Meski telah berkali-kali berurusan dengan keramaian bandara, Vina masih saja belum terbiasa. Dengan wajah tanpa senyum, Vina melewati kerumunan sambil menggenggam tangan Dylan yang menggendong Clara.Lain Vina, lain juga Clara. Putri Vina dan Dylan itu malah tampak ramah.Saat ada yang memanggil namanya, Clara tersenyum dan kadang melambai.Tak sampai satu jam, foto-foto keluarga Lano tersebar di media. Meski dengan wajah datar, Vina tetap terlihat sangat cantik.Hingga akhirnya, Vina dapat menghela napas lega kala mereka sampai di rumah. Seperti tak ada lelahnya, Dylan langsunh masuk ke ruang kerja dan melakukan meeting online."Nggak istirahat dulu, Sayang?" Vina menatap wajah suaminya yang minta izin untuk bekerja."Kamu yang perlu istirahat, Chagiya. Aku dan Clara kan sudah tidur di pesawat." Dylan mencium bibir Vina lalu masuk ke ruang kerja.Vina tersenyum lalu masuk ke kamar utama. Ia menatap sekeliling. Kamar mereka di sini besarnya tiga kali lipat dari kamar utama di rumah Vi
"Ya Ampuun. Beneran kamu masih kepikiran begitu saat mau melahirkan?"Vina menatap heran pada adiknya.Bagaimana tidak? Setelah dokter pergi, Rere menceritakan sesuatu yang katanya tidak mungkin ia ungkapkan pada sang suami."Iya." Wajah Rere bersemi malu. "Aku shock digendong Lano. Apalagi wajah tampannya sangat dekat dengan wajahku.""Bug!""Aduh!"Vina baru saja memukul kepala Rere dengan bantal sofa. Sang adik langsung mengaduh sambil menyeringai."Coba reset otakmu. Yang gendong kamu itu kakak iparmu!" seru Vina setengah kesal."Kakak iparku superstar idolaku." Rere malah semakin menggoda Vina."Ngawur.""Sumpah, Kak. Kalau aku nggak sayang Kak Vina, aku pasti godain Lano. Duh kakak iparku idaman banget."Kini mata Vina memdelik pada sang adik. "Apa melahirkan membuat otakmu jadi geser hingga kamu berubah genit begini?"Rere tergelak. Jujur, pesona idolanya memang memabukkan. Sampai sekarang meski secara diam-diam, Rere masih sering mengagumi Lano dari jarak dekat."Tapii... aku
“Pokoknya, kamu serahkan saja semua rencana bulan madu kita padaku.”Vina tentu tidak ragu pada kemampuan Dylan. Ia memiliki tim yang selalu bersedia melancarkan apa pun niatnya. Walaupun ia masih merasa kasihan pada Clara.Dylan bisa tidur nyenyak sambil memeluk Vina. Sementara otak VIna masih memikirkan mengapa ia belum hamil.Seandainya ia bisa dengan mudah mengandung seperti kehamilan pertama, pasti ia dan Dylan tidak perlu berbulan madu dan meninggalkan Clara.Apalagi, Clara mungkin masih sedih karena kepergian Allysa.Perlahan, Vina memindahkan tangan Dylan dari pinggangnya. Dengan mengendap-endap, Vina keluar dan masuk ke kamar Clara. Pengasuh Clara yang tidur di pojok ruangan tidak terbangun ketika ia masuk.Vina membenahi selimut Clara, mencium dahinya dalam-dalam dan berbisik, “Mommy sayang Clara.”Sambil menghela napas panjang, Vina keluar. Langkahnya pelan kembali ke kamar utama. Tiba-tiba.... ““Arghh!” Vina memekik pelan.Dylan berdiri di depan kamar tanpa bergerak. Vina
“Oek, oek, oek.”Setelah berjuang lebih dari lima jam, akhirnya anak pertama Rere dan Rendra lahir. Rendra mengembuskan napas panjang hingga berlutut di sisi ranjang.Kalau tidak ada Vina, pasti tubuhnya sudah banyak goresan dan memar karena di cakar dan dipukuli Rere. Meski sebagai dokter ia sering mendengar kejadian ini saat ibu melahirkan, tetapi mengalaminya sendiri merupakan pengalaman yang menegangkan.“Nyonya Rere, kita inisiasi menyusui dini, ya.” Suster berkata sambil meletakkan perlahan bayi merah di dada Rere.Sambil berlinang air mata, Rere menatap mahluk mungil yang sedang mencari-cari sari makanannya. Vina mengusap pelan kepala bayi tersebut.“Syukur lah. Sehat semuanya.” Vina berkata pada Rere dan Rendra. “Selamat ya, kalian berdua.”Vina keluar untuk mengabari keluarga. Ia disambut dengan wajah penasaran. Lalu, semuanya mengembuskan napas penuh kelegaan mendengar Rere sudah melahirkan bayi dengan selamat.“Mommy, Ara mau lihat bayinya Auntie Rere.” Clara menatap wajah
Setelah Anton berpamitan, Dylan memilih bekerja di kamar. Vina, Rere dan Clara berkumpul di kamar Rere."Katanya Ara pernah tidur di sini, ya?" Rere mengusak kepala keponakannya."Iya. Tapi, nggak bisa tidur, karena mommy teriak-teriak akh, akh gitu malam-malam."Ucapan Clara sontak membuat Rere menoleh cepat menatap kakaknya. Vina pura-pura tidak mendengar dengan merapikan beberapa benda di kamar."Terus, Clara ngapain?""Ya... diam aja. Soalnya Ara takut keluar kamar.""Mmm... iya. Kalau ada suara begitu lagi, Ara pura-pura nggak denger aja.""Kata Uncle Juan juga begitu."Vina tersentak mendengar ucapan Clara. Putrinya cerita pada Juan? Memalukan!"Re... kamu masih mau pajang poster-poster ini?" Vina mengalihkan perhatian dengan menatap foto-foto Lano di dinding kamar Rere."Iya, biarin aja, Kak. Kenang-kenangan."Vina mengangguk. Ia mengamati satu persatu foto Dylan dan menghela napas panjang. Tak mengira laki-laki tampan yang fotonya bertebaran di sosial media itu adalah suaminya
