Share

6.Tertinggal

last update Terakhir Diperbarui: 2023-01-30 14:49:54

"Bu Tini," ucapku pelan.

"Bu Salma liburan di sini juga? Kok bisa kebetulan, ya?"

Aku rasa ini kebetulan. Kalau pun kebetulan, mana mungkin wanita itu tahu kamarku. Apa jangan-jangan....

Ah, kenapa aku jadi memikirkan hal yang tidak-tidak. Bisa saja ini kebetulan. Namun kenapa harus di sini? Saat aku ingin bebas dari mereka tapi kenyataan menolaknya.

"I-iya, Bu."

"Sebentar lagi Bu Susi, Tyo dan Bu Santi akan ke sini. Biasalah kami selalu piknik bersama. Namanya juga orang kaya, duitnya ada di mana-mana."

"Putri Ibu tidak diajak?"

"Dia sudah SMP, jadi tidak suka pergi dengan emak-emak."

"0...." Hanya itu yang kukatakan.

"Kita juga bisa berlibur bersama lho, Bu Salma. Eh, tapi kalau Ibu punya uang." Dia menutup mulut seakan mengejekku.

Astaga, kenapa ada orang seperti itu. Menilai sesuatu dari materinya.

"Saya permisi, selamat berlibur."

"Bu Salma, tunggu...."

Segera kututup pintu rapat-rapat. Tidak kuhiraukan Bu Tini yang kembali mengetuk pintu.

"Siapa, Bun? Kok ditutup pintunya?"

"Trio wek-wek."

"Memang masih ada trio wek-wek? Itu kan jaman kita anak-anak, Bun?"

Aku menghela napas, melangkah ke arah ranjang. Kujatuhkan bobot di atas kasur empuk itu.

"Siapa sih, Bun?" tanya Mas Ridho lagi.

"Bu Tini dan sebentar lagi Bu Susi dan Bu Santi datang. Ya Allah kenapa sulit terbebas dari mereka?"

"Lha, kenapa mereka juga di sini?" Mas Ridho menjatuhkan bobot di sampingku, menatap netra ini untuk mencari tahu sebuah alasan.

"Aku tidak tahu, Yah."

"Ya sudah, abaikan saja." Aku mengangguk meski begitu berat. Bayangan kehancuran liburan ini sudah menari di pelupuk mata.

Jarum jam menunjukkan pukul 15.30 aku dan Mas Ridho sudah bersiap pergi ke pantai. Kami ingin menikmati matahari terbenam di Pantai Parangtritis. Duduk bergandengan tangan dengan semilir angin dan sentuhan ombak, pasti sangat menyenangkan. Sudah lama aku ingin merasakan itu.

"Kenapa senyum-senyum sendiri?" Mas Ridho menyenggol lenganku. Seketika lamunan indah itu hilang dalam pelupuk mata.

"Ah, Ayah menganggu saja. Lagi ngebayangin lihat sunset di pantai."

"Mau ngebayangin atau mau lihat beneran nih?"

"Ya beneran dong."

"Ayo berangkat!"

Aku mengangguk lalu menyambar tas ransel di atas ranjang. Mas Ridho pun menggendong tas berisi pakaian ganti kami. Kami melangkah seraya bergandengan tangan. Obrolan ringan menemani kami.

"Kuncinya gak ketinggalan, kan, Mas?"

"Aman." Dia menepuk saku celananya.

Langkah kami terhenti saat mendengar suara teriakan memanggil nama kami bergantian. Mendadak perasaanku tak enak.

"Ayo jalan lagi, Yah." Aku menarik tangan Mas Ridho. Namun suamiku justru membalikkan badan. Tidak kompak!

"Ibu-ibu kenapa lari-lari?" tanya Mas Ridho.

Dengan berat hati aku membalikkan badan. Benar dugaanku, trio wek-wek berdiri sambil mengatur napasnya yang tersengal. Firasat buruk akan menjadi nyata.

"Bersiaplah, Salam. Mimpi buruk akan segera mula," batinku.

"Ada apa, Bu Tini, Bu Susi dan Bu Santi? Maaf, kami sedang terburu-buru!" ucapku penuh penekanan.

"Pak Ridho bawa mobil, kan?"

"Iya, memangnya ada apa, Bu?"

"Nebeng, ya, Pak. Mau ke pantai, kan?" ucap Bu Santi tanpa rasa malu.

Astaga, kenapa mimpi buruk ini jadi nyata? Menyebalkan.

"Maaf, Bu. Tidak bisa. Kalian bawa mobil sendiri, kan?"

"Itu ... Mobil kami mogok."

