Beranda / Romansa / Dilema Suami Bayaran / 1. Pencetus petaka

Share

1. Pencetus petaka

Penulis: diara_di
last update Terakhir Diperbarui: 2022-01-27 17:57:59

Dua tahun berpisah dari Annisa, hidup Barra dan keluarga naik satu tingkat. Uang perjanjian itu membawa manfaat untuk Barra dan keluarga. Ibunya berhasil melakukan transplantasi jantung. Alby adik pertama Barra masuk salah satu universitas dengan jurusan sesuai bidang yang ia sukai. Ervi adik bungsu Barra berhasil lulus sekolah menengah atas tanpa hambatan.

Barra patut bersyukur atas pengalaman tersebut. Kalau dibilang menyesal, tentu ada. Namun, ya sudah semua telah terjadi. Barra niatkan saling membantu, simbiosis mutualisme, tak ada pihak yang dirugikan. Satu tahun itu Barra lalui penuh kesakitan. Sakit yang tampak oleh mata, Annisa meninggalkan banyak goresan di tubuh Barra. Untungnya ada di dalam, bukan wajah atau tangan yang bisa dilihat banyak orang.

Barra duduk di atas Vespa bututnya, di pinggir sawah. Jangan salah, meski Jakarta adalah Ibukota Negara Indonesia. Kota metropolitan, tetapi Jakarta masih memiliki sawah yang menjadi akses jalan tikus Barra setiap hari saat berangkat kerja. Cukup membantu Barra mendapat oksigen segar pagi hari.

Barra menatap langit jingga, kemarin merupakan hari bersejarah bagi Barra. Ia meminang adik dari CEO perusahaan yang memberinya pekerjaan. Masih tak percaya, ia bisa menaklukkan hati seorang anak ningrat. Astrata, gadis dengan ukiran sempurna, kulit putih bersih dan hidung mancung bak kuncup bunga telah membuat Barra cinta setengah mati. Seperti gayung bersambut, Astra pun memiliki perasaan yang sama.

Kalau jodoh memang tidak ke mana. Menurut Barra seperti itu. Barra merebahkan tubuh di jok Vespa. Ada kegalauan mengusik pikiran dan batin Barra. Tanggal pernikahan sudah ditentukan, tapi Barra tak memiliki tabungan lebih untuk hari bahagia itu. Barra tak pernah bebankan masalah pribadi pada Ibu maupun adiknya. Saat pikiran kacau maka di sinilah ia akan menenangkan diri. Otak kembali bekerja keras, mencari solusi dari mana ia bisa dapatkan uang untuk menyokong hajat besar Astra dan dirinya.

Semua sudah diobrolkan saat perwakilan keluarga Barra meminang Astra. Pak Abbas yang merupakan Ayah Astra akan bertanggung jawab penuh atas pernikahan Barra bersama putrinya. Pak Abbas meminta keluarga Barra tak perlu pusing memikirkan perihal biaya. Barra cukup menyiapkan mahar yang ia mampu. Bagi Pak Abbas urusan uang hanya masalah simpel. Barra senang punya calon mertua sebaik Pak Abbas. Masalahnya Barra itu pria, harga dirinya ada pada tanggung jawab. Saat pria berhasil menunaikan tanggung jawab, maka di situlah ia akan dihargai dan dihormati.

Minimal Barra butuh lima puluh juta. Dari mana ia mendapat uang sebanyak itu dalam waktu sepuluh hari? Otaknya berjubel, pusing. Tabungan Barra tinggal sepuluh juta, itu pun anggaran khusus pengobatan sang Ibu. Ibunya harus rutin kontrol ke rumah sakit. Sang Ibu mengidap berbagai penyakit, dokter bilang komplikasi. Barra harus membawa ke poli penyakit dalam setiap bulan sekali. Mungkin ada uang simpanan dari rumah makan. Barra belum bertanya pada Alby sang adik yang menjalankan usaha rumah makan Minang.

Barra memejamkan mata sebentar. Jalanan ini cukup sepi, tak banyak kendaraan yang lewat. Barra meresapi oksigen yang ia hirup dalam-dalam, lalu ia keluarkan pelan.

