Share

1. Pencetus petaka

Dua tahun berpisah dari Annisa, hidup Barra dan keluarga naik satu tingkat. Uang perjanjian itu membawa manfaat untuk Barra dan keluarga. Ibunya berhasil melakukan transplantasi jantung. Alby adik pertama Barra masuk salah satu universitas dengan jurusan sesuai bidang yang ia sukai. Ervi adik bungsu Barra berhasil lulus sekolah menengah atas tanpa hambatan.

Barra patut bersyukur atas pengalaman tersebut. Kalau dibilang menyesal, tentu ada. Namun, ya sudah semua telah terjadi. Barra niatkan saling membantu, simbiosis mutualisme, tak ada pihak yang dirugikan. Satu tahun itu Barra lalui penuh kesakitan. Sakit yang tampak oleh mata, Annisa meninggalkan banyak goresan di tubuh Barra. Untungnya ada di dalam, bukan wajah atau tangan yang bisa dilihat banyak orang.

Barra duduk di atas Vespa bututnya, di pinggir sawah. Jangan salah, meski Jakarta adalah Ibukota Negara Indonesia. Kota metropolitan, tetapi Jakarta masih memiliki sawah yang menjadi akses jalan tikus Barra setiap hari saat berangkat kerja. Cukup membantu Barra mendapat oksigen segar pagi hari.

Barra menatap langit jingga, kemarin merupakan hari bersejarah bagi Barra. Ia meminang adik dari CEO perusahaan yang memberinya pekerjaan. Masih tak percaya, ia bisa menaklukkan hati seorang anak ningrat. Astrata, gadis dengan ukiran sempurna, kulit putih bersih dan hidung mancung bak kuncup bunga telah membuat Barra cinta setengah mati. Seperti gayung bersambut, Astra pun memiliki perasaan yang sama.

Kalau jodoh memang tidak ke mana. Menurut Barra seperti itu. Barra merebahkan tubuh di jok Vespa. Ada kegalauan mengusik pikiran dan batin Barra. Tanggal pernikahan sudah ditentukan, tapi Barra tak memiliki tabungan lebih untuk hari bahagia itu. Barra tak pernah bebankan masalah pribadi pada Ibu maupun adiknya. Saat pikiran kacau maka di sinilah ia akan menenangkan diri. Otak kembali bekerja keras, mencari solusi dari mana ia bisa dapatkan uang untuk menyokong hajat besar Astra dan dirinya.

Semua sudah diobrolkan saat perwakilan keluarga Barra meminang Astra. Pak Abbas yang merupakan Ayah Astra akan bertanggung jawab penuh atas pernikahan Barra bersama putrinya. Pak Abbas meminta keluarga Barra tak perlu pusing memikirkan perihal biaya. Barra cukup menyiapkan mahar yang ia mampu. Bagi Pak Abbas urusan uang hanya masalah simpel. Barra senang punya calon mertua sebaik Pak Abbas. Masalahnya Barra itu pria, harga dirinya ada pada tanggung jawab. Saat pria berhasil menunaikan tanggung jawab, maka di situlah ia akan dihargai dan dihormati.

Minimal Barra butuh lima puluh juta. Dari mana ia mendapat uang sebanyak itu dalam waktu sepuluh hari? Otaknya berjubel, pusing. Tabungan Barra tinggal sepuluh juta, itu pun anggaran khusus pengobatan sang Ibu. Ibunya harus rutin kontrol ke rumah sakit. Sang Ibu mengidap berbagai penyakit, dokter bilang komplikasi. Barra harus membawa ke poli penyakit dalam setiap bulan sekali. Mungkin ada uang simpanan dari rumah makan. Barra belum bertanya pada Alby sang adik yang menjalankan usaha rumah makan Minang.

Barra memejamkan mata sebentar. Jalanan ini cukup sepi, tak banyak kendaraan yang lewat. Barra meresapi oksigen yang ia hirup dalam-dalam, lalu ia keluarkan pelan.

"Woy k*m***," umpatnya saat kaget akan bunyi ponsel. Ia sampai terjatuh ke tanah, beruntung motornya selamat.

