Evita menutup panggilan telepon dengan perasaan kecewa. Wanita itu baru saja menghubungi Dito untuk menceritakan tentang kondisi putra sulung mereka berdua. Ia juga meminta Dito untuk mencarikan uang untuk biaya operasi Alif.
Namun jawaban yang diterima oleh Evita benar-benar diluar dugaan. Pria yang masih resmi berstatus sebagai suaminya itu sama sekali tidak peduli pada putranya. "Apa yang harus aku lakukan sekarang? Kemana aku harus mendapatkan uang sebanyak itu?" tanya Evita dalam hati. Air mata tampak mulai mengalir dari kedua sudut matanya. Perasaan sedih, cemas, takut dan juga putus asa, bercampur jadi satu menguasai hati dan pikirannya. "Tidak mungkin aku meminta tolong pada mbak Mira. Aku sudah terlalu sering menyusahkannya. Lagipula jumlah segitu bukanlah jumlah yang kecil," kata Evita dalam hati ketika teringat pada Mira. "Kenapa Mama menangis? Siapa yang udah bikin Mama sedih?" Tiba-tiba terdengar suara bocah kecil. Tampak Viona yang sudah berdiri di dekat kaki Evita. Gadis kecil itu menatap wajah ibunya dengan wajah terangkat. Membuat Evita gugup dan langsung mengusap mata serta pipinya yang basah. Saat menemui dokter untuk membicarakan tentang kondisi Alif, Evita memang meminta tolong pada Lusi untuk menjaga putrinya. Sepertinya ibu guru tersebut membawa Viona keluar untuk membeli es krim. Sebab bocah kecil itu kini tampak menggenggam sebungkus es krim. "Mama tidak menangis kok, Sayang. Mama hanya kelilipan," sanggah Evita sembari berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan sang putri. Senyum yang tampak dipaksakan, tercetak jelas di wajah Evita. "Wah, kelihatannya sangat enak. Sebaiknya Vio cepat habiskan es krimnya sebelum meleleh." Evita coba mengalihkan perhatian putrinya. "Tadi bu Lusi yang belikan es krim buat Vio." Viona bercerita sembari menunjuk Lusi yang berdiri tidak jauh darinya. "Apakah Vio sudah mengucapkan terima kasih pada bu Lusi?" tanya Evita. Viona mengangguk. "Sudah, Ma," jawab gadis mungil itu. "Kalau begitu, sekarang Vio duduk dulu di kursi itu dan habiskan es krimnya ya?" Evita berkata pada putrinya seraya menunjuk bangku panjang yang terbuat dari stainless steel. "Mama ingin bicara sebentar dengan bu Lusi," lanjut Evita yang tidak ingin pembicaraannya dengan Lusi didengar oleh putrinya. Viona menganggukkan kepala dengan cepat. Lalu bocah kecil itu berjalan menuju kursi yang baru saja ditunjuk oleh sang ibu. Setelah melihat putrinya duduk, Evita melangkah pelan mendekati Lusi. Raut wajah wanita beranak tiga itu terlihat bingung. "Sebelumnya saya ingin meminta maaf. Jika tidak keberatan, saya ingin merepotkan Anda lagi," kata Evita dengan tatapan memohon. "Katakan saja, Bu. Kalau memang saya mampu, saya pasti akan membantu Bu Evita," balas Lusi yang turut merasa bersalah, atas kejadian yang menimpa Alif. "Saya ingin meminta bantuan Anda, untuk menjaga Vio dan tetap tinggal di rumah sakit ini sampai saya kembali. Saya harus pergi ke suatu tempat untuk mendapatkan uang sebesar tujuh puluh juta rupiah, untuk biaya operasi Alif," jelas Evita yang tidak bisa membawa Viona bersamanya. Ia juga tidak bisa meninggalkan Alif yang sedang dalam keadaan koma, tanpa ada seseorang yang menjaganya. Hanya untuk antisipasi, seandainya saja ada kabar mengenai perkembangan kondisi Alif. "Tentu saja, saya akan membantu Bu Evita untuk menjaga Vio. Bu Evita tidak usah