Andini berlari secepat yang ia bisa, menghindari kejaran para pengawal yang berusaha menangkapnya. Ia tidak tahu ke mana harus pergi, tetapi yang jelas, ia harus menjauh dari tempat ini.
Sayangnya, gaun warna hitam yang dikenakannya terlihat mencolok sehingga membuatnya semakin mudah dikenali oleh para pengawal.
Pengawal-pengawal suruhan keluarga Hadinata terus mengejarnya.
Tanpa mengambil jeda, Andini mencoba masuk ke dalam lift, tapi tombolnya terlalu lambat merespons mirip siput.
Ia pun menoleh ke lorong di sebelah kirinya.
“Berhenti di situ, Nona Andini!” teriak salah satu pengawal berbadan besar sambil menunjuk ke arah Andini.
“Kalau aku berhenti, aku pasti jadi tumisan kalian!” gerutu Andini sambil melangkah mundur dengan panik. Ia harus segera melarikan diri jika ingin selamat dari mereka.
Tiba-tiba, seorang pria berpostur tubuh tinggi berdiri di hadapannya.
Matanya tampak dingin dan wajahnya tertutup masker hitam.
Mengenakan setelan mahal armani, ia terlihat seperti CEO di novel-novel.
Sontak, Andini mengerjapkan matanya tatkala melihat sosok pria misterius itu.
Ia merasa pernah melihat pria itu namun lupa entah di mana.
Untungnya setelah beberapa detik, Andini pun mengingatnya. Pria misterius itu tadi berada di area lobby hotel!
Mungkin ia adalah salah satu tamu undangan pernikahan?
“Tolong aku, Tuan. Aku–”
“Turun!” Belum selesai berbicara, pria itu memerintahkan Andini dengan penuh dominasi, sembari membuka pintu tangga darurat di dekat mereka.
Andini tersentak lalu menoleh ke arah pintu darurat dengan frustrasi.
“Tangga? Serius? Aku pakai heels 12 cm, tahu!” protes Andini.
Pria itu mengerutkan keningnya, menatap sepatu Andini yang berhak tak lebih dari 5 cm. “Aku nggak peduli. Mau selamat atau jadi tontonan di hotel ini?”
Tanpa Andini sadari, pria itu mengisyaratkan dengan jarinya agar pengawal itu mengejar mereka sedikit lebih lambat.
Dan mereka jelas menurutinya karena mereka lebih takut pada sosok pria di hadapan Andini saat ini!
Putra bungsu Eyang Hadinata atau dengan kata lain paman Bima yang selama ini mengurus perusahaan cabang farmasi mereka di Jerman.
Identitasnya yang disembunyikan, tetapi terkenal di antara pekerja Hadinata karena memang terkenal mengerikan!
Di sisi lain, Andini yang panik, terpaksa menurutinya.
Namun melalui tangga darurat itu gelap dan berdebu, Andini nyaris saja terjatuh saat mengikuti langkah lebar pria itu.
“Hey, pelan-pelan Om! Aku bukan atlet!” keluh Andini dengan ketakutan. Ia takut sekali jika kakinya terkilir. Nanti ia tidak bisa lagi berlari di mall untuk berburu barang diskon.
“Om? Saya gak nikah sama Tantemu,” cibir pria itu dengan wajah memberengut di balik maskernya.
“Hum, ya udah Tuan CEO,” cibir Andini kesal.
“Aku punya nama! Dewa,” serunya singkat, jelas dan padat.
“Okay, Om Dewa, eh, Pak Dewa, pelan-pelan. Aku gak bisa menyusulmu,” protes Andini kembali. Pantas saja namanya Dewa, aura menindasnya begitu kuat.
“Kalau kamu tetap cerewet, aku lempar kamu ke bawah,” balas Dewa dingin. Andini pun langsung bungkam. Dengan tubuh yang tinggi besar dan berotot, akan sangat mudah bagi pria dewasa itu membuatnya seperti rempeyek.
Setelah beberapa menit yang terasa seperti seabad, mereka tiba di basement. Andini hampir pingsan, tapi Dewa tetap terlihat segar seperti baru saja selesai jogging ringan.
