LOGIN
“Kamu pilih saja yang kamu suka, Sayang. Aku sedang sibuk sekali. Aku percayakan semuanya padamu.”
Pesan singkat itu muncul di layar ponsel Nana, bersamaan dengan suara notifikasi yang dingin—nyaring, tapi terasa menusuk jantungnya. Ia menatap lama tulisan itu, matanya kehilangan cahaya, bibirnya membentuk senyum getir yang bahkan ia sendiri tak sadar tengah ia paksakan. “Selalu sibuk…” bisiknya pelan. Hari ini seharusnya jadi momen bahagia—hari di mana seorang calon pengantin memilih gaun impian sambil tersenyum cerah. Tapi butik mewah ini terasa kosong dan dingin. Tak ada tawa, tak ada tatapan hangat. Hanya ia, dan bayangan dirinya sendiri di cermin. Dikta, tunangannya, kini seorang manajer di perusahaan besar. Sejak itu, ‘sibuk’ menjadi alasan suci yang menenggelamkan semua janji manis mereka. “Silakan dicoba, Nona,” sapa seorang pelayan butik ramah, membuyarkan lamunannya. Wanita paruh baya itu menyodorkan sebuah gaun putih yang memantulkan cahaya lembut di bawah lampu kristal. Kainnya jatuh elegan, lembut bagai air yang mengalir. “Sederhana, tapi anggun,” ujar pelayan itu dengan tulus. “Seolah dibuat hanya untuk Anda.” Nana menyentuhnya pelan, jemarinya menelusuri renda di bagian lengan. Dalam cermin, ia melihat sosok yang cantik, tapi matanya kosong. Gaun itu indah—namun bukan kebahagiaan yang ia lihat di sana, melainkan kehampaan. “Cantik sekali, bukan?” tanya pelayan itu. “Iya…” Nana menunduk pelan. “Cantik.” Senyumnya samar, lalu ia menambahkan dengan suara hampir tak terdengar, “Terima kasih. Saya ambil yang ini.” Pelayan itu tersenyum hangat. “Calon suami Anda pasti sangat beruntung memiliki Anda.” Nana hanya menjawab dengan senyum kecil. Dalam hati, ia bergumam lirih—andai saja dia punya waktu untuk melihatku hari ini. Sore itu, langit Kota Andara berwarna jingga lembut. Udara hangat menyapu lembut kulitnya saat ia melangkah keluar dari butik. Tapi hatinya terasa dingin. Pesan terakhir Dikta masih terbuka di layar ponselnya. “Aku percayakan semuanya padamu…” ia mengulang kalimat itu getir. “Atau kau cuma tak peduli lagi?” Langkahnya terhenti di depan toko bunga kecil di sudut jalan. Aroma mawar merah yang semerbak membuatnya berhenti. Ia melangkah masuk, disambut denting lonceng kecil di atas pintu. “Mawar merah,” ujarnya lembut. “Yang paling segar. Buatkan satu buket, ya.” Pelayan toko tersenyum dan mulai menata bunga-bunga. Nana ikut membantu, tapi saat tangannya mencoba membetulkan posisi tangkai, duri tajam menusuk jarinya. “Aduh!” serunya lirih. Setetes darah muncul di ujung jarinya. “Maaf, Kak, hati-hati. Duri mawar memang suka bersembunyi,” ujar pelayan itu cepat sambil menyodorkan tisu. Nana menatap darah di jarinya, lalu tersenyum samar. “Iya… seperti duri yang selalu tersembunyi di balik keindahan.” Ada firasat aneh yang bergetar di dadanya. Perasaan dingin, samar—seperti pertanda buruk. Dan ia belum tahu, betapa benar firasat itu. Mobil Nana melaju membelah jalanan kota. Senja berganti malam, lampu-lampu mulai menyala. Tapi hatinya bergemuruh. Buket mawar merah di kursi penumpang tampak begitu kontras di antara kegelapan. “Kenapa perasaanku nggak enak begini…” gumamnya lirih, menggenggam setir erat. Sesampainya di basement apartemen Dikta, langkahnya terasa berat. Setiap denting langkah bergema di lorong sunyi. Lift terbuka, dan lorong panjang di depan matanya terasa terlalu sepi… terlalu sunyi. Lalu— Sebuah suara terdengar dari arah apartemen Dikta. “Kamu yakin main di sini? Kalau Nana datang gimana?” suara perempuan. Terlalu familiar. Suara Dikta menyusul, rendah tapi jelas, “Tenang aja. Dia pasti masih di butik. Kamu tahu sendiri kan kakakmu itu? Selalu lama kalau disuruh milih.” Nana membeku. Matanya mulai panas. Suara tawa itu—suara adiknya sendiri. Maudy. “Si lembut yang bodoh,” ucap Maudy disertai tawa kecil. Darah Nana mendidih. Tangannya bergetar saat menyentuh gagang pintu. Nafasnya berat, matanya berair, tapi hatinya dingin. Dengan satu gerakan cepat, ia membuka pintu. Dan dunia runtuh. Maudy duduk di pangkuan Dikta, keduanya tanpa sehelai benang pun, tertawa seperti