"Woy k*m***," umpatnya saat kaget akan bunyi ponsel. Ia sampai terjatuh ke tanah, beruntung motornya selamat.

* *

"Bagaimana tawaran, saya?" tanya Hiro. Barra berpikir ulang. Namun, bimbang dan butuh menjadi dua kata yang beradu di otak besarnya. Banyak hal yang menjadi pertimbangan Barra. Apakah ia siap masuk kembali ke lubang yang sama?

"Baik. Saya terima, Pak," jawab Barra setelah beberapa saat menimbang. Dua pria dewasa itu saling berjabat. Hiro memesankan minum dan makan untuk Barra. Mereka menikmati makan malam bersama di restoran seafood. Barra langsung meluncur setelah Hiro meneleponnya tadi.

Barra memegangi perut yang terasa penuh. Ia habiskan semua menu yang Hiro pesan, sedang Hiro hanya meneguk sedikit jus kiwinya. Bagi Barra pantang membuang makanan. Hiro merogoh selembar kertas dari tas. "Jika setuju, kamu tanda tangan di sini," ucap Hiro menunjuk sisi bawah kertas.

Tak ingin terkecoh lagi, Barra membaca detail kalimat yang tertuang di kertas itu. Surat perjanjian lagi, tapi isinya masih bisa Barra toleransi. Sangat menguntungkan untuk Barra. Barra setuju. Ia mulai menggoreskan tinta hitam milik Hiro.

"Sekalian salinannya, ada di bawah." Tambah Tuan Hiro.

Barra lanjut menandatangani lembar kedua, dan dia tak membacanya lagi. Bukankah itu salinan? Buang-buang waktu saja kalau harus baca ulang.

Hiro tersenyum miring, Barra memang ceroboh. Semua yang dilakukan Hiro demi putrinya, Annisa. Hiro sangat menyayangi putrinya itu. Namun, banyak hal yang mengharuskan ia menyembunyikan identitas Annisa. Hari ini Hiro menemui Barra untuk Annisa. Setelah urusan dengan Barra selesai, Hiro menyerahkan amplop coklat. Amplop itu tampak mengembang.

Semangat Barra bergelora. Ia akan pakai uang itu untuk membeli mahar. Selain uang tunai, Hiro juga menawarkan tunjangan bulanan sebesar lima puluh juta. Air liur Barra hampir menetes mendengar nominal tersebut. Barra meninggalkan vespanya di restoran, ternyata restoran itu milik Hiro. Orang kaya tujuh turunan, asetnya ada di mana-mana.

Supir melajukan mobil. Tak ada obrolan di dalam mobil, Hiro sibuk dengan iPad-nya. Wajar. Kan Hiro adalah seorang bos. Hiro terlihat serius mengerjakan sesuatu di sana. Barra melirik ke luar jendela saat laju mobil melambat. Rumah besar, tapi bukan rumah yang pernah Barra tempati.

Barra mengikuti langkah Hiro, di dalam sudah ada penghulu. Barra dituntun duduk di kursi dekat para saksi. Bahkan Barra belum menyapa siapa pun.

"Sah ..." Barra masuk kandang buaya untuk kali kedua. Seperti pernikahan pertama dulu. Setelah acara inti selesai, semua keluar. Ada yang membedakan, semua saksi dan satu penghulu mendapat amplop dari asisten Hiro. Barra tak ikut campur. Hiro berikan kembali kertas persis dengan tanda tangan Barra.

"Silakan baca lagi dan, simpan," tutur Hiro memberikan salinan. Barra berikan anggukan. Ia membaca lagi, masih sama. Kertas kedua, ia baca dengan benar. Mata Barra membulat sekilas, hampir lompat dari kelopak. Apa ini? Perjanjian macam apa. Bukankah pernikahan siri yang berkuasa penuh adalah suami. Ah bodoh, Barra tertipu lagi. Di dalam lembaran kedua tertulis bahwa Barra wajib datang ketika Annisa membutuhkan. Kalau sampai terlambat, ancamannya adalah hubungan Barra dengan Astra akan dipertaruhkan.

