Share

Bab 2

Author: Siska_ayu
last update Last Updated: 2023-01-30 11:45:22

"Apa?! Istri pertama?"

Aku menatap tajam iris coklat Mas Fahri. Berharap apa yang tadi kudengar hanya candaan atau prank semata. Bukankah beberapa hari lagi adalah hari ulang tahun pernikahan kami yang pertama? Mungkin Mas Fahri ingin memberi kejutan untukku dengan berpura-pura seperti ini.

"Kamu bercanda kan, Mas? Apa kamu sengaja ingin memberi kejutan untuk ulang tahun pernikahan kita?" Aku memegang lengan suamiku.

Mas Fahri menggeleng pelan.

"Tidak, Nay. Aku tidak bercanda. Dia memang istriku. Kami sudah menikah selama empat tahun."

Aku repleks menutup mulut yang membulat. Pengakuan Mas Fahri membuat jantungku serasa berhenti berdetak seketika. Hatiku bak dipukul palu godam dengan amat keras. Sakit luar biasa. Tak pernah sekalipun aku menyangka, kalau aku akan menjadi istri kedua. Aku tak pernah menginginkannya, bahkan dalam mimpi sekalipun.

Air mataku mengalir semakin deras. Bahuku berguncang hebat menandakan luka yang kurasakan teramat dahsyat.

"Maafkan aku, Nay. Aku tidak bermaksud membohongimu."

Mas Fahri membawa tubuhku dalam dekapannya. Dikecupnya ubun-ubun kepalaku berkali-kali.

Kudorong tubuhnya kasar. Tak ingin disentuh lagi oleh pengkhianat seperti dia.

"Kamu jahat, Mas. Kamu tega sama aku. Selama ini kamu membohongiku. Kamu menipuku."

Aku memukul-mukul dada Mas Fahri.

"Nis, tolong tinggalkan kami berdua," ucap Mas Fahri lirih pada wanita yang ternyata kakak maduku itu.

Nisa mengangguk kecil, lalu berlalu pergi meninggalkan kami berdua.

Mas Fahri mencoba kembali untuk merengkuhku. Aku terus berontak, aku berusaha melepaskan diri dari pelukannya. Tapi, tenagaku tentu tidak lebih besar dari lelaki yang mengisi relung hatiku sejak kuliah dulu.

"Maafkan aku, Sayang. Maaf. Aku tidak bermaksud menyembunyikan ini darimu. Aku sudah berencana akan memberitahumu di waktu yang tepat."

Aku melepaskan pelukannya dengan kasar.

"Apa selama setahun menikah denganku, Mas tidak menemukan waktu yang tepat? Hah!"

Hilang sudah rasa hormatku pada lelaki di hadapanku ini.

"Aku benci sama kamu, Mas. Aku benci!"

Aku kembali memukul-mukul lengan dan dada suamiku. Ingin rasanya meluapkan rasa sakit yang begitu mendera hati. Tapi aku sendiripun tak tahu, bagaimana caranya. Hatiku terlanjur patah, remuk redam tak berbentuk.

"Aku tahu, kamu terluka. Aku tahu kamu kecewa. Aku memang salah, dari awal tidak memberitahumu. Tapi percayalah, semua kulakukan, karena begitu mencintaimu. Aku tak ingin kehilanganmu."

"Stop, Mas. Jangan bicara tentang cinta. Cinta tidak akan menyakiti, apalagi membohongi selama itu. Kamu anggap pernikahan kita itu permainan? Yang bisa dimulai dengan kebohongan? Kamu keterlaluan, Mas. Aku benci kamu!"

Aku bangkit, ingin rasanya segera berlari sejauh mungkin dari penipu di hadapanku ini. Berjalan perlahan menuju kamarku. Tapi, baru beberapa langkah, kepalaku terasa berputar, penglihatan berubah buram, hingga akhirnya, aku merasakan tubuhku melayang dan ambruk di lantai.

*****

Kepalaku rasanya sangat sakit ketika pertama kali aku membuka mata. Kulirik sekeliling, ternyata aku sudah di dalam kamar. Aku beringsut, duduk dan bersandar di kepala ranjang. Mataku menangkap segelas air putih di atas nakas di pinggir ranjang. Aku meraihnya, lalu meminumnya hingga tandas.

