Jalan-jalan ke kota Blitar, Pulangnya bawa selai roti. Kalau suka jangan lupa komentar, Biar author makin semangat ngetik lagi. 😉
Naura baru saja menyuap potongan ayam saat seseorang mendekat ke meja mereka. “Permisi, mbak, boleh gabung? Meja penuh semua.”Naura langsung menegang. Tapi yang muncul ternyata hanya salah satu perawat IGD yang mereka kenal, Pak Wisnu. Seketika senyum tersungging di wajahnya. “Oh iya, silakan, Pak,” sambut Andini ramah.Naura ikut mengangguk, mencoba rileks lagi. Mereka ngobrol sebentar tentang shift jaga semalam, sambil sesekali tertawa kecil. “Eh, Bapak duluan ya. Soalnya istri Bapak telepon. Lain kali kita ngobrol lagi ya KOAS Naura dan Nona Andini.”Pak Wisnu tersenyum ramah pada Naura dan Andini.Untuk beberapa saat Naura menghela nafas panjang. Pun, Andini melihat raut wajah sahabatnya yang berubah-ubah mirip bunglon.Suasana kembali normal… sampai Naura mendengar suara berat yang terlalu familiar.Langkah sepatu sneaker. Nada bicara datar. Suara itu seperti hawa dingin yang tiba-tiba menurunkan suhu mall lima derajat. “Mario, kamu yakin mau di sini? Oh, ada meja kosong di—
“Astagfirullah, kamu ini, sabun mandi aja bisa lupa beli,” komentar Naura sambil meletakkan dua botol sabun ke dalam troli. Ia menggelengkan kepalanya ribut.Andini tersenyum kecut. “Makanya aku ajak kamu. Otakku lagi berantakan, Nana. Tapi hidup harus terus berjalan.”Cengkraman tangan Andini di trolly lebih kuat. Naura melirik sahabatnya yang tampak kelelahan. Meski senyum masih tergambar, tapi matanya tidak bisa bohong. Andini masih belum menerima perlakuan keluarga Dewa terhadapnya. Ia tidak mengeluh. Ia lebih memilih mengalihkan perasaan itu.“Duh, Din… kamu tuh butuh liburan, bukan belanja bulanan.” Tak henti-hentinya, Naura menggoda Andini. Bahkan demi menemani sahabatnya berbelanja, ia membolos dari RS dengan alasan yang dibuat-buat.“Kalau aku liburan, nanti yang nyuci piring siapa?” balas Andini, mencoba bercanda.Naura terkekeh, lalu merangkul lengan sahabatnya. “Kalau kamu tinggal nyuci air mata aja, biar aku yang urus belanjaan.”Andini tertawa kecil. Setidaknya Naura se
Dipta segera menekan tombol interkom, tiga kali. Tidak ada suara balasan, hanya statis hampa. Ia beralih ke tombol darurat, bunyi nyaring menggema, menusuk, tapi tetap tak membangkitkan respons.Naura berdiri diam di sebelahnya, menggigit bibir bawahnya. Ia mulai dilanda gelisah. Sesaat ia hanya memandangi angka lantai yang membeku di panel digital.Satu menit. Dua menit. Tiga menit berlalu.Dengan gerakan pasrah, ia menghela napas panjang lalu perlahan duduk di lantai lift, menyandarkan punggung ke dinding. Roknya ia rapikan dulu sebelum akhirnya bersandar. Dipta melirik. Keningnya mengernyit. “Kamu ngapain?”Naura menengadah, tenang. “Ya duduk. Masa
Kantin siang itu tak terlalu ramai. Aroma sop buntut dan ayam bakar menguap dari balik etalase makanan. Suara alat makan beradu samar-samar, bercampur dengan siaran radio lokal yang menyenandungkan lagu-lagu dari berbagai genre dari sudut ruangan.Naura meletakkan nampan berisi dua porsi makan siang di atas meja. “Nih, spesial rumah sakit. Jangan dibandingin sama masakan chef bintang lima lo di KL.”Andini tersenyum lelah, “Siapa coba yang bandingin. Ojo dibanding-bandinge kali! Aku di sini nggak nyari rasa, Na. Cuma butuh tempat yang nyaman.”Naura menyingkirkan kursi dan duduk di hadapan sahabatnya. “Gotcha! Kamu dapet itu. Aku adalah tempat ternyaman untuk sahabatku. Aku adalah … tempat kamu berpulang. Aku adalah … tempat kamu bersandar tapi .. aku bukan atm berjalan.”Naura berkata dengan nada seorang sastrawan meskipun diakhiri dengan candaan. Andini tertawa tipis. Tapi tawanya cepat memudar saat teringat kembali apa yang sudah ia lewati di keluarga Hadinata.Naura memperhatikan
Di dalam kabin yang hangat, Andini memandangi kaca jendela mobil mewah, melihat pantulan dirinya sendiri. Matanya sembab—tapi ia sudah hapus air mata itu di kamar mandi sebelum pulang. Betapa tidak, setiap kali bertemu dengan anggota keluarga Hadinata pasti ada sesuatu yang membuatnya tidak nyaman. Dewa yang menyetir, sesekali melirik istrinya.“Kamu capek, Sayang?” tanya Dewa. Padahal pertanyaan yang sebenarnya adalah, apakah semua baik-baik saja atau tidak?Andini menoleh, lalu tersenyum kecil. “Nggak. Cuma lapar.”Dewa tertawa pelan. “Tadi kamu makannya juga dikit banget. Padahal Ibuk masak rendang favoritku.”Andini hanya mengangguk.Padahal, satu suapan saja sudah membuatnya ingin muntah. Bukan karena makanannya, tapi karena omongan mereka yang masih menggema di kepalanya.“Dia itu cuma gadis miskin numpang nama…” “Mana bisa gadis kayak gitu dampingi Dewa? Rania sudah bilang, Freya lebih cocok untuk Dewa. Freya dan Andini bagai langit dan bumi,”Di dalam mobil, keheningan kemba
Mobil yang dikendarai Dewa melaju mulus melewati gerbang besar kediaman keluarga Hadinata. Tempat yang akhir-akhir ini selalu berhasil membuat jantungnya berdebar tidak karuan. Bukan karena kemewahannya, tapi karena sosok yang menunggunya di balik tembok rumah itu yang tampak enggan menerima Andini sebagai istrinya sejak awal.Sial, ibunya mulai terprovokasi oleh Rania. Selain sang ayah, anggota keluarga lain terlihat marah pada Andini karena Bima dipecat dari perusahaan Hadinata. Itu adalah puncak kemarahan mereka.“Aku nervous, Mas,” gumam Andini sambil merapikan kacamata dan sesekali menyelipkan anak rambut ke telinganya. Sebuah kebiasaan saat ia dilanda gugup. Sudah cukup lama ia tidak berkunjung ke rumah mertuanya. Entah mengapa perasaannya tak enak saat ini.Dewa meliriknya sekilas, satu tangan menggenggam tangan istrinya, lembut tapi erat. Seolah menjaga barang berharga miliknya. “Tenang aja. Selama kamu di sampingku, kamu aman, Sayang.”Kalimat itu sedikit meredakan badai k