Bab 4
“Sudah cukup, aku tak ingin lagi mendengar sandiwara kalian,” suara Lila bergetar, tapi penuh amarah. “Cepat pergi dari rumahku, sekarang juga!” Kata-katanya bagai petir di siang bolong. Beberapa ibu-ibu langsung saling pandang. Pak RT, yang berdiri di tengah-tengah, mencoba menengahi. “Lila… apa kamu serius ingin mengusir mereka?” tanyanya hati-hati. “Serius, Pak. Sudah tak sudi saya melihat mereka di sini. Bawa mereka pergi atau laporkan ke polisi, saya tak peduli,” jawab Lila mantap. Imam yang sejak tadi diam, tiba-tiba maju selangkah. “Dek … tolong, aku minta maaf. Jangan usir aku. Aku khilaf … aku tak ingin berpisah darimu.” Suaranya memelas, wajahnya kusut, seperti seseorang yang baru saja kehilangan segalanya. Namun warga yang sudah muak dengan ulahnya tak memberi kesempatan. Beberapa pria segera mendorong Imam menjauh, sementara Mila hanya bisa menangis di sampingnya. Suara riuh warga makin ramai, apalagi saat Imam tetap berusaha mendekati Lila. “Sudahlah, Mas! Pergi sana!” seru salah seorang bapak. Bu RT ikut maju, memegang pundak Lila. “Mbak Lila, sabar ya. Suami dan sepupu seperti mereka memang pantas diusir. Sudah keterlaluan!” Lila hanya mengangguk pelan. Bibirnya bergetar menahan emosi. “Insyaallah saya sabar, Bu,” ucapnya lirih, meski matanya basah. Satu per satu warga akhirnya pulang setelah Imam dan Mila benar-benar diusir pergi. Tinggal beberapa bapak yang tetap duduk di depan pagar, berjaga di depan rumah. Lila mengunci pintu, menarik napas panjang, lalu masuk ke dalam rumah yang kini terasa asing. Lila segera menuju ke kamar anaknya, setelah sebelumnya mengusap air mata yang sempat beranak sungai. "Kamu sudah tidur, Nak." Ternyata sang anak ayah tidur sembari memeluk robot mainannya. Lila segera mengecup putranya itu, menutup pintu dan berpindah ke kamar utama, kamar tempat dia dan Imam melepas lelah, dulu. Begitu masuk kamar, dadanya langsung terasa sesak, pandangannya kabur oleh air mata. Dengan tangan gemetar, ia mencabut sprei dari kasur, menggulungnya, lalu melempar ke tempat sampah. Air matanya pecah saat ia mengganti sprei baru. Setiap lipatan kain terasa seperti menoreh luka di hatinya. Di pojok kamar, tumpukan baju Imam menunggu. Lila memasukkannya ke dalam tas besar tanpa ampun, lalu melempar tas itu ke luar kamar. Matanya lalu tertuju pada pigura besar di ruang tamu—foto pernikahannya dengan Imam, dulu begitu indah, kini terasa seperti ejekan. Lila meraihnya, membantingnya ke lantai hingga kaca pecah berderai. Foto di dalamnya diambilnya, lalu disobek-sobek dengan tangan gemetar. “Kurang ajar, jahat kamu, Mas… aku benci kamu!” suaranya serak, penuh amarah dan luka yang menumpuk. Hati istri mana yang tak sakit, setelah menemani dari nol, kini dia dikhianati dengan begitu rupa. Saat pertama menikah dengan Imam, pria itu hanya pekerja pabrik biasa. Sedangkan Lila seorang admin di salah satu BPR, dia juga memiliki warisan dari bapaknya berupa beberapa petak sawah. Demi Imam yang ingin memiliki usaha sendiri, Lila harus menjual semua sawah yang dimiliki demi berangkat ke kota dan menyewa ruko untuk toko elektronik Imam. Apa pun yang Imam mau dia lakukan, tanpa pernah mengeluh sedikkt pun. “Jahat sekali kamu, Mas!” Tak berhenti sampai di situ, semua foto Imam di rumah itu ia hancurkan. Koleksi