Masuk
“Oh, jadi kamu beneran datang juga, Mbak Andin,” suara Amanda melengking nyaring dari pelaminan, cukup keras untuk membuat seluruh penghuni ballroom menoleh. Ia tersenyum tipis namun sinis.
“Andaikan aku tahu kamu akan datang,” lanjutnya, “mungkin aku harus menyiapkan kursi khusus di belakang. Kursi untuk mantan.”
Beberapa tamu mulai saling berbisik. Mata-mata menyorot ke arah pintu utama ballroom, tempat seorang wanita berdiri dengan gaun hitam sederhana namun elegan, Andini.
Suasana ballroom Hotel Sun Shine yang sebelumnya romantis—dengan musik lembut dan gemerlap lampu gantung kristal—mendadak menjadi seperti panggung drama. Kehadiran Andini mengusik kebahagiaan pesta.
Andini baru saja kembali dari Malaysia. Dan kini, apa yang dikhawatirkan selama ini terbukti benar. Sahabatnya tak berbohong, tunangannya, Bima, pria yang pernah bersumpah takkan meninggalkannya, kini berdiri gagah di pelaminan. Bersanding dengan Amanda, adik tiri yang selama ini pura-pura lugu.
“Kukira kamu sibuk dengan... ya, urusan-urusan gelapmu di Malaysia,” lanjut Amanda, matanya menyipit penuh kemenangan. “Tapi ya sudahlah, kamu kan kakakku. Jadi tetap pantas datang, walau cuma sebagai tamu yang tak diharapkan.”
Andini tidak langsung menjawab. Langkahnya pelan namun tegas menuju keramaian yang tiba-tiba lenyap. Semua perhatian tertuju padanya.
Sisi lain, Bima berdiri kaku di samping Amanda, wajahnya tegang. Namun Amanda justru semakin menjadi.
“Jangan lihat aku seperti itu, Mbak. Semua ini terjadi karena kamu,” suara Amanda menggema, menuding seolah dirinya yang jadi korban. “Kalau kamu nggak main belakang sama pria-pria tua di luar negeri, mungkin Bima nggak akan lari ke aku.”
Andini mengerutkan alis, dadanya naik turun. Tapi ia tetap diam, tidak terburu-buru membalas.
“Sudah cukup, Amanda.” Suaranya akhirnya terdengar. Tenang, namun dingin. “Selamat untuk kalian berdua. Semoga bayi di kandunganmu tumbuh sehat, adikku,” lanjut Andini dengan senyum penuh luka.
Boom.
Ballroom gempar. Beberapa tamu bahkan menjatuhkan gelasnya.
Hah? Tamu-tamu sontak berbisik.
Beberapa orang bahkan mengeluarkan ponsel untuk merekam dan menantikan apa yang terjadi.
Sebab, mereka tahu jika Andini adalah kekasih Bima. Namun entah mengapa adiknya–Amanda–yang menggantikan posisi dirinya, menjadi pengàntin Bima.
Ternyata, penyebabnya adalah hamil di luar nikah? Jadi, mereka berselingkuh?
Mendengar bisik-bisik yang melebar, Amanda dan Bima yang sudah berhasil mengendalikan diri–menatap Andini tajam.
“Andini!” bentak pria itu, “tega sekali kamu memutar balikan fakta. Jangan memfitnah kami di depan semua orang. Kami menikah karena ulahmu sendiri yang telah mengkhianatiku! Jika tak ada Amanda, aku mungkin sudah tak ada di sini. Dasar wanita murahan!”
“Murahan?” Andini mengerutkan keningnya heran. “Maksudmu, apa?”
“Jangan pura-pura polos.” Bima mendadak mengeluarkan ponselnya dan menghubungkannya dengan sistem audio ballroom hotel.
Seketika rekaman percakapan Andini dengan seorang pria asing saat ia berada di Malaysia terdengar.
[Kamu tahu Andini … wanita secantik dirimu sayang kalau cuma kerja magang di kantor. Aku bisa memberimu apartemen, mobil, dan … apapun yang kamu mau.]
[Aku … aku gak tahu. Ini bukan hal yang biasa aku lakukan.]