Parahnya Barra adalah suami ketiga. Oh astaga. Mimpi buruk macam apa ini? Barra meremas kuat kertas itu. Hatinya sangat kesal. Marah, emosi menggunung di dada Barra. Barra di tinggalkan sendiri, di ruang tamu rumah megah milik Annisa. Ingin sekali tangannya meraih vas berisi bunga sintetis. Melemparnya ke lemari kaca di pojok ruangan tersebut, agar semua tahu akan kemarahannya.

"Mas, minum dulu." Bi Sumi membawa nampan berisi es jeruk dan camilan. Bi Sumi memang asisten setia, ia sabar menghadapi Annisa yang kadang tak bisa dikontrol. Bukan sekadar asisten, Bi Sumi menjadi ibu pengganti untuk Annisa. Sejak remaja hidupnya diabdikan untuk keluarga Hiro. Bi Sumi merawat Annisa sejak Annisa masih duduk di sekolah dasar. Bi Sumi pernah cerita, ia sampai tak ada keinginan menikah hingga sekarang. Demi siapa, ya demi Annisa. Hiro tak mengizinkan istri dan adik dari Annisa menemuinya. Bu Laksmi yang merupakan ibu dari Annisa bahkan sering mencuri kesempatan untuk bertemu putrinya. Tentu dengan bantuan Bi Sumi. Namun, setelah ketahuan Hiro, hal seperti itu tak pernah terjadi lagi.

Bi Sumi menenangkan Barra, seakan Bi Sumi tahu kemarahan yang belum tumpah itu. Mata Barra menyorot aura emosi. Akhirnya Barra kembali duduk tenang di sofa ruang tamu tersebut. Bi Sumi berikan satu gelas es jeruk pada Barra. Barra meneguk hingga tandas, batu esnya ia kunyah. Dingin dan ngilu tak ia rasakan, emosi seakan mematikan indra pengecapnya.

"Mas, kenalin ini, Kenzi. Suami pertama Mbak Annis," ucap Bi Sumi pelan-pelan, sangat pelan malah. Takut kalau Barra sampai meledak.

Barra reflek berdiri. Emosinya mendekati puncak. "Jadi, kamu suami Annisa yang pertama? Apa kamu benar-benar waras?" tanya Barra dengan nada paling tinggi.

"Saya cuma jaga Mbak Annis, Mas. Maaf kalau saya diam saja." Ken mengerti arah bicara Barra. Ken pun hanya menjalankan tugas, tapi Ken sebenarnya memiliki perasaan tulus untuk Annisa. Ia setia mendampingi Annisa, meski saat Annisa bercinta dengan lelaki lain. Ken adalah supir pribadi Annisa, yang berakhir sebagai suami. Campur tangan Hiro tak lepas dari semua ini. Bisa di pahami saat orang tua menyayangi anak, tetapi cara yang dipakai salah. Di mata hukum dan agama jelas tindakannya tidak di benarkan. Barra dan Ken adalah korban, termasuk Annisa sendiri.

Hiro yang berperan penting pada kondisi Annisa, justru mendorong Annisa ke lembah kehancuran. Karena kurangnya interaksi antara orang tua dan anak, Hiro tak mengerti atau tak mau tahu hal yang Annisa butuhkan. Ia hanya menekan tindakan pendek yang Annisa lakukan. Namun, cara Hiro malah menambah panjang rentetan penyebab gagalnya pengobatan tersebut.

Barra mengepal kuat, ia sudah tak mampu menahan gemuruh di dada. "Dasar, Hiro brengsek!" umpat Barra keras. Ia melemparkan semua benda di meja tamu. Membuang ke sembarang arah, sekuat tenaga, ada yang menghantam lemari hias, ada yang menghantam jendela kaca. Akhirnya ruangan tersebut penuh dengan serpihan kaca. Setelah meluapkan kemarahan, Barra menghambur keluar dari rumah tersebut.

Brakk!