"Kasihan Tyo kalau menunggu lama, Bu. Nebeng sampai pantai saja. Toh tempatnya longgar, kan?" pinta Bu Susi mengiba.

Aku melirik Mas Ridho. Kali ini aku benar-benar berharap semoga dia menolaknya.

"Sampai pantai saja, ya."

Aku memutar badan lalu melangkah tempat parkir mobil. Sesekali mengepalkan tangan di samping, rasa kesal semakin memuncak. Bukan hanya pada Trio wek-wek tapi juga kepada suamiku yang terlalu baik.

Mobil melaju menuju pantai. Sepanjang jalan ketiga wanita itu terus saja bercerita. Berkali-kali tertawa lepas kala menceritakan harta dan uang. Bahkan keberadaan kami seolah tak dianggap. Ini mobil kami tapi mereka bagai menyewa taksi online.

Ah, aku sangat tersiksa!

"Sabar, Sayang," bisik Mas Ridho seraya mengelus tangan ini. Aku hanya mampu diam sambil sekuat tenaga menahan amarah yang hampir saja meledak.

Jarak antara hotel dan pantai sekitar satu jam. Beruntung kali ini tidak terlalu banyak kendaraan yang menuju ke sana. Justru kebanyakan kendaraan menuju arah berlawanan dengan kami.

"Kita mau ke pantai, Bu?" tanya Tyo antusias.

Anak berusia lima tahun itu asyik menatap luar. Mengawasi mobil yang terus berlalu lalang. Kadang dia tersenyum lalu berbicara sendiri. Entah apa yang dia katakan, aku tak mampu mendengar dengan jelas.

Jujur ada rasa iri yang menelusup sanubari. Tidak bisa dipungkiri, aku merindukan hadirnya buah hati. Namun Tuhan memintaku bersabar lagi.

"Tyo suka ke pantai?" tanyaku seraya menoleh, menatap anak lelaki yang memakai kaos biru laut.

"Suka, Tante. Tapi Mama gak pernah ajak Tyo ke pantai. Mama sukanya ajak ke mall, makan di lantai atas terus lihat-lihat baju tapi tidak beli," jawabnya polos tanpa ada yanv ditutup-tutupi.

"Sstt! Tyo, diam." Bu Susi menatap tajam membuat anak kecil itu menunduk ketakutan. Astaga.

"Tapi,kan benar, Ma," jawab Tyo seraya menundukkan kepala.

"Jangan didengarkan, Ibu-Ibu. Tyo memang suka ngawur ngomongnya," ucap Bu Susi dengan wajah tegang.

Aku tertawa dalam hati mendengar kata-kata jujur itu. Anal kecil tak mungkin berbohong. Ternyata pamer ke mall hanya sekedar makan sambil lihat-lihat. Bukan memborong seperti yang selalu ia katakan.

Hening, ketiga wanita itu memilih diam. Lebih tepatnya bungkam karena kejujuran seorang anak kecil.

"Ma, Tyo pengen pipis," ucap Tyo sambil mengguncang tubuh wanita di sebelahnya.

"Hutang... Nanti," ucap Susi.

Aku menoleh ke belakang, wanita itu tampak kebingungan.

"Ma, pipis."

"Aduh Tyo, kenapa bangunin Mama? Kalau mau pipis tinggal pipis. Kan pakai popok."

Popok? Apa aku tak salah dengar? Anak lima tahun masih memakai popok. Apa tidak dilatih ke kamar mandi. Bu Susi... Bu Susi, kamu benar-benar keterlaluan.

Aku kembali menatap depan, pura-pura tak mendengar perkataan itu.

Setelah satu jam kami sampai di pantai. Bu Susi segera keluar disusul Bu Tini dan Bu Santi. Mereka meninggalkan kamu tanpa ucapan terima kasih.

"Sudah jangan marah, ayo!" Mas Ridho membukakan pintu lalu mengulurkan tangannya.

Kami berjalan di sepanjang pantai. Tangan Mas Ridho menggenggam mesra tangan ini. Sejenak aku dapat melupakan rasa kecewa akibat tingkah Bu Susi dan kedua sahabatnya.

"Mau es kelapa muda?" tawarnya ketika kami melewati penjual kelapa muda.

"Mau es kopi aja, Mas."

"Oke."

Kami pun memberi satu es kopi dan satu es degan. Segera kuminum es itu hingga habis tak tersisa.

Aku dan Mas Ridho kembali berjalan mendekat air laut.

"Berhenti, Yah."

Langkahku terhenti, perut rasanya diaduk-aduk. Aku ingin memuntahkan semua isi perut ini.

"Kamu kenapa?"

