LOGINPikiran Nana berkecamuk, ucapan Dikta dan Maudy terus terngiang di telinganya. "Si suci yang nggak mau disentuh..."
"Kolot..." Kata-kata itu merobek egonya, membuatnya merasa hina dan bodoh. Dengan perasaan frustrasi yang memuncak, Nana memutuskan untuk pergi ke bar. Musik dentuman keras dan aroma alkohol langsung menyambutnya saat ia memasuki bar yang remang-remang. Nana duduk di bar stool dan memesan minuman keras. Satu gelas, dua gelas, ia terus meneguknya hingga kepalanya terasa pening. Egonya tercabik-cabik. Selama ini, ia selalu menjaga dirinya untuk Dikta, namun apa yang ia dapatkan? Pengkhianatan yang menyakitkan. Air mata mulai mengalir di pipinya, bercampur dengan sisa-sisa minuman yang tumpah. "Sialan kau, Dikta!" Nana berteriak tiba-tiba, membuat beberapa pengunjung bar menoleh ke arahnya. "Bagaimana bisa kau mengkhianatiku? Aku yang selama ini mendukungmu, membantumu meraih semua yang kau inginkan! Kau itu nggak tahu diri!" Nana tertawa sinis, lalu kembali meneguk minumannya. "Dikta... Dikta... Kau pikir kau siapa? Kau itu cuma benalu yang menempel padaku! Tanpa aku, kau bukan siapa-siapa!" Semakin banyak ia minum, semakin kacau pula ucapannya. Nana mulai memaki-maki Dikta dengan kata-kata kasar dan lucu. "Dasar Dikta nggak tahu diri! Mukanya aja pas-pasan, sok-sokan selingkuh! Nggak sadar apa kalau yang naksir aku itu antri panjang kayak ular!" Nana berteriak sambil mengacungkan jari tengahnya ke udara. "Dan Maudy... Adik macam apa kau? Menusukku dari belakang! Dasar ular berkepala dua!" Nana tertawa terbahak-bahak, lalu menangis sesenggukan. Beberapa pengunjung bar mulai merasa risih dengan kelakuan Nana. Seorang bartender mendekatinya dan bertanya, "Nona, apa Anda baik-baik saja? Sepertinya Anda sudah terlalu banyak minum." Nana menatap bartender itu dengan mata sayu. "Aku? Aku baik-baik saja! Aku cuma sedang merayakan kebodohanku sendiri!" Nana kembali tertawa, lalu memesan minuman lagi. Malam itu, Nana benar-benar larut dalam kesedihan dan amarahnya. Ia melampiaskan semua kekecewaan dan sakit hatinya dengan minum dan memaki-maki Dikta serta Maudy. Egonya hancur, namun setidaknya ia merasa sedikit lega bisa mengeluarkan semua unek-uneknya. Di tengah hiruk pikuk bar, seorang pria dengan aura misterius duduk di sebelah Nana. Pria itu memesan minuman dengan tenang, seolah tak terpengaruh oleh kebisingan di sekitarnya. Nana, yang sudah kehilangan kendali akibat alkohol, menoleh ke arah pria itu dengan tatapan menggoda. "Hai, tampan," sapa Nana dengan suara cadel. "Kamu sangat tampan dan tubuhmu... indah sekali." Pria itu hanya melirik Nana sekilas, lalu kembali fokus pada minumannya. Sikapnya dingin dan acuh tak acuh. Nana tidak menyerah. Ia bangkit dari bar stool dan mendekati pria itu. "Kenapa diam saja? Aku sedang mengajakmu bicara," kata Nana sambil menyentuh lengan pria itu. Pria itu menepis tangan Nana dengan kasar. "Maaf, Nona, saya tidak tertarik," jawabnya dengan nada dingin dan jijik. Nana terkejut dengan penolakan itu. "Kenapa? Kenapa kamu menolakku? Lihat aku, aku cantik, aku seksi!" Nana membusungkan dadanya, berusaha menarik perhatian pria itu. Pria itu menatap Nana dengan tatapan merendahkan. "Seksi? Bahkan dadamu rata begitu." Mendengar hinaan itu, Nana menyentuh kedua dadanya dengan bingung. "Kau buta ya? Aku punya dada montok seperti ini!" Tiba-tiba, Nana kehilangan keseimbangan dan hampir terjatuh. Dengan sigap, pria itu menangkap tubuh Nana. Dalam posisi yang canggung itu, Nana menarik wajah pria itu dan mencium bibirnya dengan kasar. Pria itu terkejut dan berusaha melepaskan diri, namun Nana terlalu kuat untuknya. Setelah beberapa saat, Nana melepaskan ciumannya. "Kau ini pria bukan sih?" tanya Nana dengan nada mengejek. "Atau jangan-jangan kau impotensi ya?" Pria itu terdiam sejenak, lalu menatap Nana dengan tatapan tajam. "Jangan