Tidak sampai tiga puluh menit, Mercedes merah milik Nia tampak memasuki halaman rumah mewah milikku. Sebenarnya, aku bisa saja pindah dari sini. Ke rumah yang tiga kali lipat lebih mewah dari ini. Karena Mas Heru mampu membelikannya, tapi lagi-lagi aku sayang membiarkan rumah peninggalan Papi ini dalam keadaan kosong. Di sini penuh kenanganku bersama Papi. Aku tak akan pernah mau pergi kemana pun.
"Hei... Mukanya kok masam banget, kayak jeruk busuk," sapa Nia mendekatiku, kemudian kami berpelukan dan cium pipi kanan, cium pipi kiri.
"Gimana ga masam, coba? Mas Heru tu sekarang berubah banget, sering pulang tengah malam. Dan kemarin aku periksa tas kerjanya, banyak banget tagihan belanja, Hotel, juga bill di Restoran mahal. Sementara, aku udah satu bulan ini nggak pernah minta temanin sama dia belanja, nggak pernah diajak dinner di luar, apalagi nginap di Hotel. Apa aku nggak boleh curiga sama dia, kalau udah gini?" cerocosku tak henti pada Nia yang baru saja datang.
Nia tampak mendengarkanku dengan sabar. Aku bahkan lupa menyuguhinya air minum, karena kulihat dia berjalan sendiri mengambil air. Ya, dia memang sudah mengenal baik rumah ini. Semasa sekolah, bahkan dia sering menginap di rumahku ini berhari-hari.
"Kamu yang ngomong panjang lebar, aku yang haus. Aku minum dulu," jawabnya, lalu meneguk air putih hangat itu hingga tandas.
"Nih, aku udah buatin juga pesanan kamu!" ucapku menyodorkan sepiring mie goreng pedas kesukaannya. Aku tau, Nia buru-buru datang ke sini dan pasti dia belum sempat sarapan. Jadi aku memang sengaja membuatkan pesanannya ini selagi menunggu ia datang.
"Wuaa... Kamu memang terbaik, Beb. Muach!" jawabnya senang dan mengecup pipiku.
Aku membiarkan Nia memakan sarapannya dengan tenang. Setelah selesai, pasti otaknya itu akan langsung conect dan dia mulai gencar menanyaiku.
"Jadi, hal lain apa yang membuatmu yakin dia memiliki wanita lain?" tanya Nia, setelah menghabiskan sarapannya.
"Aku curiga, ini ada hubungannya dengan Mami!" jawabku serius.
"Ma-Mami? Mami kamu?" tanya Nia tak percaya.
"Iyalah, Mami siapa lagi? Mas Heru kan udah yatim piatu," ungkapku lagi.
"Emm... Kalau boleh jujur sih, aku memang pernah melihat Mas Heru itu sedang berada di Hotel A4 bersama seorang perempuan. Aku tidak melihat dengan jelas, tapi perempuan itu bergaya ala-ala cewek Eropa. Super seksi. Aku pikir, dia sedang mengadakan pertemuan dengan klien dari luar Negeri," ungkap Nia panjang lebar padaku.
"Itu pasti Mami. Kenapa kamu nggak pernah cerita sama aku? Kapan kamu melihatnya?"
"Mungkin, sekitar satu minggu yang lalu. Waktu aku sedang mengantarkan dokumen perceraian pada seorang wanita yang bersembunyi dari suaminya dan menginap di Hotel itu untuk sementara waktu,"
"Tidak salah lagi. Awas kamu, Mas. Aku akan membuat kamu menyesal karena telah mempermainkanku!" gerutuku dengan tangan terkepal menahan emosi.
"Sudahlah, tenangkan dirimu dulu. Kita harus mengatur strategi, supaya semua bisa jelas. Jika benar dia berselingkuh, apa yang akan kau lakukan?" pertanyaan Nia sontak membuatku terdiam cukup lama.
Jujur saja, aku takut jika semua hal ini benar-benar terjadi. Aku masih berharap, semua ini hanyalah ketakutanku saja. Tapi, jika ternyata benar, apa aku siap melepaskan Mas Heru? Aku tentu saja tidak ingin berbagi suami dengan wanita lain. Aku bisa memaafkan kesalahan-kesalahannya yang lain, tapi tidak jika urusan wanita.
"Aku akan menggugat cerai!" jawabku penuh tekad.
"Apa kau sungguh tak akan terluka nanti?"
"Aku akan lebih terluka jika terus melanjutkan hubungan dengan seorang pengkhianat," balasku tanpa menatap pada Nia.
