LOGIN"Ya Allah, apa semua ini benar?" Lila nampak begitu bimbang ketika baru sampai di depan pengadilan agama.
Map cokelat yang berisi dokumen kini digenggamnya erat. Kaki Lila melangkah menuju loket pendaftaran dan kemudian duduk menunggu antrian, bersama beberapa orang lainnya.
Drrt drrt!
Namun, sejak di dalam taksi online tadi, ponsel Lila memang terus bergetar.
"Siapa sih dari tadi kirim pesan?" Diambilnya benda pipih itu dari dalam tas.
"Astagfirullah!" Kata itu meluncur spontan diucapkan Lila, saat melihat apa yang tertera di layar.
Sebuah foto lama Lila diambil dari F******k, foto dirinya yang sedang tersenyum di pantai, diunggah tanpa izin.
'Dasar saudara berhati busuk, sepupu sendiri ditendang tanpa hormat dari rumahnya. Buat fitnah seolah ganggu suaminya.
Eh tapi wajar sih kalau suaminya meleng, soalnya dia jadi istri juga gak becus. Suka marah, gak perhatian, gak pernah hormat sama suami, tukang KDRT juga.
Perempuan macam apa sih ini?'
Tak hanya foto Lila saja yang diunggah di media sosial, tetapi juga disertakan video singkat antara Imam dan Lila saat bertengkar, ada juga foto wajah Mila yang lebam di bibir dan mata. Ia menuduh Lila telah mengusir Mila dengan kasar semalam, bahkan menyebut rumah tangga Lila hancur karena tak bisa merawat diri dan tak mampu melayani suami.
“Ibu kenapa?” tanya Raka polos saat melihat raut wajah Lila yang berubah.
Lila buru-buru menggelengkan kepala. “Nggak papa, Nak.”
"Mbak Rika? Kenapa kamu fitnah aku seperti ini?" gumam Lila dalam hati, tahu jika yang mengunggah semua itu ternyata Rika, kakak kandung Mila.
"Loh, bukannya itu perempuan yang di foto ini kan?" Suara lirih dari perempuan, yang duduk tak jauh dari Lila terdengar.
"Oh iya ... cantik sih tapi kelakuannya nggak banget!" Teman di sampingnya menimpali.
Raka menoleh bingung ke arah suara-suara itu, lalu menarik ujung baju Lila. “Bu, mereka ngomongin Ibu, ya?” tanyanya polos.
Lila hanya bisa mengelus kepala putranya, menahan air mata agar tak jatuh.
Suara-suara lirih lain dan tatapan tak enak terus dia rasakan di ruangan ini. Seolah dia seorang pendosa. Tangan Lila mengepal, rasanya dia ingin menjelaskan jika semua ini hanya fitnah, tetapi percuma.
"Lila?" Sebuah suara yang familiar, membuyarkan lamunan Lila. Sontak dia menoleh ke sumber suara.
"Mas Bayu?" Lila nyaris tak percaya dengan apa yang dia lihat.
Pria itu tak lain adalah Bayu, mantan pacar Lila saat SMA dulu, kini mendekat ke tempat Lila. "Aku dari tadi lihat kamu. Sepertinya kamu nggak nyaman disini."
Lila memaksakan senyum singkat untuk Bayu. "Ah tidak."
Sebuah waktu yang tidak tepat bertemu dia disini.
"Apa karena itu?" Bayu bertanya sembari menunjuk ke layar ponsel Lila yang masih menyala. Bayu berucap lagi dengan tenang, "Kalau fitnah sudah dilihat banyak orang, kamu harus lawan. Jangan diam."
Kata-kata yang dilontarkan oleh Bayu itu menusuk tepat di dada Lila. Dia ingin bicara, ingin menjelaskan semuanya, tapi tenggorokannya terasa kering. Apalagi sekarang, beberapa orang di kursi tunggu semakin terang-terangan memandang mereka.
Belum sempat Lila menanggapi ucapan Bayu, seorang wanita paruh baya, yang duduk tepat di depannya, menatap dengan tajam.
"Hei ... perempuan sundal," ucap ibu itu dengan sinis. "Ternyata kamu sudah punya pacar ya makanya mau cerai? Selingkuhan?!"
"Bu, tolong jangan sembarangan ngomong,” suara Lila bergetar.
"Kenapa? Malu, ya? Semua orang sudah tahu kelakuanmu!” perempuan itu makin keras bicara. "Dasar perempuan murahan!"
