Share

Bab 3

Author: Siska_ayu
last update Last Updated: 2023-01-30 11:45:45

"Maaf, Mbak. Aku cuma mau mengantarkan ini."

Nisa meletakkan sebuah piring berisi nasi dan semangkuk sayur sop yang masih mengepul. Aku memalingkan wajah ke segala arah pura-pura tidak memperhatikannya.

Wangi kaldu ayam dari sayur sop menguar menusuk indra penciumanku. Begitu menggoda perutku yang meronta-ronta minta diisi. Namun sayangnya, rasa sakit hati lebih mendominasi daripada rasa lapar yang kurasakan.

"Aku permisi," ucap Nisa. Sudut matanya melirik Mas Fahri yang masih duduk di sampingku.

Mas Fahri terlihat mengangguk sambil tersenyum. Sangat manis. Ah, hatiku kembali berdenyut ngilu melihat lelaki yang begitu kucinta itu tersenyum begitu manis kepada wanita lain. Meskipun sekarang aku tahu, wanita itu juga istri dari suamiku.

Nisa berjalan pelan keluar kamar. Kemudian dia menutup kembali pintu kamarku.

Sebagai seorang wanita, aku bisa melihat, kalau Nisa adalah wanita yang baik. Tubuhnya bahkan terbungkus gamis yang sama sekali tidak memperlihatkan lekuk tubuhnya. Rambutnya tertutup jilbab. Wajahnya juga cantik. Tak terlihat kekurangan dalam dirinya. Tapi kenapa, Mas Fahri tega mengkhianatinya dengan menikahiku. Wanita mana yang rela berbagi suami. Tapi aku tidak melihat kebencian dalam sorot mata Nisa kala menatapku. Atau mungkin karena aku belum mengenalnya? Belum mengetahui sifat aslinya? Entahlah, aku bingung.

"Makan dulu, ya, Sayang."

Mas Fahri mengambil mangkuk berisi sayur sop tadi kemudian menambahkan sedikit nasi pada mangkuk itu.

Lelaki dengan jambang tipis di dagunya itu mengulurkan sendok ke dekat mulutku. "Aaa ..... Buka mulutnya," rayunya.

Namun, kudorong tangannya pelan. Menandakan bahwa aku menolak untuk disuapi.

"Keluarlah, Mas. Tinggalkan aku sendiri," pintaku.

"Tapi, Sayang, kamu sedang tak enak badan. Kamu harus makan," paksa Mas Fahri memegang tanganku.

Aku menggeleng pelan.

"Aku tidak lapar. Bukan badanku yang tidak enak, tapi hatiku yang sakit."

Aku menepuk-nepuk dada dengan telapak tangan.

"Keluarlah, temani istrimu. Aku sedang ingin sendiri."

Ada yang tersayat di dalam dada ketika bibirku harus menyebut wanita itu dengan sebutan 'istrimu.'

"Tidak, Sayang. Aku mau nemenin kamu di sini. Bukankah kamu juga istriku?"

Aku tersenyum getir mendengar ucapannya.

"Kenapa, Mas? Kenapa kau lakukan ini padaku? Juga pada Mbak Nisa, istri pertamamu? Tidak ada wanita yang rela berbagi dengan siapapun. Begitupun aku. Mungkin juga dengan yang Mbak Nisa rasakan."

Aku bertanya kembali dengan air mata yang sudah menganak sungai. Entah kenapa air mata ini tak kunjung habis. Padahal sudah dari pagi aku terus menangis.

"Maafkan aku, Nay. Semua ini murni kesalahanku. Padahal, sejak aku meminta izin kepada Nisa untuk menikah lagi, Nisa sudah mengingatkanku agar memberitahumu semuanya. Tanpa ada yang ditutupi. Tapi aku terlalu takut kehilanganmu. Aku takut kalau kamu mengetahui aku sudah punya istri, kamu akan menolak untuk menikah denganku," beber Mas Fahri panjang lebar.

"Kalau benar Mas mencintaiku, Mas pasti sudah menikahiku dari dulu, bukan dengan Mbak Nisa. Bukankah kita berpacaran sejak di bangku kuliah? Kita sudah merajut mimpi bersama dari dulu untuk membina rumah tangga. Tiga tahun kita menjalin kasih. Tapi kenapa setelah lulus kuliah Mas justru menghilang? Ternyata sekarang aku tau jawaban sebenarnya. Mas menghilang karena menikah dengan Mbak Nisa, bukan mengurus perusahaan cabang seperti yang Mas bilang dulu."

Aku menyeka kasar air mata yang terus menetes dengan punggung tangan.

