Share

04. Sebuah Pilihan

"Rin, lo kenapa? Kenapa diem aja?"

Tidak mendapat jawaban, Tiko mengambil kertas dari tangan Karina dan membacanya.

Akhirnya dia paham apa yang membuat Karina menjadi diam setelah membaca formulir tersebut. "Rin, kalau lo mikirin ini mending--"

"Gak, gak, Ti. Gue udah banyak banget ngerepotin lo, dan gue gak mau lagi lebih ngerepotin lo, Ti." Karina memotong ucapan Tiko karena tahu apa yang akan dikatakan oleh sahabatnya itu.

"Tapi lo punya uang segini banyak dari mana dalam waktu singkat?"

Yang dikatakan oleh Tiko benar, Karina tidak memiliki uang sebanyak itu untuk membayar biaya operasi sang ibu. Dia memang memiliki simpanan uang, tetapi nominalnya sangat jauh dari yang diperlukan. Menerima kembali bantuan Tiko pun Karina sangat merasa sungkan karena sudah sering membuat sahabatnya itu repot.

"Pake uang gue aja dulu, ya, Rin," bujuk Tiko.

Karina menggeleng, "Enggak, Tiko. Kalau gue terima bantuan lo lagi, gue ngerasa gue itu cuma beban buat lo doang. Lagian uang yang udah lo kumpulin susah payah itu buat biaya lo lanjut kuliah," tolaknya cepat.

"Ya terus lo mau nyari duit ke mana? Emang lo punya temen yang mau ngasih lo minjem uang?" tanya Tiko dengan suara sedikit keras.

Tampaknya, Tiko kesal karena Karina berpikiran bahwa perempuan itu hanya beban baginya. Padahal dia sangat tulus ingin membantu Karina, dan Mama Rahma sudah dia anggap sebagai ibunya sendiri.

"Gue gak apa-apa kalau nunda lagi kuliah gue, yang penting Mama Rahma selamat, Rina. Pake uang gue aja, ya?" Tiko kembali membujuk.

Karina menangis, dia merutuki hidupnya yang selalu saja menjadi beban bagi orang lain, bahkan pada sahabatnya sendiri.

Tanpa sadar Karina memasukkan tangannya ke dalam saku jaket, dan dia merasakan ada sebuah benda.

Karina mengambil benda tersebut, dan sebuah kartu nama sudah berada di genggamannya.

Tanpa bisa dicegah juga pikirannya melayang pada ucapan si pemilik kartu nama tersebut.

"Ti, gue tahu. Gue tahu apa yang harus gue lakuin."

"Lo tahu apa?" Sungguh Tiko tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Karina.

Karina tidak menjawab pertanyaan Tiko, dia justru menatap suster di bagian administrasi. "Sus, kalau saya bayarnya nanti agak maleman, gak apa-apa?"

"Gak apa-apa, Mbak, asalkan Mbak bertanggung jawab untuk membayar biaya operasi hari ini," jawab si suster.

Karina mengangguk paham. "Iya, saya janji malem ini saya bayar."

Setelah itu ia kembali menatap Tiko. "Ti, gue titip Mama. Gue mau keluar dulu."

Lalu dia meninggalkan area rumah sakit serta Tiko dalam keadaan tidak mengerti.

*****

Dengan penuh tekad, kini Karina sudah berada di ruangan CEO The One Group, Bumi Cakrawala Suherman, dan berhadapan dengan pria itu.

Bumi mengangkat alis kanannya melihat Karina yang hanya diam saja setelah memaksa untuk masuk ke ruangannya.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya seraya menyelipkan nada sarkas.

"Jika tidak ada yang mau kamu omongin, lebih baik kamu keluar dari ruangan saya. Kita akan bertemu lagi besok, sesuai kesepakatan--"

"Saya menerimanya!"

Gerakan tangan Bumi yang ingin menandatangani berkas seketika terhenti ketika ucapan Karina terdengar di telinganya.

Dia menatap perempuan di depannya dengan tatapan serius. "Maksud kamu?"

Karina menarik napas panjang sebelum menjelaskan tujuan dia datang ke kantor The One Group. "Saya akan menjawab sekarang terkait tawaran yang Anda berikan satu minggu lalu. Saya terima tawaran Anda untuk menikah dengan Anda selama satu tahun," paparnya.

