Arya menyentuh pipi putranya yang terasa panas. Sebuah kompres gel sekali pakai menempel di kening bocah berusia dua tahun itu. Kedua netranya tampak terpejam. Bibirnya terlihat merah dan kering.
"Apa yang dikatakan oleh dokter Eky? Apakah kita perlu membawanya ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan yang lebih intensif?" Arya bertanya tanpa melihat lawan bicaranya. Tatapan dan perhatian pria itu hanya tertuju pada Arsen, putranya. "Dokter Eky bilang, demam Arsen disebabkan oleh radang tenggorokan. Dia juga sudah memberikan beberapa obat untuk menurunkan demam dan juga antibiotik. Tapi jika sampai tiga hari panasnya belum juga reda, dokter Eky meminta kita untuk membawa Arsen ke rumah sakit dan melakukan tes darah. Agar bisa diketahui dengan pasti apa penyakitnya," jelas wanita yang beberapa waktu lalu menelpon Arya, ketika pria itu berada di rumah sakit. Arya menghela nafas panjang, kemudian menghembuskannya perlahan. Dadanya terasa sesak setiap kali hal buruk terjadi pada putranya. Andai saja bisa, ia ingin sekali menggantikan putranya, agar dirinya saja yang merasakan sakit. "Apakah malam ini kamu akan menginap? Aku akan meminta mbak Ani untuk menyiapkan kamar tamu untukmu." Wanita itu bertanya. Namun ada sebuah harapan yang tersirat dari ucapannya. "Entahlah. Karena aku harus segera kembali ke rumah sakit, untuk melihat kondisi orang yang tadi hampir saja aku tabrak. Jika memang aku tidak terlampau lelah, aku akan kembali kemari. Tapi jika aku merasa lelah, aku akan kembali kemari besok pagi," tutur Arya yang juga mengkhawatirkan kondisi Evita. Baru saja mulutnya berhenti bicara, tiba-tiba ponsel di saku celananya berdering. Gegas pria itu mengambilnya, sebab ia memang sudah menunggu telpon dari perawat yang merawat Evita. Sederet nomer tanpa nama tampak tertera pada layar ponselnya yang menyala. Membuat Arya yakin jika perawat lah yang sedang menghubunginya. Ia pun segera menggeser tombol hijau, lalu menempelkan benda pipih tersebut ke telinganya. "Halo," ucap Arya kepada orang diseberang panggilan. "Apakah benar saya sedang berbicara dengan Pak Arya?" Suara seorang wanita terdengar bertanya. "Iya, dengan saya sendiri," sahut Arya. "Maaf, Pak. Saya ingin mengabarkan pada Anda jika ibu Evita, wanita yang tadi Anda bawa ke rumah sakit, ternyata sudah pergi meninggalkan rumah sakit. Dari CCTV yang kami periksa, sepertinya ibu Evita sengaja pergi dengan diam-diam." Perawat menjelaskan pada Arya tentang situasi yang kini telah terjadi. Dalam kamera pengawas, Evita terlihat mengendap-endap seperti seorang pencuri, saat keluar dari gedung rumah sakit. Wanita itu juga berusaha untuk menutupi wajahnya agar tidak terlihat oleh siapa pun. Sontak Arya terkejut mendengar penjelasan perawat. "Apakah tidak diketahui kemana dia pergi?" Arya bertanya dengan perasaan cemas. "Kami tidak tahu, Pak Arya. Sebab ibu Evita tidak membawa kartu identitas apapun saat Anda membawanya ke rumah sakit," jawab perawat. "Baiklah, terima kasih informasinya. Tolong hubungi saya lagi, seandainya nanti dia kembali lagi ke rumah sakit," pinta Arya yang merasa tidak percaya jika Evita pergi meninggalkan rumah sakit secara diam-diam. Bisa jadi wanita itu hanya pergi keluar untuk membeli sesuatu, kemudian akan kembali lagi ke rumah sakit. "Baik, Pak. Nanti saya akan menghubungi Anda lagi jika ada informasi mengenai ibu Evita," kata perawat yang menyanggupi permintaan Arya. Lalu perawat tersebut mengakhiri sambungan telepon. "Kenapa