"Maafkan aku, Sayang. Aku sebenarnya dulu terpaksa menikah dengan Nisa. Perusahaan papa dulu gulung tikar. Rumah disita. Papa masuk RS karena tertekan dengan semua yang terjadi. Mama tak hentinya menangis melihat kondisi papa yang memprihatinkan dan keuangan yang porak poranda. Fatin, adikku, terancam tidak bisa melanjutkan kuliah. Tidak banyak yang bisa aku lakukan sebagai anak yang baru saja selesai kuliah. Mencari kerja pun tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Saat dalam kebingungan yang tak kunjung mendapat jalan keluar, Pak Harsa, ayahnya Nisa datang menawarkan bantuan. Pak Harsa adalah sahabat papa sejak SMA. Pak Harsa berjanji akan menanggung seluruh biaya pengobatan papa, mengembalikan rumah yang disita dan memberiku pekerjaan di perusahaannya, dengan syarat, aku mau menikah dengan anaknya, yaitu Nisa. Demi keluargaku, dengan berat hati, aku menyetujui permintaan Pak Harsa. Itulah sebabnya, aku dulu menghilang dari hidupmu. Tak pernah lagi menghubungimu. Tapi, sekuat apapun aku mencoba melupakanmu, aku tidak mampu. Senyummu, semua kenangan tentangmu, selalu saja membayang-bayangi hari yang kulalui. Hingga kita dipertemukan kembali, saat kamu melamar pekerjaan di perusahaanku."

Mas Fahri menjelaskan semuanya dengan panjang lebar.

"Lalu, kenapa Mas menyakiti Mbak Nisa dengan menikahiku? Bahkan, aku juga kini tersakiti Mas. Sakiittt. Aku dibohongi selama setahun menikah denganmu. Bukan hanya aku yang dibohongin, tapi juga keluargaku. Aku dan keluargaku ditipu habis-habisan olehmu, Mas."

Aku kembali menekan dada dengan kuat. Berharap sesak yang begitu menghimpit ini akan berkurang meski sedikit saja.

"Maafkan aku, Nay. Itu karena aku begitu mencintaimu. Dan Nisa pun tahu itu."

"Apa?"

Wajahku seketika menatap lekat sorot teduh Mas Fahri. Tak kutemukan kebohongan di matanya.

"Tapi kenapa? Kenapa Mbak Nisa begitu mudah mengizinkanmu menikahiku?"

"Itu karena ...."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dilema Istri Kedua   Tamat

    Aku sempat begitu terkejut saat bangun melihat ada seorang lelaki di sampingku. Namun, aku buru-buru tersadar kalau sekarang aku sudah menjadi seorang istri kembali. Kutatap lelaki yang masih tidur pulas itu. Wajahnya begitu tampan dan teduh. Hanya saja, kecanggungan di antara kami belum benar-benar mencair. Semalam saja, tidur kami terhalang oleh bantal guling yang menjadi penyekat di antara kami.Aku beringsut turun dari ranjang, kemudian berjalan menuju kamar mandi. Mengambil air wudhu. Ketika aku membuka pintu kamar mandi, ternyata suamiku sudah terbangun."Sudah wudhu?" tanyanya sambil tersenyum.Aku mengangguk sambil membalas senyumannya."Kita solat berjamaah subuh. Aku wudhu dulu." Ustad Hafiz pun masuk ke kamar mandi.Setelah melakukan solat subuh berjamaah, Ustad Hafiz mengajakku untuk membaca Al-Quran sejenak sambil menunggu pagi datang. Lantunan ayat-ayat suci yang dibacanya terdengar begitu merdu di telinga. Membuat hatiku merasa begitu tenang dan damai."Mau pulang sekar

  • Dilema Istri Kedua   Bab 50

    Tak pernah kuduga sedikit pun apa yang Umi Fatimah ucapan barusan? Bercanda kah ia? Tapi beliau bukan tipe orang yang suka bercanda apalagi sedang membahas masalah serius seperti ini."Ma-maksud Umi, apa?" Dengan mimik yang masih keheranan aku bertanya."Umi berniat menjodohkan Naya sama anak Umi. Itu juga kalau Naya bersedia.""Maaf Umi. Naya merasa tidak pantas untuk menjadi pendamping Ustad Hafiz. Naya bukan wanita solehah. Naya juga cuma seorang janda yang sudah mempunyai anak. Tidak mungkin Ustad Hafiz mau sama Naya. Banyak wanita yang lebih baik di luar sana." Aku menunduk. Menyembunyikan genangan air mata yang mulai memenuhi kelopaknya."Sayang, apa yang salah dengan janda. Bukankah Nabi Muhammad saw juga dulu menikahi seorang janda? Gadis ataupun janda bukan tolak ukur seorang wanita baik atau tidak. Umi terlanjur sayang sama Naya juga Fea. Umi pasti seneng banget kalau Naya bisa menjadi menantu Umi.""Tapi Umi. Ustad Hafiz ...."Umi Fatimah tersenyum kepadaku, kemudian mengge