Raka langsung merapat ke tubuh Lila, memeluk pinggang ibunya erat-erat. “Ibu, jangan nangis,” bisiknya pelan, meski suaranya membuat Lila hampir runtuh.
Bayu yang sejak tadi berdiri di samping Lila, akhirnya maju setengah langkah. Suaranya tenang, tapi ada wibawa yang membuat orang-orang sekitar ikut terdiam.
“Bu," kata Bayu sopan. "Menyebar berita bohong di media sosial bisa kena pasal pencemaran nama baik. Itu ada hukumnya. Jangan fitnah orang di depan umum."
Ibu itu terdiam sesaat, mungkin tak menyangka ada yang berani menegur.
Bayu menambahkan lagi, "Sebaiknya jangan menyeret orang banyak dengan informasi yang belum tentu benar. Apalagi sampai memalukan orang lain di tempat umum."
Beberapa orang yang tadi menonton mulai berbisik-bisik. Ada yang manggut-manggut setuju. Si ibu langsung mendengus kesal dan pergi sambil melontarkan kata-kata tak jelas.
Suasana berangsur tenang. Lila masih menunduk, jantungnya belum kembali normal. Raka masih memeluknya erat, seolah tak mau dilepas.
“Terima kasih,” suara Lila hampir tak terdengar.
Bayu menatapnya sebentar, lalu tersenyum tipis. “Kamu nggak sendiri, Lila. Jangan biarkan mereka menekan kamu.”
"Lila … kamu siap?" suara Bayu terdengar pelan, hampir tenggelam oleh hiruk-pikuk koridor pengadilan pagi itu.Lila menoleh. Ia mengenakan blouse putih sederhana, wajahnya pucat tapi tegar. "Siap atau nggak, hari ini harus selesai, Mas."Bayu mengangguk pelan, lalu menggenggam tangan istrinya erat. "Kita udah sejauh ini. Apa pun hasilnya, kita jalan bareng."Lila tersenyum tipis. "Aku percaya, Mas. Tuhan nggak bakal kasih luka dua kali di tempat yang sama."Langkah mereka beriringan memasuki ruang sidang. Udara di dalam terasa berat, mencekam. Suara bisik-bisik kecil dari beberapa pengunjung membuat jantung Lila berdegup semakin kencang.Di seberang, Farah sudah duduk. Mata perempuan itu sembab, wajahnya tampak lelah. Gaun formal yang dikenakan tak mampu menutupi getar di ujung jarinya. Ia menunduk dalam, seperti tak sanggup menatap Bayu dan Lila.Ketika hakim memasuki ruangan, semua berdiri. Suasana hening total."Sidang hari ini akan membacakan putusan atas perkara hak asuh anak ata
"Mas… tanganku dingin banget," bisik Lila pelan di dalam mobil yang perlahan berhenti di depan gedung tinggi penuh cahaya. Dari luar, sorak sorai, lampu kamera, dan lantunan musik gala malam terasa begitu megah.Bayu menatapnya lembut. Ia menggenggam tangan istrinya erat. "Kamu nggak perlu takut. Kamu cuma datang untuk mengambil apa yang sudah lama jadi hakmu, pengakuan."Lila tersenyum kaku, matanya menatap pantulan dirinya di kaca jendela. Gaun biru pastel yang ia kenakan tampak sederhana di antara kilauan gaun para tamu lain yang glamor. Tapi di balik kesederhanaan itu, ada keyakinan yang tumbuh pelan-pelan."Aku dulu cuma ibu rumah tangga yang nulis di sela-sela anak tidur, Mas," ucapnya lirih. ,"Aku nggak pernah nyangka harus berdiri di ruangan sebesar ini."Bayu terkekeh pelan. Justru itu yang bikin kamu beda. Mereka menulis karena ingin dikenal, kamu menulis karena ingin sembuh.”Lila menatapnya dalam. “Kamu yakin aku kuat?”“Yakin banget,” jawab Bayu, menatap lurus ke matanya.