Aku memegang perutku. Sakit, melilit. Aku ingat, aku belum sempat sarapan. Itulah sebabnya tadi aku membeli bubur di depan rumah.

Seminggu yang lalu, aku meminta ijin pada Mas Fahri untuk pulang ke rumah orang tuaku karena ibu sedang sakit dan tidak ada yang merawat. Sementara bapak pun sudah sepuh. Tapi ternyata, setelah empat hari aku berada di sana, ibu sudah kembali sembuh.

Kebetulan kemarin, Bang Irsyad—kakakku datang untuk menjenguk ibu. Tapi dia tidak bisa lama-lama karena siang ini harus terbang ke Bali untuk urusan bisnisnya. Jadi aku memutuskan untuk ikut pulang bersamanya. Toh ibu juga sudah sembuh. Akupun sudah menitipkan ibu dan bapak pada bibi Rani—adik kandung bapak yang rumahnya hanya berjarak beberapa meter dari rumah orang tuaku.

Sengaja aku tidak memberi tahu Mas Fahri akan kepulanganku. Toh hari ini hari Minggu. Mas Fahri pasti ada di rumah karena libur.

Jam 8 pagi kami sudah sampai. Karena jarak rumahku dan rumah orang tuaku lumayan jauh. Inipun karena bang Irsyad mengemudikan mobilnya dengan kecepatan lumayan tinggi karena belum berkemas untuk keperluannya ke Bali.

Lima hari tidak bertemu dengan lelaki yang sudah setahun jadi imamku itu, rasanya rindu sekali. Ingin segera bertemu dengannya dan mencium aroma tubuhnya yang beberapa hari ini tidak kuhirup. Hatiku rasanya berbunga-bunga. Bak seorang kekasih yang lama tak berjumpa dengan pujaan hatinya. Bahkan sampai aku turun dari mobil bang Irsyad, senyumku masih terkembang sempurna dari bibirku.

Hatiku semakin berdebar saat kuketuk pintu rumah yang sudah setahun aku tempati bersama suamiku itu. Tak sabar rasanya ingin langsung menghambur dalam pelukannya. Melepaskan rindu yang begitu menggelora.

Beberapa saat setelah pintu diketuk, Mas Fahri membuka pintu. Tapi wajahnya menyiratkan keterkejutan saat melihatku.

"Nay-Naya?" ucapnya tergagap.

Matanya melotot seperti melihat hantu.

"Iya, Mas. Ini aku," jawabku antusias.

Tanganku kini sudah terulur, bersiap untuk memeluknya. Tapi Mas Fahri hanya mematung.

Pikirku, mungkin Mas Fahri terkejut karena aku datang tanpa mengabarinya terlebih dahulu.

Tapi setelahnya, justru aku yang dibuat terkejut.

"Siapa, Mas?"

Suara bariton seorang wanita terdengar berasal dari dalam rumahku. Dan kemudian, muncullah wanita yang bersuara tadi di ujung sana. Wajahnya sama terkejutnya dengan Mas Fahri. Matanya membulat menatapku, hingga gawai yang sedang digenggamnya jatuh ke lantai.

Akhirnya sekarang aku tahu jawabannya. Harusnya aku tidak ikut pulang dengan bang Irsyad. Harusnya aku tidak pernah kembali ke rumah ini. Ah, andai aku tahu sebelumnya, kupastikan tak akan menginjakkan kaki lagi ke rumah ini.

Beruntung Bang Irsyad tadi tidak mampir dulu ke rumahku. Jadi tidak perlu melihat drama menyedihkan yang menimpa adik perempuan satu-satunya ini. Andai Bang Irsyad ikut turun, sudah pasti Mas Fahri babak belur dihajarnya.

*****

"Sayang, sudah bangun?"

Tiba-tiba Mas Fahri sudah ada di hadapanku. Lelaki berkulit kuning langsat itu kini duduk di sebelahku.

Aku diam. Memalingkan wajah agar tak bersitatap dengan mata yang selama ini begitu memperlihatkan cinta dan kesetiaan. Nyatanya, semua itu hanya tipuan. Rasanya untuk bersuara pun, tenagaku sudah habis terkuras.