[Tenang saja, kamu cuma perlu menemanimu sesekali. Makan malam, perjalanan bisnis dan ya … sedikit perhatian.]
[Selama aku gak melakukan hal yang terlalu jauh.]
Seketika para tamu terdiam dan mulai menyalahkan Andini yang jelas geram dengan aksi Bima yang manipulatif.
“Lihat? Kamu sendiri yang menjual diri dan sekarang kamu malah menyalahkan kami?” ujar Bima dengan puas.
“Dasar playing victim!” potong Andini sembari tertawa sinis.
Ternyata, ini jebakannya?
Bima sudah memanipulasi rekaman suara percakapan dirinya dengan seorang pengusaha di Malaysia.
“Kamu masih mengelak?” geram Bima.
Andini menatap tajam pria itu. Ia pun menyalakan rekaman utuh dari percakapan dirinya dengan sang pengusaha.
[Tenang saja, kamu cuma perlu menemaniku sesekali. Makan malam, perjalanan bisnis dan ya … sedikit perhatian terhadap kebutuhan klien.]
[Selama aku nggak harus melakukan hal-hal yang terlalu jauh, melanggar batas profesional, aku bisa pertimbangkan.]
[Tentu, ini soal menjaga relasi bisnis. Tapi kau tahu, ada tekanan dari pihak sponsor. Mereka ingin komitmen penuh.]
[Kalau itu bisa menyelamatkan proyek keluarga dan nama baik perusahaan, aku akan berdiskusi lagi dengan tim hukum.]
Perlahan, tapi pasti wajah Bima memucat.
Adik tirinya juga mendadak gelisah. Dia pun memasang wajah memelas, “Mbak Andin, apa kamu tak malu? Kita–”
“Malu?” Andini yang sebenarnya menahan diri, sontak merasa kesal.
Dibukanya amplop yang baru didapatkan sore itu dan mengeluarkan beberapa foto perselingkuhan Bima dan Amanda.
Tak lama, Andini melemparkannya ke udara seperti confetti.
“Lihat ini, para tamu terhormat!” seru Andini dengan suara lantang.
“Inilah calon mempelai pria kita, Bima Abimanyu, si pecundang sejati yang tega mengkhianati tunangannya. Dan ini dia, adikku tercinta, Amanda, yang dengan senyum manis merebut calon suami kakaknya sendiri. Sungguh drama yang memukau, bukan?”
Suasana ballroom meledak dalam kekacauan. Para tamu berteriak, berbisik, dan saling menunjuk dengan ekspresi terkejut dan jijik.
Beberapa orang mencoba menenangkan situasi, sementara yang lain justru menikmati pertunjukan itu. Bima dan Amanda, yang tak tahan malu, mencoba melarikan diri dari sana.
Namun Andini tidak membiarkan mereka lolos begitu saja. Dengan gerakan cepat, ia mencengkeram pergelangan tangan Amanda, mencegahnya untuk kabur. “Kalian mau pergi ke mana? Pertunjukan belum selesai!” serunya dengan seringai sinis.
Bima menarik tangan Andini dengan kasar. “Lepaskan dia, Andini! Kamu sudah gila!”
Andini menepis tangan Bima dengan gerakan refleks. Amarahnya yang selama ini tertahan akhirnya meledak. Dengan sekuat tenaga, ia menampar wajah mantan tunangannya itu.
PLAK!
Tamparan itu begitu keras hingga meninggalkan jejak merah di pipi Bima. Beberapa anak kecil yang melihat kejadian itu tertawa cengengesan, mengira itu bagian dari pertunjukan badut.
Amanda merentangkan tangannya di depan Bima, melindungi suaminya dari amarah Andini. “Mbak Andin, apa yang kamu lakukan? Kamu tega sekali menampar suamiku!” serunya dengan air mata berlinang.
Andini tertawa sinis. “Tega? Kalian yang tega mengkhianatiku, merebut kebahagiaanku, dan sekarang kalian berlagak menjadi korban? Sungguh, aku tidak habis pikir dengan kelakuan kalian.”
Hanya saja, Andini menyadari bahwa para pengawal ballroom mulai mendekat ke arahnya.