"Mas…” Suara Lila parau memecah sunyi pagi.Bayu baru saja menyeruput kopinya, ketika mendengar nada panik di ruang tengah. Ia segera menoleh dan mendapati Lila duduk di lantai, ponselnya bergetar tak berhenti, notifikasi terus berdenting bersahutan."Ada apa, Lil?" tanya Bayu cepat, mendekat.Lila menatap layar ponselnya dengan wajah pucat. "Aku… aku viral, Mas. Semua orang tahu. Lihat ini."Bayu jongkok di sebelahnya, menatap layar yang penuh dengan notifikasi dari media sosial: mention, DM, artikel berita.Judul-judulnya bertebaran di layar:“Aruna M Terungkap! Penulis Terkenal Ternyata Istri Pengusaha Lokal.""Lila Bayu, Perempuan yang Menulis dari Luka.""Kisah Nyata di Balik Novel ‘Kisah yang Bertahan di Antara Luka’."Sejak Dina memviralkan Lila kemarin, sampai pagi ini berita itu seakan terus menyebar. Lila masih begitu shock.Lila menggigit bibir, jemarinya gemetar. "Mas, aku takut … aku nggak siap jadi pusat perhatian begini."Bayu menarik napas panjang, lalu duduk di lanta
116"Rafi, jangan asal coret, Nak. Hurufnya harus rapat, biar nggak kebaca kayak ular lagi."Suara lembut Lila terdengar dari ruang tengah sore itu. Raka duduk di sebelah adiknya, membantu mengeja beberapa kata untuk pelajaran Bahasa Indonesia. Di atas meja, tumpukan kertas, pensil warna, dan satu mug susus hangat menebar aroma melati.Bayu baru pulang dari kantor, menaruh tasnya di sofa, dan tersenyum kecil."Wah, kelihatannya ruang belajar ini berubah jadi kelas mini, ya?"Lila menoleh sambil tersenyum. "Lebih ramai daripada sekolah, Mas. Muridnya dua, tapi cerewetnya kayak sepuluh.""Eh, itu siapa ya datang?" Raka menengok ke arah pintu begitu terdengar suara bel pintu.Lila bangkit, membuka pintu, dan langsung disambut pelukan hangat dari seorang perempuan muda."Mbak Lila! Aku dadakan ke sini, kangen Rafi sama Raka.""Dina!" Lila tertawa kecil. "Masuk, sini. Wah, udah lama banget kamu nggak mampir."Dina, adik Bayu, membawa tas kecil berisi hadiah, dua mobil-mobilan untuk anak-an
Bab 115Layar ponsel Lila masih menyala menampilkan foto Bayu dan Farah di rumah sakit. Ia menatapnya lama, hingga akhirnya pintu rumah terbuka. Bayu berdiri di ambang, wajahnya lelah, mata merah karena kurang tidur."Mas…"suara Lila pelan. "Aku lihat fotonya."Bayu menatap istrinya tanpa berkata apa-apa beberapa detik, lalu mendekat perlahan. "Itu nggak seperti yang kamu pikir," katanya pelan. "Farah beneran sakit, Li. Dokter bilang dia drop karena tekanan batin."Lila menunduk. "Aku nggak marah."Bayu mengerutkan kening. "Nggak marah?"Lila menggeleng. "Cuma sedih. Karena sepertinya kita semua udah terlalu capek saling menyakiti."Bayu memegang tangannya erat. "Aku tahu. Makanya aku mau kamu ikut besok. Kita jenguk dia bareng. Aku nggak mau lagi ada yang salah paham."Lila terdiam beberapa saat, menatap mata suaminya. "Kamu yakin aku boleh datang?""Bukan boleh, Li. Aku mau kamu datang. Supaya semuanya berakhir dengan baik."Lila mengangguk pelan. "Kalau itu memang yang terbaik, aku
"Mas, kamu baca ini?"Lila menunjukkan layar ponselnya pada Bayu. Di layar, ada unggahan dari akun anonim yang menuliskan:"Istri kedua, numpang kaya, sok alim tapi nggak becus urus anak."Bayu mengerutkan kening. "Aku udah lihat. Nggak usah dipikirin, Li. Mereka cuma cari perhatian."Lila menarik napas dalam. "Tapi orang-orang di komplek udah mulai bisik-bisik. Tadi waktu aku beli sayur aja, Bu Ratmi sempat nyeletuk—‘kalau bukan karena Bayu, Lila mana mungkin bisa tinggal di sini.’""Biarkan aja," ujar Bayu datar, menahan amarahnya. "Aku nggak mau kamu capek mikirin omongan orang. Mereka nggak tahu apa pun."Lila tersenyum tipis. "Aku nggak capek, Mas. Aku cuma… kasihan Rafi."Bayu menoleh cepat. "Rafi kenapa?"Lila menunduk, menatap ujung jarinya yang saling bertaut. "Tadi dia pulang sekolah, wajahnya murung. Aku tanya kenapa, katanya teman-temannya bilang aku ‘bukan ibu kandungnya’. Ada yang bilang aku cuma ikut numpang makan di rumah ayahnya."Bayu mengepalkan tangan di meja. "Kur







