“Nona Helena, Tuan Theo menyuruh Nona untuk menghadiri pertemuan keluarga besar.”
Pelayan pribadi Helena, Elma, hendak mengetuk pintu kamar. Namun sebelum jemarinya sempat menyentuh permukaan kayu, pintu itu terbuka dari dalam.
Helena keluar mengenakan gaun berwarna kuning terang. Elma terpaku, ini pertama kalinya majikannya bangun lebih dulu tanpa paksaan.
Helena dikenal sebagai gadis bangsawan yang membenci aturan dan menolak kekakuan tradisi. Ia tahu klannya terbagi dua karena ambisi, kekuasaan, dan ketamakan, tapi ia tidak tertarik.
Anehnya, Theo Magraville sang kakak, justru memindahkan hak sebagai calon penerus utama keluarga Magraville kepadanya. Keputusan itu membuat seluruh keluarga bingung, apalagi Helena terang-terangan menolak dan bahkan mengancam tidak akan datang ke pertemuan keluarga.
Itulah sebabnya, Elma mendapat tugas berat, membujuk Helena agar hadir pagi ini. Air mata perlahan menetes dari ujung matanya, terharu.
“Apakah dunia sebentar lagi akan berakhir?” ucap Elma dengan nada sarkastik.
Helena menjitak kepala pelayannya pelan. “Jika dunia tidak segera berakhir, kau tetap akan mati di tangan Ibunda karena tidak berhasil membawaku ke pertemua keluarga.”
Ia melangkah menyusuri lorong panjang. Elma menyusul di belakang sambil meringis, memegangi dahinya.
Di sepanjang dinding lorong, tergantung lukisan-lukisan keluarga besar Magraville. Di sisi kanan, terdapat lukisan dari keluarga utama, Magraville Eldros. Keluarga yang telah memegang kekuasaan selama lebih dari dua dekade.
Di sisi kiri, lukisan keluarga cabang, Magraville Elvanor, keluarga Helena. Keturunan yang sering dipandang rendah karena tidak pernah merasakan kursi kekuasaan.
Helena berjalan pelan sambil memperhatikan satu per satu lukisan itu. Pandangannya berhenti di sebuah lukisan besar yang dipajang tepat di tengah pertemuan lorong, wajah pria pecundang yang muncul dalam mimpinya.
Amarahnya muncul tanpa alasan yang jelas.
“Edric Magraville,” gumam Helena pelan. “Dari keluarga mana dia? Dan kenapa lukisannya ada di tengah?”
“Tuan Edric adalah pendiri dua klan Magraville, Nona. Ia dianggap sebagai pahlawan karena berhasil mencegah perang saudara.”
Meskipun bingung dengan sikap Nona mudanya sejak tadi, Elma merasa ada harapan. Untuk pertama kalinya, Helena menunjukkan ketertarikan pada sejarah keluarga yang selama ini selalu ia abaikan.
Helena mengerutkan kening. “Benar-benar pecundang.”
“Nona! Apa yang Anda katakan?” bisik Elma pelan. Ia menengok kanan dan kiri, memastikan tidak ada yang mendengar ucapan majikannya.
“Kenapa? Kau setuju pembagian klan itu langkah bijak? Dia hanya ingin Magraville dikuasai oleh keluarganya dan mengucilkan keluarga lain, dengan cara memberi nama Eldros dan Elvanor.”
“Bukan begitu, Nona tak seharusnya berkata buruk tentang Tuan Edric.” suara Elma semakin mengecil, gugup.
Helena mengabaikannya dan kembali melangkah menuju aula kastil. Elma bergegas menyusulnya.
Aula utama Magraville dipenuhi suara tawa dan dentingan gelas kristal. Pilar-pilar dihiasi ukiran berbentuk singa bersayap, lambang kejayaan Magraville.
Di tengah aula, terdapat Mahkota Darah Magraville di atas podium batu. Bukan sekadar hiasan, artefak tua yang konon terhubung dengan garis darah Magraville secara magis.
Menurut tradisi, pada setiap pemilihan penerus utama, Mahkota Darah akan bersinar atau bergerak, menunjuk siapa yang paling layak, berdasarkan kemurnian darah keturunan.
Di barisan terdepan, duduk para kepala keluarga dari dua klan utama.
