Share

Pilih Kasih

Author: Brata Yudha
last update Huling Na-update: 2025-07-16 14:55:56

Rupanya keterkejutan itu juga dialami oleh Eko. Ia melotot ke arah Anggi, seakan protes dan tidak setuju dengan apa yang dikatakan gadis tersebut. 

Anggi menghela napas kesal. Tampak jengah menuruti permintaan Eko untuk terus menyembunyikan hubungan terlarang mereka. 

"Mas! Udahlah, Mas. Nggak usah ditutupin lagi. Kita udah sejauh ini juga," ucapnya. 

Kemuning lagi-lagi terpaku. "Kamu... bilang apa barusan, Nggi?" selanya. 

"Iya, aku sama Mas Eko beneran ada hubungan, Mbak! Bentar lagi kami mau nikah. Nunggu aku lulus kuliah dulu." 

Deg! 

Lagi-lagi ada rasa nyeri yang nyata di jantung Kemuning. Luka yang tak terlihat, tetapi perih bukan main. 

"Tapi... Mas Eko itu pacar Mbak, Nggi. Kok kamu tega, sih, sama Mbak?" tanya Kemuning lirih. 

Anggi mencibir, seolah tak mengenal kata empati. "Halah! Udahlah, Mbak! Nggak usah banyak drama! Terima aja kenyataannya!" 

Apa katanya? Menerima kenyataan? Bagaimana mungkin Kemuning menerima semuanya secepat itu? Cintanya kepada Eko tulus. Tak pernah satu kali pun ia berpikir untuk mengakhianati pria itu. Dan apa yang didapatinya sekarang? Sebuah pengkhianatan dari kekasih dan adiknya sekaligus? 

Kemuning menggeleng tak percaya. Semua terasa seperti mimpi buruk.

"Mas, bilang kalau ini semua bohongan. Iya, kan? Kamu... pasti mau ngasih kejutan sama aku karena hari ini aku lagi ulang tahun." 

Eko tak menjawab. Ia menatap bingung ke arah Anggi dan Kemuning bergantian. Seakan masih tak menyangka Kemuning benar-benar memergokinya di sana. 

Kemuning menunggu. Mana seruan 'surprise'nya? Mana tawa lega karena mereka berhasil mengerjainya? Mengapa Eko tetap bungkam, pun Anggi tetap memasang wajah kesal? 

"Ulang tahun apaan? Aku aja nggak ingat kalau Mbak ulang tahun. Gimana mau ngasih kejutan, sih, Mbak?" 

Tangan Kemuning berkeringat dingin. Jantungnya masih berdebar begitu kencang. Rasanya sama seperti dulu saat menerima kabar kalau guru orang tuanya meninggal dunia. Sedih, sakit, hampa. Ini adalah jenis kehilangan yang tak pernah terbayangkan oleh Kemuning. Kehilangan kepercayaan kepada orang-orang terdekatnya. 

"Ini semua... nggak mungkin. Kamu nggak mungkin mengkhianati aku dengan adikku sendiri, kan, Mas? Jawab aku, Mas Eko!" 

Kemuning merangsek maju. Ia ingin menyentuh lengan baju Eko, tetapi langsung dihadang oleh Anggi. Adiknya itu mendorongnya menjauh dari pria tersebut. 

"Udahlah, Mbak! Mas Eko itu udah nggak cinta sama Mbak sejak lama! Dia belum mutusin hubungan kalian ya karena kasihan aja." Anggi semakin kasar. 

Diperlakukan seperti itu, tatapan Kemuning jadi berubah tajam. 

"Diem kamu, Nggi!" bentak Kemuning.

Anggi sedikit terkesiap, tetapi langsung berekspresi lebih berani daripada Kemuning. "Aku cuma ngomong apa adanya! Mas Eko milih aku jadi istrinya karena aku lebih baik dari Mbak! Mas Eko nggak akan selingkuh kalau Mbak lebih baik dari aku!" balasnya. 

Tangan Kemuning mengepal kuat. Kali ini, kemelut hatinya bukan hanya karena sebuah pengkhianatan, tetapi juga ucapan tajam dari mulut Anggi yang membuat darahnya panas. 

"Lebih baik dari segi apa maksud kamu?!" 

Tak hanya Anggi yang terkejut melihat tatapan Kemuning. Eko dan ibu mereka pun sama. Tatapan Kemuning yang biasanya lembut kini tampak begitu tajam dan penuh murka. 

Anggi tak mau kalah. Ia menantang tatapan Kemuning seraya membusungkan dadanya. "Harusnya Mbak ngaca! Aku ini calon sarjana, sementara mbak cuma pembantu! Kalian nggak pantes bersanding! Mas Eko cocoknya sama aku!" serunya. 

"KETERLALUAN!"