Barra membanting pintu kayu. Ia mengayunkan kaki menuju rumahnya yang berjarak cukup jauh. Ia memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi. Barra memikirkan apakah ia akan lanjut atau berhenti sebelum terlambat.

* *

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dilema Suami Bayaran    37. Pergi (Selesai)

    “Apa! Papi ditangkap polisi karena menyuruh seseorang menembak Kak Barra?” Nayumi terduduk lemah. Bukan kaget mendengar kabar sang ayah ditangkap, melainkan ia terkejut dengan tindakan sang ayah yang melampaui batas.Nayumi menyeka air mata, meskipun tak begitu dekat dengan Barra Farzan, tetapi mendengar selentingan cerita seorang Barra dari beberapa sumber, membikin ia prihatin. Bagus Nayumi, Barra adalah pria terbaik untuk Annisa sang Kakak. Kalau saja Barra bukan suami dari Astrata, mungkin Nayumi juga akan menyatukan keduanya.“Mbak Nay kenapa nangis?” tanya Bi Sumi.“Kak Barra ditembak Papi, Bi. Aku harus melihat keadaan Kak Barra, titip Kak Nisa sebentar ya, Bu.”“Tapi, Mbak ... Non Annisa kan sedang kritis.”“Sebentar saja, Bi. Kalau ada apa-apa langsung telepon aku, ya.”Nayumi melangkah cepat meninggalkan Bi Sumi sendiri, Laksmi sang ibu sudah pulang lebih dulu karena tidak memungkinkan menunggui Annisa bersama bocah balita.Nayumi berjalan menuju ruang UGD, sebab ia tidak ta

  • Dilema Suami Bayaran    36. Berlumur Darah

    Brugh!Tubuh ringannya tumbang ... tepat di depan gerbang rumah sakit. Suasana pecah, kocar-kacir manusia ketakutan mendengar ledakan menggema. Petugas keamanan berpencar, beberapa pergi mengejar, dan ada sebagian yang menolong korban.Langit jingga menjadi kelabu bersama cerita pilu itu. Barra Farzan, inginnya menemui sang istri terhalang petaka.“Cepat kejar pelakunya, dia pake motor besar warna hitam ke arah sana,” seru seorang saksi.“Tolong ini, tolong ... cepat bawa brankar ke sini.” Suara-suara kekhawatiran terdengar jelas. Beruntunglah ia, banyak orang peduli dengan kemalangannya.Tubuhnya berlumur darah. Kaos coklatnya berubah kehitaman. Brankar didorong cepat oleh perawat. Satu tangan masih setia menggenggam map coklat.Sesekali pria itu terbatuk demi mencukupi oksigen dalam otak. Suaranya tertahan rasa sakit. Tangan kirinya mencoba menjawil perawat.“Buk ... to .... tolong ... panggil, uhuk ... uhuk.” Napasnya terpotong-potong, menyulitkan Barra Farzan untuk buka suara.“S

  • Dilema Suami Bayaran    35. Satu tembakan

    Di hari yang sama, usai kepulangan Barra Farzan, Nayumi mencoba masuk ruangan Astrata. Ia ingin menjelaskan banyak hal mengenai Barra Farzan. Namun, begitu mengetuk pintu, Nayumi mendapat perlakuan kurang mengenakkan dari Alfa Zen.“Permisi ... .” Nayumi melongok pintu yang terbuka. Meski tidak begitu mengenal Nayumi, tetapi Astrata tahu bahwa gadis yang tengah berdiri di ambang pintu ruangan adalah gadis yang pernah mengejar sang Kakak Alfa Zen. Astrata ikut tersenyum, juga dengan Mbok Yami.“Masuk, Kak ... eh ... hem ... .”“Panggil Nayumi saja.” Kaki Nayumi melangkah ke ruang rawat Astrata Bustomi.Sreet!“Auh,” pekik Nayumi terkejut.Tangan Nayumi ditarik dari belakang, bahkan tubuhnya terlempar hampir jatuh membentur kursi tunggu kalau saja kakinya tidak kuat menahan.Astrata terduduk, ia menurunkan kaki ingin keluar dan membantu Nayumi.“Kak ... jangan kasar-kasar sama perempuan.”“Eh, mau ke mana, Neng? Mas Zen, ini ... tolong Neng Berli mau turun.” Mbok Yami menahan tubuh Astr

