LOGINHati Kemuning langsung bergemuruh Hebat. Berbagai macam pikiran buruk membayangi pikirannya. Ia bergegas menuju pintu kamar kos Anggi dan mengetuknya dengan keras—lebih terkesan seperti menggedornya.
Ibu sambung kemuning tersentak kaget sekaligus bingung. "Pelan-pelan dong, Ning. Kamu ini kayak apa aja malam-malam ketuk pintu orang kencang-kencang," tegurnya. Wajah Kemuning semakin resah karena Anggi tak kunjung membukakan pintu. Ia lalu menunjuk ke arah sepeda motor yang diyakininya milik Eko, sang kekasih. "Itu motornya Mas Eko, Bu." Sang ibu ikut menoleh. Ia terdiam sesaat. Sepeda motor itu memang tampak familiar. Ya, Eko pernah bertamu ke rumah mereka. Tapi... "Ah, mungkin hanya kebetulan aja, Ning. Motor kayak punya si Eko kan banyak yang punya," kata ibunya yang ternyata lebih memilih berbaik sangka kepada Anggi. Lagi pula, mana mungkin sih puteri kandungnya itu berbuat yang macam-macam. Anggi kan anak baik. "Tapi kayak sama persis, Bu. Coba lihat cat di bodi motor itu, Kemuning ingat motor Mas Eko catnya juga mengelupas sedikit di bagian itu." Ibunya menghela nafas. "Coba kamu lihat platnya aja. Sama apa nggak?" Kemuning menggeleng pelan. Bukan karena nomor platnya tidak sama, tetapi karena ia memang tidak menghapal plat nomor kendaraan sang kekasih. "Nggak tahu, Bu." "Berarti belum tentu itu motor Eko. Ngapain juga dia datang ke kosan adik kamu, Ning." Kemuning tidak menjawab. Ia terus mengetuk pintu kamar kos Anggi dengan harapan ucapan ibunya memang benar. Meskipun tak bisa dipungkiri ia benar-benar tak tenang karena pikirannya sudah kemana-mana. "Kamu itu jangan suka suudzon sama adik—" Belum sempat ibunya selesai bicara, pintu kamar kos Anggi akhirnya terbuka. Membuat perhatian mereka langsung teralih ke arah pintu. Di ambang pintu, Anggi tampak terkejut bukan main. Penampilannya cukup berantakan dengan rambut yang agak kusut, lipstik sedikit belepotan dengan bibir lumayan bengkak, dan baju tidur yang seolah dipasang dengan tergesa-gesa. Deg! Jantung Kemuning rasanya berhenti berdetak untuk sesaat. Ketakutan yang semula hanya dugaan, kini perlahan-lahan menjelma jadi kenyataan. Jangan-jangan... Eko memang berada di dalam kamar kos Anggi. "Loh, kalian kok di sini?" tanya Anggi. Tak ada kehangatan dalam nada bicara Anggi. Wajahnya justru menunjukkan kekagetan dan ketidaknyamanan atas kehadiran Kemuning dan ibunya sendiri. Kemuning mencoba untuk tetap tenang. Ia menunjuk sepeda motor tadi. "Nggi, itu motor siapa? Kok kayak motornya Mas Eko? Apa Mas Eko ada di sini?" tanya Kemuning dengan suara bergetar. Anggi tak langsung menjawab. Sorot matanya berubah gelisah. Sejenak, keheningan menggantung tegang di udara. "Nggi?" Kemuning memanggil lagi, kini lebih lirih. Tiba-tiba... suara lelaki terdengar dari dalam kamar. "Siapa, Nggi?" Kemuning membeku. Suara itu... suara itu adalah milik Eko. Dan benar saja—detik berikutnya, Eko muncul dari balik pintu. Dengan mata kepalanya sendiri, Kemuning menyaksikan pria itu keluar dari kamar adiknya. Baju kemeja Eko terbuka hingga dada, lehernya penuh bekas merah mencurigakan. Panik, Eko buru-buru mengancingkan bajunya. Kemuning menatapnya nanar. Tubuhnya terasa lumpuh. Dunia seperti berhenti berputar sesaat. Ia bahkan hampir tak mendengar detak jantungnya sendiri. Ia beralih menatap Anggi... dan baru menyadari bahwa leher gadis itu pun... penuh dengan bekas yang sama. Tanda-tanda yang tak bisa dibohongi. Di wajah mereka, peluh masih membasahi pelipis—jejak yang terlalu jelas untuk disangkal. Hancur. Hati Kemuning remuk redam. "Mas... kamu ngapain di sini?" suaranya lirih, berlumur luka. Eko tampak salah tingkah. "A-aku... aku cuma bantuin Anggi ngerjain