Namun, kelegaan itu hanya berlangsung sesaat karena sebuah mobil hitam besar berhenti di depan mereka, dan keluar dari dalamnya seorang pria berambut klimis dengan wajah penuh hormat pada Dewa.
Sontak, Andini pun beringsut mundur. Jangan sampai ia keluar dari kandang singa lalu masuk ke kandang ular. Bisa saja, pria yang bernama Dewa dan pria yang baru saja datang itu adalah orang suruhan Bima. Tidak menutup kemungkinan bukan?
Pria berambut klimis itu membukakan pintu untuk Dewa. Tanpa tedeng aling-aling, Dewa langsung mendorong tubuh Andini masuk ke dalam mobil. Sontak, gadis berkacamata tebal itu panik.
“Om Dewa! Jangan culik aku!” pekik Andini dengan mata yang membelalak lebar. Namun tubuhnya sudah terhuyung masuk ke dalam mobil.
“Pak Dewa, ini proposal kerja sama untuk lomba antar-mahasiswa farmasi se-Malaysia. Namanya Formula It,” ujar seorang wanita muda sembari meletakkan map cokelat ke atas meja. “Finalnya akan digelar di Kuala Lumpur bulan depan.”Dewa mengangkat kepala sekilas dari laporan keuangan yang tengah ia pelajari. Sorot matanya belum sepenuhnya tertarik. “Farmasi? Malaysia? Kompetisinya tentang apa?”“Formulasi obat inovatif,” jawab Lina—sekretaris baru dengan cepat. “Mahasiswa ditantang mengembangkan ide segar, relevan, dan punya nilai riset tinggi. Kalau PT Hadinata Pharmaceutical jadi sponsor, nama perusahaan kita bisa tampil sebagai brand besar yang mendukung pendidikan dan sains.”Dewa mengangguk pelan, namun belum memberi keputusan. Tangannya mulai membuka map, membaca dengan tempo lambat. “Ini proposal dua bulan yang lalu? Kenapa baru kamu serahkan sekarang?”Lina mengangguk pelan dan menjawab dengan hati-hati. Ia sudah menyerahkan proposal itu namun Dewa belum sempat membacanya. Jadi, bu
Suasana ruang keluarga sore itu terasa lengang, tapi tegang. Angin dari jendela terbuka hanya menambah kesan sepi, bukan menyejukkan.Dewa duduk di sofa dengan punggung tegak, menatap kosong ke dinding seberang. Secangkir kopi sudah mulai dingin di tangannya.Di hadapannya, Rania berdiri sambil menyilangkan tangan di dada. Tatapannya tajam, namun nada suaranya tetap tenang—meskipun mengandung tekanan.Kali ini Dewa tidak berniat pergi. Ia tidak boleh mengalah lagi. Sudah cukup kakak sulungnya itu berbuat seenaknya. Sejak kecil hanya Rania saudaranya yang terlihat ambisius. Sejak kecil ia selalu ingin menjadi nomor satu dan mendapatkan apa yang ia mau. Ia egois, tidak peduli pada adik-adiknya.Perselisihan masa lalu yang terjadi di antara Rania dan Kalingga membuat Dewa terluka. Kalingga tidak senang dengan sikap kakaknya yang terlalu mendominasi. Naasnya, ke dua orang tua mereka justru selalu membelanya. Bukan sekali dua kali, lama kelamaan Kalingga merasa menjadi seorang yang tidak be
“Cepetan, Bego. Gak usah banyak alasan!” geram Shafira, tangannya menggenggam pergelangan tangan Andini makin erat.Andini berusaha menarik tangannya, tapi Shafira dan dua temannya malah membentuk barikade hidup, menyeretnya ke arah lorong belakang gedung kampus. Jalur sepi. Bangku taman tinggal bayangan. Toilet jadi tujuan yang tak diinginkan siapa pun jika sedang dibully.“Kalau kamu gak ngaku juga siapa sugar daddy kamu, kita bantuin ya buat nyebarin versi kita sendiri!” Shafira menyeringai puas.“Lepasin! Kalian tuh udah gila!” Andini mencoba melawan, tapi tiga lawan satu jelas tidak adil.Apalagi Andini yang bertubuh mungil akan sangat mudah diseret oleh mereka. Tiba-tiba—“Eh, sorry. Ini kampus, bukan lokasi syuting sinetron.”Suara pria terdengar di belakang mereka. Tenang, malas, tapi cukup nyaring untuk bikin ketiga cewek itu menoleh.Seorang cowok jangkung berjaket biru tua, ransel miring, headphone menggantung di lehernya. Tio. Wajahnya biasa aja, tapi tatapannya tajam sep
