3
“Pak RT, saya mohon, tak ada yang perlu dibicarakan lagi. Sekarang juga, saya minta dua orang ini angkat kaki dari rumah saya!” suara Lila pecah, tapi tegas. Tangan Lila nampak gemetar saat menunjuk ke dua manusia yang telah menginjak harga dirinya sampai lumat. Semua warga yang tadi berkerumun sontak terdiam. Hanya terdengar suara jangkrik di malam itu. “Mbak Lila… ini rumah tangga, lho. Apa nggak sebaiknya dipikir lagi?” Pak RT berusaha hati-hati. Tapi sebelum pertanyaan itu sempat Di jawab, Imam langsung maju selangkah. Wajahnya kusut, matanya merah, pria itu langsung berhenti membantu Mila yanb masih kepanasan terkena teh yang ditumpahkan Lila. “Dek, kamu ngomong apa sih? Aku ini suamimu!” Suara Imam meninggi, seperti orang frustasi. "Aku ini suamimu, Dek," ucapnya lagi sembari memukul dadanya sendiri, terlihat jika dia amat frustasi. Lila menatap Imam lama. “Suami? Kalau benar suami, harusnya kamu jaga kehormatan istri, bukan malah berzina sama sepupuku sendiri!” Suara Lila bergetar tapi tajam, memotong malam yang sudah sesak ini. Imam terdiam. Wajahnya seperti orang dipukul telak. Beberapa warga mulai berbisik-bisik. “Ya Allah… jadi beneran toh…” suara ibu-ibu di belakang terdengar samar. Beberapa warga memang ada yang tak melihat langsung kejadian di kos itu. Imam akhirnya menghela napas berat. “Aku… aku khilaf, Dek. Maaf,” ucapnya begitu lirih. “Maaf?” Lila tersenyum miring. “Kamu kira semudah itu? Khilaf? Terus aku harus memaafkanmu, terus pura-pura semua baik-baik saja? Begitu, Mas?” Imam menunduk, tidak berani menatap Lila. "Tolong beri kesempatan aku sekali lagi, Dek. Aku janji akan memperbaiki semuanya." "Apa yang mau kamu perbaiki, Mas? Semua sudah hancur lebur. Aku tak menerima Pengkhianatan ini!" Mendengar jawaban dari Lila itu, tiba-tiba saja Imam maju dan berjongkok di depan Lila. "Stop, Mas! Jangan maju lagi, aku jijik!" "Tolong ampunilah aku, Dek. Aku berjanji tak akan mengulangi lagi," ucap Imam sambil terisak. "Apa pun yang kamu minta akan kuberikan. Sampai mati pun aku nggak mau pisah sama kamu." Mila di sebelah Imam juga mulai menangis tersedu. “Mbak… aku salah. Aku mohon—” “Diam! Jangan panggil aku Mbak!” teriakku tajam. Warga sampai sedikit terperanjat. Imam masih bersimpuh di depan Lila masih terus memohon. . “Dik… tolong. Sekali ini aja. Aku janji akan perbaiki semuanya. Aku nggak akan ulangi. Aku rela lakukan apa pun, asal kita nggak berpisah.” Lila mundur selangkah, jijik melihat suaminya itu. “Jangan dekati aku! Lihat dirimu, Mas! Laki-laki macam apa yang sanggup menghancurkan rumah tangganya sendiri begini?” Imam memegangi ujung baju Lila. “Dek… kumohon… jangan hancurkan rumah tangga kita.” “Rumah tangga ini sudah hancur, Mas. Bukan aku yang menghancurkan, tapi kamu!” suara Imam serak. Tiba-tiba Imam berbalik menunjuk Mila. “Ini semua gara-gara dia! Dia yang goda aku! Kalau dia nggak ada, rumah tangga kita nggak bakal rusak! Usir saja dia dari sini, Dek!” Warga langsung bersuara ramai. “Waduh… main salah-salahan sekarang…” Mila sontak mendongak. Matanya merah, wajahnya marah. “Hei! Jangan fitnah aku, Mas! Kamu yang selalu kirim pesan ke aku! Kamu yang mulai semua ini!” Imam berdiri, balas menatap tajam pada Mila. “Kamu yang goda aku dengan pakaianmu itu! Kamu sengaja datang ke rumah ini, pura-pura bantu Lila, padahal niatmu lain!” Lila hanya terdiam sembari tersenyum kecut. Membiarkan dua orang itu saling membuka aib sendiri di depan semua warga. Mila tiba-tiba menjerit, “Pokoknya aku nggak mau