tugas," katanya terbata, jelas-jelas menunjukkan kebohongannya. Kemuning tersenyum kaku, tak menyangka akan mendapat jawaban semacam itu. Sekarang, ia yakin sepenuhnya kalau kedua orang tersebut telah mengkhianatinya. "Kamu hebat ya Mas, masih bisa ngeles padahal udah kepergok. Malam-malam kayak gini ngerjain tugas apa coba?" "Kamu kok langsung nuduh aku sih, Ning?" sahut Eko tak terima, mencoba membalikkan keadaan. Hati Kemuning semakin nyeri. Bisa-bisanya Eko malah playing victim. "Aku nggak nuduh. Kamu bilang malam Minggu ini nggak bisa ketemu karena lagi sibuk. Karena mau antar Pak Komandan ke luar kota. Tapi ternyata... kamu sibuk sama adik aku ya, Mas?" Mungkin karena melihat kekecewaan dan raut wajah Kemuning, Eko mulai panik. "Ning, itu, aku bisa jelasin. Sebenarnya...." Anggi yang sejak tadi mendengar percekcokan di antara Eko dan Kemuning tiba-tiba mendengus kasar. "Iya, Mbak. Aku sama Mas Eko emang ada hubungan." Kemuning terpaku. Rasa kaget menghantamnya. Meskipun sudah bisa menebaknya, tetapi mendengar pengakuan langsung dari sang adik, membuat hatinya serasa dihujam sebilah pis4u taj4m. Begitu nyeri dan sakit. Dan sebelum ia bisa berkata apa-apa, Anggi kembali menyiram luka. "Dan apa pun yang Mbak pikirkan tentang apa yang barusan kami lakukan, itu benar." Kemuning terdiam. Nafasnya terhenti. Seketika seluruh tubuhnya lemas.Hasilnya positif.Kemuning menatap testpack di tangannya dengan tak percaya. Ada dua garis biru yang terlihat, menandakan bahwa ia benar-benar hamil. Mata Kemuning berkaca-kaca. Tanpa sadar ia menyentuh perutnya yang lain. Kemuning mengusap-usapnya dengan gerakan melingkar. Apakah ini hadiah dari Tuhan setelah penantiannya?“Aku akan jadi seorang ibu...” gumamnya haru. Air mata menetes di pipinya. “Pantas aja selama beberapa hari terakhir aku sakit-sakitan terus. Siklus haidku juga absen dua bulan ini. Ternyata aku hamil.”Kemudian Kemuning langsung mengambil ponselnya. Ia sudah berjanji untuk mengabari Bi Yuyun tentang hasilnya. Kemuning dengan segera keluar dari kamar mandi dan memfoto testpack tersebut. Senyum merekah di bibirnya, tidak sabar berbagi kabar membahagiakan ini dengan Bi Yuyun.“Assalamualaikum, Bi.”“Waalaikumsalam. Ya Allah, terima kasih. Kemuning benar-benar hamil,” ucap Bi Yuyun di seberang telepon. Dari suaranya, wanita itu terdengar sangat bahagia.Kemuning menga
Sepulangnya dari rumah sakit, wajah Kemuning sangat murung. Perasaannya campur aduk antara kebahagiaan dan kesedihan karena insiden tadi. Kemuning tidak berbicara sepatah kata pun sepanjang perjalanan ke rumah dan hal itu membuat Samudera khawatir. Mobil mereka akhirnya memasuki rumah besar itu. Kemuning keluar lebih dulu dan menatap Samudera yang masih di dalam mobil. "Mas, aku ke kamar dulu, ya."Samudera menyusul turun dan menghampiri Kemuning. "Kamu yakin baik-baik saja, Ning? Di jalan tadi kamu—""Aku mau tidur," potong Kemuning cepat. Dia menghela napas panjang. "Makasih ya, Mas, buat malam ini. Aku minta maaf karena belum bisa jawab, tapi kasih aku waktu mikir dulu.""Itu bukan masalah besar." Samudera mengangguk paham. "Ya sudah, kamu istirahat saja. Selamat malam.""Malam, Mas."Kemuning pun masuk ke kamarnya dan menutup pintu dengan bunyi decitan lirih. Samudera menatap pintu kamar Kemuning sesaat, merasa gelisah di hatinya. Ia tidak banyak bicara sebelum pergi ke kamarnya