Tiba-tiba terdengar pintu kamar diketuk dari luar.

"Masuklah," seru Mas Fahri.

Wanita cantik berkulit putih dengan hidung yang mancung itu masuk dengan menunduk. Kupikir, dia sudah pergi dari rumah ini, setelah melihat drama pertengkaran antara suami dan adik madunya ini. Tapi ternyata dia masih berada di rumah ini, benar-benar tak punya malu. Atau dia sengaja, agar akulah yang pergi dari rumah ini. Dan dia menjadi istri satu-satunya Mas Fahri?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dilema Istri Kedua   Tamat

    Aku sempat begitu terkejut saat bangun melihat ada seorang lelaki di sampingku. Namun, aku buru-buru tersadar kalau sekarang aku sudah menjadi seorang istri kembali. Kutatap lelaki yang masih tidur pulas itu. Wajahnya begitu tampan dan teduh. Hanya saja, kecanggungan di antara kami belum benar-benar mencair. Semalam saja, tidur kami terhalang oleh bantal guling yang menjadi penyekat di antara kami.Aku beringsut turun dari ranjang, kemudian berjalan menuju kamar mandi. Mengambil air wudhu. Ketika aku membuka pintu kamar mandi, ternyata suamiku sudah terbangun."Sudah wudhu?" tanyanya sambil tersenyum.Aku mengangguk sambil membalas senyumannya."Kita solat berjamaah subuh. Aku wudhu dulu." Ustad Hafiz pun masuk ke kamar mandi.Setelah melakukan solat subuh berjamaah, Ustad Hafiz mengajakku untuk membaca Al-Quran sejenak sambil menunggu pagi datang. Lantunan ayat-ayat suci yang dibacanya terdengar begitu merdu di telinga. Membuat hatiku merasa begitu tenang dan damai."Mau pulang sekar

  • Dilema Istri Kedua   Bab 50

    Tak pernah kuduga sedikit pun apa yang Umi Fatimah ucapan barusan? Bercanda kah ia? Tapi beliau bukan tipe orang yang suka bercanda apalagi sedang membahas masalah serius seperti ini."Ma-maksud Umi, apa?" Dengan mimik yang masih keheranan aku bertanya."Umi berniat menjodohkan Naya sama anak Umi. Itu juga kalau Naya bersedia.""Maaf Umi. Naya merasa tidak pantas untuk menjadi pendamping Ustad Hafiz. Naya bukan wanita solehah. Naya juga cuma seorang janda yang sudah mempunyai anak. Tidak mungkin Ustad Hafiz mau sama Naya. Banyak wanita yang lebih baik di luar sana." Aku menunduk. Menyembunyikan genangan air mata yang mulai memenuhi kelopaknya."Sayang, apa yang salah dengan janda. Bukankah Nabi Muhammad saw juga dulu menikahi seorang janda? Gadis ataupun janda bukan tolak ukur seorang wanita baik atau tidak. Umi terlanjur sayang sama Naya juga Fea. Umi pasti seneng banget kalau Naya bisa menjadi menantu Umi.""Tapi Umi. Ustad Hafiz ...."Umi Fatimah tersenyum kepadaku, kemudian mengge

  • Dilema Istri Kedua   Bab 49

    Kenyataan yang baru saja kudengar, bagai meruntuhkan duniaku yang perlahan akan kembali bangkit. Aku mulai merasakan setitik harapan untuk masa depan yang indah bersama pendamping yang akan benar-benar menyayangiku dan anakku. Namun kini, bak roller coaster yang terjun dari ketinggian hingga ke dasar bumi. Hancur. Air mata makin mengalir deras membasahi pipi. Jantungku pun masih berpacu begitu cepat. Tubuhku yang tak berdaya masih ditopang oleh Bang Irsyad. Kutatap mata elang Abangku yang terlihat mengobarkan amarah."Kamu harus kuat, Naya." Bang Irsyad berbisik lirih di telingaku. Aku pun mengangguk. "Kalau kamu sudah merasa lebih baik, kita ke dalam," lanjutnya lagi.Aku berkali-kali mencoba menghirup napas dalam-dalam. Menetralkan debaran dan sayatan yang mengiris hati. Memasukkan lebih banyak oksigen ke dalam dadaku yang terasa sesak. Lagi-lagi karena pengkhianatan.Untuk terakhir kalinya aku menghirup napas sangat panjang, sambil mengusap jejak air mata di pipi. Stop Naya. Kam