* *

"Bagaimana tawaran, saya?" tanya Hiro. Barra berpikir ulang. Namun, bimbang dan butuh menjadi dua kata yang beradu di otak besarnya. Banyak hal yang menjadi pertimbangan Barra. Apakah ia siap masuk kembali ke lubang yang sama?

"Baik. Saya terima, Pak," jawab Barra setelah beberapa saat menimbang. Dua pria dewasa itu saling berjabat. Hiro memesankan minum dan makan untuk Barra. Mereka menikmati makan malam bersama di restoran seafood. Barra langsung meluncur setelah Hiro meneleponnya tadi.

Barra memegangi perut yang terasa penuh. Ia habiskan semua menu yang Hiro pesan, sedang Hiro hanya meneguk sedikit jus kiwinya. Bagi Barra pantang membuang makanan. Hiro merogoh selembar kertas dari tas. "Jika setuju, kamu tanda tangan di sini," ucap Hiro menunjuk sisi bawah kertas.

Tak ingin terkecoh lagi, Barra membaca detail kalimat yang tertuang di kertas itu. Surat perjanjian lagi, tapi isinya masih bisa Barra toleransi. Sangat menguntungkan untuk Barra. Barra setuju. Ia mulai menggoreskan tinta hitam milik Hiro.

"Sekalian salinannya, ada di bawah." Tambah Tuan Hiro.

Barra lanjut menandatangani lembar kedua, dan dia tak membacanya lagi. Bukankah itu salinan? Buang-buang waktu saja kalau harus baca ulang.

Hiro tersenyum miring, Barra memang ceroboh. Semua yang dilakukan Hiro demi putrinya, Annisa. Hiro sangat menyayangi putrinya itu. Namun, banyak hal yang mengharuskan ia menyembunyikan identitas Annisa. Hari ini Hiro menemui Barra untuk Annisa. Setelah urusan dengan Barra selesai, Hiro menyerahkan amplop coklat. Amplop itu tampak mengembang.

Semangat Barra bergelora. Ia akan pakai uang itu untuk membeli mahar. Selain uang tunai, Hiro juga menawarkan tunjangan bulanan sebesar lima puluh juta. Air liur Barra hampir menetes mendengar nominal tersebut. Barra meninggalkan vespanya di restoran, ternyata restoran itu milik Hiro. Orang kaya tujuh turunan, asetnya ada di mana-mana.

Supir melajukan mobil. Tak ada obrolan di dalam mobil, Hiro sibuk dengan iPad-nya. Wajar. Kan Hiro adalah seorang bos. Hiro terlihat serius mengerjakan sesuatu di sana. Barra melirik ke luar jendela saat laju mobil melambat. Rumah besar, tapi bukan rumah yang pernah Barra tempati.

Barra mengikuti langkah Hiro, di dalam sudah ada penghulu. Barra dituntun duduk di kursi dekat para saksi. Bahkan Barra belum menyapa siapa pun.

"Sah ..." Barra masuk kandang buaya untuk kali kedua. Seperti pernikahan pertama dulu. Setelah acara inti selesai, semua keluar. Ada yang membedakan, semua saksi dan satu penghulu mendapat amplop dari asisten Hiro. Barra tak ikut campur. Hiro berikan kembali kertas persis dengan tanda tangan Barra.

"Silakan baca lagi dan, simpan," tutur Hiro memberikan salinan. Barra berikan anggukan. Ia membaca lagi, masih sama. Kertas kedua, ia baca dengan benar. Mata Barra membulat sekilas, hampir lompat dari kelopak. Apa ini? Perjanjian macam apa. Bukankah pernikahan siri yang berkuasa penuh adalah suami. Ah bodoh, Barra tertipu lagi. Di dalam lembaran kedua tertulis bahwa Barra wajib datang ketika Annisa membutuhkan. Kalau sampai terlambat, ancamannya adalah hubungan Barra dengan Astra akan dipertaruhkan.