dia kabur dari rumah sakit? Bagaimana kalau sesuatu yang buruk terjadi padanya?" Kekhawatiran menggelayuti pikiran Arya. * Beberapa hari telah berlalu sejak Evita dan anak-anaknya pergi meninggalkan rumah Dito. Kini Evita dan ketiga anaknya tinggal di kamar kosan yang hanya berukuran tiga kali empat meter persegi. Ukuran yang sangat sempit untuk ditempati oleh empat orang sekaligus. Tapi Evita tidak memiliki pilihan lain, karena hanya itu yang ia mampu. "Ma, Vio lapar," kata putri bungsu Evita sembari menarik rok yang dikenakan oleh ibunya. Evita yang tengah menggoreng telur, langsung mengalihkannya perhatiannya pada gadis kecil yang berdiri di belakangnya. "Tunggu ya, Sayang. Sebentar lagi telurnya matang," ujar Evita. Setelah telur mata sapi yang digorengnya matang, Evita meletakkan telur tersebut ke dalam piring. Lalu ia mengambil secentong nasi dari dalam magic com. Ia juga menambahkan kecap manis yang dicampurkan pada nasi. "Sekarang ayo Mama suapi Vio makan," ajak Evita sembari menarik pelan tangan putrinya untuk duduk di lantai bersamanya. Gadis kecil bernama Viona itu menuruti perintah ibunya untuk duduk di hadapannya. Dengan lahap, gadis kecil itu menerima suapan dari Evita. Sebab ia memang sudah sangat lapar. Baru beberapa sendok Evita menyuapi putrinya, tiba-tiba terdengar suara dering ponsel dari atas meja. Gegas Evita meletakkan piring ke atas lantai, lalu bangkit dan berdiri untuk mengambil ponselnya. Kening Evita seketika mengerut, saat melihat nama penelpon. Tertulis sederet nama yang merupakan nama wali kelas dari putra sulungnya. Membuat hatinya jadi bertanya-tanya, apa yang sudah diperbuat oleh putranya, sampai wali kelas bocah laki-laki itu menelponnya. "Selamat pagi, Bu Lusi," sapa Evita setelah menggeser tombol hijau, lalu menempelkan ponsel ke telinganya. "Selamat pagi juga, Bu Evita," balas wali kelas Alif, putra sulungnya. "Sebelumnya saya ingin meminta maaf pada Bu Evita, karena saya sudah lalai dalam mengawasi murid-murid saya," ucap Lusi dengan suara yang terdengar bergetar. Sehingga membuat Evita merasa heran sekaligus cemas. "Memangnya apa yang sudah terjadi, Bu Lusi?" tanya Evita yang bisa merasakan jika sesuatu yang buruk telah terjadi pada putranya. "Tadi saat jam istirahat, Alif bertengkar dengan salah seorang temannya. Alif memukul wajah temannya, lalu temannya membalas dengan memukul kepala Alif menggunakan batu," jelas Lusi. "Apa?! Bagaimana keadaan putra saya sekarang? Apakah dia baik-baik saja?" Evita bertanya dengan perasaan cemas dan juga panik. "Kami sudah membawa Alif ke rumah sakit. Dia tidak sadarkan diri setelah kepalanya dipukul. Saat ini dia sedang mendapatkan perawatan di ruang instalasi gawat darurat. Jadi kami masih menunggu kabar dari dokter," tutur Lusi. Tubuh Evita gemeter mendengar penuturan Lusi. Tanpa bisa dibendung, air mata luruh dari kedua sudut netra Evita, membayangkan keadaan putranya. "Di rumah sakit mana Alif dirawat? Saya akan segera ke sana," tanya Evita yang sudah tidak sabar untuk mengetahui kondisi putranya. Lusi menyebutkan rumah sakit tempat Alif dirawat. Lalu Evita memutuskan hubungan telepon dan bersiap-siap untuk mengganti pakaian. Karena tempat tinggalnya yang jauh dari rumah Mira, membuat Evita terpaksa mengajak Viona untuk ikut bersamanya ke rumah sakit. Mereka pergi menggunakan ojek online. Sesampainya di rumah sakit, Lusi langsung menyambut Evita. Wanita itu menjelaskan dengan lebih rinci mengenai peristiwa buruk yang telah terjadi