miniatur mobil kesayangan Imam pun ikut jadi sasaran. Bunyi benda pecah bersahutan dengan isak tangisnya yang kian pecah. Selain itu, Lila juga masih tidak menyangka. Niat baiknya untuk menampung Mila sementara waktu selama anak itu belum mendapat pekerjaan justru dibalas dengan pengkhianatan seperti ini. Malam itu, Lila menangis sejadi-jadinya. Semua rasa sakit ia tumpahkan, semua harga diri yang diinjak-injak ia ratapi. Hingga akhirnya, kelelahan membuatnya tergeletak di sofa ruang tamu, terisak sampai tertidur. * Hari ini, Lila sudah bertekad untuk mengajukan gugatan cerai. Hatinya sudah terlalu hancur untuk memberi kesempatan kedua. Bukti-bukti sudah ada di tangan. Ia tidak akan membuang waktu lagi untuk seorang suami yang bahkan tidak tahu cara menghargai pernikahan. Tak lupa dia mengajak serta Raka, dan entah kenapa sampai pagi ini, sang anak tak menanyakan tentang ayahnya sama sekali. Tapi tentu itu adalah hal yang disyukuri oleh Lila. Sambil menunggu taksi, Lila memeriksa ponselnya. Puluhan pesan W******p masuk, notifikasi panggilan tak terjawab memenuhi layar. Empat puluh enam kali panggilan—semuanya dari Imam. Lila mendesah panjang. “Dasar laki-laki tak tahu diri,” gumamnya pelan. Pesan-pesan dari Imam berderet panjang, memohon, membela diri, dan meminta maaf seolah semua kesalahan bisa terhapus begitu saja. [Dek … maafin kesalahan Mas, ya. Mas khilaf. Semua ini karena gadis murahan itu selalu menggoda.] [Dek, tolong jangan seperti ini. Kamu menyiksaku. Aku bisa mati kalau berpisah denganmu.] [Beri aku satu kesempatan lagi. Aku janji akan memperbaiki semua. Hanya kamu satu-satunya di hatiku.] Lila hanya memandang pesan-pesan itu tanpa emosi. Baginya, permintaan maaf setelah pengkhianatan hanyalah kata-kata kosong. Jika benar mencintainya, Imam tentu tidak akan pernah bermain api dengan sepupunya sendiri. Balasan pertama yang ia kirim sangat singkat. [Maaf, Mas. Hati ini sudah tertutup untuk seorang penghianat. Mendengar namamu saja aku jijik, apalagi melihat wajahmu. Jangan pernah muncul di hadapanku lagi.] Pesan itu langsung terbaca. Tak sampai satu menit, titik-titik tanda sedang mengetik muncul di layar. Imam tidak menyerah. [Tolong, Dek … beri aku kesempatan sekali lagi. Aku janji tak akan mengulanginya. Semua akan baik-baik saja asalkan perempuan ular itu tidak ada di antara kita.] Kali ini Lila tidak bisa menahan emosi. Jemarinya bergerak cepat di layar ponsel. [Kalian berdua sama saja! Kalau dia menggoda dan kamu menolak, perselingkuhan itu takkan terjadi. Tapi nyatanya kamu menikmatinya, bukan? Jadi kalian berdua sama kotornya.] Beberapa detik kemudian, ponselnya kembali bergetar. Imam mengirimkan beberapa tangkapan layar berisi chat dari Mila. Dalam pesan-pesan itu, Mila memang terlihat agresif—menggoda, merayu, bahkan mengirim foto-foto tak pantas. Ada pula kalimat yang menjelek-jelekkan Lila: wajah jelek, istri bau ikan asin, istri pembangkang. Semua hinaan itu ternyata sudah lama disusun Mila untuk memisahkan rumah tangga mereka. Namun, bagi Lila, bukti itu tidak mengubah apa pun. Ia membaca semuanya dengan dada bergetar, bukan karena ingin memaafkan, tapi karena semakin jijik. Imam membela diri lagi. [Kamu lihat ‘kan, Dek? Aku hanya korban. Dia yang memulai semuanya. Tolong beri aku satu