tahu, Mas! Kamu harus tanggung jawab! Kamu janji mau nikahin aku!” Warga sontak bersuara lebih heboh lagi. “Astaga… ini makin panas aja!” Imam tertawa miris. “Nikahin kamu? Hah! Perempuan kayak kamu? Jangan mimpi! Semua lelaki pasti mau istri baik-baik. Kalau modelmu? Ah, di luar sana banyak, Mil! Murahan!” “Kurang ajar!” Mila memekik, wajahnya merah padam. “Kamu lupa ya? Tiap malam merengek di chat, bilang cinta, bilang mau ceraikan Lila, bilang mau hidup sama aku? Sekarang kamu bilang aku murahan?” Mila memejamkan mata, hatinya benar-benar sudah remuk. Warga di sekitar hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala, beberapa ibu-ibu sibuk merekam dengan ponselnya. “Sudah!” Mila akhirnya bersuara lagi, lantang. “Aku tidak peduli kalian mau saling telanjangin aib masing-masing di sini. Yang jelas, aku tidak sudi melihat kalian lagi di rumah ini. Sekarang… pergi!” Imam menatap Lila dengan mata memohon. “Dek… kumohon.” “Pergi, Mas! Bawa juga dia!” Aku menunjuk Mila dengan tangan gemetar. "Jangan kotori rumahku!"Bab 11Begitu taksi berhenti di depan rumah megah itu, Lila dan Raka langsung disambut oleh seorang satpam yang sudah menunggu di depan gerbang. Senyum ramah mengembang di wajah pria berbadan tegap itu."Selamat pagi, Bu Lila. Silakan masuk. Pak Bayu sudah menunggu dari tadi," ucapnya sopan sambil mempersilakan Lila dan Raka melewati pagar hitam yang terbuka otomatis.Lila mengangguk pelan, masih canggung dengan suasana rumah yang benar-benar di luar dugaannya. Ia sempat melirik Raka, yang sedari tadi matanya berbinar melihat setiap sudut rumah Bayu.Bayu muncul dari teras, wajahnya lega begitu melihat kehadiran mereka. "Lila, Raka. Terima kasih banyak sudah datang," ucapnya, nada suaranya tulus sekali."Tidak apa-apa, Mas," jawab Lila singkat.Raka, tanpa beban apa pun, dengan polosnya, langsung berkomentar dengan suara keras, "Bu, seandainya Ayah kerja kayak Om Bayu, pasti enak, ya? Mobil banyak, rumah besar, uangnya juga pasti banyak!"Lila kaget dan malah spontan langsung memeloto
BAB 10"Bu, hari ini beneran libur kan sekolahnya?" Raka yang sudah mandi menghampiri ibunya. "Kan bukan sabtu minggu?"Lila segera menoleh ke arah putranya, "libur, Nak. Ada rapat katanya di sekolah."Mendengar jawaban dari sang ibu, Raka langsung bersorak. Seperti lumrahnya anak kecil yang begitu bahagia saat sekolahnya libur. "Raka main dulu ya Bu, di depan TV sambil nunggu sarapan."Lila tersenyum dan mengangguk, melihat Raka yang berjalan riang menuju ruang keluarga. "Berikan kebahagiaan selalu untuk anakku ya Allah." Dalam setiap detik tak lepas doa terucap.Tiba- tiba ponsel Lila bergetar di meja makan. Ia baru saja selesai menyiapkan sarapan untuk Raka ketika nama Bayu muncul di layar. "Hallo, Mas Bayu?" Lila mengangkat teleponnya, suaranya terdengar hati-hati.Hening sejenak di seberang karena Bayu belum bersuara."Lila … maaf ganggu. Rafi dari semalam demam, nggak mau makan, nyebut-nyebut namamu terus. Aku bingung harus gimana." Suara Bayu terdengar lelah tapi sopan. "Kamu
