusul Bu Tini dan Bu Santi. Mereka meninggalkan kamu tanpa ucapan terima kasih.

"Sudah jangan marah, ayo!" Mas Ridho membukakan pintu lalu mengulurkan tangannya.

Kami berjalan di sepanjang pantai. Tangan Mas Ridho menggenggam mesra tangan ini. Sejenak aku dapat melupakan rasa kecewa akibat tingkah Bu Susi dan kedua sahabatnya.

"Mau es kelapa muda?" tawarnya ketika kami melewati penjual kelapa muda.

"Mau es kopi aja, Mas."

"Oke."

Kami pun memberi satu es kopi dan satu es degan. Segera kuminum es itu hingga habis tak tersisa.

Aku dan Mas Ridho kembali berjalan mendekat air laut.

"Berhenti, Yah."

Langkahku terhenti, perut rasanya diaduk-aduk. Aku ingin memuntahkan semua isi perut ini.

"Kamu kenapa?"

"Aku pengen muntah."

Mas Ridho menuntunku berjalan menjauh dari bibir pantai. Kami mencari tempat sepi, dalam hitungan detik kukeluarkan semua isi perut.

"Kamu kenapa, Bun?"

"Mual, Mas. Sepertinya asam lambung naik karena minum kopi."

"Ya Allah... Sekarang rasanya gimana?"

"Masih mual."

"Bawa minyak kayu putih tidak, Bun?"

"Tidak, Yah. Semua obat ada di hotel. Termasuk obat magh."

"Kita balik ke hotel saja, Bun. Aku gak mau kamu kenapa-napa."

Aku mengangguk pasrah, tubuhku terasa lemas. Balik ke hotel adalah solusi terbaik.

Aku hanya memejamkan mata saat mobil berjalan. Sesekali berhenti karena aku merasa mual dan muntah.

"Yah, kok jadi sepi, ya," ucapku saat mobil masuk ke parkiran hotel.

"Ya Allah, Bun... Bu Susi ketinggalan."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status