kesempatan terakhir.] Kesempatan terakhir? Lila tertawa getir membaca pesan itu. [Korban? Dua bulan kalian berselingkuh di belakangku. Selama itu berapa kali kalian tidur bersama? Jangan bilang itu semua hanya karena “khilaf”. Kalau saja aku tidak memergoki kalian, pasti sampai sekarang hubungan itu masih berlanjut.] Lila menghela napas panjang sebelum mengetik pesan terakhir. [Mulai sekarang, jangan pernah berharap cintaku lagi. Namamu sudah mati di hatiku. Lanjutkan saja hubunganmu dengan Mila yang katanya ‘panas’ itu. Oh, terima kasih untuk semua bukti yang akan kupakai di pengadilan nanti.]Bab 11Begitu taksi berhenti di depan rumah megah itu, Lila dan Raka langsung disambut oleh seorang satpam yang sudah menunggu di depan gerbang. Senyum ramah mengembang di wajah pria berbadan tegap itu."Selamat pagi, Bu Lila. Silakan masuk. Pak Bayu sudah menunggu dari tadi," ucapnya sopan sambil mempersilakan Lila dan Raka melewati pagar hitam yang terbuka otomatis.Lila mengangguk pelan, masih canggung dengan suasana rumah yang benar-benar di luar dugaannya. Ia sempat melirik Raka, yang sedari tadi matanya berbinar melihat setiap sudut rumah Bayu.Bayu muncul dari teras, wajahnya lega begitu melihat kehadiran mereka. "Lila, Raka. Terima kasih banyak sudah datang," ucapnya, nada suaranya tulus sekali."Tidak apa-apa, Mas," jawab Lila singkat.Raka, tanpa beban apa pun, dengan polosnya, langsung berkomentar dengan suara keras, "Bu, seandainya Ayah kerja kayak Om Bayu, pasti enak, ya? Mobil banyak, rumah besar, uangnya juga pasti banyak!"Lila kaget dan malah spontan langsung memeloto
BAB 10"Bu, hari ini beneran libur kan sekolahnya?" Raka yang sudah mandi menghampiri ibunya. "Kan bukan sabtu minggu?"Lila segera menoleh ke arah putranya, "libur, Nak. Ada rapat katanya di sekolah."Mendengar jawaban dari sang ibu, Raka langsung bersorak. Seperti lumrahnya anak kecil yang begitu bahagia saat sekolahnya libur. "Raka main dulu ya Bu, di depan TV sambil nunggu sarapan."Lila tersenyum dan mengangguk, melihat Raka yang berjalan riang menuju ruang keluarga. "Berikan kebahagiaan selalu untuk anakku ya Allah." Dalam setiap detik tak lepas doa terucap.Tiba- tiba ponsel Lila bergetar di meja makan. Ia baru saja selesai menyiapkan sarapan untuk Raka ketika nama Bayu muncul di layar. "Hallo, Mas Bayu?" Lila mengangkat teleponnya, suaranya terdengar hati-hati.Hening sejenak di seberang karena Bayu belum bersuara."Lila … maaf ganggu. Rafi dari semalam demam, nggak mau makan, nyebut-nyebut namamu terus. Aku bingung harus gimana." Suara Bayu terdengar lelah tapi sopan. "Kamu
BAB 9"Ibu habis nangis ya?" Pertanyaan singkat dari Raka itu sukses membuyarkan lamunan Lila setelah sambungan telepon dengan ibunya terputus. "Kenapa Ibu nangis? Ibu sedih?"Bocah kecil itu kini berdiri tepat di depan ibunya, sembari mengusap pipi Lila yang memang masih basah. "Eh ... nggak ibu ini tadi kelilipan," jawab Lila sedikit gugup sembari berusaha menyajikan senyum untuk anaknya. "Ngapain Ibu sedih, kan Raka sudah sama ibu."Lila kemudian merengkuh Raka dalam pelukannya. Erat dipeluknya selama beberapa detik. Dalam hati dia berjanji tak akan membiarkan Raka melihatnya menangis lagi.Notifikasi ponsel berbunyi saat Lila baru saja selesai menyiapkan seragam untuk Raka. Ia sempat mengabaikannya, tapi dering kedua membuatnya terpaksa melihat ke layar.Ternyata itu adalah pesan dari Imam. Dua buah pesan langsung dibaca Lila.[Lila, aku nggak makan dari kemarin. Aku nggak bisa hidup tanpa kamu.][Rasanya aku ingin mati saja. Tanpa kamu aku benar-benar tak ada semangat hidup.]Ad