  • Dilema Suami Bayaran    34. Penolakan

    Barra Farzan melangkah gontai meninggalkan ruang UGD. Seluruh sisa tenaga yang ia miliki seakan lenyap oleh penolakan. Kini, ia berencana pulang, menengok dua adik yang lama ditinggal. Tak ada lagi keluarga yang dipunya selain Alby dan Ervi.Barra meninggalkan rumah sakit tanpa berpamitan pada Nayumi dan Laksmi. Ia menaiki kendaraan umum untuk membawa ke alamat tinggalnya.Tak habis pikir kalau Pak Abbas sang mertua ternyata sudah meninggal dunia. Sungguh sesak menatap aura letih Astrata. Ia sangat Bu ingin mendekap dan saling bertukar kabar dengan perempuan yang dicintai tersebut. Namun, apa mau dikata, dokter sudah mengatakan bahwa Astrata tidak boleh terlampau stres agar kandungannya tetap sehat.Dari gerbang masuk perumahan daerah tinggalnya, Barra berjalan. Ia agak ragu untuk pulang, pasalnya ia sendiri yakin kalau kehidupan Alby dan Ervi baik-baik saja tanpa ada dirinya.“Maafkan Papa, Nak ... Papa tidak bisa menemani kamu dan ibumu. Namun, doa Papa tetap bersama kalian dan

  • Dilema Suami Bayaran    33. Kritis

    Brankar didorong kencang. Pasien yang terbaring di atasnya meringis kesakitan sambil terus melafalkan doa-doa agar ia tetap sadar. Wanita tua yang mendampingi sampai terseok-seok akibat langkahnya lambat.“Jangan telepon Kak Zen dulu ya, Mbok, aku nggak apa-apa.”“Tapi, Neng ... .”“Sudah, nggak apa-apa. Mbok Yami jangan khawatir.” Astrata berusaha menarik kedua ujung bibir.Ia merasa selama kembali ke rumah hanya menjadi beban sang Kakak. Oleh karena itu, saat ia tiba-tiba jatuh sakit, ia masih berusaha kuat. Astrata sendiri tidak mengerti apa yang sedang terjadi pada tubuhnya. Kenapa dan apa sebabnya ia sampai pendarahan, sama sekali ia tidak paham.Ruangan ICU menyatu dengan ruang gawat darurat. Ketika brankar hampir masuk ke ruang penanganan, seorang pria berlari – menahan brankar dan menatap pasien yang tengah kesakitan.“Berli ... Sayang ... apa yang terjadi?”Astrata menepis tangan Barra dari keningnya. “Tolong usir pria ini, Sus, saya tidak mengenalnya.”“Maaf, Pak, Ibu harus

  • Dilema Suami Bayaran    32. Video Panas

    Niat baik yang dilakukan dengan cara salah, tentu akan menimbulkan dampak buruk di kemudian hari. Ada konsekuensi di dalamnya. Mau tidak mau, Barra harus menanggung sendiri buah dari semua kesalahan.Keluarga yang ia perjuangkan pun tidak sedikit pun tergerak untuk mencari keberadaan Barra yang sudah menghilang beberapa hari. Ervi sang adik perempuan, tidak bisa berbuat banyak. Sekalipun ia telah berusaha menanyai beberapa teman sang kakak sulung, hasilnya nihil.Alby yang notabene tahu semua asal mula timbulnya masalah, tak mau pusing. Ia terlanjur marah dengan Barra Farzan, dan melupakan seluruh kebaikan sang kakak.Usai mengantar Annisa ke rumah sakit, Nayumi mengizinkan Barra pergi. Gadis itu mengusulkan agar Barra menjauh dari Kota Jakarta untuk menghindari kejahatan Hiro. Hari ini mereka berhasil lepas dari perangkap iblis berwujud manusia tersebut. Namun, di lain waktu belum tentu.“Kak ... sebaiknya Kakak pergi dari kota ini. Aku nggak yakin Papi akan menyerah begitu saja.”“A

