Andini duduk diam di dapur setelah Dewa menyuapinya makan. Tangannya yang diperban masih terasa perih, tapi lebih dari itu, hatinya jauh lebih perih.Ia hanya ingin mengambil air mineral. Tapi saat membuka lemari pendingin, amplop cokelat itu muncul seolah memang sedang menantinya.Terpampang jelas, “LAPORAN INVESTIGASI – Subjek: Andini Anindya Raharja”Matanya membelalak. Sekilas terbaca logo agensi detektif swasta.Apa maksud semua ini?Jantung Andini berdebar—tapi ia tidak membuka amplopnya. Ia buru-buru menyelipkannya kembali ke tempat semula.Langkah kaki Dewa terdengar dari arah ruang tengah.“Andin, kamu ngapain?”Dewa mendekat, langsung merebut botol dari tangan kanan Andini yang kini tremor tak karuan.“Cuma... mau minum,” jawab Andini pelan. Jujur, dadanya sesak. Dewa menatapnya dengan senyum kecil yang nyaris membuat Andini lupa bahwa semua ini hanya pernikahan kontrak.Seharusnya cuma pura-pura, bukan?Tapi kini Dewa begitu perhatian.Dewa bahkan memegangi botol itu dan
Di Rumah SakitAndini duduk di ranjang pemeriksaan, tangannya kini sudah diperban rapi oleh dokter. Ia berusaha tersenyum kecil, meskipun rasa nyeri masih jelas di wajahnya.“Makasih… udah buru-buru bawa aku ke sini…”Dewa duduk di sisi ranjang, menatapnya lekat-lekat. “Jangan senyum kayak gitu. Aku marah.”“Sama aku?” gumam Andini dengan polosnya. Menunjuk dirinya sendiri.“Nggak. Sama mereka. Sama diriku sendiri… karena nggak ngejaga kamu baik-baik.”Ia meraih tangan satunya yang tak terluka, menggenggamnya erat.“Mulai sekarang, aku nggak akan biarkan kamu sendiri lagi. Bahkan kalau kamu pergi beli odol.”Andini nyaris tertawa, tapi menahan karena perih di pipinya.“Om Dewa, kamu lebay.”Dewa menatap tajam Andini. Seketika Andini merasa kata-kata Dewa serius sekali. Mengapa ia bersikap begitu protektif padanya?“Aku serius. Dan kamu harus janji satu hal.”Jantung Andini berdegup tak karuan. “Apa?”“Kalau ada apa-apa… sekecil apa pun itu… kamu harus ngomong sama aku. Termasuk soal m
Andini memelotot. “Apaan?”Dewa menatap Andini dengan tatapan lembutnya. “Naik. Gendong. Cepat.”“Eugh?” Andini panik lalu menolak dengan halus. “Aku berat.”“Beratnya cuma di mulut. Sini naik.” Dewa keras kepala. Tidak bisa ditolak. Sial, pesonanya memang dominan Alfa. Andini selalu menciut berhadapan dengannya. Andini mau menolak, tapi tubuhnya memang sudah terlalu lelah. Dengan ragu-ragu, ia naik ke punggung Dewa. Dan Dewa langsung berdiri tegak, menggendongnya dengan tenang seperti membawa balita… padahal ini istrinya sendiri yang sedang ngambek.“Om sudah gila,” gumam Andini di bahunya.“Ya, aku emang gila,” balas Dewa santai, berjalan santai di tengah keramaian Car Free Day sambil membawa Andini di punggung.Orang-orang mulai melirik dan senyum-senyum. Beberapa remaja bahkan terdengar berbisik.“Eh, romantis banget ya cowok itu—duh, pacarku mah suruh lari aja kagak mau.”Andini merona. Wajahnya tertutup hoodie, tapi kupingnya mulai panas.“Turunin… ini malu-maluin…” bisik Andin
Andini membuka pintu apartemen dengan langkah gontai. Tasnya nyaris jatuh dari bahu, dan wajahnya yang biasanya cerah tampak kusut masai. Dewa yang sedang rebahan di sofa langsung menoleh begitu mendengar suara pintu terbuka.“Andin? Kamu baru pulang?”Andini hanya menjawab dengan gumaman lirih. Ia menutup pintu, menaruh tas, lalu berjalan seperti zombie ke arah dapur. Tapi yang ia lakukan hanya membuka lemari pendingin, menatap kosong isinya, lalu menutup kembali.Dewa menyipitkan mata. “Kamu kerasukan siapa, Andin? Kok kayak mayat hidup gitu sih?”Andini bergumam pelan, “Aku capek Om…”Dewa berdiri dan mendekatinya. “Capek kenapa? Tadi katanya cuma ketemu temen. Tapi sekarang mukamu kayak abis kuli panggul.”Andini merosot ke lantai, bersandar di dinding dekat kulkas. “Aku tadi ke rumah sakit. Ketemu Naura.”“Biasanya kalau udah ketemu Naura kamu happy.”Mata Dewa tak lepas dari wajah lesu Andini. Andini tersenyum lemah, tapi tak menatapnya. Di balik wajah manis itu, pikirannya berk
Sebelum Andini sempat bertanya ‘ini apaan maksudnya’, Dewa sudah menundukkan wajahnya. Sangat dekat. Sangat. Jaraknya tinggal beberapa sentimeter dari bibir Andini.Andini menegang. Matanya membelalak. Tangannya panik mencari pegangan, dan…“Krek!”Tangan Andini menyenggol meja kecil tempat minuman herbal diletakkan. Cangkir yang belum sepenuhnya kosong itu terjatuh—pecah menghantam lantai balkon. Pecahannya muncrat ke mana-mana.“Ough!” Andini spontan menunduk, refleks ingin meraih pecahan. Tapi satu beling tajam menyayat jari telunjuknya.Darah langsung mengalir. Tidak banyak, tapi cukup membuat wajah Andini panik.“Duh, sial... aku—”Belum sempat dia menarik tangannya lebih jauh, Dewa sudah lebih dulu memegang pergelangan tangannya dengan lembut namun tegas.“Diam. Jangan gerak,” ucapnya pelan tapi tegas.Andini menatap Dewa yang kini membungkuk sedikit, membawa tangan gadis itu mendekat ke wajahnya.“Om… aku bisa bersihin sendiri—”Tapi Dewa sudah lebih dulu menatapnya tajam. “Beri
Dewa menghela nafas pelan. Matanya menatap Andini dalam-dalam, terlalu dalam hingga membuat gadis itu gugup sendiri. Seolah ingin mencari tahu seberapa jauh makna ‘apa pun’ yang baru saja dilontarkan.Lalu, perlahan, Dewa menyandarkan tubuh ke sofa. Ia menyilangkan kaki, menautkan jari-jari tangannya di depan dada, lalu mengangkat sebelah alisnya dengan tajam.“Apa pun, ya?” ucapnya pelan tapi jelas, seperti baru saja mendengar janji maut. “Jangan sembarangan lempar kata kalau kamu sendiri belum siap bayar harganya, Andini.”Andini menelan saliva. Sial. Suara Dewa terlalu dingin untuk disebut bercanda, tapi terlalu tenang untuk dibilang marah.“Aku serius…” lanjut Andini meskipun mendadak suaranya gemetar.“Serius karena dendam, atau serius karena kamu ingin aku menaruh perhatian?”“Om!” geramnya, nyaris melemparkan bantal sofa saking kesalnya.Dewa tersenyum miring. Senyum khasnya yang menjengkelkan sekaligus menawan. Seperti sedang menikmati permainan ini.“Kamu tahu Bima itu kepona