“Serius, Re?!” Vina berseru antusias.Rere menelepon dan mengabarkan bahwa Rendra mendapat pekerjaan di kota di mana Vina tinggal. Mereka memutuskan untuk pindah hingga Rere dan Vina dapat berkumpul kembali.“Iya, Kak. Rendra sedang mengurus kepindahan kami.”“Ya ampuun. Senangnya aku.” Vina menutup mulutnya dan duduk di tepi ranjang.Ia mendengarkan cerita Rere tentang bagaimana Rendra mendapatkan pekerjaan sebagai salah satu dokter spesialis di salah satu rumah sakit. Rendra memang menuliskan nama Dokter Clark sebagai salah satu referensi kenalannya.“Rendra bilang sih pasti karena Dokter Clark terkenal sebagai dokter keluarga triyulner jadi ia diterima.” Rere terkekeh.“Jangan ambil pusing kalau ada yang mencemooh begitu.”“Tidak. Aku dan Rendra santai saja. Yang penting, Rendra memang bisa menjadi dokter ahli, bukan sekedar numpang nama tenar aja.”Vina tersenyum. Seandainya ia memiliki sifat santai seperti Rere mungkin hidupnya juga tanpa beban.Seperti sekarang ini, Vina masih s
Dylan menerima ponsel Marcel. Di layarnya terdapat video Tamara yang sedang bermain piano bersama Clara. Dylan menekan tanda play.Alunan musik piano terdengar lalu suara kanak-kanak Clara bernyanyi merdu.“Semua akan baik-baik saja. Tapi, aku nggak lihat semua seperti sehari-hari. Tidak ada mommy, tidak ada daddy.”“Aku telepon mommy, wajah cantiknya lelah. Matanya berair. Jadi, aku tertawa saja untuk menghibur mommy dan berkata aku baik-baik saja.”“Setiap malam, saat memejamkan mata, aku bermimpi. Kita berkumpul lagi. Iya... kita akan berkumpul lagi. Meski aku nggak tau kapan.”“Paling tidak, sekarang aku bisa bermimpi bersama-sama lagi.”Di akhir video itu, Tamara terlihat memeluk Clara. Kini, mata Dylan juga berair. Ia sadar telah menorehkan kesedihan pada banyak orang terutama keluarganya.Lirik yang dinyanyikan Clara itu benar-benar menyentuh perasaannya. “Aku tidak ingin Vina melihat ini.” Marcel berkata saat video rekaman itu selesai. “Kak Tama bilang, Clara menciptakan lagu
Di depan sebuah pintu lebar, Vina duduk di bangku tunggu. Sesekali ia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Marcel dan Brandon duduk bersisian tanpa bicara.Jarum jam merayap… satu jam… dua jam… hingga hampir lima jam berlalu.Pintu ruang operasi akhirnya terbuka. Profesor Don keluar bersama Prof. Flo dan Dokter Keyna. Wajah mereka terlihat lelah, tapi ada senyum lega di sana.“Operasinya berjalan lancar,” ucap Prof. Don sambil melepas masker. “Sekarang kita hanya tinggal menunggu Lano siuman. Kondisinya stabil.”Vina langsung berdiri, menunduk penuh syukur. “Terima kasih… terima kasih.” Vina mengangguk penuh rasa haru pada tiga orang senior di depannya.“Apa adikku akan ditidurkan lagi selama beberapa hari setelah operasi?” tanya Marcel.Dokter Keyna menggeleng. “Tidak perlu. Kita biarkan organnya bekerja dan menyadarkan dirinya sendiri."“Berapa lama kira-kira Lano akan siuman?”Prof. Flo melirik jam dinding mendengar pertanyaan Marcel. “Obat biusnya akan habis satu ja
Kali ini yang lebih banyak memeriksa keadaan Dylan adalah Dokter Keyna. Setelah memastikan jantung Dylan dalam kondisi baik, Keyna mengangguk.“Sepertinya bisa kita bangunkan sekarang.”“Tu—Tunggu, Dok.” Marcel menahan sejenak. “Saya panggilkan Vina sebentar.”Marcel bergegas pergi. Belum jauh dari kamar perawatan, ia sudah bertemu Vina. Wanita itu sudah mandi dan berdandan rapi dengna rambut tergerai indah.“Mau ke mana, Kak?” Vina bertanya melihat Marcel tergesa.“Mau memanggilmu. Dokter Keyna bilang ia akan membangunkan Lano sekarang.”“Oh ya? Dokter Keyna di sini?” Vina segera bergegas menuju kamar perawatan Dylan.“Dokter Keyna, Prof. Don dan Prof Flo juga.”Vina mengangguk. Saat Vina masuk, Dokter Keyna sedang berbincang dengan Brandon. Sementara Prof. Don dan Prof. Flo melepas berbagai selang di tubuh Dylan.“Akh... Vina.” Dokter Keyna segera menghampiri dan melebarkan kedua tangan untuk memeluk Vina.Mendapat pelukan hangat dari Keyna, Vina tak bisa menahan air matanya. Ia ses
Ruang perawatan steril itu sunyi, hanya suara pelan mesin monitor yang memantau detak jantung Dylan. Tubuhnya terbaring lemah dengan wajah pucat dan mata terpejam dalam tidur paksa yang sudah berlangsung tiga hari. Tabung infus serta selang oksigen menjadi satu-satunya penghubung dengan dunia nyata.Vina berdiri di sisi ranjang, jemarinya menggenggam tangan Dylan yang dingin. “Sayang, Prof. Don bilang, kamu masih bisa mendengarku. Aku sayang kamu, cepat lah pulih. Aku butuh pelukanmu.” Vina berbisik dengan suara serak.Seorang dokter masuk, memeriksa catatan medis. Vina mengamati dokter yang tampak fokus mengamati Dylan,“Kenapa suamiku belum bangun juga, Dok?”“Tidur adalah cara terbaik untuk menenangkan sistem tubuhnya. Dengan begitu, dia tidak akan merasakan nyeri pada sendi akibat serangan autoimun. Namun… kami harus memastikan staminanya kembali sebelum dia bangun.” Dokter menjelaskan.Sebelumnya, Vina memang sudah mendengar pernyataan itu dari Prof. Don. Setelah Dylan berangsur
Enam bulan berlalu dengan cepat. Akhirnya sampai juga Dylan pada konser akhirnya.Suara penonton mengguncang stadion, riuh seperti ombak. Dylan berdiri di tengah panggung, mikrofon di genggaman, napasnya berat tapi senyum tetap terukir. Lampu-lampu menyorot wajah Dylan, menyamarkan pucat yang mulai terlihat.Sejak lagu pertama, tubuhnya sudah memberi tanda—rasa nyeri di dada makin sering datang. Namun ia terus bernyanyi, suaranya tetap tegas, menyihir puluhan ribu pasang mata yang menatapnya.Memasuki lagu terakhir, lagu yang ia tulis sendiri untuk perpisahan ini, Dylan melangkah pelan ke ujung panggung. Sorot matanya menyapu lautan Goldies, merekam wajah-wajah yang sudah menemaninya sejak awal perjalanan.“Sumpah. Aku baru lihat konser yang mengharu biru begini.” Kelly menyeka ujung matanya yang berair.Di sebelahnya, Brandon tetap terpaku pada panggung. Sesekali, Brandon tersenyum, menggeleng bahkan bertepuk tangan.“Dan baru kali ini, Brandon seperti menikmati konser.” Kelly berbis