“Ayo, Om. Terminalnya tinggal belok kanan.”Suara Andini terdengar ringan, tapi ada jeda aneh di tengahnya. Seperti seseorang yang sedang menahan sesuatu.Dewa melirik dari balik kacamata hitamnya. “Aku tahu, Andin. Aku bukan turis.”Nada suaranya datar, tapi tangannya mencengkeram koper di sebelahnya sedikit terlalu kencang.Mereka berjalan berdampingan, menyusuri lorong bandara Kuala Lumpur yang ramai. Suara roda koper beradu dengan lantai, langkah kaki para penumpang, pengumuman boarding dari speaker, dan... diam mereka berdua.Andini mengusap lengan bajunya pelan. “Om, beneran gak mau aku temenin sampai gate?” tanyanya pelan, setengah berbisik.“Ngapain? Nanti kamu malah bikin aku makin berat berangkat,” gumam Dewa tanpa menoleh.Andini menelan saliva. “Oh.”Gadis itu membetulkan kacamatanya, diam membisu.Dewa menghentikan langkahnya begitu mereka sampai di area check-in. Ia menatap layar keberangkatan sejenak, lalu menarik napas panjang. “Jam segini… pas.”Andini ikut berdiri di
“Aku udah bilang, Andini itu harus dikasih pelajaran biar kapok,” ujar Amanda sambil menyeruput es kopi susunya. Kuku palsunya berkilau saat ia mengangkat gelas. Suara centil khasnya terdengar penuh rasa puas.Jelita yang duduk di seberangnya di café langganannya—tempat bergosip paling sakral mengangguk pelan, menyilangkan kaki sambil menatap Amanda.“Jadi kamu udah mulai? Serius nyebarin gosip itu?”Sungguh, dalam hati terdalam Jelita masih tidak pernah mengira jika ada seseorang yang tega berbuat keji pada saudarinya. Orang itu ada di depannya! Amanda yang sekilat terlihat gadis lugu dan penuh sopan santun. Nyatanya, ia seorang manipulatif. Amanda menyeringai. “Please, sayang. Nyebar gosip tuh bukan hal baru buat aku. Apalagi sekarang... kita tinggal telepon satu orang, lalu semua bisa heboh.”Gadis itu memetik jarinya dengan senyum yang menakutkan.“Aku penasaran, kamu pakai strategi apa kali ini?” tanya Jelita dengan mata menyipit penasaran.“Gampang. Aku udah kirim foto dia bers
Andini berusaha memanjangkan sumbu kesabaran saat menghadapi geng sosialita kampus. Ia tidak mau ambil pusing. Gadis berkacamata itu pergi meninggalkan mereka. Namun sebelum langkah kakinya terayun, lengan Andini langsung ditarik kasar olehnya.“Gak sopan banget! Buta apa? Aku masih ngomong sama kamu,” beo Shafira mencengkeram lengan Andini keras. Sontak Andini berusaha menyingkirkan tangannya yang lancang itu.“Lepasin!!” kata Andini mulai tersulut emosi.Ke dua teman Shafira tertawa kencang. “Shafir, lepasin! Nanti Sugar Daddy nya marah lo—” ucap salah satu teman Shafira berbaju crop top.“Bener, Shafir! Kasihan anak orang. Tuh, lihat dia mau nangis,” sambung yang lain gadis—yang memakai atasan sabrina dan celana jeans ketat. Ia mengatakan itu sembari menarik kacamata Andini dan melemparnya jauh.Andini panik. Ia tidak bisa melihat dengan jelas. Ia sangat khawatir jika kacamatanya diinjak. Teringat dulu Amanda yang menginjak seenaknya kacamata miliknya. Shafira melepaskan lengan