Share

Dilema Istri Kedua
Dilema Istri Kedua
Auteur: Siska_ayu

Bab 1

Auteur: Siska_ayu
last update Dernière mise à jour: 2023-01-30 11:44:57

"Siapa wanita itu, Mas?"

"Katakan!" teriakku.

Aku membanting bubur yang tadi dibeli dari penjual bubur yang sedang mangkal di depan rumah. Seketika bubur yang terbungkus plastik itu berceceran di lantai.

"Sabar, Nay, sabar! Ayo, duduk dulu. Kamu pasti cape kan habis perjalanan jauh." Mas Fahri—suamiku, mencoba memegang bahuku. Tapi segera kutepis tangannya.

Sementara wanita itu, yang entah siapa dan dari mana datangnya, entah sejak kapan pula dia ada di rumah ini, berdiri mematung di dalam ruang TV rumah kami. Wajahnya tertunduk, memainkan jari jemarinya yang saling bertautan. Rambut sepinggang yang masih basah itu, tergerai menutupi sebagian wajahnya.

"Tidak, aku butuh jawaban sekarang juga. Siapa wanita itu? Kenapa dia ada di rumah kita, Mas?"

Aku berteriak histeris. Tubuhku bergetar hebat. Suaraku nyaring melengking menggema di seluruh ruangan. Bahkan mungkin, akan terdengar sampai rumah tetangga. Apa peduliku. Hatiku perih bak disayat sembilu. Sungguh tak kuasa melihat pemandangan yang ada di depan mataku.

Rasanya tidak mungkin, laki-laki dan perempuan berada dalam satu rumah tidak melakukan hal apapun. Terlihat dari rambut wanita itu yang masih basah. Juga suamiku yang hanya mengenakan kaos oblong dengan kain sarung sebagai bawahan.

"Apa yang kamu lakukan sama perempuan j*lang itu di rumah kita, Mas? Berani-beraninya kamu memasukkan wanita lain ke rumah ini saat aku tak ada di rumah," lanjutku menahan tangis yang sedari tadi sudah hampir pecah. Hanya saja, aku masih menunggu jawaban dari mulut lelaki di hadapanku yang telah menikahiku selama hampir setahun itu.

"Tolong, Nay, jangan bilang seperti itu. Dia wanita baik-baik," jawab suamiku yang membuat darahku terasa mendidih seketika.

"Apa?! Wanita baik-baik? Mana ada wanita baik-baik berduaan dengan suami orang yang sedang ditinggal pergi istrinya. Padahal aku pergi cuma beberapa hari, Mas. Baru 5 hari, tapi kamu sudah berani memasukkan wanita lain ke rumah ini. Apa itu yang disebut wanita baik-baik? Itu namanya wanita murah*an, pelac*r," beberku sambil menatap tajam pada wanita yang masih bungkam di tempat semula.

"Cukup, Nay! Jangan bicara buruk lagi tentang dia," bentak mas Fahri. Telunjuknya mengarah tepat pada wajahku.

Lelaki berbadan tinggi tegap itu kembali mendekat. Dia menghampiriku yang masih bergeming dengan tubuh gemetar di ambang pintu depan. Aku mundur beberapa langkah, hingga tubuh lemahku tak dapat lagi bergerak karena terbentur pintu yang tertutup. Air mata yang tadi sempat tertahan, kini tumpah ruah mendengar suamiku justru membela wanita lain di hadapanku. Bahkan kini, tubuhku melorot luruh ke lantai. Tungkai kakiku tak cukup kuat menahan guncangan sakitnya organ yang bernama hati mendengar bentakan suamiku karena membela wanita itu.

"Maafkan aku, Nay. Aku tak bermaksud membentakmu."

Mas Fahri membungkuk, memegang bahuku yang masih berguncang hebat diiringi isak tangis.

"Aku akan jelaskan semuanya. Tapi kamu duduk dulu, yuk. Aku, mohon. Kita bicarakan ini baik-baik."

Mas Fahri berusaha membangunkan tubuhku. Lalu memapahku menuju sofa. Terpaksa akupun menurut.

Kini aku duduk bersebelahan dengan Mas Fahri. Air mata masih bercucuran. Sementara wanita itu, terlihat sudah menghilang entah kemana.

"Tenang, Sayang. Tenang." Mas Fahri mengusap-usap lembut punggungku.

"Bagaimana aku bisa tenang, Mas, mengetahui ada wanita lain di rumah ini?" jawabku parau. Aku menangkup wajah dengan kedua tangan.

Wajahku mendongak ketika mendengar derap langkah kaki yang semakin mendekat. Dan pemilik langkah kaki itu, kini berada tepat di hadapanku. Rambut basahnya, kini tertutup jilbab instan biru dongker sedada. Cuih, sok alim.