pada Alif. Setelah beberapa saat menunggu, seorang perawat memanggil Evita dan meminta wanita itu untuk menemui dokter yang menangani Alif. "Silahkan duduk, Bu," pinta dokter setelah Evita masuk ke dalam ruang dokter jaga, yang berada di dalam ruang instalasi gawat darurat. Evita melakukan yang diminta oleh dokter. Dengan perasaan cemas, Evita menunggu dokter menjelaskan tentang keadaan putranya. "Saya ingin menyampaikan tentang kondisi putra Ibu saat ini. Setelah kami melakukan CT scan, ternyata ada pendarahan di dalam otak putra Anda. Satu-satunya jalan untuk menyembuhkannya, adalah dengan melakukan operasi secepatnya. Jadi kami meminta Ibu untuk segera menyiapkan uang sebesar tujuh puluh juta rupiah, sebagai biaya operasi." Dokter coba menjelaskan kondisi Alif dan juga biaya yang dibutuhkan untuk operasi. Evita seketika terkejut mendengar penuturan dokter. Wanita itu merasa bingung dari mana ia harus mendapatkan uang sebanyak itu untuk biaya operasi putra sulungnya."Kalau begitu, Mama tinggalkan kalian berdua untuk ngobrol," kata Santi, yang ingin memberikan kesempatan pada Arya dan Shanum untuk bicara berdua. "Baik, Ma. Terima kasih," ucap Arya sembari menganggukkan kepala. Santi pergi meninggalkan ruang rawat inap putrinya, dengan diiringi oleh tatapan mata Arya. Lalu tatapan pria itu beralih pada wajah Shanum, setelah bayangan Santi menghilang di balik pintu. "Bagaimana keadaanmu, Num? Apakah kamu sudah makan?" tanya Arya yang hanya sekedar basa-basi, untuk mencairkan suasana yang terasa tegang.Senyum sinis seketika tergambar di wajah Shanum, mendengar pertanyaan Arya."Untuk apa kamu menanyakan kabarku? Apakah kamu sudah puas sekarang? Anak yang kamu abaikan sudah tidak ada lagi! Sekarang tidak akan ada lagi yang bisa menghalangimu, untuk memanjakan anak-anak tirimu itu!" salak Shanum dengan kilatan emosi yang terpancar dari kedua matanya.Tentu saja Arya sangat kaget mendengar tuduhan-tuduhan Shanum. Ia sadar, hari-hari belakangan ini d
Arya bangkit dari duduknya dan menyandarkan punggungnya pada sandaran tempat tidur. Lalu pria itu menggeser tombol hijau pada layar ponsel dan mendekatkan benda pipih itu ke telinganya."Halo?" sapa Arya pada orang yang berada di seberang panggilan."Arya, sebelumnya Mama minta maaf, karena sudah mengganggumu yang sedang berkabung." Terdengar suara seorang wanita dari seberang panggilan."Tidak apa, Ma," sahut Arya pada wanita yang dulu pernah menjadi ibu mertuanya.Meskipun Santi bukan lagi ibu mertuanya, tapi Arya masih tetap menghormatinya dan memanggil ibu Shanum itu dengan sebutan mama. "Apakah ada yang bisa saya bantu, Ma?" imbuh Arya yang ingin tahu tujuan wanita itu menghubunginya."Ini tentang Shanum, Ar. Mama tahu saat ini kamu pasti tidak ingin diganggu. Tapi bisakah tolong kamu datang kemari untuk menemui dan bicara dengannya?" pinta Santi kepada mantan menantunya.Kening Arya seketika mengernyit dengan kedua alis yang saling bertautan."Memangnya apa yang terjadi pada Sh
Arya duduk termenung di samping gundukan tanah yang masih basah. Tatapannya terus tertuju pada batu nisan di atas gundukan tanah, yang hampir seluruh bagiannya tertutup oleh bunga warna-warni.Sedangkan Evita tetap setia berada di samping pria itu, dengan mengenakan dress berwarna hitam. Warna yang sama dengan pakaian yang dikenakan oleh Arya."Saya turut berdukacita, Pak. Semoga Pak Arya bisa ikhlas dan tabah menerima cobaan ini." Nico, asisten Arya di kantor, menyampaikan belasungkawanya.Pria kepercayaan Arya di perusahaan itu berdiri di samping Arya, dengan mengenakan kacamata hitam. Wajahnya terlihat sedih. Ia bisa merasakan kesedihan yang kini tengah dirasakan oleh bosnya."Terima kasih sudah hadir di acara pemakaman Arsen," balas Arya tanpa melihat wajah lawan bicaranya. Tatapan pria itu tidak mau beralih dari batu nisan yang bertuliskan nama putranya.Raut wajah Arya memang masih terlihat sedih, tapi air mata sudah tidak lagi menetes dari kedua matanya. Kedua netra pria itu te