Habis sudah batas kesabaran Kemuning. Ia tak tahan lagi dengan mulut beracun adiknya tersebut. Dengan geram, Kemuning mendekati Anggi. Ia mengangkat tangan, bersiap melayangkan sebuah tamparan di pipi sang adik. Namun... 

"Ning! Jangan berani kamu nampar Anggi anak Ibu! Ibu aja dari kecil nggak pernah nyakitin dia!" seru Ibu sambung Kemuning yang langsung menahan tangannya.  

Eko sendiri juga sudah bersiap menahan pergerakan Kemuning, tetapi calon mertuanya sudah bergerak lebih dulu. 

"Ibu... belain dia?" 

Mata Kemuning berkaca-kaca, bulir bening menetes ke pipinya tanpa bisa dicegah, karena ia tak menyangka ibu sambungnya akan lebih membela Anggi yang jelas-jelas salah, dibanding dirinya yang menjadi korban pengkhianatan. 

"Kalau kamu main kasar ya pasti Ibu belain Anggi!" jawab ibunya.

Kemuning pernah mendengar ungkapan bahwa 'darah lebih kental dari pada air'. Ia mengalaminya dan rasanya begitu sulit dideskripsikan. 

Sakit. Benar-benar sakit. 

Bahkan seorang wanita yang sudah Kemuning anggap seperti Ibu kandung sendiri pun tak bisa memihak secara benar. 

"Bu, Anggi salah. Dia selingkuh sama calon suamiku, kenapa Ibu malah belain dia?" Siapa tahu Ibu sambungnya tak benar-benar mengerti apa yang tengah terjadi, maka Kemuning tak akan ragu menjelaskan sejelas mungkin.

"Ibu tahu, tapi itu artinya kalian belum jodoh, Ning. Udahlah, Ning. Ngapain kamu rebutin Eko. Kamu cari aja laki-laki lain. Nggak usah diperbesar, ini cuma masalah sepele." 

Kemuning nyaris ternganga. Benarkah kalimat itu sungguhan diucapkan oleh ibunya? Ah, tidak. Bukan ibu sesungguhnya. Namun, bukankah selama ini Kemuning selalu berusaha memperlakukannya seperti ibu kandungnya sendiri? Apapun yang diperintahkan dan diminta wanita itu selalu ia turuti. 

"Kamu ngalah ajalah, Ning. Kamu ini kakaknya," kata ibunya lagi. 

"Ngalah kata Ibu?" Kemuning lagi-lagi tidak percaya dengan pendengarannya.

"Iya, ngalah. Biarin aja adik kamu sama Nak Eko. Kayak laki-laki cuma satu aja di dunia ini," katanya begitu enteng. 

"Kurang ngalah apa aku selama ini, Bu? aku kerja banting tulang, rela ngasih gajiku untuk kuliahin Anggi! Tapi Anggi merebut calon suamiku! Dan ibu malah suruh aku ngalah?" 

"Ning, dengerin aku dulu." Eko tiba-tiba ambil suara, membuat Anggi cepat-cepat menyela pria tersebut. 

"Mas, kamu diam aja! Biar Ibu yang ngasih pemahaman sama kakak aku yang nggak paham-paham ini!"

Eko seperti ingin membantah, tetapi urung karena melihat ekspresi wajah Anggi. Sikapnya jelas menunjukkan ia lebih tak ingin membuat Anggi marah daripada menenangkan hati Kemuning. 

"Kamu lihat sendiri kan, Ning? Nak Eko tuh maunya sama Anggi. Terus kamu maunya gimana? Perasaan kan nggak bisa dipaksain. Udah, ya. Nggak usah ribut-ribut malam-malam. Malu didengar orang," kata Ibu Sambung Kemuning. 

Kemuning menggelengkan kepalanya. Kali ini, ia tak ingin mengalah lagi. "Yang harusnya malu itu anak Ibu karena berzina sama calon suami orang! Kelakuannya seperti wanita murahan!" 

Plak!

Kemuning merasakan pipinya sakit dan kebas. Berasal dari tangan sang Ibu yang kini menatapnya penuh emosi.

"Jangan lancang kamu, ya, sama Anggi! Selama ini saya sudah besarin kamu! Cuma disuruh ngalah sama Anggi aja kamu berani ngata-ngatain dia! Menyesal saya punya anak tiri kurang ajar kayak kamu!" 

Kemuning memegang pipinya yang memerah dan perih. Hilang sudah binar kehangatan yang selama ini matanya pancarkan saat menatap wanita paruh baya itu. 

"Aku juga nyesel punya ibu dan adik nggak tahu diri kayak kalian!" seru Kemuning. 

"Kamu...!" balas ibunya geram.