Parahnya Barra adalah suami ketiga. Oh astaga. Mimpi buruk macam apa ini? Barra meremas kuat kertas itu. Hatinya sangat kesal. Marah, emosi menggunung di dada Barra. Barra di tinggalkan sendiri, di ruang tamu rumah megah milik Annisa. Ingin sekali tangannya meraih vas berisi bunga sintetis. Melemparnya ke lemari kaca di pojok ruangan tersebut, agar semua tahu akan kemarahannya.

"Mas, minum dulu." Bi Sumi membawa nampan berisi es jeruk dan camilan. Bi Sumi memang asisten setia, ia sabar menghadapi Annisa yang kadang tak bisa dikontrol. Bukan sekadar asisten, Bi Sumi menjadi ibu pengganti untuk Annisa. Sejak remaja hidupnya diabdikan untuk keluarga Hiro. Bi Sumi merawat Annisa sejak Annisa masih duduk di sekolah dasar. Bi Sumi pernah cerita, ia sampai tak ada keinginan menikah hingga sekarang. Demi siapa, ya demi Annisa. Hiro tak mengizinkan istri dan adik dari Annisa menemuinya. Bu Laksmi yang merupakan ibu dari Annisa bahkan sering mencuri kesempatan untuk bertemu putrinya. Tentu dengan bantuan Bi Sumi. Namun, setelah ketahuan Hiro, hal seperti itu tak pernah terjadi lagi.

Bi Sumi menenangkan Barra, seakan Bi Sumi tahu kemarahan yang belum tumpah itu. Mata Barra menyorot aura emosi. Akhirnya Barra kembali duduk tenang di sofa ruang tamu tersebut. Bi Sumi berikan satu gelas es jeruk pada Barra. Barra meneguk hingga tandas, batu esnya ia kunyah. Dingin dan ngilu tak ia rasakan, emosi seakan mematikan indra pengecapnya.

"Mas, kenalin ini, Kenzi. Suami pertama Mbak Annis," ucap Bi Sumi pelan-pelan, sangat pelan malah. Takut kalau Barra sampai meledak.

Barra reflek berdiri. Emosinya mendekati puncak. "Jadi, kamu suami Annisa yang pertama? Apa kamu benar-benar waras?" tanya Barra dengan nada paling tinggi.

"Saya cuma jaga Mbak Annis, Mas. Maaf kalau saya diam saja." Ken mengerti arah bicara Barra. Ken pun hanya menjalankan tugas, tapi Ken sebenarnya memiliki perasaan tulus untuk Annisa. Ia setia mendampingi Annisa, meski saat Annisa bercinta dengan lelaki lain. Ken adalah supir pribadi Annisa, yang berakhir sebagai suami. Campur tangan Hiro tak lepas dari semua ini. Bisa di pahami saat orang tua menyayangi anak, tetapi cara yang dipakai salah. Di mata hukum dan agama jelas tindakannya tidak di benarkan. Barra dan Ken adalah korban, termasuk Annisa sendiri.

Hiro yang berperan penting pada kondisi Annisa, justru mendorong Annisa ke lembah kehancuran. Karena kurangnya interaksi antara orang tua dan anak, Hiro tak mengerti atau tak mau tahu hal yang Annisa butuhkan. Ia hanya menekan tindakan pendek yang Annisa lakukan. Namun, cara Hiro malah menambah panjang rentetan penyebab gagalnya pengobatan tersebut.

Barra mengepal kuat, ia sudah tak mampu menahan gemuruh di dada. "Dasar, Hiro brengsek!" umpat Barra keras. Ia melemparkan semua benda di meja tamu. Membuang ke sembarang arah, sekuat tenaga, ada yang menghantam lemari hias, ada yang menghantam jendela kaca. Akhirnya ruangan tersebut penuh dengan serpihan kaca. Setelah meluapkan kemarahan, Barra menghambur keluar dari rumah tersebut.

Brakk!

Barra membanting pintu kayu. Ia mengayunkan kaki menuju rumahnya yang berjarak cukup jauh. Ia memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi. Barra memikirkan apakah ia akan lanjut atau berhenti sebelum terlambat.

* *

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status