Pasti Nia paham, apa yang sedang berkecamuk di dalam hatiku saat ini. Biarlah, jika Tuhan memang telah menghabiskan umur jodohku dengan Mas Heru secepat ini, aku akan mencoba untuk ikhlas.
"Sebaiknya, kamu cari seorang yang bisa menyisipkan pelacak pada ponsel Mas Heru. Agar aku tau kemana saja dia pergi. Jadi kita bisa memantaunya atau menggrebeknya sekalian," sahutku bersemangat.
"Oke, gimana kalau kita ke rumah Ferdi?" ajak Nia padaku.
"Ferdi? Siapa dia?"
"Kau lupa? Ferdi, kakak kelas kita waktu SMA. Yang pernah empat kali kau tolak mentah-mentah di depan seluruh siswa di lapangan sekolah,"
"Hah? Kak Ferdi yang itu? Untuk apa kita ke rumahnya? Jangan bilang, kau mau menjodohkanku lagi dengannya?"
"Hus, jangan berpikiran negatif pada sahabatmu yang cantik ini," tukas Nia cepat.
"Lalu, untuk apa?" desakku padanya lagi.
"Dia itu ahli dalam bidang lacak melacak. Ahli informatika dan dalam dunia perhackeran. Jika kamu mau, ponsel suamimu juga bisa di sadap. Jadi kita bisa tau apa saja isi pesan dan pembicaraan telponnya!" jelas Nia.
"Oh, begitu. Kenapa tau tidak mengatakannya sejak tadi? Kalau begitu ayo kita ke rumah Kak Ferdi." ajakku dengan menarik tangan Nia.
"Wah lihat ini, yang sudah tak sabar ingin bertemu mantan kekasih," ejeknya padaku.
"Aku bahkan tak sekalipun menerimanya, bagaimana dia bisa jadi mantan kekasihku?" balasku dengan bangga saat melihat Nia sudah berdiri dari kursinya.
"Ya, kamu benar. Apa kamu akan pergi dengan pakaian seperti ini?" tanya Nia heran melihatku hanya mengenakan kaus oblong dan jeans ketat semata kaki. Rambut panjangku, kubiarkan tergerai karena masih basah setelah mandi tadi.
"Ya iyalah, memangnya aku harus berdandan dulu untuk ketemu sama pria lain?" jawabku sekenanya.
"Mungkin, karena itu kamu dicintai banyak pria. Sifat dan sikapmu yang sederhana itu, Beb. Pasti salah besar, jika Mas Heru benar-benar mengkhianati kamu kali ini." puji Nia terlihat sungguh-sungguh.
"Tentu saja, aku menyingkirkan antrian panjang psra pria yang ingin melamarku demi dirinya. Awas saja, jika benar dia berselingkuh. Akan kubuat dia menyesal sampai bersujud di kakiku ini!" ujarku sungguh-sungguh.
Setelah mengambil tas yang berisikan ponsel, atm, kartu kredit dan beberapa benda wajib bagi perempuan di dalamnya, aku menyusul Nia yang sudah terlebih dahulu ke mobil. Setelah mengunci rumah, aku masuk ke mobil Nia dan kami berangkat.
Tak pernah terbayangkan olehku, bahwa aku akan mengalami hari yang seperti ini di dalam hidupku. Mencurigai lalu mulai menyelidiki suamiku sendiri. Suami yang selalu kupandang tanpa celah dan dosa, suami yang kubangga-banggakan dan kupuja-puja karena kelembutan hatinya, sikapnya, tutur bahasanya.
Mungkin, benar kata pepatah. Air yang tenang, memiliki bahaya besar di dalamnya. Mungkin, kata-kata itu pantas kusematkan untuk Mas Heru. Pria yang tak banyak neko-neko, penurut dan tak pernah mengatakan tidak padaku. Namun sebenarnya, ada rahasia besar yang ia sembunyikan dari sikap baiknya selama ini. Aku yang dibutakan oleh cintanya, terlena. Dan lupa, bahwa Mas Heru tetaplah laki-laki biasa. Dia bukan Malaikat yang tanpa dosa dan nafsu.
'Maaf, Mas. Demi ketenangan hatiku dan kebaikan kita bersama, aku harus menempuh jalan ini,' lirihku dalam hati.