Kemuning menatap sang Ibu sambung, Eko, serta Anggi dengan mata memerah. "Mulai sekarang, aku bukan lagi keluarga kalian. Dan aku... Nggak akan pernah lupa penghianatan ini!" 

Ketiga orang tersebut terkesiap mendengar nada suara Kemuning. Seakan penuh sumpah. 

Kemuning sendiri tak ingin berlama-lama berada di tempat yang terasa seperti neraka tersebut. Sayangnya, kedua tukang ojek yang tadi membawanya dan sang Ibu sudah tidak ada di sana. Kemuning terpaksa berjalan lebih jauh untuk mencari tukang ojek yang lain. 

Rintik air mengenai pipi Kemuning. Ia menengadah, mendapati kalau hujan mulai turun. Awalnya hanya gerimis, tetapi perlahan menjadi kian deras. 

"Air mata. Hujan. Kombinasi yang sempurna," gumam Kemuning sambil menertawakan keadaannya sendiri. 

Kemuning berjalan sambil menangis di tengah hujan. Tiba-tiba, dari arah berlawanan melaju sebuah mobil yang mengarah kepadanya. 

Hati Kemuning tengah patah. Ia rapuh. Ia menyerah dengan dunia ini. Ia tak sanggup hidup lagi. 

Kemuning berjalan ke tengah. Lalu diam di sana, pasrah menerima bagaimanapun rasa sakit yang akan menderanya nanti. Gadis itu menutup matanya. 

"Ibu, Ayah... Kemuning ingin ikut kalian," bisik Kemuning lirih.

*

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Dikhianati Sersan Dinikahi Komandan   Nikah Kontrak

    Kemuning mendongak. Napasnya ngos-ngosan. Di matanya, tergambar ketakutan luar biasa hingga wajahnya pun pucat pasi. Matanya bergerak gelisah. Begitu melihat kalau orang yang ia tabrak adalah Samudra, entah mengapa membuat Kemuning merasa ingin meminta perlindungan. "Tolong... tolong bantu saya pergi dari sini," pinta Kemuning lirih dengan suara bergetar. Samudra terpaku saat Kemuning tiba-tiba memeluknya begitu erat. Ia dapat merasakan tubuh perempuan itu gemetar hebat. Ketakutan tergambar nyata di wajah Kemuning. "Kamu kenapa?" tanya Samudra bingung. "Itu dia, Mami!" seru seorang pria menunjuk ke arah Kemuning yang masih memeluk Samudra untuk mencari perlindungan. "Heh, Kemuning! Mau ke mana kamu, hah? Bisa-bisanya malah kabur!" Kemuning menegang. Tubuhnya semakin gemetar karena tahu itu adalah suara Mami Vita. Ia semakin mengeratkan pelukannya dengan Samudra. Kemuning juga mencengkram bagian belakang baju pria itu dengan erat. Demi apa pun, Kemuning tidak sudi dijadikan wan

  • Dikhianati Sersan Dinikahi Komandan   Tawaran Kerja

    Oma Reni terus bergerak gelisah di ranjang pasien sejak tadi. Ia bungkam. Wajahnya menyimpan kekecewaan karena Samudra tak kunjung bergerak mencari Kemuning. Padahal, sudah hampir satu jam lamanya semenjak ia mengancam Samudra, tetapi tampaknya cucunya itu benar-benar keras kepala. "Oma, Oma belum makan sedikit pun, loh. Belum sarapan, padahal ini udah masuk jam makan siang. Belum minum obat juga. Sam suapin, ya?" bujuk Samudra dengan suara lembut.Oma Reni membuang muka. Jangankan membalas ucapan Samudra, menatap balik pria itu saja ia enggan. "Oma serius nggak mau makan?" Samudra kembali memecah keheningan di ruang IGD tersebut. Oma Reni masih saja mengunci bibirnya. Hal itu membuat Samudra diam-diam mengepalkan tangan. Tak ada cara lain. Mau tidak mau, suka tidak suka, satu-satunya cara agar omanya tidak merajuk lagi adalah menemukan Kemuning dan membawanya ke rumah sakit. "Oke, aku bakal nyari dia, tapi Oma harus makan dan minum dulu," putus Samudra. Pria itu mengalah. Menepi