  • Dilema Suami Bayaran    31. Berdegup tak wajar

    Beberapa sekon setelah kepergian Hiro, seorang pengawal datang dan menyeret tubuh Barra dengan kasar. Antara sadar dan tidak, Barra jalan terseok-seok. Namun, ketika cahaya mulai menyilaukan mata, Barra berusaha berdiri seimbang.Sebelum membuka pintu, kepala Barra ditutup menggunakan kain. Seakan ia adalah terdakwa kematian. Jantung Barra mulai berdegup, pikirannya kacau mengingat kesalahan besar pada sang istri. Ia belum ingin meregang nyawa sia-sia. Harapannya besar untuk bisa meminta pengampunan Astrata secara tulus – perempuan yang amat Barra cintai.Barra dibawa naik – keluar dari ruang pengap yang berada di bawah tanah rumah megah nan mewah milik Annisa. Ya, ruang rahasia itu sebenarnya ada di dalam rumah megah.Usai Nayumi di kurung di salah satu kamar tamu lantai bawah, Barra diseret naik ke kamar Annisa. Ketika berada di luar pintu kamar, satu per satu pakaian Barra Farzan dilucuti hingga menyisakan celana bagian dalam saja. Barra dilempar oleh pengawal, bersamaan dengan kai

  • Dilema Suami Bayaran    30. Kehampaan

    Dua Minggu berlalu Barra lewati di sebuah ruang pengap tanpa cahaya. Selama itu pula, ia tak pernah tahu dunia luar. Wajah tampannya tertutup jambang dan lebam hampir di seluruh sisi. Barra disandera oleh Hiro. Tubuh gagah Barra tidak lagi sekuat dulu. Kini untuk berdiri saja Barra kesulitan. Beberapa kali mencoba kabur dari tempat laknat itu, tetapi selalu gagal dan mendapat hukuman yang membikin ia semakin tak berdaya.Ia bahkan tidak pernah tahu di mana ia berdiri saat ini. Sebab, ketika Hiro membawa Barra ke dalam ruangan pengap itu, Barra dibuat tak sadarkan diri. Ia baru menyadari dirinya diambang kematian kala membuka mata. Entah lah, ia tak pernah tahu lagi siang dan malam. Rasanya setiap detik dan menit yang dilalui tetap sama, yaitu gelap dan mencekam. Setiap hari ia hanya mempersiapkan diri untuk kematian. Ia menyerah, tenaganya sudah tak memungkinkan untuk lari dari orang-orang berhati iblis itu.Ya Tuhan ... kalau memang aku masih diberi kesempatan hidup lebih lama, tolon

  • Dilema Suami Bayaran    29. Bonus

    Barra menangis di atas gundukan tanah merah. Ervi pun melakukan hal sama, ia memeluk Barra dari samping sambil terisak pilu. Lain dengan Barra dan Ervi, Alby menahan semua gemuruh menyakitkan dalam hati. Ia segera pergi dari sana, tanpa mengajak kedua saudaranya ikut. Setiap ingat kejadian di rumah sakit, Alby seolah semakin benci dengan Barra Farzan.Apa pun alasannya, ia tahu pasti Barra Farzan membikin ulah lagi. Terbukti dari sang kakak ipar yang tidak hadir di pemakaman, pun tak berada di rumah mereka tinggal.Alby melangkah keluar dari pemakaman, air mata mulai berjatuhan membasahi pipinya. Ia tak sanggup terlalu lama menahan sesak seorang diri.“Maafin aku, Bu ... aku nggak bisa jaga Ibu dengan baik,” ucap Alby penuh penyesalan. Pria itu meninju pagar besi pemakaman yang tingginya setara dada.“Ini takdir Ibu, jangan menyesali apa yang sudah terjadi.” Tiba-tiba Barra merangkul bahu Alby dari belakang.Sontak, Alby yang memang sedang marah, meraih tangan Barra dan melempar tubuh

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status