Tenggorokan Evita sontak tercekat. Dadanya tiba-tiba terasa sesak dan membuatnya sulit untuk bernafas. Lidahnya keluh tidak bisa mengatakan apapun. Buliran bening perlahan luruh dari kedua sudut matanya. Tatapan matanya terus mengikuti brankar tersebut yang didorong pergi menjauh dari ruang operasi. "Apakah Anda keluarga dari ananda Arsen?" Terdengar suara seseorang bertanya pada Evita.Perlahan Evita mengalihkan tatapan ke arah suara. Dilihatnya seorang pria yang berdiri tidak jauh darinya. Pria itu mengenakan scrub suit warna hijau dan penutup kepala. Sebuah masker menutupi sebagian wajahnya, hingga yang terlihat hanya matanya saja."Suami saya adalah ayah dari Arsen," jawab Evita dengan suara yang terdengar serak. Tenggorokannya terasa kering."Bisakah saya bicara dengan beliau?" Pria itu bertanya dengan bola mata yang bergerak menelisik ruang tunggu. Seolah sedang mencari keberadaan seseorang."Tunggu sebentar. Saya akan menghubunginya," balas Evita yang kemudian mengambil ponsel
Eddy seketika terperanjat, melihat wajah putranya. Pria yang ia kenal kuat dan dingin itu kini terlihat sedang berurai air mata. Kesedihan dan hati yang hancur tergambar jelas di wajah putranya tersebut."Ar, apa yang terjadi, Nak?" Eddy bertanya pada Arya dengan dada yang bergemuruh. Ia yakin ada peristiwa yang sangat buruk yang terjadi, yang membuat putranya terlihat begitu terpuruk.Arya yang tatapannya kosong, perlahan mengalihkan pandangannya ke arah layar ponsel. Ditatapnya wajah ayahnya dengan air mata yang masih terus mengalir."Arsen ... dan Rianti kecelakaan." Dengan suara parau dan tersendat, Arya menjawab pertanyaan ayahnya.Seperti disambar petir, Eddy benar-benar terkejut mendengar berita yang disampaikan oleh putranya. Kedua matanya membulat, dengan mulut yang sedikit menganga."Saat ini keduanya dalam kondisi kritis. Sedangkan Rianti saat ini sedang menjalani operasi." Arya melanjutkan ucapannya dengan suara yang terdengar lemah."Kalau begitu kirimkan lokasi rumah sak
Arya langsung bergeser dan menepi, saat melihat dua brankar yang didorong memasuki ruang intensive care unit. Ruangan dimana saat ini Rianti juga mendapatkan penanganan. Perhatian Arya sama sekali tidak tertuju pada dua brankar tersebut. Pria itu lebih fokus mendengarkan dering ponsel yang sedang memanggil ayahnya. Pikirannya saat ini juga dipenuhi dengan kekhawatiran.Evita yang berdiri di dekat Arya, tanpa sengaja melihat wajah wanita yang terbaring di atas brankar. Sontak Evita terkejut dengan dua mata yang membulat sempurna.Beberapa saat, Evita terpaku diam seperti patung. Tapi sesaat kemudian dirinya tersadar dan langsung menarik lengan kemeja Arya."Ar ... Shanum ...." Evita berkata dengan suara yang terdengar gagap dan bergetar. Tatapan wanita itu tidak lepas dari wajah Shanum, yang tampak mengalirkan darah segar dari keningnya.Arya yang tengah fokus menunggu ayahnya menjawab panggilan darinya, perlahan perhatiannya teralihkan. Pria itu menatap wajah istrinya yang terlihat s