mencemaskan hal itu," sahut Lusi seraya mengusap lengan Evita, seolah ingin memberikan semangat. "Terima kasih banyak, Bu Lusi. Secepatnya saya akan segera kembali," ucap Evita dengan perasaan lega sekaligus terharu. Setelah berpamitan dengan Lusi, Evita bergegas pergi meninggalkan rumah sakit. Hanya satu nama yang kini terlintas di benaknya. Nama seseorang yang mungkin saja bisa menolongnya. Dengan memakai jasa ojek online, Evita pergi ke suatu tempat. Yaitu sebuah rumah yang terlihat cukup mewah. Sebuah mobil sport mewah berwarna silver tampak terparkir di halaman rumah. Setelah turun dari motor dan membayar ongkos ojek online, Evita segera berjalan mendekati pagar besi yang tampak tinggi menjulang. Wanita itu menekan bel yang berada di dekat pagar. Tak lama setelah dirinya menekan bel, tampak seorang wanita paruh baya yang berjalan keluar dari dalam rumah. Wanita itu melangkah mendekati Evita. "Mau cari siapa?" Wanita itu bertanya dari balik pagar, sambil memperhatikan penampilan Evita yang lusuh. "Apakah Sinta ada di rumah? Tolong katakan padanya kalau kakaknya datang ingin bertemu." Evita berkata dengan tatapan memohon. Kedua tangan wanita itu menggenggam kuat jeruji pagar besi. Wanita yang merupakan pelayan di rumah itu tampak terkejut mendengar ucapan Evita. Sulit untuk percaya, jika wanita berpenampilan lusuh yang ada di hadapannya adalah kakak dari majikannya. "Baik, Bu, akan saya sampaikan pada Bu Sinta. Tolong Anda tunggu sebentar," pinta wanita itu yang kemudian bergegas masuk untuk menemui majikannya. Tak lama menunggu, pelayan itu kembali keluar. Dikeluarkannya sebuah anak kunci dari dalam saku pakaian yang dikenakannya. Lalu wanita itu membuka gembok pagar dan mempersilahkan Evita untuk masuk. Sembari memperhatikan sekelilingnya, Evita berjalan masuk ke dalam rumah. Tidak banyak perubahan yang terjadi dari rumah itu, setelah tiga tahun lalu terakhir kali ia melihatnya. "Untuk apa Kakak datang lagi kemari? Apakah suami Kakak yang tidak berguna itu membuat ulah lagi?" Terdengar suara seorang wanita dari dalam ruang keluarga. Tampak sebatang rokok terselip diantara dua jari wanita tersebut. Rok pendek dan tanktop yang dikenakannya membuat penampilan wanita itu terlihat seksi. Apalagi kulitnya juga terlihat sangat putih dan mulus. Ditunjang dengan wajahnya yang cantik, membuat wanita itu terlihat semakin sempurna. Evita menggeleng dengan kepala tertunduk, mendengar pertanyaan wanita tersebut. "Maaf jika aku datang hanya untuk merepotkanmu. Tapi saat ini aku benar-benar butuh bantuanmu, Sin," kata Evita, lalu perlahan mengangkat wajahnya untuk menatap wajah wanita, yang tak lain adalah adik tirinya. "Apa lagi yang sudah diperbuat oleh kakak iparku yang tidak berguna itu? Apakah dia masuk penjara lagi?" Wanita bernama Sinta itu bertanya dengan senyum sinis yang tergambar di wajahnya. Lalu menghisap batang rokok yang ada diantara dua jarinya, kemudian meniupkan asap dari dalam mulutnya. Gegas Evita menggelengkan kepalanya. "Aku butuh untuk Alif, putraku. Dia baru saja mengalami kecelakaan dan harus dioperasi. Dokter memintaku untuk menyiapkan uang sebesar tujuh puluh juta rupiah, untuk biaya operasinya. Jadi aku datang kemari untuk meminta tolong padamu, untuk meminjamkan uang," tutur wanita itu menjelaskan tentang kondisi putranya. "Apa? Tujuh puluh juta rupiah? Memangnya Kakak mampu