Tatapan mereka tajam dan mengancam. Sepertinya, keluarga Hadinata tidak akan membiarkan Andini lolos begitu saja setelah membuat kekacauan di pesta pernikahan ini.
Dengan cepat, Andini mengambil keputusan. Ia tidak akan membiarkan dirinya ditangkap dan dipenjarakan oleh keluarga kejam itu.
Saat seorang pelayan mendorong kereta kue pengantin mendekat, Andini mengambil kue besar itu dan melemparkannya tepat ke wajah Bima.
Krim putih dan potongan buah-buahan menghiasi wajah tampan pria itu, membuatnya terlihat konyol dan memalukan.
Para tamu tertawa terbahak-bahak melihat pemandangan itu. Memanfaatkan situasi, Andini pun pergi dari sana.
“Tangkap gadis itu!” pekik ibu Bima dengan wajah merah padam.
Ia memerintahkan para pengawal bertubuh besar untuk mengejar Andini dan menyeretnya ke kantor polisi!
Jantung Naura berdegup kencang mendengar pertanyaan Dipta. Maksudnya siap untuk apa? Untuk ikut internship? Siap untuk menjadi dokter umum? Atau … siap untuk malam pertama mereka eh.Dipta membelai pipi Naura dengan lembut dan sopan. Meskipun hasratnya besar saat melihat wanita yang dicintainya kini telah halal menjadi miliknya, ia ingin melakukan malam pertama itu dengan tanpa keraguan, tenang dan hati yang ikhlas. Dipta segera menormalkan perasaannya. “Kamu gugup banget, Na. Kamu udah siap kan jadi istri dokter Dipta?” Naura mengerjap, menahan tawa. Oh istri toh? “Um, anu, aku kira … kamu mau ngajak aku anu–” beo Naura dengan suara yang nyaris tenggelam. Wajahnya sudah memerah seperti kepiting rebus. “Malam pertama?” ulang Dipta, tatapannya tak lepas dari wajah istrinya yang terlihat lugu, natural dan menyejukan hatinya. Ia menghela napas pendek. “Enggak lah, Na. Aku gak akan minta itu sekarang. Tapi, aku pengen minta satu hal malam ini?”Naura mengangkat mata. Tatapan mereka be
Mendengar suara panggilan Dipta, Naura menoleh perlahan. Jantungnya nyaris meledak ketika melihat Dipta berada dalam jarak yang begitu dekat. Apalagi … Dipta menatapnya tanpa berkedip. Naura menelan salivanya, merasa gugup sekali. “Hum, a-apa?” tanya Naura memutar tubuhnya hingga kini mereka berhadapan, menyamping.Dipta mengulum senyum, menelusuri wajah yang selama ini ia kenali. Baru pertama kalinya melihat Naura tidak memakai penutup kepala. Dia terlihat cantik sekali! Rambutnya hitam legam dan berkilau. Persis seperti iklan shampo. Wajahnya tampak berbeda!Dipta bersyukur karena hanya dia seorang yang bisa melihat aurat Naura.Naura menghela napas pelan. “Didi kenapa menatapku seperti itu sih? Naura jadi takut,” katanya polos, membuat Dipta terkekeh rendah.“Kenapa malah tertawa sih? Didi? Kamu kecewa ya, karena aku gak secantik yang kamu pikir,” beo Naura dengan bibir yang mencucuk lucu. Rasanya ingin sekali mencium bibir yang cerewet itu. Argh, apakah Naura sudah siap? Batin
Malam itu udara di mansion terasa sunyi. Pun, AC di dalam kamar terasa menggigit. Naura duduk dengan canggung di tepi ranjang, masih mengenakan gamis bekas akad dan kerudung yang menutupi helaian rambutnya. Kakinya masih diperban, masih terasa sakit. Dipta sudah mengobatinya. Tangannya sibuk memainkan ujung pakaiannya. Ia masih merasa asing berada di sebuah kamar seorang pria–yang kini adalah berstatus suaminya. Ya, meskipun mereka adalah sahabat masa kecil.Naura mengamati seluruh sudut ruangan dengan penuh penasaran. Kamar tidur itu mewah seperti kamar hotel dengan warna yang didominasi oleh warna abu-abu dan hitam. Jangan tanyakan ukurannya, mungkin tiga kali lipat kamar miliknya. Sebuah kamar yang menampilkan sisi maskulin dan sangat rapi sang empunya. Ruangan itu terdiri satu ranjang besar sekali, sepertinya cukup untuk empat orang, sofa panjang dilengkapi meja kecil dan ada pintu kecil di dekat kamar mandi, sebuah closet, mungkin. Tidak ada banyak barang di dalamnya. Argh, in