Sekilas Bumi menunjukkan raut wajah terkejut, tetapi dengan cepat dia mengembalikan raut wajahnya seperti sedia kala, datar.

Awalnya Bumi berpikir bahwa Karina akan menolak tawarannya pada pertemuan besok, karena yang dirinya lihat pada sosok perempuan itu adalah sosok independen, tidak menyerah, dan tidak akan segan menolak hal-hal yang dirasa tidak masuk akal.

Namun, hari ini Karina mengatakan bahwa perempuan itu menerima tawaran menikah kontrak dengannya.

Tidak tahu harus menjawab apa, Bumi berdeham sekali. "Kalau begitu kita akan bertemu besok untuk membicarakan lebih lanjut hal-hal apa saja yang harus dilakukan dalam perjanjian nikah--"

"Tidak. Saya ingin semuanya jelas hari ini. Jika tidak keberatan kita bisa membicarakan poin-poin penting dalam perjanjian nikah hari ini juga. Dan ... dan ...." Ini adalah bagian tersulit bagi Karina untuk menjelaskan tujuannya datang saat ini ke kantor Bumi.

"Jika diperkenankan saya menolak bantuan Anda dalam mengangkat nama saya di industri hiburan. Sebagai gantinya saya ingin Anda membayarnya dengan ... dengan ...."

"Dengan?" Bumi mengulang ucapan Karina yang tidak selesai. Dia bisa melihat raut wajah perempuan itu yang gelisah, sedih, dan takut.

Karina menutup kedua matanya, lalu mengambil oksigen dalam-dalam sebelum dikeluarkan dengan perlahan. "Dengan ... uang 150 juta hari ini," tukasnya setelah merasa yakin.

"Maaf?" Bumi merasa salah dengar. Untuk apa uang sebanyak itu?

Terkejut?

Tentu saja Bumi sangat terkejut mendengarnya, tetapi dengan cepat dia mengubah ekspresi wajahnya.

Dalam hati Karina menyempatkan terlebih dahulu untuk merutuki telinga Bumi yang bermasalah secara tiba-tiba. Namun, respon yang diberikan oleh pria itu tidak salah juga. Siapa yang tidak terkejut mendengar seorang perempuan meminta uang sebesar seratus lima puluh juta pada pria asing?

Jadi, Karina memaklumi respon Bumi.

Dia pun berdeham sekali lagi sebelum merincikan penjelasannya, "Saya menerima tawaran yang Anda berikan untuk menikah selama 1 tahun dengan Anda, tapi saya ingin Anda membayar ketersediaan saya dengan uang sebesar 150 juta hari ini."

Bumi bergeming, mencoba memproses ucapan Karina di otaknya.

"Saya ingin tahu untuk apa kamu mengganti tawaran saya dengan uang sebanyak itu? Saya tidak bisa sembarangan memberikan uang dalam jumlah banyak tanpa tujuan yang SANGAT jelas," tukasnya seraya menekan kata 'Sangat', karena baginya membicarakan tentang uang adalah hal yang sangat sensitif.

Bagaimana jika Karina mencoba mengecohnya? Dan membawa kabur uang miliknya setelah menerima benda mati itu? Bumi hanya berhati-hati terhadap apa yang dia miliki.

Karina menunduk seraya meremas kedua ujung baju dengan masing-masing tangannya.

Apa dia harus menceritakan juga kenapa dirinya sangat membutuhkan uang dalam waktu yang bisa dikatakan sangat singkat ini? Namun, setelah berpikir kembali dengan pikiran yang sedikit tenang, apa yang diucapkan oleh Bumi ada benarnya.

"Mama," lirihnya pada akhirnya.

Di sisi lain, Bumi mengerutkan kening bingung. "Maaf?"

Karina mengangkat kepalanya, dan menatap Bumi. "Mama saya. Uang itu untuk Mama saya. Be-beliau ...."

"Beliau saat ini sedang berada di rumah sakit, karena menjadi korban tabrak lari," lanjutnya. Lalu mengedipkan kelopak mata sehingga cairan bening itu meluncur bebas di pipi. "Akibat dari tabrakan itu, Mama saya harus menjalani operasi karena ada pendarahan hebat di otak. Saya perlu uang 150 juta agar Mama saya bisa dioperasi secepatnya dan selamat."

"Mama adalah anggota keluarga satu-satunya yang saya punya setelah meninggalnya Ayah."

Deg!

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status