mengembalikan uang sebanyak itu? Uang dua juta yang dulu pernah Kakak pinjam untuk modal dagang kue saja, beberapa bulan baru bisa kakak lunasi!" sungut Sinta yang pernah memberikan pinjaman kepada Evita, saat suami kakaknya itu masuk ke dalam penjara. "Aku mohon tolong bantu aku, Sin. Alif harus segera dioperasi agar nyawanya selamat." Evita memohon dengan air mata yang mulai mengalir dari kedua sudut matanya. Sinta menghembuskan nafas kasar. Wanita itu meletakkan rokok ke dalam asbak, kemudian berdiri. Dilipatnya kedua tangannya ke depan dada dan menatap wajah kakak tirinya dengan sorot mata tajam. "Aku akan memberikan pinjaman. Tapi ada syaratnya," tukas Sinta. Kening Evita mengernyit. "Syarat apa?" tanyanya sembari membalas tatapan adik tirinya."Kalau begitu, Mama tinggalkan kalian berdua untuk ngobrol," kata Santi, yang ingin memberikan kesempatan pada Arya dan Shanum untuk bicara berdua. "Baik, Ma. Terima kasih," ucap Arya sembari menganggukkan kepala. Santi pergi meninggalkan ruang rawat inap putrinya, dengan diiringi oleh tatapan mata Arya. Lalu tatapan pria itu beralih pada wajah Shanum, setelah bayangan Santi menghilang di balik pintu. "Bagaimana keadaanmu, Num? Apakah kamu sudah makan?" tanya Arya yang hanya sekedar basa-basi, untuk mencairkan suasana yang terasa tegang.Senyum sinis seketika tergambar di wajah Shanum, mendengar pertanyaan Arya."Untuk apa kamu menanyakan kabarku? Apakah kamu sudah puas sekarang? Anak yang kamu abaikan sudah tidak ada lagi! Sekarang tidak akan ada lagi yang bisa menghalangimu, untuk memanjakan anak-anak tirimu itu!" salak Shanum dengan kilatan emosi yang terpancar dari kedua matanya.Tentu saja Arya sangat kaget mendengar tuduhan-tuduhan Shanum. Ia sadar, hari-hari belakangan ini d
Arya bangkit dari duduknya dan menyandarkan punggungnya pada sandaran tempat tidur. Lalu pria itu menggeser tombol hijau pada layar ponsel dan mendekatkan benda pipih itu ke telinganya."Halo?" sapa Arya pada orang yang berada di seberang panggilan."Arya, sebelumnya Mama minta maaf, karena sudah mengganggumu yang sedang berkabung." Terdengar suara seorang wanita dari seberang panggilan."Tidak apa, Ma," sahut Arya pada wanita yang dulu pernah menjadi ibu mertuanya.Meskipun Santi bukan lagi ibu mertuanya, tapi Arya masih tetap menghormatinya dan memanggil ibu Shanum itu dengan sebutan mama. "Apakah ada yang bisa saya bantu, Ma?" imbuh Arya yang ingin tahu tujuan wanita itu menghubunginya."Ini tentang Shanum, Ar. Mama tahu saat ini kamu pasti tidak ingin diganggu. Tapi bisakah tolong kamu datang kemari untuk menemui dan bicara dengannya?" pinta Santi kepada mantan menantunya.Kening Arya seketika mengernyit dengan kedua alis yang saling bertautan."Memangnya apa yang terjadi pada Sh
Arya duduk termenung di samping gundukan tanah yang masih basah. Tatapannya terus tertuju pada batu nisan di atas gundukan tanah, yang hampir seluruh bagiannya tertutup oleh bunga warna-warni.Sedangkan Evita tetap setia berada di samping pria itu, dengan mengenakan dress berwarna hitam. Warna yang sama dengan pakaian yang dikenakan oleh Arya."Saya turut berdukacita, Pak. Semoga Pak Arya bisa ikhlas dan tabah menerima cobaan ini." Nico, asisten Arya di kantor, menyampaikan belasungkawanya.Pria kepercayaan Arya di perusahaan itu berdiri di samping Arya, dengan mengenakan kacamata hitam. Wajahnya terlihat sedih. Ia bisa merasakan kesedihan yang kini tengah dirasakan oleh bosnya."Terima kasih sudah hadir di acara pemakaman Arsen," balas Arya tanpa melihat wajah lawan bicaranya. Tatapan pria itu tidak mau beralih dari batu nisan yang bertuliskan nama putranya.Raut wajah Arya memang masih terlihat sedih, tapi air mata sudah tidak lagi menetes dari kedua matanya. Kedua netra pria itu te