“Vina?” Naura menatap gadis itu dengan tatapan kaget. Mengapa gadis itu tiba-tiba berada di sana? Apa jangan-jangan dia berniat buruk ingin merusak pernikahan mereka?“Masuklah, Nak!” dr Neng Mas menyambut kedatangan gadis itu dengan senyum yang hangat khas seorang ibu. Semua orang menoleh ke arah mereka. “Kamu bisa ikut kok. Kamu doain biar pernikahan Dokter Dipta sakinah, mawadah dan warohmahh.” dr Neng Mas merangkul pundak Vina. Vina mencium punggung tangannya. “Terima kasih Tante sudah mengijinkan aku datang,”Sebelumnya, Vina memang berusaha menelpon Dipta tetapi tidak angkat. Akhitnya, malam itu mencari nomor telpon dr Neng Mas dari RS di mana ia bekerja. Alhasil, Vina menceritakan apa yang terjadi pada Naura. Ia bahkan melaporkan padanya bahwa aksi penculikan tersebut adalah rencana dr Tantri. Kini dr Tantri dan orang suruhannya-para penculik sudah ditangkap dan ditahan di Polsek. Pihak berwajib sedang mengumpulkan bukti kejahatan mereka selain dari bukti rekaman suara yang
MAS Siang itu, suasana balai desa yang awalnya riuh kini mendadak hening. Untuk membersihkan nama ke dua calon pengantin, pihak keluarga sudah sepakat akan menikahkan mereka secara agama terlebih dahulu. Selain itu keputusan itu juga atas persetujuan ke dua belah pihak antara Dipta dan Naura. Pada awalnya, Naura sempat merasa gamang, ingin menolak permintaan Dipta yang meminta padanya untuk menikah sekarang. Namun setelah ia berpikir keras, menikah sekarang ataupun beberapa minggu yang akan datang juga tetap menikah. Sama saja!Suasana haru memenuhi balai desa. Syarat sah nikah sudah terpenuhi. Ada penghulu, wali, ke dua calon pengantin, mas kawain dan saksi. Acara walimah sederhana akan segera dilaksanakan. Beruntung dr Salwa sudah mempersiapkan segalanya. Meskipun acara walimah tersebut dilaksanakan di balai desa, ia sudah menyiapkan mahar untuk Naura. Sebuah cincin emas putih 24 karat dari rumah. Perhiasan tersebut merupakan salah satu koleksi perhiasan miliknya.Mengenakan pakai
Naura nyengir. Pak RW ngomong apa sih? Tatapannya tertuju pada Dipta, seolah ingin meminta bantuan. Do something begitu!Dipta hanya menghela nafas pelan. Ia bahkan tidak bisa berpikir jernih karena pria itu tidak tidur semalaman hanya demi menjaga Naura. Naura baru sadar, melihat penampilan Dipta yang terlihat kusut masai. Wajahnya pucat pasi apalagi kulitnya sangat putih melebihi warna kulit miliknya. Ada lingkaran hitam di bawah ke dua matanya. Dan, penampilannya membuat siapapun salah paham. “Kalian harus mempertanggungjawabkan apa yang kalian lakukan dengan cara menikah!” Pak RW mengulangi kata-katanya. Begitu juga dengan warga lainnya, mengangguk setuju!Dipta mulai tersulut emosi. “Maaf, Bapak-bapak sekalian, saya harus klarifikasi di sini. Tunangan saya diculik, saya semalam menyelamatkannya. Cuman … kami tersesat dan terjebak hujan. Ponsel saya mati dan mobil saya mogok. Jika tidak percaya, saya minta ijin telepon keluarga saya sekarang termasuk pihak kepolisian dan detekt