Kubu Eldros, dipimpin oleh Cassandra Magraville, usianya sama dengan Helena. Wajahnya elegan, dan tenang, menjujung tinggi martabatnya.
Sementara di sisi berseberangan, kubu Elvanor. Di tengah barisan utama, Theo Magraville, putra tertua Elvanor, tampak duduk tenang di kursinya menanti kedatangan sang adik.
Ketika Helena melangkah masuk, seluruh kepala mulai menoleh.
Keluarga Eldros yang sejak awal terlihat percaya diri, tak bisa menyembunyikan keterkejutan mereka yang mengira hari ini hanya akan menjadi upacara penobatan Cassandra. Apalagi selama ini Helena menunjukkan sikap enggan bersaing merebut posisi penerus Magraville.
Theo berdiri menyambut. “Akhirnya kau datang juga.”
“Tenang saja, Kak, aku ingin tahu siapa yang akan dinobatkan sebagai boneka berikutnya,” balas Helena, ia tersenyum tipis. “Dan aku siap menjadi boneka selanjutnya.”
Cassandra berdiri dari tempat duduknya dan melangkah menghampiri Helena. Gaun birunya berayun pelan seiring langkahnya.
“Aku senang kau datang, sepupuku. Aku tak berniat menang dengan cara yang tak adil.”
“Tentu, aku ingin melihat keruntuhan keluarga Eldros selama dua dekade memimpin.”
Theo dengan cepat menarik lengan adiknya. “Benahi dulu sikapmu, kalau kau ingin menang.”
“Bagaimana mungkin Magraville dipimpin oleh gadis yang tak tahu sopan santun seperti dia?” ucap Evelyn Magraville yang menyaksikan perdebatan kecil dari tempatnya. Ia adalah ibunda Cassandra, istri kepala keluarga Magraville yang disegani.
“Selama darahku mengalir dalam diri Helena, maka ia berhak mendapatkan haknya sebagai penerus Magraville,” balas Seraphina Magraville dengan tenang. Ia adalah ibunda Helena, sosok penting dalam klan Elvanor yang terkenal keanggunannya
Ketegangan memuncak hingga akhirnya, Reinhard Magraville, kepala keluarga Magraville saat ini, berdiri dari singgasananya.
“Kita tidak bisa memutuskannya sendiri. Seperti tradisi kita selama ratusan tahun, biarkan darah murni yang menentukannya.”
Cassandra kembali ke tempatnya, disusul Helena. Ia duduk di sisi ibunya. “Terima kasih, Ibunda sudah membelaku,” bisiknya pelan.
Namun, bukan balasan baik yang ia terima, melainkan cubitan kecil di pipinya.
“Ibu membelamu demi nama baik Elvanor, bukan karena kelakuanmu yang memalukan.”
“Aaah, sakit!” Helena meringis sambil memegang pipinya yang memerah.
Penjaga istana masuk membawa gulungan tradisi, lalu membukanya dengan penuh hormat. Suaranya menggema di seluruh aula saat ia membaca aturan kuno yang diwariskan turun-temurun.
“Pewaris masing-masing klan diharap untuk maju.”
Helena dan Cassandra, sebagai perwakilan dari masing-masing klan, melangkah maju ke depan.
Pisau perak di tangan mereka bergantian menggores telapak, darah segar menetes dan jatuh ke Mahkota Darah yang terletak di atas altar hitam.
Tak ada pergerakan dan tak ada reaksi.
Kegelisahan mulai menjalar, para bangsawan saling melirik dan mulai berbisik panik.
“Apa ini semacam kesalahan? Atau sistem kuno kalian sudah rusak?” ucap Cassandra tak terima.
Penjaga menyuruh Helena dan Cassandra meneteskan darahnya kembali. Namun, mahkota tetap tak bereaksi.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah Magraville, mahkota menolak memberikan jawaban.
“Apa yang kau lakukan, Helena? Kau berbuat curang?” Cassandra yang sedari tadi selalu menjaga wajah tenangnya, kini menunjukkan wajah aslinya.
“Aku? Berbuat curang? Bagaimana aku bisa curang jika sistem di sini dipegang penuh oleh keluargamu, Cassandra Eldros?”
DUK!
Suara tongkat menghantam lantai keras, membuat keributan menjadi hening seketika.
