Share

Bab 3

"Maaf, Mbak. Aku cuma mau mengantarkan ini."

Nisa meletakkan sebuah piring berisi nasi dan semangkuk sayur sop yang masih mengepul. Aku memalingkan wajah ke segala arah pura-pura tidak memperhatikannya.

Wangi kaldu ayam dari sayur sop menguar menusuk indra penciumanku. Begitu menggoda perutku yang meronta-ronta minta diisi. Namun sayangnya, rasa sakit hati lebih mendominasi daripada rasa lapar yang kurasakan.

"Aku permisi," ucap Nisa. Sudut matanya melirik Mas Fahri yang masih duduk di sampingku.

Mas Fahri terlihat mengangguk sambil tersenyum. Sangat manis. Ah, hatiku kembali berdenyut ngilu melihat lelaki yang begitu kucinta itu tersenyum begitu manis kepada wanita lain. Meskipun sekarang aku tahu, wanita itu juga istri dari suamiku.

Nisa berjalan pelan keluar kamar. Kemudian dia menutup kembali pintu kamarku.

Sebagai seorang wanita, aku bisa melihat, kalau Nisa adalah wanita yang baik. Tubuhnya bahkan terbungkus gamis yang sama sekali tidak memperlihatkan lekuk tubuhnya. Rambutnya tertutup jilbab. Wajahnya juga cantik. Tak terlihat kekurangan dalam dirinya. Tapi kenapa, Mas Fahri tega mengkhianatinya dengan menikahiku. Wanita mana yang rela berbagi suami. Tapi aku tidak melihat kebencian dalam sorot mata Nisa kala menatapku. Atau mungkin karena aku belum mengenalnya? Belum mengetahui sifat aslinya? Entahlah, aku bingung.

"Makan dulu, ya, Sayang."

Mas Fahri mengambil mangkuk berisi sayur sop tadi kemudian menambahkan sedikit nasi pada mangkuk itu.

Lelaki dengan jambang tipis di dagunya itu mengulurkan sendok ke dekat mulutku. "Aaa ..... Buka mulutnya," rayunya.

Namun, kudorong tangannya pelan. Menandakan bahwa aku menolak untuk disuapi.

"Keluarlah, Mas. Tinggalkan aku sendiri," pintaku.

"Tapi, Sayang, kamu sedang tak enak badan. Kamu harus makan," paksa Mas Fahri memegang tanganku.

Aku menggeleng pelan.

"Aku tidak lapar. Bukan badanku yang tidak enak, tapi hatiku yang sakit."

Aku menepuk-nepuk dada dengan telapak tangan.

"Keluarlah, temani istrimu. Aku sedang ingin sendiri."

Ada yang tersayat di dalam dada ketika bibirku harus menyebut wanita itu dengan sebutan 'istrimu.'

"Tidak, Sayang. Aku mau nemenin kamu di sini. Bukankah kamu juga istriku?"

Aku tersenyum getir mendengar ucapannya.

"Kenapa, Mas? Kenapa kau lakukan ini padaku? Juga pada Mbak Nisa, istri pertamamu? Tidak ada wanita yang rela berbagi dengan siapapun. Begitupun aku. Mungkin juga dengan yang Mbak Nisa rasakan."

Aku bertanya kembali dengan air mata yang sudah menganak sungai. Entah kenapa air mata ini tak kunjung habis. Padahal sudah dari pagi aku terus menangis.

"Maafkan aku, Nay. Semua ini murni kesalahanku. Padahal, sejak aku meminta izin kepada Nisa untuk menikah lagi, Nisa sudah mengingatkanku agar memberitahumu semuanya. Tanpa ada yang ditutupi. Tapi aku terlalu takut kehilanganmu. Aku takut kalau kamu mengetahui aku sudah punya istri, kamu akan menolak untuk menikah denganku," beber Mas Fahri panjang lebar.

"Kalau benar Mas mencintaiku, Mas pasti sudah menikahiku dari dulu, bukan dengan Mbak Nisa. Bukankah kita berpacaran sejak di bangku kuliah? Kita sudah merajut mimpi bersama dari dulu untuk membina rumah tangga. Tiga tahun kita menjalin kasih. Tapi kenapa setelah lulus kuliah Mas justru menghilang? Ternyata sekarang aku tau jawaban sebenarnya. Mas menghilang karena menikah dengan Mbak Nisa, bukan mengurus perusahaan cabang seperti yang Mas bilang dulu."

Aku menyeka kasar air mata yang terus menetes dengan punggung tangan.

"Maafkan aku, Sayang. Aku sebenarnya dulu terpaksa menikah dengan Nisa. Perusahaan papa dulu gulung tikar. Rumah disita. Papa masuk RS karena tertekan dengan semua yang terjadi. Mama tak hentinya menangis melihat kondisi papa yang memprihatinkan dan keuangan yang porak poranda. Fatin, adikku, terancam tidak bisa melanjutkan kuliah. Tidak banyak yang bisa aku lakukan sebagai anak yang baru saja selesai kuliah. Mencari kerja pun tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Saat dalam kebingungan yang tak kunjung mendapat jalan keluar, Pak Harsa, ayahnya Nisa datang menawarkan bantuan. Pak Harsa adalah sahabat papa sejak SMA. Pak Harsa berjanji akan menanggung seluruh biaya pengobatan papa, mengembalikan rumah yang disita dan memberiku pekerjaan di perusahaannya, dengan syarat, aku mau menikah dengan anaknya, yaitu Nisa. Demi keluargaku, dengan berat hati, aku menyetujui permintaan Pak Harsa. Itulah sebabnya, aku dulu menghilang dari hidupmu. Tak pernah lagi menghubungimu. Tapi, sekuat apapun aku mencoba melupakanmu, aku tidak mampu. Senyummu, semua kenangan tentangmu, selalu saja membayang-bayangi hari yang kulalui. Hingga kita dipertemukan kembali, saat kamu melamar pekerjaan di perusahaanku."

Mas Fahri menjelaskan semuanya dengan panjang lebar.

"Lalu, kenapa Mas menyakiti Mbak Nisa dengan menikahiku? Bahkan, aku juga kini tersakiti Mas. Sakiittt. Aku dibohongi selama setahun menikah denganmu. Bukan hanya aku yang dibohongin, tapi juga keluargaku. Aku dan keluargaku ditipu habis-habisan olehmu, Mas."

Aku kembali menekan dada dengan kuat. Berharap sesak yang begitu menghimpit ini akan berkurang meski sedikit saja.

"Maafkan aku, Nay. Itu karena aku begitu mencintaimu. Dan Nisa pun tahu itu."

"Apa?"

Wajahku seketika menatap lekat sorot teduh Mas Fahri. Tak kutemukan kebohongan di matanya.

"Tapi kenapa? Kenapa Mbak Nisa begitu mudah mengizinkanmu menikahiku?"

"Itu karena ...."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status