Share

Bab 2

"Apa?! Istri pertama?"

Aku menatap tajam iris coklat Mas Fahri. Berharap apa yang tadi kudengar hanya candaan atau prank semata. Bukankah beberapa hari lagi adalah hari ulang tahun pernikahan kami yang pertama? Mungkin Mas Fahri ingin memberi kejutan untukku dengan berpura-pura seperti ini.

"Kamu bercanda kan, Mas? Apa kamu sengaja ingin memberi kejutan untuk ulang tahun pernikahan kita?" Aku memegang lengan suamiku.

Mas Fahri menggeleng pelan.

"Tidak, Nay. Aku tidak bercanda. Dia memang istriku. Kami sudah menikah selama empat tahun."

Aku repleks menutup mulut yang membulat. Pengakuan Mas Fahri membuat jantungku serasa berhenti berdetak seketika. Hatiku bak dipukul palu godam dengan amat keras. Sakit luar biasa. Tak pernah sekalipun aku menyangka, kalau aku akan menjadi istri kedua. Aku tak pernah menginginkannya, bahkan dalam mimpi sekalipun.

Air mataku mengalir semakin deras. Bahuku berguncang hebat menandakan luka yang kurasakan teramat dahsyat.

"Maafkan aku, Nay. Aku tidak bermaksud membohongimu."

Mas Fahri membawa tubuhku dalam dekapannya. Dikecupnya ubun-ubun kepalaku berkali-kali.

Kudorong tubuhnya kasar. Tak ingin disentuh lagi oleh pengkhianat seperti dia.

"Kamu jahat, Mas. Kamu tega sama aku. Selama ini kamu membohongiku. Kamu menipuku."

Aku memukul-mukul dada Mas Fahri.

"Nis, tolong tinggalkan kami berdua," ucap Mas Fahri lirih pada wanita yang ternyata kakak maduku itu.

Nisa mengangguk kecil, lalu berlalu pergi meninggalkan kami berdua.

Mas Fahri mencoba kembali untuk merengkuhku. Aku terus berontak, aku berusaha melepaskan diri dari pelukannya. Tapi, tenagaku tentu tidak lebih besar dari lelaki yang mengisi relung hatiku sejak kuliah dulu.

"Maafkan aku, Sayang. Maaf. Aku tidak bermaksud menyembunyikan ini darimu. Aku sudah berencana akan memberitahumu di waktu yang tepat."

Aku melepaskan pelukannya dengan kasar.

"Apa selama setahun menikah denganku, Mas tidak menemukan waktu yang tepat? Hah!"

Hilang sudah rasa hormatku pada lelaki di hadapanku ini.

"Aku benci sama kamu, Mas. Aku benci!"

Aku kembali memukul-mukul lengan dan dada suamiku. Ingin rasanya meluapkan rasa sakit yang begitu mendera hati. Tapi aku sendiripun tak tahu, bagaimana caranya. Hatiku terlanjur patah, remuk redam tak berbentuk.

"Aku tahu, kamu terluka. Aku tahu kamu kecewa. Aku memang salah, dari awal tidak memberitahumu. Tapi percayalah, semua kulakukan, karena begitu mencintaimu. Aku tak ingin kehilanganmu."

"Stop, Mas. Jangan bicara tentang cinta. Cinta tidak akan menyakiti, apalagi membohongi selama itu. Kamu anggap pernikahan kita itu permainan? Yang bisa dimulai dengan kebohongan? Kamu keterlaluan, Mas. Aku benci kamu!"

Aku bangkit, ingin rasanya segera berlari sejauh mungkin dari penipu di hadapanku ini. Berjalan perlahan menuju kamarku. Tapi, baru beberapa langkah, kepalaku terasa berputar, penglihatan berubah buram, hingga akhirnya, aku merasakan tubuhku melayang dan ambruk di lantai.

*****

Kepalaku rasanya sangat sakit ketika pertama kali aku membuka mata. Kulirik sekeliling, ternyata aku sudah di dalam kamar. Aku beringsut, duduk dan bersandar di kepala ranjang. Mataku menangkap segelas air putih di atas nakas di pinggir ranjang. Aku meraihnya, lalu meminumnya hingga tandas.

Aku memegang perutku. Sakit, melilit. Aku ingat, aku belum sempat sarapan. Itulah sebabnya tadi aku membeli bubur di depan rumah.

