Share

Dilema Istri Kedua
Dilema Istri Kedua
Author: Siska_ayu

Bab 1

"Siapa wanita itu, Mas?"

"Katakan!" teriakku.

Aku membanting bubur yang tadi dibeli dari penjual bubur yang sedang mangkal di depan rumah. Seketika bubur yang terbungkus plastik itu berceceran di lantai.

"Sabar, Nay, sabar! Ayo, duduk dulu. Kamu pasti cape kan habis perjalanan jauh." Mas Fahri—suamiku, mencoba memegang bahuku. Tapi segera kutepis tangannya.

Sementara wanita itu, yang entah siapa dan dari mana datangnya, entah sejak kapan pula dia ada di rumah ini, berdiri mematung di dalam ruang TV rumah kami. Wajahnya tertunduk, memainkan jari jemarinya yang saling bertautan. Rambut sepinggang yang masih basah itu, tergerai menutupi sebagian wajahnya.

"Tidak, aku butuh jawaban sekarang juga. Siapa wanita itu? Kenapa dia ada di rumah kita, Mas?"

Aku berteriak histeris. Tubuhku bergetar hebat. Suaraku nyaring melengking menggema di seluruh ruangan. Bahkan mungkin, akan terdengar sampai rumah tetangga. Apa peduliku. Hatiku perih bak disayat sembilu. Sungguh tak kuasa melihat pemandangan yang ada di depan mataku.

Rasanya tidak mungkin, laki-laki dan perempuan berada dalam satu rumah tidak melakukan hal apapun. Terlihat dari rambut wanita itu yang masih basah. Juga suamiku yang hanya mengenakan kaos oblong dengan kain sarung sebagai bawahan.

"Apa yang kamu lakukan sama perempuan j*lang itu di rumah kita, Mas? Berani-beraninya kamu memasukkan wanita lain ke rumah ini saat aku tak ada di rumah," lanjutku menahan tangis yang sedari tadi sudah hampir pecah. Hanya saja, aku masih menunggu jawaban dari mulut lelaki di hadapanku yang telah menikahiku selama hampir setahun itu.

"Tolong, Nay, jangan bilang seperti itu. Dia wanita baik-baik," jawab suamiku yang membuat darahku terasa mendidih seketika.

"Apa?! Wanita baik-baik? Mana ada wanita baik-baik berduaan dengan suami orang yang sedang ditinggal pergi istrinya. Padahal aku pergi cuma beberapa hari, Mas. Baru 5 hari, tapi kamu sudah berani memasukkan wanita lain ke rumah ini. Apa itu yang disebut wanita baik-baik? Itu namanya wanita murah*an, pelac*r," beberku sambil menatap tajam pada wanita yang masih bungkam di tempat semula.

"Cukup, Nay! Jangan bicara buruk lagi tentang dia," bentak mas Fahri. Telunjuknya mengarah tepat pada wajahku.

Lelaki berbadan tinggi tegap itu kembali mendekat. Dia menghampiriku yang masih bergeming dengan tubuh gemetar di ambang pintu depan. Aku mundur beberapa langkah, hingga tubuh lemahku tak dapat lagi bergerak karena terbentur pintu yang tertutup. Air mata yang tadi sempat tertahan, kini tumpah ruah mendengar suamiku justru membela wanita lain di hadapanku. Bahkan kini, tubuhku melorot luruh ke lantai. Tungkai kakiku tak cukup kuat menahan guncangan sakitnya organ yang bernama hati mendengar bentakan suamiku karena membela wanita itu.

"Maafkan aku, Nay. Aku tak bermaksud membentakmu."

Mas Fahri membungkuk, memegang bahuku yang masih berguncang hebat diiringi isak tangis.

"Aku akan jelaskan semuanya. Tapi kamu duduk dulu, yuk. Aku, mohon. Kita bicarakan ini baik-baik."

Mas Fahri berusaha membangunkan tubuhku. Lalu memapahku menuju sofa. Terpaksa akupun menurut.

Kini aku duduk bersebelahan dengan Mas Fahri. Air mata masih bercucuran. Sementara wanita itu, terlihat sudah menghilang entah kemana.

"Tenang, Sayang. Tenang." Mas Fahri mengusap-usap lembut punggungku.

"Bagaimana aku bisa tenang, Mas, mengetahui ada wanita lain di rumah ini?" jawabku parau. Aku menangkup wajah dengan kedua tangan.

Wajahku mendongak ketika mendengar derap langkah kaki yang semakin mendekat. Dan pemilik langkah kaki itu, kini berada tepat di hadapanku. Rambut basahnya, kini tertutup jilbab instan biru dongker sedada. Cuih, sok alim.

Tangannya membawa nampan. Di nampan itu ada dua cangkir air yang terlihat masih mengepul. Dari aromanya, aku yakin kalau itu adalah teh melati kesukaanku. Sok perhatian. Ingin rasanya menumpahkan teh panas itu pada wajah polosnya yang tampak tak berdosa dan tak punya malu.

Mas Fahri mengambil teh panas itu dari tangannya.

"Minum dulu, ya. Biar kamu sedikit tenang," ucap Mas Fahri sambil mengulurkan cangkir itu padaku.

"Apa kamu tidak lihat, Mas, teh itu masih panas. Jangan-jangan dia mau mencelakaiku, atau mungkin dia sudah menaruh racun dalam minuman itu," timpalku menatap tajam pada wanita yang kini sudah duduk di sofa di ujung sana.

Wajahnya yang terlihat sendu terus menunduk. Sedetik kemudian, setitik air mata meluncur bebas dari manik matanya yang hitam legam, hingga hinggap di punggung tangannya. Lucu sekali. Seolah-olah, di sini, dialah yang paling tersakiti. Muak sekali aku melihatnya.

Aku menghela napas panjang, lalu mengembuskan pelan. Mencoba mengusir sedikit saja rasa sesak yang menyeruak dalam dada. Menetralkan emosi yang begitu terasa membuncah.

"Mas, siapa wanita itu?" Aku mencoba kembali bertanya dengan sedikit lembut setelah menetralisir perasaanku.

"Di-dia ...."

Mas Fahri terlihat ragu untuk menjawab. Mimik wajahnya jelas menampakkan ketegangan. Sesekali ujung matanya tertangkap sedang melirik kepada wanita yang sepertinya sudah berusia lebih tua dariku itu.

"Mas!"

Aku sedikit meninggikan suaraku. Tak sabar rasanya ingin mengetahui ada hubungan apa diantara kedua makhluk yang ada di hadapanku ini.

Mas Fahri terlihat mengembuskan napas pendek, sebelum akhirnya menjawab pertanyaanku.

"Di-dia, Khoirunnisa. Istriku. Istri pertamaku."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status