  • Dilema Istri Kedua   Bab 49

    Kenyataan yang baru saja kudengar, bagai meruntuhkan duniaku yang perlahan akan kembali bangkit. Aku mulai merasakan setitik harapan untuk masa depan yang indah bersama pendamping yang akan benar-benar menyayangiku dan anakku. Namun kini, bak roller coaster yang terjun dari ketinggian hingga ke dasar bumi. Hancur. Air mata makin mengalir deras membasahi pipi. Jantungku pun masih berpacu begitu cepat. Tubuhku yang tak berdaya masih ditopang oleh Bang Irsyad. Kutatap mata elang Abangku yang terlihat mengobarkan amarah."Kamu harus kuat, Naya." Bang Irsyad berbisik lirih di telingaku. Aku pun mengangguk. "Kalau kamu sudah merasa lebih baik, kita ke dalam," lanjutnya lagi.Aku berkali-kali mencoba menghirup napas dalam-dalam. Menetralkan debaran dan sayatan yang mengiris hati. Memasukkan lebih banyak oksigen ke dalam dadaku yang terasa sesak. Lagi-lagi karena pengkhianatan.Untuk terakhir kalinya aku menghirup napas sangat panjang, sambil mengusap jejak air mata di pipi. Stop Naya. Kam

  • Dilema Istri Kedua   Bab 48

    "Kok, buru-buru banget sih, Bang? Naya pikir, mau pendekatan dulu atau apa gitu." Aku masih mencoba untuk mengulur waktu sambil terus belajar memantapkan hatiku untuk mencintainya."Kita sudah cukup dekat sejak lama. Ngapain ditunda-tunda lagi."Rasanya ingin aku menjawabnya lagi. Tapi suara tangisan Syafea sudah mulai terdengar. Benar saja, ibu datang dengan membawa Syafea yang sedang menangis."Sepertinya, Fea ngantuk, Nay." Ibu menyerahkan Syafea padaku."Maaf, Bang. Naya mau nidurin Fea dulu." Bang Raka mengangguk sambil tersenyum. Aku pun bangkit dan mulai berjalan ke kamar untuk menyusui putriku.Kumandang azan duhur membangunkanku yang ikut tertidur di samping Syafea. Mungkin karena semalam aku susah tidur, makanya sekarang sampai ikut ketiduran. Kulirik Syafea yang masih tertidur lelap. Kemudian aku turun perlahan dari kasur.Aku sedikit terkejut saat keluar dari kamar, karena ternyata Bang Raka masih ada di sini. Aku pikir sudah pulang ke rumahnya. Taunya masih ada. Tidur ter

  • Dilema Istri Kedua   Bab 47

    Dengan air mata yang mulai berjatuhan dan hati berdebar, mataku memindai sekeliling. Pun dengan Umi Fatimah. Aku berjalan cepat ke arah tempat mengaji anak-anak tadi, badanku berputar menengok ke kiri dan ke kanan. Nihil. Tidak ada."Gimana, Nay? Ada?" tanya Umi dengan wajah panik.Aku menggeleng."Kita cari ke arah belakang masjid."Aku pun mengikuti umi menuju belakang masjid. Bahkan sampai mengelilinginya. Tidak ada tanda-tanda Syafea ada di sana. Aku dan Umi pun memutuskan untuk kembali ke depan.Dengan tubuh yang masih bergetar dan kaki lemas, aku terduduk lesu di teras masjid. Menangis sesenggukan sambil menangkup wajahku dengan kedua tangan."Syafea ...." Aku menangis memanggil nama putriku."Sabar. Kita cari sama-sama. Insyaallah, Fea baik-baik saja." Umi mengusap punggungku pelan.Saat aku masih terisak, samar kudengar celotehan Syafea dari dalam masjid. Wajahku langsung mendongak seketika. Aku dan Umi saling bertatapan. Sepertinya Umi pun mendengarnya. Seingatku tadi, pintu

  • Dilema Istri Kedua   Bab 46

    Setelah melaksanakan solat isya, seperti kebiasaan keluargaku dari kecil, kami berkumpul di tuang TV. Berbagi cerita, membahas segala hal. Rencananya, malam ini, aku ingin bertanya kepada ibu dan Bang Irsyad tentang pendapat mereka mengenai Bang Raka. Aku ingin mengatakan kalau Bang Raka ingin serius menjalani hubungan denganku.Syafea tengah tertidur di karpet ruang TV karena terlalu lelah bermain. Ini waktu yang tepat untukku berbicara karena tidak akan diganggu anakku. "Bu, Bang, Naya mau ngomongin sesuatu," ucapku pada Ibu dan Bang Raka dengan hati yang berdebar. Spontan Ibu dan Abangku itu langsung menatap ke arahku."Ada apa, Nay?" tanya Ibu. Sementara Bang Irsyad tidak bersuara. Hanya dari gestur tubuhnya, dia terlihat sudah siap untuk mendengarkan."Naya ... mau bertanya sesuatu pada Ibu dan Abang," kataku lagi seolah ragu."Iya, apa? Tanyakan saja," jawab Ibu."Naya ... Naya ... Maksud Naya, gimana pendapat Ibu sama Abang tentang Bang Raka? Sebenarnya, Bang Raka mengatakan s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status