“Cukup.”
Reinhard, akhirnya angkat bicara.
“Tradisi ini sudah dilakukan selama puluhan tahun, kita hanya perlu menunggu mahkota ini memilih.”
Namun ketenangan itu segera dipatahkan oleh istrinya, yang berdiri perlahan dari sisi kanan aula.
“Aku mengusulkan Cassandra Magraville sebagai penerusmu,” ucap Evelyn dengan lantang.
“Semua orang di sini tahu bahwa tradisi ini hanyalah citra biasa. Apa jadinya Magraville jika dipimpin oleh gadis yang kekanak-kanakan?”
Seketika, suara-suara setuju muncul dari bangku keluarga Eldros. Beberapa dari mereka mengangguk, bahkan menyuarakan dukungan. Di sisi lain, barisan Elvanor mulai tampak gelisah.
Mata semua orang kini tertuju pada Helena, seolah seluruh aula tengah menantinya bicara.
“Benar, aku memang tak pernah sudi memimpin keluarga yang sudah rusak ini.”
“Helena—” tegur Seraphina. Ia bergegas menghampiri anaknya.
“Tapi…”
Helena mengangkat tangannya yang masih berlumuran darah, lalu mengepalkannya erat.
“Aku ingin menjadi pemimpin yang dapat memperbaiki keluarga ini, maka biarkan keadilan yang memilih.”
“Sejarah… Magraville… Velmoria…”Tanpa memedulikan gaunnya yang masih berlumuran lumpur, Helena berlari melintasi lorong-lorong perpustakaan Velmoria. Jejak kaki kotor tertinggal di lantai marmer.“Kalau saja sihir masih ada di Velmoria, mungkin akan menjadi dorongan yang kuat.” Ucapan Noel berputar lagi di kepalanya. Velmoria telah membuang sejarah sihir dari buku-buku pelajaran sejak puluhan tahun lalu. Tapi Helena percaya, selalu ada celah dalam sejarah yang bisa membawanya menemukan petunjuk.Ia menapaki rak bagian timur yang jarang dijamah. Katalog energi dan aliran fluida dari zaman kuno tak banyak tersedia, tapi ia terus mencari, prinsip pompa militer, mekanika air, bahkan catatan irigasi dari zaman perang.“Kenapa hampir tak ada yang membahas sihir,” gumamnya frustrasi.Helena menarik napas panjang, menutup buku yang baru saja ia baca, lalu menunduk menelusuri rak pal
Sejak pagi, Helena menyebarkan kabar penting di seluruh desa Caerwyn. Warga mulai berdatangan dengan tatapan penasaran.Seorang ibu tua melangkah maju, menatap Helena dari ujung kepala hingga kaki.“Jadi kau dari istana, ya? Datang untuk memberi bantuan?” tanyanya dengan nada tak ramah.Helena mengangguk dan tersenyum. “Kami membawa pompa yang bisa mengalirkan air dari mata air terdekat. Danau disini akan sejernih Danau Velmoria.”“Danau apa?” sela seorang kakek dari bangku kayu. “Yang penting airnya cukup untuk mencuci celana cucu saya!”Tawa pun pecah di antara sebagian warga. Helena ikut tertawa, meski terdengar canggung.“Kami benar-benar ingin membantu,” ucapnya, berusaha terdengar meyakinkan.Namun, tidak semua warga tertawa. Seorang pemuda kurus melangkah maju dengan perlahan.“Kami sudah terlalu sering mendengar janji seperti itu, Nona. Para bangsawan datang, berkata manis, lalu pulang dengan bersih. Sementara kami tetap hidup dari air keruh dan lumpur.”Ia menunjuk ke arah su
“Desa Caerwyn?” Pria bangsawan itu tertawa keras, nyaris menyemburkan anggurnya. “Untuk apa mengurus wilayah miskin seperti itu?”“Saya percaya desa itu punya potensi,” jawab gadis dihadapannya dengan tenang, meski senyumnya terlihat kaku. “Kami merancang alat pemompa agar mata airnya sejernih Danau Velmoria.”“Alat?” ejek pria itu. “Kalau kau pikir air bersih cukup melawan Eldros, kau perlu belajar lebih banyak.”Ia mendekat, tangannya bergerak lancang ke arah pundaknya. “Begini saja, Jadilah istri keduaku. Kudengar Elvanor lebih membutuh dukungan politik.”Plak!Tamparan keras mendarat di pipinya, suaranya menghentikan riuh pesta.“Bangsawan tua sepertimu bahkan tak sadar kalau yang kau lakukan itu pelecehan,” ucap gadis lain yang berdiri di sebelahnya.“Beraninya kau!” teriak pria itu. Ia mendekat, memperhatikan wajah dan pakaian gadis itu. “Kau ini cuma pelayan?!”“Dia baru saja menyentuh majikanku, keturunan langsung keluarga Magraville,” seru pelayan itu lantang, menghiraukan pe