“Mas, aku boleh lihat ke luar, ‘kan? Aku pengen tahu apa yang terjadi,” pinta Kemuning dengan panik.Samudera mengerutkan kening. Ia menangkap pergelangan tangan Kemuning sebelum gadis itu meninggalkan tempat duduknya. “Nggak perlu. Kamu jangan terlibat sama adik kamu lagi. Kita cukup tahu situasinya dan lihat dari sini.”“Tapi, Mas. Aku khawatir Anggi kenapa-napa.”“Kamu nggak ingat apa yang Anggi lakukan sama kamu?” gerutu Samudera sambil mengeratkan genggaman tangannya. “Dia sudah berusaha mencelakai kamu, Ning. Dan sepertinya keberadaan dia di restoran ini juga karena mau berbuat ulah lagi. Saya nggak akan mengizinkan kamu bertemu Anggi lagi.”Bahu Kemuning merosot lesu. Kata-kata Samudera sudah final dan tidak bisa diganggu gugat. Ia kembali duduk di kursinya dengan cemas. Matanya tidak bisa fokus pada makanannya di depannya dan berulang kali melirik ke luar jendela resto. Beberapa pelayan terlihat mengintip keramaian yang semakin tak terkendali itu. Samudera menatap Kemuning lam
Akhirnya, Anggi mengikuti mereka. Ia kembali menaiki ojek onlinenya dan meminta supaya diantarkan mengikuti mobil Samudera pergi. Anggi menduga, Samudera dan Kemuning hanya pergi untuk membeli sesuatu di luar. Tak mungkin juga Samudera akan mengajak Kemuning ke acara-acara penting. Namun, setelah mengetahui tujuan mereka, Anggi tidak bisa menyembunyikan perasaan irinya.Ternyata Samudera mengajak Kemuning ke sebuah restoran mewah yang sering dikunjungi orang-orang kaya. Hati Anggi terasa panas. Kenapa Samudera mau-mau saja membawa Kemuning ke tempat sebagus ini? Apa sih istimewanya kakaknya itu?Anggi membayar ojek onlinenya dengan kesal dan menyuruhnya pergi. “Enak banget hidup Mbak Kemuning mujur mulu. Kenapa sih dia nggak menderita aja? Dia nggak pantes dapetin ini semua,” gerutu Anggi sambil mengepalkan tangan. “Nggak bisa dibiarkan. Aku harus melakukan sesuatu buat batalin apa pun yang mereka lakukan sekarang. Mbak Kemuning nggak boleh merasa bahagia di atas penderitaanku!”Saat
Ternyata yang datang adalah Clea. Kemuning mengernyit heran. Ia membuka pintunya lebih lebar, tetapi belum mempersilakan Clea masuk. "Mbak Clea, ada apa ya?"Clea menyilangkan tangan dengan sombong. Matanya menelusuri bagian depan rumah besar itu sebelum mendarat pada sosok Kemuning. Padahal gadis ini sangat biasa-biasa saja. Bagaimana bisa Samudera menikahi wanita dari kasta rendah sepertinya? "Aku mau ketemu Sam. Di mana dia?"“Mas Sam nggak ada di rumah, Mbak. Dia masih kerja.”“Oh gitu, ya.” Clea menyeringai kecil, mendekati Kemuning dengan senyum licik di bibirnya. “Kalau begitu, aku mau bicara sama kamu.”“Tapi, kayaknya kita nggak ada perlu. Saya lagi sibuk, Mbak. Maaf—“Namun, Clea sama sekali tidak mendengarkan ucapan Kemuning. Gadis itu justru menabrak bahu Kemuning dengan kasar lalu memaksa masuk ke dalam rumah. Kemuning tidak bisa mencegahnya. Clea terlihat terbiasa di rumah itu bahkan duduk di sofa seperti seorang ratu.Kemuning mendesah sabar. Tangannya terkepal kuat,
“Kok bisa berdarah sih!? Ya ampun, padahal sebelumnya nggak pernah kayak gini!” seru Anggi sembari mengelap sudut mulutnya yang berdarah. Tangannya gemetar hebat. Dia benar-benar tidak menyangka batuk yang belakangan ini dia derita akan sampai separah ini. Anggi buru-buru melompat dari kasur kemudian berlari ke kamar mandi. Dia menyalakan kran dan segera membasuh mulutnya yang berdarah. Blus putihnya yang tadinya bersih pun kini ternoda merah gelap.Anggi sangat kalut. Sebenarnya kepalanya sudah pusing, tetapi ia memaksakan diri untuk membersihkan sisa-sisa darah di tubuhnya. Selesai mencuci wajah, Anggi berganti baju dengan kaos santai dan kembali ke kamar. Ia duduk di pinggiran ranjang sambil merenung. Tubuhnya semakin terasa lemas dan dia mulai menebak-nebak apa hal yang sebenarnya dia alami.“Aku mau periksa tapi nggak ada duit. Minta ibu juga ujung-ujungnya cuma dijanjiin,” gumam Anggi muram. Ia tak pernah membayangkan hidupnya akan sampai kekurangan uang begini.Namun, Anggi har