Akhirnya lagu ciptaan Clara diterbitkan.Setelah melalui berbagai pertimbangan, Vina mengangguk setuju. Itu pun setelah ia berkali-kali berkonsultasi dengan psikolog anak dan meminta izin pada Anton.Dylan berjanji tidak akan banyak mempublikasikan Clara. Tidak ada syuting video musik, tidak ada pemotretan. Semua murni hanya rekaman untuk satu single saja sebagai persembahan untuk Allysa.“Ya Tuhan!” Dylan mendesis kaget.Lelaki tampan itu sedang duduk di kursi tinggi kitchen island menemani Vina memasak. Ia menatap layar tablet yang baru saja diberikan Juan dan terkejut pada apa yang dilihatnya.“Ada apa?” Vina mengalihkan pandangannya dari panci di depannya dan menoleh menatap sang suami.“Aku tak menyangka ini.” Dylan membalik layar tablet agar Vina dapat melihat. “Lagu Clara meledak. Jumlah pendengar dalam satu hari ini sudah mencapai dua milyar dan masih bergerak naik.”Vina menggeleng sambil menghela napas panjang. “Itu mungkin efek karena penggemarmu tau Clara adalah anak Lano.
Satu minggu setelah kematian Allysa.“Clara.” Dylan melongokkan kepalanya di balik pintu kamar sang putri.Pengasuh Clara yang sedang menemani di dalam kamar, segera keluar untuk membiarkan Dylan bicara pada Clara.“Sedang apa?” Dylan duduk di sisi ranjang dan mengamati putrinya.“Lagi mewarnai gambar, daddy.” Clara menunjukkan buku sketsa milik Vina.“Oh, Clara sedang mewarnai pakaian yang digambar mommy, ya?” Dylan duduk di samping Clara dan memperhatikan buku tersebut.“Iya. Mommy bilang mau buat baju untuk Ara, tapi Ara pilih warna sendiri.”Dylan mengangguk-angguk.”Sebentar lagi, mommy selesai masak. Kita turun, yuk.”“Oke.” Clara membereskan pensil warna-nya. Kemudian, ia mengambil sesuatu di balik bantal. “Daddy, semalam Ara nulis ini.”Dylan menerima kertas dari putrinya. Ia melirik Clara sebentar lalu membaca apa yang tertulis di sana. Wajahnya langsung berubah serius.“Clara yang menulis ini?”Kepala Clara mengangguk pelan. “Bisa nggak daddy buatin musiknya? Sebenarnya Ara m
Clara turun dari tangga bersama Dylan. Ia telah menggunakan gaun hitam. Vina yang menunggu di ujung tangga menatap putrinya tanpa senyum.“Clara.” Vina memeluk Clara. Sejak tadi ia tak sanggup melihat putrinya dan Dylan yang terus menemani hingga menggantikan pakaian Clara. “Mommy ikut sedih.”Kepala Clara mengangguk pelan. “Iya.”“Clara nggak papa ke rumah sakit?” tanya Vina pelan dengan penuh perhatian.Kepala Clara mengangguk lagi. Vina sungguh khawatir karena tidak ada satu kata pun yang keluar dari bibir sang putri. Ia menatap Dylan yang hanya tersenyum.“Clara tadi bilang mau lihat Allysa untuk terakhir kalinya sebelum dikubur.”Sesaat Vina terpaku mendengar ucapan Dylan. Lalu, ia menggenggam tangan Clara. Mereka segera masuk ke dalam mobil.Semakin mendekati rumah sakit, mata Vina semakin buram oleh air mata. Ia menahannya agar tidak menangis karena khawatir Clara jadi bertambah sedih.Mereka hanya bertemu keluarga Anton di depan kamar jenazah. Nenek dan Kakek Allysa segera men
Clara tertidur dalam perjalanan pulang. Vina mengembuskan napas lega karena kekhawatirannya tentang pesta malam ini tidak terjadi.Para tamu bahkan Goldies yang hadir sangat kooperatif. Mereka menghargai privasi Lano dan keluarganya. Hingga acara foto-foto pun berlangsung kondusif.“Aku masih deg-degan menunggu waktu Rere melahirkan. Semoga saja kita masih di sini.” Vina mendesah gelisah. “Memang kasihan juga kalau melahirkan tanpa ada aku.”“Menurut Rendra bulan ini sudah waktunya, kan? Maksudku tinggal menunggu hari?”“Iya. Perkiraannya begitu. Tapi, anak pertama kan suka lebih lama waktunya.”“Rendra yakin Rere bisa melahirkan saat kita di sini kok. Soalnya kita sudah janjian biar kamu dan Rere bisa bersama saat bayi itu lahir.”Gebrakan apa lagi yang dibuat suaminya ini? Vina menoleh menatap Dylan yang sedang mencium dahi Clara yang berada di pangkuannya.“Kalau Rere mau operasi caesar, iya. Rendra bisa menentukan waktu. Tapi setauku, Rere maunya lahiran normal.”“Rendra pakai car