pernah berkata seperti itu pada seorang pria, Nona," ucapnya dengan suara berat. Tanpa diduga, pria itu langsung mengangkat tubuh Nana dan memangku nya. Nana terkejut dan berusaha memberontak, namun pria itu terlalu kuat untuknya. Dengan langkah cepat, pria itu membawa Nana menuju sebuah kamar di belakang bar. "Hei! Mau dibawa kemana aku?" teriak Nana panik. Namun, pria itu tidak menjawab dan terus melangkah. Di dalam kamar, pria itu menurunkan Nana ke tempat tidur dengan kasar. Nana berusaha bangkit dan melarikan diri, namun pria itu menahannya. "Kau mau apa?" tanya Nana dengan nada ketakutan. Pria itu mendekatkan wajahnya ke wajah Nana dan berbisik, "Aku akan menunjukkan padamu, apa yang bisa dilakukan oleh pria impoten." Di sisa kesadarannya, Nana menyesali kata-kata yang terlontar pada pria asing itu. Ia mencoba meminta maaf, namun pria itu menolak mentah-mentah. "Terlambat, Nona," desis pria itu dengan nada dingin. "Kau sembarangan menciumku dan menuduhku impoten. Sekarang, kita buktikan tuduhanmu itu." Tiba-tiba, bayangan pengkhianatan Dikta dan Maudy kembali menghantui pikirannya. Nana tersenyum kecut. "Baiklah, tunjukkan saja kemampuanmu. Aku tidak takut," tantangnya. Pria itu menyeringai, seringai predator yang siap menerkam mangsanya. "Jangan menyesal," bisiknya. "Untuk apa menyesal? Jangan buang waktuku!" balas Nana dengan nada menantang. Pria itu mendekatkan wajahnya dan mencium bibir Nana perlahan. Awalnya ragu, Nana membalas ciuman itu. Semakin lama, ciuman itu semakin dalam dan menuntut, melupakan segala kesedihan dan kekecewaan yang baru saja dialaminya. Setelah beberapa saat, pria itu menghentikan ciumannya dan menatap Nana dengan tatapan menyelidik. "Apa kamu masih perawan?" Suara itu berat, menusuk indra pendengaran Nana yang tengah terbuai dalam ciuman. Nana mendecih, senyum sinis terukir di bibirnya. "Kau yang belum mengenal sentuhan wanita, kurasa," desisnya, matanya menantang pria asing di hadapannya. Pria itu menyipitkan mata, jemarinya yang kasar mengusap lembut lekuk wajah Nana. "Meragukan kemampuanku, Nona?" bisiknya, nada suaranya rendah dan mengancam. "Ciumanmu saja kaku, tak membangkitkan bara asmara," ejek Nana, menusuk tepat di egonya. "Kau yakin berani berkata demikian?" tantang pria itu, matanya berkilat penuh nafsu. "Terlalu banyak bicara!" balas Nana, hatinya berdebar menantang bahaya. Pria itu menyeringai, seringai predator yang siap menerkam mangsanya. "Kau akan memohon ampun, Nona. Ingatlah itu," ancamnya, suaranya berbisik di telinga Nana. "Cih... buktikan saja!" Nana menarik leher pria itu, bibirnya menyambar bibir sang pria dalam ciuman yang membara. Ciuman yang awalnya lembut, kini berubah menjadi tarian liar penuh gairah. Nana membalikkan keadaan, kini ia berada di atas tubuh pria itu, menindihnya dengan sensual. "Aku pemimpin permainan ini," bisiknya lirih, menggigit daun telinga pria itu dengan nakal. Pria itu menegang, sensasi yang memabukkan menjalar ke seluruh tubuhnya. "Gadis nakal," desahnya, menikmati setiap sentuhan Nana. "Ah..." Lenguhan keduanya menggema di ruangan itu, menyatu dalam irama nafsu yang membara. "Seperti itu..." desah sang pria, menikmati setiap detik permainan ini. Nana tersenyum menatap pria di bawahnya. Jemarinya yang lentik menyentuh dada bidang pria itu, perlahan membuka kancing kemejanya satu per satu dengan bibirnya. Pria itu tersenyum puas saat Nana melepaskan sabuknya, membebaskan hasrat yang terpendam. Keadaan kembali berbalik, pria itu menindih Nana, mengikat kedua tangannya dengan sabuk, mengangkatnya ke atas hingga Nana tak mampu melawan. Bibirnya melumat bibir Nana dengan penuh gairah, lalu turun ke leher jenjangnya. "Ah..." Lenguhan Nana terdengar menggema, memecah keheningan malam. "Memohonlah!" perintah sang pria, suaranya serak karena nafsu. "Ssttt... ah... aku mohon! Aku tak tahan..." desah