sepasang kekasih sejati. Buket mawar di tangan Nana jatuh berantakan ke lantai—kelopak merah berserakan, seolah menumpahkan darahnya sendiri. Dikta membeku. Maudy menjerit kecil. “Nana—ini nggak seperti yang kamu lihat!” Dikta bersuara terbata. Nana melangkah maju, wajahnya memucat tapi matanya menyala. Tamparan keras mendarat di pipi Dikta, menggema di seluruh ruangan. “Bajingan!” Maudy mencoba mendekat, “Kak, tolong dengar dulu. Kami cuma—” “DIAM KAMU, PENGKHIANAT!” suara Nana pecah, histeris. Ia menampar wajah Maudy keras-keras. Maudy balas menatap tajam, suaranya meninggi. “Selalu Kak Nana yang sempurna! Yang disayang semua orang! Apa salahku kalau aku juga mau bahagia?!” Dikta langsung menampar Maudy, “Diam! Jangan tambah parah!” Nana menatap keduanya dengan jijik. “Kalian pantas untuk saling menghancurkan.” Air matanya jatuh deras, tapi nadanya tegas. “Pernikahan ini… batal.” “Nana! Jangan lakukan ini, Sayang!” Dikta berlutut, meraih tangannya dengan panik. “Aku khilaf, aku mohon… aku cinta kamu!” Nana menatapnya dingin. “Cinta?” ia menarik tangannya kasar. “Cinta yang kau buktikan di atas tubuh adikku sendiri?” Dikta terdiam, matanya memohon. Tapi Nana sudah selesai. “Semua berakhir di sini.” Ia berbalik dan berjalan keluar tanpa menoleh lagi. Mawar merah di lantai menjadi saksi bisu kebohongan yang terbongkar. Begitu pintu tertutup, Maudy mendekat ke Dikta yang masih tertegun. “Biarin aja dia pergi. Kita bisa nikah, kan, Kak? Aku cinta Kakak.” Dikta menatapnya dingin, lalu mendorongnya kasar. “Kamu gila?! Aku nggak bisa kehilangan Nana!” Maudy terkejut. “Kenapa? Apa yang dia punya dan aku nggak punya?” “Segalanya,” gumam Dikta pelan tapi penuh kebencian. “Jabatan, koneksi, semua yang aku punya sekarang karena dia! Kalau pernikahan ini batal, aku juga kehilangan pekerjaanku!” Wajah Maudy menegang. “Jadi... kamu cinta aku atau dia?” Dikta menatapnya dengan tawa sinis. “Cinta atau nggak cinta, itu urusan belakangan. Aku cuma ambil apa yang menguntungkan.” Air mata Maudy jatuh. Ia berbisik pelan, getir, “Aku cuma mau jadi seperti dia.” Dikta menatapnya tajam. “Kamu bukan dia. Kamu nggak akan pernah sebanding dengan Nadira Seraphine.” Dan di saat itu, kebencian baru tumbuh di hati Maudy—tajam seperti duri di balik mawar.Langit sore kota Andara diselimuti awan kelabu ketika mobil hitam berpelat luar negeri berhenti perlahan di depan rumah mewah milik keluarga Dikta. Dari dalam mobil itu, keluar sosok pria tinggi dengan jas abu gelap dan tatapan setajam belati. Wajahnya tampan, tetapi tanpa sedikit pun emosi — kaku, dingin, mematikan. Sepasang mata kelam itu menyapu halaman rumah seperti menilai medan perang sebelum eksekusi.Hansen Alphine.Nama yang membuat para pebisnis di Andara dan Kyar menunduk dalam diam. Pria yang dikenal sebagai raja bisnis, dingin, kejam, dan berkuasa. Ia tak perlu meninggikan suara untuk menebar ancaman; cukup dengan satu lirikan dan satu senyum tipisnya — senyum maut, begitu orang-orang menyebutnya — seseorang biasanya menghilang tanpa jejak.Dan kini, alasan kembalinya ke Andara bukan urusan bisnis.Melainkan Nadira Seraphine — adiknya, satu-satunya keluarga yang tersisa.Sudah beberapa hari Hansen tak mendapat kabar darinya. Telepon ta
Mentari pagi menyelinap malu-malu di antara celah tirai, menari lembut di wajah Alina yang masih terlelap di sisi Andreas. Cahaya hangat itu seolah bersekongkol dengan waktu untuk menyingkap rahasia yang tersimpan di balik wajah damai sang perempuan. Dalam keheningan kamar, hanya napas lembut Alina yang terdengar — dan di balik ketenangan itu, badai berputar di benak Andreas.Kenangan malam pertemuan pertama mereka menyeruak lagi, bagai film tua yang tak kunjung berhenti diputar dalam pikirannya.Andreas masih ingat betul malam itu — malam di kota Andara, kota yang tak pernah benar-benar tidur. Malam yang berawal dari urusan bisnis yang melelahkan, namun berakhir dengan sesuatu yang jauh lebih mengguncang.Di tengah riuhnya musik, gelak tawa, dan kilau lampu neon yang menari di dinding bar mewah itu, Andreas duduk sendiri. Sosoknya mencolok — jas hitam, tatapan tajam, aura yang membuat orang lain memilih memberi jarak. Ia tampak seperti seorang raja di ten