Tangannya membawa nampan. Di nampan itu ada dua cangkir air yang terlihat masih mengepul. Dari aromanya, aku yakin kalau itu adalah teh melati kesukaanku. Sok perhatian. Ingin rasanya menumpahkan teh panas itu pada wajah polosnya yang tampak tak berdosa dan tak punya malu.

Mas Fahri mengambil teh panas itu dari tangannya.

"Minum dulu, ya. Biar kamu sedikit tenang," ucap Mas Fahri sambil mengulurkan cangkir itu padaku.

"Apa kamu tidak lihat, Mas, teh itu masih panas. Jangan-jangan dia mau mencelakaiku, atau mungkin dia sudah menaruh racun dalam minuman itu," timpalku menatap tajam pada wanita yang kini sudah duduk di sofa di ujung sana.

Wajahnya yang terlihat sendu terus menunduk. Sedetik kemudian, setitik air mata meluncur bebas dari manik matanya yang hitam legam, hingga hinggap di punggung tangannya. Lucu sekali. Seolah-olah, di sini, dialah yang paling tersakiti. Muak sekali aku melihatnya.

Aku menghela napas panjang, lalu mengembuskan pelan. Mencoba mengusir sedikit saja rasa sesak yang menyeruak dalam dada. Menetralkan emosi yang begitu terasa membuncah.

"Mas, siapa wanita itu?" Aku mencoba kembali bertanya dengan sedikit lembut setelah menetralisir perasaanku.

"Di-dia ...."

Mas Fahri terlihat ragu untuk menjawab. Mimik wajahnya jelas menampakkan ketegangan. Sesekali ujung matanya tertangkap sedang melirik kepada wanita yang sepertinya sudah berusia lebih tua dariku itu.

"Mas!"

Aku sedikit meninggikan suaraku. Tak sabar rasanya ingin mengetahui ada hubungan apa diantara kedua makhluk yang ada di hadapanku ini.

Mas Fahri terlihat mengembuskan napas pendek, sebelum akhirnya menjawab pertanyaanku.

"Di-dia, Khoirunnisa. Istriku. Istri pertamaku."

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Dilema Istri Kedua   Tamat

    Aku sempat begitu terkejut saat bangun melihat ada seorang lelaki di sampingku. Namun, aku buru-buru tersadar kalau sekarang aku sudah menjadi seorang istri kembali. Kutatap lelaki yang masih tidur pulas itu. Wajahnya begitu tampan dan teduh. Hanya saja, kecanggungan di antara kami belum benar-benar mencair. Semalam saja, tidur kami terhalang oleh bantal guling yang menjadi penyekat di antara kami.Aku beringsut turun dari ranjang, kemudian berjalan menuju kamar mandi. Mengambil air wudhu. Ketika aku membuka pintu kamar mandi, ternyata suamiku sudah terbangun."Sudah wudhu?" tanyanya sambil tersenyum.Aku mengangguk sambil membalas senyumannya."Kita solat berjamaah subuh. Aku wudhu dulu." Ustad Hafiz pun masuk ke kamar mandi.Setelah melakukan solat subuh berjamaah, Ustad Hafiz mengajakku untuk membaca Al-Quran sejenak sambil menunggu pagi datang. Lantunan ayat-ayat suci yang dibacanya terdengar begitu merdu di telinga. Membuat hatiku merasa begitu tenang dan damai."Mau pulang sekar

  • Dilema Istri Kedua   Bab 50

    Tak pernah kuduga sedikit pun apa yang Umi Fatimah ucapan barusan? Bercanda kah ia? Tapi beliau bukan tipe orang yang suka bercanda apalagi sedang membahas masalah serius seperti ini."Ma-maksud Umi, apa?" Dengan mimik yang masih keheranan aku bertanya."Umi berniat menjodohkan Naya sama anak Umi. Itu juga kalau Naya bersedia.""Maaf Umi. Naya merasa tidak pantas untuk menjadi pendamping Ustad Hafiz. Naya bukan wanita solehah. Naya juga cuma seorang janda yang sudah mempunyai anak. Tidak mungkin Ustad Hafiz mau sama Naya. Banyak wanita yang lebih baik di luar sana." Aku menunduk. Menyembunyikan genangan air mata yang mulai memenuhi kelopaknya."Sayang, apa yang salah dengan janda. Bukankah Nabi Muhammad saw juga dulu menikahi seorang janda? Gadis ataupun janda bukan tolak ukur seorang wanita baik atau tidak. Umi terlanjur sayang sama Naya juga Fea. Umi pasti seneng banget kalau Naya bisa menjadi menantu Umi.""Tapi Umi. Ustad Hafiz ...."Umi Fatimah tersenyum kepadaku, kemudian mengge