Tidak sampai sepuluh menit, kami sudah sampai di depan sebuah rumah bercat abu-abu dan putih yang tampak minimalis. Tapi, rumah ini sudah dilengkapi dengan teknologi canggih. Mungkin, karena pemiliknya seorang yang hebat dalam bidangnya juga. Dari luar pagar, kulihat Nia berbicara pada layar kecil di sudut pagar. Tak lama kemudian, pintu pagar terbuka. Nia kembali masuk ke mobil dan menyetir masuk ke pekarangan.Tepat saat mobil Nia berhenti di depan pintu rumah minimalis itu, pintu rumah terbuka. Terlihat sosok tampan dengan celana pendek di bawah lutut, dan kaos oblong hitam berdiri di ambang pintu. Aku dan Nia segera turun dan menghampirinya."Hai, Fer. Kita nggak ganggu, kan?"sapa Nia sambil menepuk pangkal lengan pria itu dengan santai."Nggak lah, aku lagi free job sih beberapa hari ini. Kenapa? Mau ngasih aku kerjaan? Lumayan nih, buat nambah-nambah kesibukan," jawabnya seraya tertawa pada Nia."Alah, kamu ga kerja berbulan-bulan pun paling cuma me
Dengan langkah tegap, Ferdi kembali hadir di tengah-tengah kami. Aku segera menyimpan ponselku ke dalam tas. Begitu pun dengan Nia yang tampak sangat antusias menantikan apa yang selanjutnya akan diberitahu oleh Ferdi. "Ini, chip kecil ini sangat banyak manfaatnya. Apa suamimu memakai pelindung ponsel?" tanya Ferdi padaku. "Iya, dia selalu memakainya. Karena dia sangat ceroboh, jadi aku memintanya memakai pelindung ponsel agar saat ponsel itu jatuh, tidak langsung retak atau pecah," jelasku pada Ferdi. "Bagus, kamu sisipkan ini di belakang ponselnya. Tinggal tempel aja, lalu pasang kembali pelindung ponselnya. Aku akan menambahkan fitur pengaturannya di ponselmu setelah itu!" ucap Ferdi sambil menyerahkan sebuah chip yang sangat kecil dan tipis itu padaku. "Hati-hati, Beb. Jangan sampai hilang, dan jangan sampai ketauan saat kamu memasangnya. Sebaiknya kamu pasang itu nanti saat dia pulang kerja. Jadi besok kita ke sini lagi, untuk mengatur programnya
"Ada apa, Beb?" tanya Nia saat melihatku menjadi emosi sambil mengepalkan jemariku di atas meja. Jika tidak mengingat ini tempat umum, pasti akan kumaki-maki mereka berdua."Kamu lihat yang di sudut sana, siapa mereka," titahku pada Nia dengan menggerakkan dagu ke depan.Nia patuh dan segera melihat ke arah yang ku maksud. Dia tak kalah kagetnya dari diriku tadi. Nia mengambil tanganku dan menenangkanku."Aku baik-baik aja kok," ucapku, jelas sekali berbohong."Coba sekarang kamu telpon suamimu itu, tanya dia ada dimana. Cepat." saran Nia tak sabar padaku.Mungkin ada benarnya juga. Aku bisa menguji kejujuran Mas Heru saat ini. Lalu, kuambil handphone dari tas jinjingku. Saat kubuka layar ponsel itu, sudah banyak sekali panggilan dari Mas Heru dan Mami.Ada apa ini? Kenapa mereka serempak menghubungiku? Apa ini termasuk dalam rencana mereka untuk mengelabuiku? Pikirianku sudah dipenuhi dengan prasangka-prasangka negatif.K
Aku menatap Mas Heru dengan wajah sinis. Nia yang mengerti akan terjadi perang rumah tangga, segera beranjak dari kursinya. "Eh, Beb, aku ke toilet dulu ya," ucapnya. Aku menjawab dengan anggukan pelan, dan Nia pun berlalu dari hadapanku dan Mas Heru. Mas Heru mengenggam tanganku, tapi kenapa tangannya terasa dingin. Apa dia grogi karena ucapan Mami tadi? "Mas... Apa maksud ucapan Mami tadi?" tanyaku dan menepis tangan Mas Heru. "Yang mana, Sayang?" jawabnya masih saja dengan lembut, dan entah mengapa sekarang aku merasa jijik pada sikapnya itu. "Yang tadi, yang dia bilang kamu perkasa," "Haha... Itu... Mami kan memang seperti itu, masa anaknya sendiri ga tau Maminya suka bercanda?" "Aku serius, Mas!" "Iya, trus Mas harus jawab apa coba?" "Mas ada main ya sama Mami?" tuduhku tak tahan lagi, membuat Mas Heru yang sedang memyeruput kopinya tersedak. Uhuk...uhuk... Suara batuk Ma