"Aku pengen muntah."

Mas Ridho menuntunku berjalan menjauh dari bibir pantai. Kami mencari tempat sepi, dalam hitungan detik kukeluarkan semua isi perut.

"Kamu kenapa, Bun?"

"Mual, Mas. Sepertinya asam lambung naik karena minum kopi."

"Ya Allah... Sekarang rasanya gimana?"

"Masih mual."

"Bawa minyak kayu putih tidak, Bun?"

"Tidak, Yah. Semua obat ada di hotel. Termasuk obat magh."

"Kita balik ke hotel saja, Bun. Aku gak mau kamu kenapa-napa."

Aku mengangguk pasrah, tubuhku terasa lemas. Balik ke hotel adalah solusi terbaik.

Aku hanya memejamkan mata saat mobil berjalan. Sesekali berhenti karena aku merasa mual dan muntah.

"Yah, kok jadi sepi, ya," ucapku saat mobil masuk ke parkiran hotel.

"Ya Allah, Bun... Bu Susi ketinggalan."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dikeluarkan Dari Grup Ibu PKK   Ending

    "Tolong aku, Sal! Tolong bawa Susi ke rumah sakit," pinta Adit mengiba. Tetes air mata jatuh membasahi pipi lelaki itu. Adi dan Salma saling pandang, namun keduanya diam. Terlebih sikap Susi pada Salma. "Maaf, Pak Adit. Mobil kami penuh dengan barang. Tidak mungkin mengeluarkannya dulu. Coba pesan taksi online atau minta bantuan tetangga. Maaf, kami permisi," ucap Salma. Perlahan kendaraan roda empat itu melaju, meninggalkan Komplek Mawar. Juga meninggalkan Adit dengan perasaan cemas yang memenuhi rongga dadanya. Adit merogoh saku celana, ia keluarkan benda pipih yang ada di dalam. Tanganya dengan cepat menari di atas layar, dia memesan taksi online. Sayang, hingga tiga menit menunggu tak ada satu pun taksi yang menerima pesananya. Adit kembali berlari menuju rumah Sari. Namun kembali ia menelan pil kecewa karena rumah itu kosong. Penghuni rumah sudah pergi satu jam lalu. Adit kembali menggedor tiap pintu rumah Komplek Mawar. Namun tak satu pun yang membuka pintu. Mereka pura-pu

  • Dikeluarkan Dari Grup Ibu PKK   Pindahan

    "STOP! Jangan hina Mbak Salma!"Seketika semua mata menoleh ke arah gerbang. "Jangan salahkan Mbak Salma, dia gak salah. Aku yang meminta Mas Ridho ke Bandung."Gita dipapah seorang lelaki mendekat ke arah kami. Wajah adik iparku itu tampak sendu. Tak lama bulir demi bulir jatuh membasahi pipinya. Gita merasa bersalah atas kematian Mas Ridho. "Halah, dibela segala. Kalau Salma tidak meminta Pak Ridho pulang... Pasti saat ini dia masih hidup."Aku mengepalkan tangan, kesal dam marah melebur menjadi satu. Tidak bisa kupungkiri jika ucapan wanita itu benar. Namun tidakkah ia tahu hatiku sudah terlalu hancur. Tak bisakah dia bersimpati padaku, sedikit saja."Bu Susi bisa diam tidak? Sekali saja Bu Susi menjelekkan Mbak Salma, saya akan melaporkan Bu Susi atas pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan. Saya pastikan ibu membusuk di penjara!" ucap Gita kesal. "Dasar pahlawan kesiangan!"Bu Susi menghembuskan napas kasar, menatapku tajam. Dapat terlihat jelas kilau kebencian d

  • Dikeluarkan Dari Grup Ibu PKK   Salma Murka

    "Salma tidak bisa berpikir apa-apa, Ma. Pikiran Salma buntu. Kepergian Mas Ridho merupakan pukulan terbesar untuk Salma." Aku menunduk, air mata bisa lagi menetes. Sudah kering karena sejak pagi tak henti-hentinya menangis. "Bukan salah Salma, Ma. Dia syok tidak bisa berpikir. Itu hal wajar."Papa mengelus pundak, menguatkan hati yang terlanjur rapuh ini. "Perut kamu...." Papa menatapku. "Salma sudah melahirkan, Pa. Te ... Tepat saat Mas Ridho mengalami kecelakaan. Bahkan Mas Ridho belum sempat melihat putranya," ucapku dengan suara bergetar. Sesak kembali terasa saat mengingat kejadian itu. Saat aku berjuang tapi Mas Ridho sudah berpulang. "Kami sudah melahirkan, Sal?" Mama mendekat ke arahku. Amarahnya telah berkurang. "Iya, Ma. Mama dan Papa sudah memiliki cucu lelaki.""Di mana, Sal?""Di dalam, Ma, Pa."Untuk sesaat mereka lupa dengan luka yang terbuka. Kehadiran Ammar bagai obat yang menyembuhkan. Mama menatap Ammar yang tengah tertidur pulas di atas ranjang. Tanpa diminta