Seminggu yang lalu, aku meminta ijin pada Mas Fahri untuk pulang ke rumah orang tuaku karena ibu sedang sakit dan tidak ada yang merawat. Sementara bapak pun sudah sepuh. Tapi ternyata, setelah empat hari aku berada di sana, ibu sudah kembali sembuh.

Kebetulan kemarin, Bang Irsyad—kakakku datang untuk menjenguk ibu. Tapi dia tidak bisa lama-lama karena siang ini harus terbang ke Bali untuk urusan bisnisnya. Jadi aku memutuskan untuk ikut pulang bersamanya. Toh ibu juga sudah sembuh. Akupun sudah menitipkan ibu dan bapak pada bibi Rani—adik kandung bapak yang rumahnya hanya berjarak beberapa meter dari rumah orang tuaku.

Sengaja aku tidak memberi tahu Mas Fahri akan kepulanganku. Toh hari ini hari Minggu. Mas Fahri pasti ada di rumah karena libur.

Jam 8 pagi kami sudah sampai. Karena jarak rumahku dan rumah orang tuaku lumayan jauh. Inipun karena bang Irsyad mengemudikan mobilnya dengan kecepatan lumayan tinggi karena belum berkemas untuk keperluannya ke Bali.

Lima hari tidak bertemu dengan lelaki yang sudah setahun jadi imamku itu, rasanya rindu sekali. Ingin segera bertemu dengannya dan mencium aroma tubuhnya yang beberapa hari ini tidak kuhirup. Hatiku rasanya berbunga-bunga. Bak seorang kekasih yang lama tak berjumpa dengan pujaan hatinya. Bahkan sampai aku turun dari mobil bang Irsyad, senyumku masih terkembang sempurna dari bibirku.

Hatiku semakin berdebar saat kuketuk pintu rumah yang sudah setahun aku tempati bersama suamiku itu. Tak sabar rasanya ingin langsung menghambur dalam pelukannya. Melepaskan rindu yang begitu menggelora.

Beberapa saat setelah pintu diketuk, Mas Fahri membuka pintu. Tapi wajahnya menyiratkan keterkejutan saat melihatku.

"Nay-Naya?" ucapnya tergagap.

Matanya melotot seperti melihat hantu.

"Iya, Mas. Ini aku," jawabku antusias.

Tanganku kini sudah terulur, bersiap untuk memeluknya. Tapi Mas Fahri hanya mematung.

Pikirku, mungkin Mas Fahri terkejut karena aku datang tanpa mengabarinya terlebih dahulu.

Tapi setelahnya, justru aku yang dibuat terkejut.

"Siapa, Mas?"

Suara bariton seorang wanita terdengar berasal dari dalam rumahku. Dan kemudian, muncullah wanita yang bersuara tadi di ujung sana. Wajahnya sama terkejutnya dengan Mas Fahri. Matanya membulat menatapku, hingga gawai yang sedang digenggamnya jatuh ke lantai.

Akhirnya sekarang aku tahu jawabannya. Harusnya aku tidak ikut pulang dengan bang Irsyad. Harusnya aku tidak pernah kembali ke rumah ini. Ah, andai aku tahu sebelumnya, kupastikan tak akan menginjakkan kaki lagi ke rumah ini.

Beruntung Bang Irsyad tadi tidak mampir dulu ke rumahku. Jadi tidak perlu melihat drama menyedihkan yang menimpa adik perempuan satu-satunya ini. Andai Bang Irsyad ikut turun, sudah pasti Mas Fahri babak belur dihajarnya.

*****

"Sayang, sudah bangun?"

Tiba-tiba Mas Fahri sudah ada di hadapanku. Lelaki berkulit kuning langsat itu kini duduk di sebelahku.

Aku diam. Memalingkan wajah agar tak bersitatap dengan mata yang selama ini begitu memperlihatkan cinta dan kesetiaan. Nyatanya, semua itu hanya tipuan. Rasanya untuk bersuara pun, tenagaku sudah habis terkuras.

Tiba-tiba terdengar pintu kamar diketuk dari luar.

"Masuklah," seru Mas Fahri.

Wanita cantik berkulit putih dengan hidung yang mancung itu masuk dengan menunduk. Kupikir, dia sudah pergi dari rumah ini, setelah melihat drama pertengkaran antara suami dan adik madunya ini. Tapi ternyata dia masih berada di rumah ini, benar-benar tak punya malu. Atau dia sengaja, agar akulah yang pergi dari rumah ini. Dan dia menjadi istri satu-satunya Mas Fahri?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status