"Oke, semua udah beres. Kamu tinggal pencet ini kalau mau tau dimana suami kamu berada. Misalkan seperti sekarang ini, coba kita liat dia dimana..." Ferdi menjelaskan padaku. "Nah ini, kamu tau ini dia dimana? Kantornya kali ya," Ferdi menyodorkan ponsel itu kembali padaku. "Iya, ini di kantor." jawabku saat melihat nama Perusahaan tempat Mas Heru tertulis di sana. "Sip, berarti semua udah berfungsi dengan baik." "Makasih ya, Fer. Tolong kirim nomor rekening, aku mau transfer pembayaran untuk semua ini," "Santai ajalah, Win. Besok-besok juga bisa." "Tapi, aku nggak enak. Aku udah terima barang dan jasa dari kamu, tapi malah belum bayar sepersen pun." "Ya elah, santai aja. Kayak yang mau pergi jauh nggak balik-balik aja sih?" "Bukan gitu, aku udah selesai pakai jasa kamu. Seterusnya biar aku yang ngelakuin sendiri. Jadi, ya aku harus bayar dong jasa kamu." "Kamu bayarnya nanti aja, saat semuanya benar-benar udah
Aku mulai melupakan kejadian hari itu. Karena Mas Heru pun sudah kembali seperti Mas Heru yang aku kenal sejak pertama menikah dulu. Dua minggu berlalu sejak kejadian malam itu, Mas Heru berusaha pulang lebih awal setiap harinya. Akhir pekan kami juga dinner di luar seperti dulu. Mas Heru berhasil membuatku kembali terlena dengan sikap lembutnya.Aku bahkan lupa, bahwa aku pernah menempel chip pelacak di ponsel Mas Heru. Sampai siang ini, Nia menelponku."Beb, kamu dimana?" tanya Nia di ujung telpon."Aku di rumah dong, kenapa emangnya?" aku balik bertanya pada Nia."Aku lagi di klinik, nganterin klien-ku yang tadi pingsan saat pengadilan.""Trus?""Di sini ada suami kamu...""Mas Heru? Ngapain dia di klinik?""Itu dia yang mau aku bilang.. dia sama seorang wanita hamil. Apa mungkin dia punya saudara yang lagi hamil?""Nggak. Mas Heru nggak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Ya udah, kamu tolong pantau terus ya. Kalau
Aku memutuskan untuk ke rumah kontrakan yang disewa oleh Ranisa selama ini. Aku yang mencarikan rumah ini untuk Ranisa, dan aku juga pernah beberapa kali mengantarkannya pulang. Saat tiba di sana, rumah itu dalam keadaan kosong dan terkunci dari luar. Aku mengintip dari kaca, rumah itu memang sudah kosong sampai ke dalam. Seperti rumah yang sudah tidak berpenghuni lagi. 'Apa mungkin Ranisa pindah? Kemana dia pindah? Kenapa dia tidak memberitahu padaku?' gumamku dalam hati. Sekitar lima menit aku duduk di teras rumah kontrakan Ranisa itu, sampai akhirnya aku memilih untuk kembali pulang. Aku takut, Mas Heru sudah duluan pulang dari kantor. Saat aku berdiri, ada seorang Ibu-Ibu paruh baya yang menegurku dengan sopan. "Mba lagi nyari Neng Rani, ya?" tanya si Ibu padaku. "Eh, i-iya, Bu. Ibu kenal Ranisa?" tanyaku, setelah lebih dulu menjawab pertanyaan si Ibu. "Ya kenal atuh, Mba. Neng Rani kan lama tinggal di sini. Semua orang di sini juga
"Selamat malam, Sayang!" sapa Mas Heru padaku saat baru saja memasuki rumah."Selamat malam, Mas. Kok baru pulang?" tanyaku sambil membantunya melepaskan jas."Iya, tadi Mas mendadak harus revisi document yang mau di persentasikan besok," jawabnya dengan muka lelah.Aku tidak tega jika harus memberondonginya dengan pertanyaan lain. Wajahnya terlihat sangat lelah dan lesu sekali."Kamu mandi dulu ya, Mas. Biar aku siapkan makan malam untuk kita.""Makasih, Sayang. Kamu memang istri terbaik yang pernah aku miliki. Aku bahagia sekali memilikimu.""Mas lebay deh, ya udah sana, mandi dulu. Aku mau masak!"Cup...Sebelum pergi ke kamar, Mas Heru mendaratkan sebuah kecupan singkat di bibirku.Deg...Kenapa rasanya aneh begini? Kenapa bibir Mas Heru memiliki rasa manis? Nggak mungkin kan, Mas Heru memakai pelembab bibir?Sambil membuat nasi goreng kampung yang praktis, aku terus memikirkan hal itu. Tidak bias