  • Dikhianati Sersan Dinikahi Komandan   Kalau Sayang Oma, Nikahi Dia

    Rumah sakit dipenuhi aroma alkohol dan disinfektan yang tajam. Di salah satu ruang IGD, tubuh renta Oma Reni terbujur lemah di atas ranjang pasien. Selang infus menancap di punggung tangannya, dan alat bantu pernapasan terpasang di hidungnya. Napasnya masih belum stabil, dan wajahnya pucat pasi seperti tersapu kabut pagi yang dingin.“Serangan jantung ringan, tapi cukup berisiko karena usia beliau sudah lanjut,” jelas dokter dengan raut prihatin. “Mohon dijaga, terutama kondisi emosinya. Jangan sampai beliau stres atau mengalami tekanan batin. Itu bisa memicu serangan yang lebih parah.”Samudra tidak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan, tapi matanya tetap dingin. Pikirannya masih terpaku pada kalimat sang dokter yang menyebutkan pemicunya: stres. Dan satu nama langsung terlintas di benaknya—Kemuning. Ya, semua ini gara-gara wanita itu. Ia tidak menyangka orang luar seperti Kemuning bisa menyebabkan sesuatu yang fatal seperti ini. Ketika Oma Reni akhirnya sadar, matanya perlahan membu

  • Dikhianati Sersan Dinikahi Komandan   Serangan Jantung

    Samudra mengerjapkan matanya, seakan tidak menyangka Kemuning akan berkata seperti itu. Sejurus Kemudian, ia tersenyum puas. "Bagus! Memang sebaiknya kamu resign, daripada bawa pengaruh buruk terhadap Oma saya," ucapnya.Kemuning mengangguk seraya mengusap air matanya. Ia kehabisan kata-kata untuk membela diri sendiri. Lagipula percuma saja, Samudra juga tidak akan percaya penjelasannya sedikit pun. Pria itu hanya akan mengatakan hal-hal yang semakin merendahkannya. "Permisi!" Kemuning beranjak dari tempat itu. Ia berjalan menuju kamarnya, berniat mengemas baju-bajunya sebelum pergi dari rumah Oma Reni. Samudra tidak menjawab. Ia menatap punggung Kemuning yang semakin jauh hingga akhirnya gadis itu tidak terlihat lagi. Ia lantas terkekeh sinis. "Kamu kira saya akan tertipu dengan wanita licik seperti kamu? Saya hapal sekali tujuan wanita-wanita sepertimu, Kemuning!" gumam Samudra. Bi Yuyun yang ternyata diam-diam mencuri dengar pembicaraan Samudra dan Kemuning, langsung bergegas

  • Dikhianati Sersan Dinikahi Komandan   Kamu Cuma Pembantu!

    "Oma ini bicara apa? Jangan ngaco dong, Oma." Nada suara Samudra tidak tinggi, tetapi raut wajahnya begitu jelas terbaca. Ia tampak tidak suka dengan permintaan Oma Reni. Kemuning sendiri juga tidak menyangka Oma Reni akan meminta hal seperti itu. Tak pernah terbayangkan sedikit pun olehnya sang Majikan akan memintanya menikah dengan cucunya sendiri. Oma Reni tiba-tiba menunjukkan raut sedih. "Anggap saja ini permintaan terakhir Oma," ucapnya. "Oma!" seru Samudra. "Tolong jangan bicara yang aneh-aneh.""Kamu adalah cucu Oma satu-satunya, Sam. Cuma kamu yang bisa Oma harapkan. Dan Kemuning... Oma udah menganggap kamu seperti cucu Oma sendiri. Toh, kalian sama-sama belum punya pasangan, kan?" Kemuning diam. Ia memang tidak pernah bercerita kalau dirinya berpacaran dengan Eko. Toh, itu adalah urusan pribadinya. Yang penting, ia tahu bagaimana harus memisahkan antara urusan pribadinya dan pekerjaan. "Usia kalian sudah pas untuk menikah. Jadi, nggak ada salahnya kalian mulai saling m

  • Dikhianati Sersan Dinikahi Komandan   Permintaan Oma

    Kemuning tidak tahu pasti pukul berapa dirinya sadar. Yang jelas, begitu membuka mata, ia langsung tahu kalau dirinya sudah berada di kamarnya sendiri. Rasa dingin yang tadi menggigit tubuhnya kini menghilang, tergantikan oleh rasa hangat yang berasal dari selimutnya. Ternyata pakaiannya sudah diganti.Kemuning tidak panik, karena orang pertama yang dilihatnya adalah seorang wanita paruh baya. Seseorang yang dikenalnya. Bi Yuyun. Pasti wanita itu yang mengganti pakaiannya. "Ning, kamu udah sadar. Apa yang dirasain?" tanya Bi Yuyun dengan raut khawatir. Kemuning tersenyum getir. Ternyata masih ada yang peduli padanya. "Syukurlah kamu udah sadar, Ning. Tadi kamu pingsan," kata Bi Yuyun lagi. Kemuning mengangguk. Ia kembali mengingat-ingat kejadian sebelumnya. Tadi, ia seperti melihat sosok pria yang mobilnya hampir menabraknya di jalan raya. Tapi, sepertinya dia hanya berhalusinasi. Mana mungkin pria itu ada di rumah ini?Melihat Kemuning yang malah melamun, membuat Bi Yuyun tak la

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status