“Ikut aku, Renita!!” Seru Wijaya kemudian mendorong tubuh Renita untuk masuk ke dalam mobil. “Apa-apaan kamu, Wijaya?!” Bentak Renita tak terima Wijaya hanya diam, tak menggubris teriakan Renita. Ia kemudian ikut masuk ke kursi pengemudi, lalu segera melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. “Kamu mau bawa aku ke mana kamu, Wijaya?? Hentikan mobilnya sekarang juga!!! Kamu itu udah gak punya hak untuk bawa aku seperti ini!!” Teriak Renita sedikit panik. Wijaya tersenyum menyeringai, menoleh sejenak pada Renita yang menatapnya tajam, “Kenapa tidak? Kamu saja bebas melakukan apa yang kamu mau kan, maka aku juga bisa bebas melakukan apa yang aku mau!!” Jawab Wijaya. Napas Renita jadi memburu, ia sekarang benar-benar takut dengan Wijaya yang bisa saja melakukan sesuatu di luar kendali. “Renita, Renita... Aku sudah berusaha membujuk kamu dengan baik-baik. Tapi, kamu sepertinya memang sudah tidak bisa di ajak bicara baik-baik!” Ucap Wijaya lagi, membuat Renita semakin ketakutan. “Janga
“Mas, kita mau ke mana?” Tanya Indri penasaran. Kini, mereka berada di dalam taksi yang sama. Wijaya juga tak bisa membawa mobilnya, karena dalam isi surat perjanjian pra nikah itu memang semua aset termasuk mobil dan segalanya akan menjadi hak milik Renita apabila Wijaya sampai terbukti berselingkuh. “Sekarang kita ke rumah kamu,” Jawab Wijaya, santai. Indri terkejut mendengar ucapan Wijaya, “Ke rumahku, Mas? Kamu mau tinggal sama aku?” Tanyanya lagi memastikan, raut wajahnya begitu bahagia. Wijaya mengangguk. “Untuk sementara waktu, sampai Renita mau melunakkam hatinya dan mau memaafkan aku!” Jawabnya. “Emang sebenernya gimana sih, Mas? Kok bisa kamu di usir dari rumah kamu sendiri? Terus kenapa kamu juga gak bawa mobil?!” Tanya Indri lagi, penasaran. Indri sangat yakin jika Wijaya tak akan mungkin bisa miskin. la menebak pasti hanya Renita lah yang merencanakan itu semua. Wijaya hanya diam, matanya menatap lurus ke depan. Memikirkan bagaimana caranya agar Renita mau memaafkan
“Apa kurang jelas perkataan saya tadi? Rumah ini bukan lagi milik Pak Wijaya!! Rumah ini adalah milik Mama saya. Jadi, Silakan Tante bawa aja ini laki-laki, urus Pak Wijaya dengan baik ya!!” ucap Galih mempertegas kemudian memanggil asisten rumah tangga yang sudah ia suruh untuk membereskan semua pakaian Wijaya. “Bi, tolong berikan koper itu pada wanita itu!” Titah Galih pelan, membuat Bi Nun mengangguk pelan. “Apa apaan ini, Galih?! Kenapa kamu usir Papa kamu sendiri?!” Tanya Indri heran. “Loh? Katanya Tante mau sama Papa? Ya sana bawa aja Papa pergi, kurang baik apa coba? Mama udah gak mau sama Papa. Itu kan yang Tante inginkan?” Jelas Galih seraya tersenyum sinis ke arah Indri. Indri menatap Wijaya serius untuk meminta penjelasan lebih lanjut. Namun, pria itu hanya diam, Wijaya benar-benar seperti orang bodoh yang tak bisa bersuara membela dirinya lagi. “Udah, cepetan! Sana bawa Papa! Semua milik Papa buat Tante deh.” Ucap Galih lagi kemudian mendorong koper itu ke arah Indri.
{Mas, kamu di mana Mas! Gawat, kita harus ketemu, Mas!} Indri mengirim pesan pada Wijaya.Namun sampai sepuluh menit belum ada tanda-tanda balasan dari lelaki itu.Gigi Indri gemeretak kesal, bagaimana kalau dia viral di sosial media?“Pak, lebih cepat lagi ya, Pak!” Titah Indri pada supir taksi.Tujuan Indri saat ini adalah ke rumah Wijaya. Mau tak mau ia harus mencari pria itu di sana. Tak peduli jika nantinya bertemu dengan Renita. Yang penting sudah bertemu dengan Wijaya.Sampai di depan gerbang rumah yang besar itu, Indri akhirnya menghela napas lega.“Rumah masa depan... Huhh, gak sabar banget jadi nyonya di sini,” Gumam Indri kemudian berjalan ke depan gerbang usai membayar taksi.“Permisi...” Teriak Indri sambil mengetuk pintu pagar.Namun, beberapa menit belum ada tanda-tanda satpam menghampirinya. la pun mencari bel yang ternyata ada di pojok pintu gerbang.Dua, bahkan sampai lima kali Indri memencet bel, tapi tak kunjung ada seseorang yang datang membukakan gerbang.“Satpam
“Ya maaf, Ma. Mila kan hanya nanya saja.” Ucap Mila merasa tak enak hati. la pun segera masuk ke dalam rumah dan menuju kamar.Di dalam kamar, ternyata Rian baru saja selesai mandi. Sampai saat ini, laki-laki itu belum mau membuka hati untuk istrinya.“Mas, mobil Mama mogok katanya,” ucap Mila memberitahu suaminya.Mata Rian memicing. “Biarin aja, gak usah ikut campur urusan Mama!” Jawabnya ketus.Deg!Mila terperanjat. Hatinya seketika terasa perih mendengar perkataan sang suami.“Ikut campur? Aku cuma kasih tau Mas, aku gak ada ikut campur apa pun,” Balas Mila denga ketus.“lya. Pokoknya jangan pernah ikut campur urusan Mama. Aku kasih tau dari sekarang!” Ujar Rian kemudian segera keluar dari dalam kamar, meninggalkan Mila yang tertegun.Mila menatap pintu kamar yang sudah di tutup Rian itu dengan helaan napas kasar.“Sampai kapan begini sih? Lama-lama aku gak tahan menjalani rumah tangga ini!” Gumam Mila.Sebagai wanita, ia tentu juga ingin di perlakukan dengan baik oleh suaminya.
“Usir Papamu dari sini, Nak. Mama gak rela rumah penuh perjuangan ini di injak oleh lelaki yang sudah menodai hati Mama dengan wanita lain, Mama gak ikhlas Galih, Mama gak relaaaa...” Titah Renita, tangisan yang sejak tadi ia tahan akhirnya tumpah di dada putranya. Mata Galih seketika menyorot tajam ke arah Wijaya. Satu tangannya mengusap lembut punggung Renita, tetapi satu tangannya lagi mengepal dengan erat. la sungguh geram dengan perbuatan Wijaya. Demi apa pun Galih tak pernah melihat Renita serapuh seperti sekarang. Dari getar suara Ibunya saja sudah bisa terbaca bagaimana rasa sakit yang saat ini di alami oleh Renita. “Papa gak tuli kan? Cepat pergi sebelum aku yang bertindak kasar, Pa!” ucap Galih dengan tajam. Wijaya langsung berlutut di hadapan Galih dan Renita, “Maa... Maafkan, Papa, Ma. Papa sadar Papa sudah menyakiti Mama. Tolong kasih kesempatan Papa satu kali lagi, Ma.” Suara Wijaya begitu sendu membuat Galih mencebik kesal. “Harusnya dari awal Papa mikir kalau deng