Bab 8Sementara itu, Lila yang masih mematung akhirnya angkat bicara, “Rafi, kok ngomongnya gitu?”“Emangnya kenapa? Kan kalau Tante jadi ibu baruku, nanti aku juga jadi punya kakak baru yang bisa diajak main,” jawab Rafi polos.Lila bingung harus menjawab apa. Dulu, dia dan Bayu selesai hubungan memang secara baik-baik. Tidak ada dendam atau perselisihan di antara mereka. Semua itu karena Bayu memang harus melanjutkan pendidikan di kota yang jauh dan Lila tidak ingin menjalin hubungan jarak jauh. Akhirnya mereka memilih berpisah.Jika ditanya soal perasaan, Lila bisa menjawab dia memang tidak lagi memiliki rasa cinta untuk Bayu, tetapi dia juga tidak membenci Bayu karena sejak dulu, Bayu selalu memperlakukannya dengan sangat baik.“Ekhm, Rafi sudah yaa. Sudah sore, Tante Lila dan Kakak Raka harus segera pulang,” sahut Bayu mengalihkan pembicaraan, khawatir membuat Lila merasa tidak nyaman.Meskipun tampak sedikit cemberut, Rafi akhirnya diam. Mereka pun berpisah sore itu.**"Bu … Ay
"Dasar perempuan nggak tahu diri." "Pantas saja ditinggal suami." "Semoga segera dapat karma, kok ada sih saudara sejahat itu?" Malam itu, layar ponsel Lila terus berkedip. Notifikasi dari media sosial menumpuk, komentar-komentar pedas, sindiran, bahkan fitnah yang terus disebarkan Rika dan Mila. Jari-jarinya gemetar setiap kali melihat satu per satu komentar itu. "Ya Allah, sampai kapan semua ini?" Rasa sakit akibat pengkhianatan itu belum kering, sekrang ditambah dengan fitnah yang menyebar dengan cepat. Lila menutup layar ponselnya cepat-cepat. Rasanya dadanya sesak sekali. Di tengah rasa terpojok itu, ponselnya kembali bergetar. Kali ini bukan notifikasi komentar, melainkan pesan dari Bayu. [Jangan baca komentar. Fokus ke langkahmu sendiri. Mereka bisa ngomong apa saja, tapi kebenaran nggak akan hilang hanya karena suara mereka lebih keras.] Lila memandang pesan itu lama. Ada ketenangan aneh yang merambat di dadanya. Jemarinya sempat ragu, tapi akhirnya ia membalas. [Apa ka
"Sudah, Bu. Tinggal tunggu panggilan sidang pertama, nanti akan ada pemberitahuan lebih lanjut," kata petugas itu sopan."Terima kasih, Pak." Lila mengangguk lemah. Rasanya berat, tapi juga sedikit lega. Lila yang sejak tadi wajahnya tegang akhirnya menyerahkan berkas terakhir di loket pendaftaran. Petugas mengangguk dan memberi tanda terima sederhana."Bismillah ya Allah, semoga semua berjalan lancar," gumam Lila lirih. Berharap semua akan berjalan lancar ke depannya. Ketika melangkah keluar, beberapa pasang mata masih terlihat menelanjanginya, karena insiden tadi. Tetapi kali ini tak menjadi pikiran Lila. Terserah orang mau bilang apa, yang penting dia sudah melakukan hal terbaik.Di luar gedung pengadilan, Bayu, menunggu dengan tangan di saku. Wajahnya tenang, tapi ada raut prihatin yang tidak bisa ia sembunyikan. Begitu melihat Lila keluar, ia tersenyum tipis."Kamu sudah selesai?" tanyanya pelan.Lila mengangguk. “Iya." Dia mengira Bayu sudah pergi, tetapi nyatanya pria itu ms