Seluruh peserta outbound sudah berkumpul di lapangan rumput yang agak lembap. Angin pegunungan berembus, membuat udara terasa segar sekaligus menambah semangat. Panitia berdiri di depan, memakai rompi oranye terang dengan peluit di leher.“Selamat pagi semua! Selamat datang di kegiatan outbound dan camping RS Aurora Medika!” seru salah satu panitia dengan suara lantang.“Hari ini kita bukan dokter, bukan perawat, bukan staf rumah sakit. Hari ini kita adalah satu tim besar yang akan belajar kerja sama, keberanian, dan tentu saja… bersenang-senang!”Suasana langsung riuh, sebagian bertepuk tangan, sebagian hanya saling lirik.Dari belakang, perwakilan HRD RS Aurora Medica, Mbak Tania maju sambil membawa mic. “Acara ini adala
Andini membuka pintu apartemen dengan wajah muram. Dewa yang baru pulang lebih dulu, tengah melepas jaketnya, langsung menoleh.“Din?” suaranya pelan, namun sarat cemas. “Kenapa? Mukamu pucat banget. Mual lagi gak?”Andini hanya meletakkan tasnya di sofa, lalu duduk dengan gerakan lelah. Ia mengusap wajahnya, menahan perasaan yang mengganjal.“Capek?” Dewa mencoba menebak sambil duduk di sampingnya. Menatapnya lekat.Andini menggeleng. Matanya berkaca-kaca, tapi ia menunduk, tak berani menatap Dewa. “Ayah…”Andini tidak sanggup melanjutkan kalimatnya. Mendadak, lidahnya terasa kelu. Ia masih merasa sedih. Kunjungan ke rumah ayahnya sangat mengecewakan. Sesuai dugaaannya.“Sayang, kamu masih marah sama Ayah? Apa kamu juga kecewa padaku? Gara-gara aku hubungan kalian memburuk,” ujar Dewa mencoba memahami perasaan Andini yang begitu sensitif kali ini. Ia tahu suasana hati wanita hamil tidak bisa diprediksi.Dewa mendesah pelan. Okay, ia tidak mau bersikap gegabah, namun melihat Andini yan
Mobil Dewa berhenti di halaman rumah besar bercat putih gading. Pagar besi terbuka, seakan menyambut mereka, tapi hati Andini justru mengecil. Tangannya dingin, meski genggaman Dewa di sisinya terasa kuat.Dewa menoleh, menepuk lembut tangannya. “Siap, Sayang?”Andini tersenyum tipis, menahan rasa was-was. “Iya… aku cuma mau ketemu Ayah. Itu aja.”Dewa tersenyum tipis. Sebelumnya Andini terlihat ragu-ragu untuk mengunjungi ayahnya. Ia berpikir mungkin Siska adalah alasannya. Ya, Dewa tidak tahu penyebab sebenarnya. Andini masih menyimpannya rapat. Begitu pintu rumah dibuka, aroma kayu jati bercampur aroma pengharum ruangan menyergap. Andika, ayah Andini, muncul dengan wajah setengah ramah tatkala melihat putrinya.Dalam langkah canggung, Andini menghampiri sang ayah dan hendak mencium punggung tangannya. Terakhir kali pertemuan mereka, sang ayah bahkan tak bersedia mengulurkan tangannya. Namun karena disana ada Dewa, maka Andika berusaha menjaga sikap.“Ayah…” suaranya parau, penuh r
Pesawat baru saja mendarat di Jakarta. Suara roda pesawat yang beradu dengan landasan membuat dada Andini berdebar tak karuan. Ia menggandeng lengan Dewa erat-erat, seolah tak ingin kehilangan pegangan.Meski wajahnya letih, sorot matanya penuh semangat. Rasanya seperti baru pulang dari perjalanan panjang menuju rumah yang sebenarnya.Andini menarik napas lega. “Akhirnya sampai juga. Aku kangen banget sama Jakarta.”Dewa melirik sekilas, tersenyum kecil. “Kangen macetnya juga?”Andini tertawa lirih sambil mencubit lengannya. “Ya nggak gitu juga. Tapi… rasanya beda aja. Kayak baru pulang dari perantauan bertahun-tahun.”Mereka berjalan melewati lorong bandara. Suara pengumuman samar-samar terdengar, bercampur dengan riuh penumpang lain yang baru tiba. Andini menempelkan kepalanya sebentar di bahu Dewa.Andini berkata dengan lirih. “Mas, aku kangen soto deh. Sama es teh manis warung kaki lima.”Dewa terkekeh, menurunkan koper yang ia tarik agar bisa menatap istrinya. Dewa menahan tawa. “
“Sepertinya Naura memang dekat ya dok sama dokter Dipta. Tapi … bukan kedekatan biasa. Bukan antara residen dan koas-nya,” bisik dr Ane, dokter umum sekaligus sahabatnya sewaktu kuliah.Dr Gilang terdiam sejenak. Ia mendengus kasar. Rupanya, selama ini sudah salah mengira. Ia berpikir bahwa dr Dipta itu tidak mungkin tertarik pada Naura mengingat karakter mereka yang berseberangan. Ternyata, jauh panggang dari api. Dr Dipta munafik! Dia terlihat seolah membenci Naura. Memperlakukan Naura dengan cukup keras hanya di luar saja. Terlintas saat dr Dipta mencoba menolong Naura saat tenggelam. Pria dingin itu terlihat sangat marah besar. Bahkan ia sudah memberikan hukuman pada dr Tantri. “Dok,” panggil dr Ane melihat dr Gilang hanya termangu.“Iya, Bu Ane Sasmita ada apa?” tanya dr Gilang mengusik lamunannya. Tidak, ini tidak bisa dibiarkan. Hingga saat ini ia masih menaruh hatinya pada Naura. Ia harus melakukan sesuatu untuk mencegah dr Dipta semakin lengket dengan Naura.“Bagaimana men
“Bahkan aku harus berhenti merokok. Mulai sekarang.”Dewa menggenggam tangan Andini dengan begitu kuat. Andini menatap kaget. “Serius? Mas Dewa kan udah ngerokok bertahun-tahun, Mas Dewa. Bisa?”Dewa tersenyum miring, tapi matanya mantap. “Kalau buat diri sendiri mungkin susah. Tapi buat kamu dan anak kita? Itu gampang.” Ia meremas bungkus rokok itu, lalu membuangnya ke tempat sampah.Andini terharu, matanya berkaca-kaca. Ia menggenggam tangan Dewa erat-erat. “Makasih, Mas Dewa… kamu nggak tahu betapa aku lega dengarnya.”Dewa menunduk, mencium kening istrinya dengan lembut. “Nggak ada yang lebih penting dari kalian berdua. Kamu jangan takut apa-apa, Andin. Selama aku ada, kalian aman.”Andini hanya bisa mengangguk pelan. Seperti mimpi ia memiliki seorang suami yang protektif padanya.…Beberapa hari setelah kepastian kehamilan itu, apartemen mereka berubah suasananya. Andini yang biasanya mandiri, sekarang jadi lebih sering mengandalkan Dewa. Bukan tanpa alasan, ia mengalami morning