Nana, tubuhnya bergetar hebat. Pria itu tersenyum puas. "Kau tak akan melupakan malam ini, Nona. Nikmatilah," bisiknya, sebelum kembali menyesap setiap inci tubuh Nana. Lenguhan dan erangan terus terdengar, keduanya terhanyut dalam lautan nafsu yang tak bertepi. Mereka dimabuk cinta semalam, melupakan segala logika dan akal sehat. "Sial... nikmat sekali," desah Nana lirih, merasakan sentuhan pria itu semakin dalam, membakar setiap inci tubuhnya. Keringat membasahi kedua tubuh yang kini telah menyatu dalam tarian terlarang. Di luar, hujan lebat mengguyur bumi, namun di dalam ruangan itu, panas membara menggerogoti keduanya, melenyapkan akal sehat. "Siapa namamu?" tanya pria itu di tengah permainan, suaranya serak dan bergetar. "Nana... aku Nana... ah," jawab Nana dengan napas tersengal, kenikmatan menjalar ke seluruh tubuhnya. "Nana, nama yang lembut, namun gairahmu membara," bisik pria itu, matanya menatap Nana dengan penuh minat. Nana tersenyum sinis, merasakan kenikmatan surga dunia yang diberikan pria itu. "Kenapa?" tantangnya, bibirnya bergetar menahan desahan. Pria itu menjawab, "Liar... kau gadis yang begitu liar, seperti api yang membakar." Nana mengalungkan tangannya di leher pria itu, matanya menantang. "Kau suka?" bisiknya, suaranya menggoda dan penuh hasrat. Pria itu meraih bibir Nana kembali, menciumnya dengan penuh gairah. "Kau membuatku terkesan, Nona. Kau tak akan terlupakan," desahnya di sela ciuman. Keduanya semakin dimabuk oleh cinta sesaat yang membara. "Memohon lah, sayang," bisik pria itu, suaranya penuh dominasi. "Aku mohon... lebih cepat... yeah... ah!" desah Nana, tubuhnya bergetar hebat dalam puncak kenikmatan. Malam itu pun Nana terlelap di pelukan sang pria asing bersama sisa-sisa dosa yang baru mereka ciptakan.Langit sore kota Andara diselimuti awan kelabu ketika mobil hitam berpelat luar negeri berhenti perlahan di depan rumah mewah milik keluarga Dikta. Dari dalam mobil itu, keluar sosok pria tinggi dengan jas abu gelap dan tatapan setajam belati. Wajahnya tampan, tetapi tanpa sedikit pun emosi — kaku, dingin, mematikan. Sepasang mata kelam itu menyapu halaman rumah seperti menilai medan perang sebelum eksekusi.Hansen Alphine.Nama yang membuat para pebisnis di Andara dan Kyar menunduk dalam diam. Pria yang dikenal sebagai raja bisnis, dingin, kejam, dan berkuasa. Ia tak perlu meninggikan suara untuk menebar ancaman; cukup dengan satu lirikan dan satu senyum tipisnya — senyum maut, begitu orang-orang menyebutnya — seseorang biasanya menghilang tanpa jejak.Dan kini, alasan kembalinya ke Andara bukan urusan bisnis.Melainkan Nadira Seraphine — adiknya, satu-satunya keluarga yang tersisa.Sudah beberapa hari Hansen tak mendapat kabar darinya. Telepon ta
Mentari pagi menyelinap malu-malu di antara celah tirai, menari lembut di wajah Alina yang masih terlelap di sisi Andreas. Cahaya hangat itu seolah bersekongkol dengan waktu untuk menyingkap rahasia yang tersimpan di balik wajah damai sang perempuan. Dalam keheningan kamar, hanya napas lembut Alina yang terdengar — dan di balik ketenangan itu, badai berputar di benak Andreas.Kenangan malam pertemuan pertama mereka menyeruak lagi, bagai film tua yang tak kunjung berhenti diputar dalam pikirannya.Andreas masih ingat betul malam itu — malam di kota Andara, kota yang tak pernah benar-benar tidur. Malam yang berawal dari urusan bisnis yang melelahkan, namun berakhir dengan sesuatu yang jauh lebih mengguncang.Di tengah riuhnya musik, gelak tawa, dan kilau lampu neon yang menari di dinding bar mewah itu, Andreas duduk sendiri. Sosoknya mencolok — jas hitam, tatapan tajam, aura yang membuat orang lain memilih memberi jarak. Ia tampak seperti seorang raja di ten