  • Dikeluarkan Dari Grup Ibu PKK   Pemakaman

    Aku duduk lemas di atas tikar, menatap kosong ke depan. Beberapa menit lalu jenazah Mas Ridho telah diantar ke peristirahatan terakhirnya. Aku tak sanggup melihat kemudian pingsan untuk ketiga kalinya. Kehilangan sosok yang kita cintai dalam sekejap adalah pukulan terhebat dalam hidup ini. Aku bahkan tak tahu apa aku bisa menjalani hidup tanpa sosok Mas Ridho? Satu persatu tetangga sudah meninggalkan rumahku. Kini tinggal aku, Alisa dan Bu Aini. Dua orang itu masih setia menemaniku. Meski sebentar lagi akan pergi, kembali ke rumah masing-masing. "Sabar, ya, Mbak. Semua sudah menjadi ketentuan Allah." Alisa mengelus pundakku,menguatkan.Kematian memang sudah menjadi takdir yang tak bisa ditolak atau diminta. Namun kehilangan juga menciptakan luka. "Makasih, Lis. Ammar sudah tidur, kan?" tanyaku pelan. "Sudah, Mbak. Maaf sebelumnya jika lancang. Ammar sudah diazani Mas Haikal tadi setelah jenazah tiba, saat Mbak Salma jatuh pingsan," terang Alisa ragu. "Makasih, Lis."Kembali kura

  • Dikeluarkan Dari Grup Ibu PKK   53 Pertemuan Pertama Dan Terakhir

    Sesak, seakan tak ada pasokan oksigen di paru-paru. Berkali-kali aku hapus air mata ini tapi cairan bening itu tetap saja mengalir tanpa henti. "Jenazah harus segera dimakamkan, Mbak."Perkataan Alisa menyadarkanku. Benar, jenazah Mas Ridho harus segera dikebumikan. Walau berat, aku harus tetap mengikhlaskannya. "Mas Haikal sudah mengurus jenazah Mas Ridho, Mbak. Kita harus segera pulang."Aku mengangguk, pasrah dengan ucapan Alisa. Karena aku sendiri tak tahu harus bagaimana. Pikiran sudah buntu, tak mampu memikirkan apa pun selain Mas Ridho. "Aku urus administrasinya dulu, Mbak. Kata dokter Mbak boleh pulang."Aku mengangguk, membiarkan Alisa meninggalkan ruang inapku. Perlahan aku turun dari ranjang ini, lalu berdiri tepat di depan box bayi. Aku tatap bayi kecil yang belum diberi nama itu. Bulir demi bulir jatuh membasahi pipi. Sesak tiap kali kutatap wajah bayi mungil itu. Mas Ridho belum sempat melihat wajah anaknya, apa lagi mencium pipi cabi putra kami. Namun Allah sudah m

  • Dikeluarkan Dari Grup Ibu PKK   52 Pertemuan Pertama Dan Terakhir

    "Bagaimana keadaan suami saya, Pak? Mas Ridho baik-baik saja, kan? Mas Ridho masih dirawat di rumah sakit, kan?" cecarku kepada dua polisi yang tiba-tiba mematung. Dua polisi itu diam kemudian saling pandang. Perasaanku semakin tak enak melihat ekspresi wajah keduanya. "Kenapa diam, Pak? Bagaimana keadaan suami saya?"Oweek... Oweek.... Teriakanku membuat bayi dalam gendongan ini menangis histeris. Seketika Alisa mengambil putraku lalu melangkah pergi meninggalkan kami bertiga dalam kamar. Tangis bayiku masih terus terdengar, tangis yang kian menyayat hati. Namun untuk sesaat aku abaikan. "Suami saya di mana, Pak?" tanyaku lagi karena mereka masih diam membisu. Lagi keduanya saling pandang lalu mengangguk bersamaan. "Sabar, ya, Bu. Mungkin kabar ini ....""Jangan bertele-tele, Pak! Apa yang mau kalian sampaikan?" ucapku kesal. Aku berdiri,menatap tajam dua polisi itu. Kedua lelaki itu seolah tengah mempermainkan perasaanku. Tak tahukah mereka jika aku sangat mengkhawatirkan Mas

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status