Tenggorokan Evita sontak tercekat. Dadanya tiba-tiba terasa sesak dan membuatnya sulit untuk bernafas. Lidahnya keluh tidak bisa mengatakan apapun. Buliran bening perlahan luruh dari kedua sudut matanya. Tatapan matanya terus mengikuti brankar tersebut yang didorong pergi menjauh dari ruang operasi. "Apakah Anda keluarga dari ananda Arsen?" Terdengar suara seseorang bertanya pada Evita.Perlahan Evita mengalihkan tatapan ke arah suara. Dilihatnya seorang pria yang berdiri tidak jauh darinya. Pria itu mengenakan scrub suit warna hijau dan penutup kepala. Sebuah masker menutupi sebagian wajahnya, hingga yang terlihat hanya matanya saja."Suami saya adalah ayah dari Arsen," jawab Evita dengan suara yang terdengar serak. Tenggorokannya terasa kering."Bisakah saya bicara dengan beliau?" Pria itu bertanya dengan bola mata yang bergerak menelisik ruang tunggu. Seolah sedang mencari keberadaan seseorang."Tunggu sebentar. Saya akan menghubunginya," balas Evita yang kemudian mengambil ponsel
Eddy seketika terperanjat, melihat wajah putranya. Pria yang ia kenal kuat dan dingin itu kini terlihat sedang berurai air mata. Kesedihan dan hati yang hancur tergambar jelas di wajah putranya tersebut."Ar, apa yang terjadi, Nak?" Eddy bertanya pada Arya dengan dada yang bergemuruh. Ia yakin ada peristiwa yang sangat buruk yang terjadi, yang membuat putranya terlihat begitu terpuruk.Arya yang tatapannya kosong, perlahan mengalihkan pandangannya ke arah layar ponsel. Ditatapnya wajah ayahnya dengan air mata yang masih terus mengalir."Arsen ... dan Rianti kecelakaan." Dengan suara parau dan tersendat, Arya menjawab pertanyaan ayahnya.Seperti disambar petir, Eddy benar-benar terkejut mendengar berita yang disampaikan oleh putranya. Kedua matanya membulat, dengan mulut yang sedikit menganga."Saat ini keduanya dalam kondisi kritis. Sedangkan Rianti saat ini sedang menjalani operasi." Arya melanjutkan ucapannya dengan suara yang terdengar lemah."Kalau begitu kirimkan lokasi rumah sak
Arya langsung bergeser dan menepi, saat melihat dua brankar yang didorong memasuki ruang intensive care unit. Ruangan dimana saat ini Rianti juga mendapatkan penanganan. Perhatian Arya sama sekali tidak tertuju pada dua brankar tersebut. Pria itu lebih fokus mendengarkan dering ponsel yang sedang memanggil ayahnya. Pikirannya saat ini juga dipenuhi dengan kekhawatiran.Evita yang berdiri di dekat Arya, tanpa sengaja melihat wajah wanita yang terbaring di atas brankar. Sontak Evita terkejut dengan dua mata yang membulat sempurna.Beberapa saat, Evita terpaku diam seperti patung. Tapi sesaat kemudian dirinya tersadar dan langsung menarik lengan kemeja Arya."Ar ... Shanum ...." Evita berkata dengan suara yang terdengar gagap dan bergetar. Tatapan wanita itu tidak lepas dari wajah Shanum, yang tampak mengalirkan darah segar dari keningnya.Arya yang tengah fokus menunggu ayahnya menjawab panggilan darinya, perlahan perhatiannya teralihkan. Pria itu menatap wajah istrinya yang terlihat s