"Kamu gila? Aku sama sekali nggak nyentuh Nana. Yang nabrak dia bukan aku!” Maudy menjerit, suaranya penuh ledakan kemarahan yang dibuat-buat. Matanya menatap tajam ke arah Dikta, mencari celah untuk manipulasi berikutnya.Dikta sudah kehilangan akal. Ia melompat, meraih kerah Maudy seperti orang yang hanya punya satu jalan keluar: menuntut pertanggungjawaban. “Tapi kamu bersamaku! Kamu juga harus tanggung jawab. Kalau Hansen bunuh aku, kamu juga harus mati!” Napasnya terengah, nada suaranya penuh kepanikan yang membuatnya terdengar hampir konyol.Maudy tertawa, nada datar dan dingin. “Kalau kamu mati, ya mati aja. Jangan ajak-ajak aku.” Kata-kata itu seperti pisau halus—mencari titik lemah dan menelannya dengan pura-pura acuh.Mendengar itu, Dikta meledak. Tangannya mencengkeram leher Maudy sampai wanita itu meraung kesakitan. Maudy meronta, kedua tangannya memegang lengan Dikta, matanya menatap panik namun tetap mencari kata-kata yang bisa membalikkan suasana. “Lepas! Lepas, Dikta—s
Alina Vaughan.Ya, mulai detik ini, nama itu yang akan disandang oleh Agnetha Seraphine.Tidak ada lagi luka, tidak ada lagi tangis. Yang tersisa hanyalah kebahagiaan, kemewahan, dan kehidupan baru sebagai Nyonya Vaughan.Itulah janji Andreas—pria dingin berwibawa yang kini berdiri di sisinya dengan tatapan lembut yang tak bisa dijelaskan oleh logika.Alina menatap pria di hadapannya dengan mata yang masih diselimuti kebingungan.“Kamu... suamiku?” suaranya lirih, nyaris seperti bisikan.Andreas mengangguk perlahan.Wajahnya tetap tenang, namun di balik sorot matanya tersimpan badai yang tak bisa ditebak.“Aku... aku nggak ingat apa pun,” ucap Alina lirih, menunduk, seolah takut pada kenyataan yang tak bisa dipegang.Andreas menarik napas panjang, lalu berkata pelan, “Maafkan aku... karena telah lalai menjagamu. Karena kelalaianku, kamu harus mengalami kondisi seperti ini. Tapi percayalah, masa lalu itu tak seindah masa depan yang akan kita jalani bersama.”Alina menatapnya lama. Jema
Mentari siang membakar kulit, tapi Dikta tak merasakannya. Ia berlari menyusuri jalanan sepi itu, kembali ke tempat di mana hidupnya berubah menjadi neraka. Lokasi kecelakaan itu kini tampak seperti altar pengorbanan, mengingatkannya akan hukuman yang menantinya. "Sial! Sial!" umpat Dikta, suaranya penuh amarah dan ketakutan. Ia menyusuri setiap jengkal tanah, matanya liar mencari Nana, bukan karena peduli, tapi karena nyawanya sendiri yang terancam. Ia menghampiri setiap orang yang lewat, wajahnya memelas dan penuh kepanikan. "Hei, kau! Apa kau melihat seorang wanita muda lewat sini? Tubuhnya mungil, rambutnya panjang cokelat, matanya cokelat, kulitnya putih..." Dikta membentak seorang ibu yang sedang menggendong anaknya, tidak peduli dengan tatapan terkejut ibu itu. Ibu itu menggelengkan kepala dengan ketakutan. "Tidak, Tuan. Saya tidak melihat siapa-siapa." Dikta beralih ke seorang bapak yang sedang berjalan santai, menarik kerah bajunya dengan kasar. "Kau! Jawab yang benar! A
Di dalam ruang operasi yang serba putih dan dingin, Dokter Bram dan tim medisnya bekerja dengan cekatan dan penuh konsentrasi. Lampu operasi yang terang benderang menyoroti tubuh Nana yang terbaring lemah di atas meja operasi.Dokter Bram mengenakan masker dan sarung tangan steril, tatapannya fokus pada monitor yang menampilkan detak jantung dan tekanan darah Nana. Ia memeriksa kembali peralatan medis dan memastikan semuanya siap digunakan."Tekanan darah menurun, Dokter," ujar seorang perawat dengan nada khawatir."Siapkan epinefrin," perintah Dokter Bram dengan nada tenang, namun tegas.Seorang perawat segera menyuntikkan epinefrin ke dalam infus Nana. Detak jantung Nana mulai stabil, namun kondisinya masih sangat kritis."Kita harus bertindak cepat. Waktu kita tidak banyak," ujar Dokter Bram dengan nada mendesak.Ia mengambil pisau bedah dan mulai membuat sayatan di perut Nana dengan hati-hati. Asistennya membantu membuka lebar luka sayatan, memperlihatkan rahim Nana yang membengka