"Kamu gila? Aku sama sekali nggak nyentuh Nana. Yang nabrak dia bukan aku!” Maudy menjerit, suaranya penuh ledakan kemarahan yang dibuat-buat. Matanya menatap tajam ke arah Dikta, mencari celah untuk manipulasi berikutnya.Dikta sudah kehilangan akal. Ia melompat, meraih kerah Maudy seperti orang yang hanya punya satu jalan keluar: menuntut pertanggungjawaban. “Tapi kamu bersamaku! Kamu juga harus tanggung jawab. Kalau Hansen bunuh aku, kamu juga harus mati!” Napasnya terengah, nada suaranya penuh kepanikan yang membuatnya terdengar hampir konyol.Maudy tertawa, nada datar dan dingin. “Kalau kamu mati, ya mati aja. Jangan ajak-ajak aku.” Kata-kata itu seperti pisau halus—mencari titik lemah dan menelannya dengan pura-pura acuh.Mendengar itu, Dikta meledak. Tangannya mencengkeram leher Maudy sampai wanita itu meraung kesakitan. Maudy meronta, kedua tangannya memegang lengan Dikta, matanya menatap panik namun tetap mencari kata-kata yang bisa membalikkan suasana. “Lepas! Lepas, Dikta—s
Alina Vaughan.Ya, mulai detik ini, nama itu yang akan disandang oleh Agnetha Seraphine.Tidak ada lagi luka, tidak ada lagi tangis. Yang tersisa hanyalah kebahagiaan, kemewahan, dan kehidupan baru sebagai Nyonya Vaughan.Itulah janji Andreas—pria dingin berwibawa yang kini berdiri di sisinya dengan tatapan lembut yang tak bisa dijelaskan oleh logika.Alina menatap pria di hadapannya dengan mata yang masih diselimuti kebingungan.“Kamu... suamiku?” suaranya lirih, nyaris seperti bisikan.Andreas mengangguk perlahan.Wajahnya tetap tenang, namun di balik sorot matanya tersimpan badai yang tak bisa ditebak.“Aku... aku nggak ingat apa pun,” ucap Alina lirih, menunduk, seolah takut pada kenyataan yang tak bisa dipegang.Andreas menarik napas panjang, lalu berkata pelan, “Maafkan aku... karena telah lalai menjagamu. Karena kelalaianku, kamu harus mengalami kondisi seperti ini. Tapi percayalah, masa lalu itu tak seindah masa depan yang akan kita jalani bersama.”Alina menatapnya lama. Jema
Mentari siang membakar kulit, tapi Dikta tak merasakannya. Ia berlari menyusuri jalanan sepi itu, kembali ke tempat di mana hidupnya berubah menjadi neraka. Lokasi kecelakaan itu kini tampak seperti altar pengorbanan, mengingatkannya akan hukuman yang menantinya. "Sial! Sial!" umpat Dikta, suaranya penuh amarah dan ketakutan. Ia menyusuri setiap jengkal tanah, matanya liar mencari Nana, bukan karena peduli, tapi karena nyawanya sendiri yang terancam. Ia menghampiri setiap orang yang lewat, wajahnya memelas dan penuh kepanikan. "Hei, kau! Apa kau melihat seorang wanita muda lewat sini? Tubuhnya mungil, rambutnya panjang cokelat, matanya cokelat, kulitnya putih..." Dikta membentak seorang ibu yang sedang menggendong anaknya, tidak peduli dengan tatapan terkejut ibu itu. Ibu itu menggelengkan kepala dengan ketakutan. "Tidak, Tuan. Saya tidak melihat siapa-siapa." Dikta beralih ke seorang bapak yang sedang berjalan santai, menarik kerah bajunya dengan kasar. "Kau! Jawab yang benar! A
Di dalam ruang operasi yang serba putih dan dingin, Dokter Bram dan tim medisnya bekerja dengan cekatan dan penuh konsentrasi. Lampu operasi yang terang benderang menyoroti tubuh Nana yang terbaring lemah di atas meja operasi.Dokter Bram mengenakan masker dan sarung tangan steril, tatapannya fokus pada monitor yang menampilkan detak jantung dan tekanan darah Nana. Ia memeriksa kembali peralatan medis dan memastikan semuanya siap digunakan."Tekanan darah menurun, Dokter," ujar seorang perawat dengan nada khawatir."Siapkan epinefrin," perintah Dokter Bram dengan nada tenang, namun tegas.Seorang perawat segera menyuntikkan epinefrin ke dalam infus Nana. Detak jantung Nana mulai stabil, namun kondisinya masih sangat kritis."Kita harus bertindak cepat. Waktu kita tidak banyak," ujar Dokter Bram dengan nada mendesak.Ia mengambil pisau bedah dan mulai membuat sayatan di perut Nana dengan hati-hati. Asistennya membantu membuka lebar luka sayatan, memperlihatkan rahim Nana yang membengka