Kediaman Utama Keluarga Alvendra tampak seperti menara marmer kokoh yang berdiri sendiri, terpisah dari hiruk-pikuk dunia bangsawan.Tidak ada pesta.Tidak ada gelas anggur beradu.Hanya bisikan strategi, detak pena mencatat keputusan hukum, dan gema langkah para pengabdi keadilan.Di tengah ruangan bundar yang dikelilingi pilar-pilar batu putih, Liora Alvendra, pemimpin keluarga, duduk di kursi tinggi menghadap meja bundar. Gaun hitam membalut tubuh rampingnya dan rambutnya yang digelung rapi. Di sekelilingnya, hakim tua dan pewaris muda tengah terlibat dalam diskusi serius.“Salah satu keputusan komersial dari pihak Eldros baru-baru ini telah melewati batas wewenang. Mereka mengubah struktur pajak tanah bangsawan tanpa pengesahan kerajaan,” ucap Callen, pewaris muda yang cerdas sekaligus tangan kanan Liora.“Ini contoh yang buruk. Jika dibiarkan, Magraville bukan lagi bawahan kerajaan, tapi penguasa baru di balik layar,” sahut Hakim tertua Alverland, Vanerin.Beberapa kepala mengang
Ketegangan masih terasa menggantung di aula keluarga Magraville, hingga suara langkah cepat terdengar dari arah pintu utama. Seorang prajurit istana memasuki ruangan dengan tergesa, membawa gulungan bersegel emas.“Pesan dari Raja!” serunya lantang.Seluruh penghuni aula segera berdiri dan menundukkan kepala sebagai bentuk penghormatan. Prajurit itu berjalan dengan sikap hormat, menyerahkan gulungan tersebut kepada Reinhard Magraville.Reinhard membuka segel dengan tenang, membaca isi surat itu dalam diam. Tatapannya tak menunjukkan banyak perubahan, hanya sebuah anggukan kecil setelah selesai membaca.Ia menggulung kembali surat itu, menyerahkannya pada prajurit, lalu kembali menatap lurus ke depan.“Kabar tentang situasi di keluarga kita telah sampai ke telinga Raja. Raja memerintahkan agar proses pemilihan penerus dilakukan dengan adil dan berdasarkan kemampuan, bukan hanya garis keturunan.”Semua mata kini kembali tertuju pada dua wanita yang berdiri di ujung konflik, Cassandra da
“Nona Helena, Tuan Theo menyuruh Nona untuk menghadiri pertemuan keluarga besar.”Pelayan pribadi Helena, Elma, hendak mengetuk pintu kamar. Namun sebelum jemarinya sempat menyentuh permukaan kayu, pintu itu terbuka dari dalam.Helena keluar mengenakan gaun berwarna kuning terang. Elma terpaku, ini pertama kalinya majikannya bangun lebih dulu tanpa paksaan.Helena dikenal sebagai gadis bangsawan yang membenci aturan dan menolak kekakuan tradisi. Ia tahu klannya terbagi dua karena ambisi, kekuasaan, dan ketamakan, tapi ia tidak tertarik.Anehnya, Theo Magraville sang kakak, justru memindahkan hak sebagai calon penerus utama keluarga Magraville kepadanya. Keputusan itu membuat seluruh keluarga bingung, apalagi Helena terang-terangan menolak dan bahkan mengancam tidak akan datang ke pertemuan keluarga.Itulah sebabnya, Elma mendapat tugas berat, membujuk Helena agar hadir pagi ini. Air mata perlahan menetes dari ujung matanya, terharu.“Apakah dunia sebentar lagi akan berakhir?” ucap Elm