  • Dilema Istri Kedua   Bab 48

    "Kok, buru-buru banget sih, Bang? Naya pikir, mau pendekatan dulu atau apa gitu." Aku masih mencoba untuk mengulur waktu sambil terus belajar memantapkan hatiku untuk mencintainya."Kita sudah cukup dekat sejak lama. Ngapain ditunda-tunda lagi."Rasanya ingin aku menjawabnya lagi. Tapi suara tangisan Syafea sudah mulai terdengar. Benar saja, ibu datang dengan membawa Syafea yang sedang menangis."Sepertinya, Fea ngantuk, Nay." Ibu menyerahkan Syafea padaku."Maaf, Bang. Naya mau nidurin Fea dulu." Bang Raka mengangguk sambil tersenyum. Aku pun bangkit dan mulai berjalan ke kamar untuk menyusui putriku.Kumandang azan duhur membangunkanku yang ikut tertidur di samping Syafea. Mungkin karena semalam aku susah tidur, makanya sekarang sampai ikut ketiduran. Kulirik Syafea yang masih tertidur lelap. Kemudian aku turun perlahan dari kasur.Aku sedikit terkejut saat keluar dari kamar, karena ternyata Bang Raka masih ada di sini. Aku pikir sudah pulang ke rumahnya. Taunya masih ada. Tidur ter

  • Dilema Istri Kedua   Bab 47

    Dengan air mata yang mulai berjatuhan dan hati berdebar, mataku memindai sekeliling. Pun dengan Umi Fatimah. Aku berjalan cepat ke arah tempat mengaji anak-anak tadi, badanku berputar menengok ke kiri dan ke kanan. Nihil. Tidak ada."Gimana, Nay? Ada?" tanya Umi dengan wajah panik.Aku menggeleng."Kita cari ke arah belakang masjid."Aku pun mengikuti umi menuju belakang masjid. Bahkan sampai mengelilinginya. Tidak ada tanda-tanda Syafea ada di sana. Aku dan Umi pun memutuskan untuk kembali ke depan.Dengan tubuh yang masih bergetar dan kaki lemas, aku terduduk lesu di teras masjid. Menangis sesenggukan sambil menangkup wajahku dengan kedua tangan."Syafea ...." Aku menangis memanggil nama putriku."Sabar. Kita cari sama-sama. Insyaallah, Fea baik-baik saja." Umi mengusap punggungku pelan.Saat aku masih terisak, samar kudengar celotehan Syafea dari dalam masjid. Wajahku langsung mendongak seketika. Aku dan Umi saling bertatapan. Sepertinya Umi pun mendengarnya. Seingatku tadi, pintu

  • Dilema Istri Kedua   Bab 46

    Setelah melaksanakan solat isya, seperti kebiasaan keluargaku dari kecil, kami berkumpul di tuang TV. Berbagi cerita, membahas segala hal. Rencananya, malam ini, aku ingin bertanya kepada ibu dan Bang Irsyad tentang pendapat mereka mengenai Bang Raka. Aku ingin mengatakan kalau Bang Raka ingin serius menjalani hubungan denganku.Syafea tengah tertidur di karpet ruang TV karena terlalu lelah bermain. Ini waktu yang tepat untukku berbicara karena tidak akan diganggu anakku. "Bu, Bang, Naya mau ngomongin sesuatu," ucapku pada Ibu dan Bang Raka dengan hati yang berdebar. Spontan Ibu dan Abangku itu langsung menatap ke arahku."Ada apa, Nay?" tanya Ibu. Sementara Bang Irsyad tidak bersuara. Hanya dari gestur tubuhnya, dia terlihat sudah siap untuk mendengarkan."Naya ... mau bertanya sesuatu pada Ibu dan Abang," kataku lagi seolah ragu."Iya, apa? Tanyakan saja," jawab Ibu."Naya ... Naya ... Maksud Naya, gimana pendapat Ibu sama Abang tentang Bang Raka? Sebenarnya, Bang Raka mengatakan s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status