BAB 9"Ibu habis nangis ya?" Pertanyaan singkat dari Raka itu sukses membuyarkan lamunan Lila setelah sambungan telepon dengan ibunya terputus. "Kenapa Ibu nangis? Ibu sedih?"Bocah kecil itu kini berdiri tepat di depan ibunya, sembari mengusap pipi Lila yang memang masih basah. "Eh ... nggak ibu ini tadi kelilipan," jawab Lila sedikit gugup sembari berusaha menyajikan senyum untuk anaknya. "Ngapain Ibu sedih, kan Raka sudah sama ibu."Lila kemudian merengkuh Raka dalam pelukannya. Erat dipeluknya selama beberapa detik. Dalam hati dia berjanji tak akan membiarkan Raka melihatnya menangis lagi.Notifikasi ponsel berbunyi saat Lila baru saja selesai menyiapkan seragam untuk Raka. Ia sempat mengabaikannya, tapi dering kedua membuatnya terpaksa melihat ke layar.Ternyata itu adalah pesan dari Imam. Dua buah pesan langsung dibaca Lila.[Lila, aku nggak makan dari kemarin. Aku nggak bisa hidup tanpa kamu.][Rasanya aku ingin mati saja. Tanpa kamu aku benar-benar tak ada semangat hidup.]Ad
Bab 8Sementara itu, Lila yang masih mematung akhirnya angkat bicara, “Rafi, kok ngomongnya gitu?”“Emangnya kenapa? Kan kalau Tante jadi ibu baruku, nanti aku juga jadi punya kakak baru yang bisa diajak main,” jawab Rafi polos.Lila bingung harus menjawab apa. Dulu, dia dan Bayu selesai hubungan memang secara baik-baik. Tidak ada dendam atau perselisihan di antara mereka. Semua itu karena Bayu memang harus melanjutkan pendidikan di kota yang jauh dan Lila tidak ingin menjalin hubungan jarak jauh. Akhirnya mereka memilih berpisah.Jika ditanya soal perasaan, Lila bisa menjawab dia memang tidak lagi memiliki rasa cinta untuk Bayu, tetapi dia juga tidak membenci Bayu karena sejak dulu, Bayu selalu memperlakukannya dengan sangat baik.“Ekhm, Rafi sudah yaa. Sudah sore, Tante Lila dan Kakak Raka harus segera pulang,” sahut Bayu mengalihkan pembicaraan, khawatir membuat Lila merasa tidak nyaman.Meskipun tampak sedikit cemberut, Rafi akhirnya diam. Mereka pun berpisah sore itu.**"Bu … Ay
"Dasar perempuan nggak tahu diri." "Pantas saja ditinggal suami." "Semoga segera dapat karma, kok ada sih saudara sejahat itu?" Malam itu, layar ponsel Lila terus berkedip. Notifikasi dari media sosial menumpuk, komentar-komentar pedas, sindiran, bahkan fitnah yang terus disebarkan Rika dan Mila. Jari-jarinya gemetar setiap kali melihat satu per satu komentar itu. "Ya Allah, sampai kapan semua ini?" Rasa sakit akibat pengkhianatan itu belum kering, sekrang ditambah dengan fitnah yang menyebar dengan cepat. Lila menutup layar ponselnya cepat-cepat. Rasanya dadanya sesak sekali. Di tengah rasa terpojok itu, ponselnya kembali bergetar. Kali ini bukan notifikasi komentar, melainkan pesan dari Bayu. [Jangan baca komentar. Fokus ke langkahmu sendiri. Mereka bisa ngomong apa saja, tapi kebenaran nggak akan hilang hanya karena suara mereka lebih keras.] Lila memandang pesan itu lama. Ada ketenangan aneh yang merambat di dadanya. Jemarinya sempat ragu, tapi akhirnya ia membalas. [Apa ka
"Sudah, Bu. Tinggal tunggu panggilan sidang pertama, nanti akan ada pemberitahuan lebih lanjut," kata petugas itu sopan."Terima kasih, Pak." Lila mengangguk lemah. Rasanya berat, tapi juga sedikit lega. Lila yang sejak tadi wajahnya tegang akhirnya menyerahkan berkas terakhir di loket pendaftaran. Petugas mengangguk dan memberi tanda terima sederhana."Bismillah ya Allah, semoga semua berjalan lancar," gumam Lila lirih. Berharap semua akan berjalan lancar ke depannya. Ketika melangkah keluar, beberapa pasang mata masih terlihat menelanjanginya, karena insiden tadi. Tetapi kali ini tak menjadi pikiran Lila. Terserah orang mau bilang apa, yang penting dia sudah melakukan hal terbaik.Di luar gedung pengadilan, Bayu, menunggu dengan tangan di saku. Wajahnya tenang, tapi ada raut prihatin yang tidak bisa ia sembunyikan. Begitu melihat Lila keluar, ia tersenyum tipis."Kamu sudah selesai?" tanyanya pelan.Lila mengangguk. “Iya." Dia mengira Bayu sudah pergi, tetapi nyatanya pria itu ms