  • Dilema Istri Kedua   Bab 49

    Kenyataan yang baru saja kudengar, bagai meruntuhkan duniaku yang perlahan akan kembali bangkit. Aku mulai merasakan setitik harapan untuk masa depan yang indah bersama pendamping yang akan benar-benar menyayangiku dan anakku. Namun kini, bak roller coaster yang terjun dari ketinggian hingga ke dasar bumi. Hancur. Air mata makin mengalir deras membasahi pipi. Jantungku pun masih berpacu begitu cepat. Tubuhku yang tak berdaya masih ditopang oleh Bang Irsyad. Kutatap mata elang Abangku yang terlihat mengobarkan amarah."Kamu harus kuat, Naya." Bang Irsyad berbisik lirih di telingaku. Aku pun mengangguk. "Kalau kamu sudah merasa lebih baik, kita ke dalam," lanjutnya lagi.Aku berkali-kali mencoba menghirup napas dalam-dalam. Menetralkan debaran dan sayatan yang mengiris hati. Memasukkan lebih banyak oksigen ke dalam dadaku yang terasa sesak. Lagi-lagi karena pengkhianatan.Untuk terakhir kalinya aku menghirup napas sangat panjang, sambil mengusap jejak air mata di pipi. Stop Naya. Kam

  • Dilema Istri Kedua   Bab 48

    "Kok, buru-buru banget sih, Bang? Naya pikir, mau pendekatan dulu atau apa gitu." Aku masih mencoba untuk mengulur waktu sambil terus belajar memantapkan hatiku untuk mencintainya."Kita sudah cukup dekat sejak lama. Ngapain ditunda-tunda lagi."Rasanya ingin aku menjawabnya lagi. Tapi suara tangisan Syafea sudah mulai terdengar. Benar saja, ibu datang dengan membawa Syafea yang sedang menangis."Sepertinya, Fea ngantuk, Nay." Ibu menyerahkan Syafea padaku."Maaf, Bang. Naya mau nidurin Fea dulu." Bang Raka mengangguk sambil tersenyum. Aku pun bangkit dan mulai berjalan ke kamar untuk menyusui putriku.Kumandang azan duhur membangunkanku yang ikut tertidur di samping Syafea. Mungkin karena semalam aku susah tidur, makanya sekarang sampai ikut ketiduran. Kulirik Syafea yang masih tertidur lelap. Kemudian aku turun perlahan dari kasur.Aku sedikit terkejut saat keluar dari kamar, karena ternyata Bang Raka masih ada di sini. Aku pikir sudah pulang ke rumahnya. Taunya masih ada. Tidur ter

  • Dilema Istri Kedua   Bab 47

    Dengan air mata yang mulai berjatuhan dan hati berdebar, mataku memindai sekeliling. Pun dengan Umi Fatimah. Aku berjalan cepat ke arah tempat mengaji anak-anak tadi, badanku berputar menengok ke kiri dan ke kanan. Nihil. Tidak ada."Gimana, Nay? Ada?" tanya Umi dengan wajah panik.Aku menggeleng."Kita cari ke arah belakang masjid."Aku pun mengikuti umi menuju belakang masjid. Bahkan sampai mengelilinginya. Tidak ada tanda-tanda Syafea ada di sana. Aku dan Umi pun memutuskan untuk kembali ke depan.Dengan tubuh yang masih bergetar dan kaki lemas, aku terduduk lesu di teras masjid. Menangis sesenggukan sambil menangkup wajahku dengan kedua tangan."Syafea ...." Aku menangis memanggil nama putriku."Sabar. Kita cari sama-sama. Insyaallah, Fea baik-baik saja." Umi mengusap punggungku pelan.Saat aku masih terisak, samar kudengar celotehan Syafea dari dalam masjid. Wajahku langsung mendongak seketika. Aku dan Umi saling bertatapan. Sepertinya Umi pun mendengarnya. Seingatku tadi, pintu

  • Dilema Istri Kedua   Bab 46

    Setelah melaksanakan solat isya, seperti kebiasaan keluargaku dari kecil, kami berkumpul di tuang TV. Berbagi cerita, membahas segala hal. Rencananya, malam ini, aku ingin bertanya kepada ibu dan Bang Irsyad tentang pendapat mereka mengenai Bang Raka. Aku ingin mengatakan kalau Bang Raka ingin serius menjalani hubungan denganku.Syafea tengah tertidur di karpet ruang TV karena terlalu lelah bermain. Ini waktu yang tepat untukku berbicara karena tidak akan diganggu anakku. "Bu, Bang, Naya mau ngomongin sesuatu," ucapku pada Ibu dan Bang Raka dengan hati yang berdebar. Spontan Ibu dan Abangku itu langsung menatap ke arahku."Ada apa, Nay?" tanya Ibu. Sementara Bang Irsyad tidak bersuara. Hanya dari gestur tubuhnya, dia terlihat sudah siap untuk mendengarkan."Naya ... mau bertanya sesuatu pada Ibu dan Abang," kataku lagi seolah ragu."Iya, apa? Tanyakan saja," jawab Ibu."Naya ... Naya ... Maksud Naya, gimana pendapat Ibu sama Abang tentang Bang Raka? Sebenarnya, Bang Raka mengatakan s

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status