Share

Dilema Suami Bayaran
Dilema Suami Bayaran
Penulis: diara_di

Prolog

Keinginan Barra tak banyak, ia tahu diri. Tuhan belum membekali Barra dengan harta berlimpah. Barra hanya ingin istri cantik luar dalam. Istri yang bisa menerima Barra lahir dan batin. Sebelum memulai, Barra memohon izin untuk mencari pendamping hidup pada dua adik dan ibunya. Satu-satunya orang tua yang Barra miliki.

Jika ada kata yang bisa mendeskripsikan seorang Barra, mungkin adiknya akan mengatakan strong brother atau mungkin superhero, atau bisa juga malaikat. Ya, karena mereka tak pernah tahu apa yang Barra lakukan. Mereka hanya tahu Barra adalah kepala keluarga yang nyaris sempurna. Ia bekerja keras untuk keluarga. Ketika di rumah, Barra juga tak segan untuk membantu menyelesaikan pekerjaan rumah tangga.

"Saya akan membayar 1 milyar kalau kamu mau menikahi anak saya secara hukum dan agama."

Otak dan hati Barra mendadak tak sinkron. Menikah tapi dibayar, ini jelas salah. Hati kecil Barra berkata tidak, ini bukanlah hal yang benar. Namun, isi kepala mendorong Barra untuk menerima tawaran tersebut. Tawaran menggiurkan itu sukses merontokkan keteguhan iman Barra. Siapa yang tak khilaf ketika diiming-imingi sejumlah uang dengan nominal yang begitu banyak. Barra bekerja sebagai staf disalah satu perusahaan kecil dengan gaji UMR. Bukan tak cukup lagi, tapi sangat kurang untuk hidup Barra dan keluarga. Ia harus pontang-panting mencari pekerjaan sampingan untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Barra telah menjual seluruh harta peninggalan sang ayah demi mengobati penyakit ibunya.

"Baik, saya mau," ucap Barra lantang. Ia pikir ini adalah rejeki, pantang menolak rejeki yang datang.

Kepala Barra kini sudah dipenuh dengan deretan angka. Tiga ratus juta untuk operasi Ibu, empat ratus lima puluh juta untuk beli rumah, seratus lima puluh juta untuk buka rumah makan. Sisanya akan ia gunakan untuk biaya pengobatan rutin sang Ibu dan sekolah adik-adiknya. Barra tak peduli dengan siapa ia akan menikah. Mungkin ini memang akhir dari pencarian, Tuhan mengabulkan permohonannya.

Barra sangat yakin melakukan pernikahan, ia tanda tangani secarik kertas yang diberikan Hiro padanya -- tanpa membaca terlebih dahulu. Barra datang hanya membawa badan saja, bahkan harga diri Barra sudah dibeli oleh Hiro.

Pria tersebut mendatangi rumah mewah sore hari sepulang bekerja. Sebelumnya Barra sudah mengabarkan pada Alby kalau ia ada lembur sampai pagi. Motor Vespa jadul milik Barra melaju membelah jalanan sempit. Ia harus melewati jalan tikus untuk menghindar dari razia polisi. Maklum saja, motor tua itu sudah lama mati pajak.

Sesekali Barra berhenti mengecek alamat dengan benar. Satu blok lagi Barra akan sampai ke alamat tujuan. Ia kembali berhenti sesaat, di depan pagar besi yang tingginya mencapai dua setengah meter. Pagar tersebut berwarna coklat berhias aksen ukiran bunga warna emas. Barra kembali menggeser layar ponsel. Tiga kali ia mengulang membaca alamat, tetap sama. Tiba-tiba Barra merasa grogi, bukan karena ia akan ijab kabul, melainkan gugup karena akan memasuki istana. Seumur hidup, baru sekali ini ia berada di titik terdekat dengan rumah mewah.

Pertama yang di lakukan Barra adalah, turun dari motor dan menyentuhkan ujung jari ke gerbang tersebut. Barra mencium harum aroma uang di sana, seketika hatinya bersorak gembira. Setelah dibawa masuk oleh seorang satpam, Barra diserahkan pada penata busana. Didandani ala pengantin. Ya jelas. Kan emang dia mau nikah. Hehe.

Barra mematut diri di cermin. Sempurna, pujinya pada ketampanan sendiri. Seorang ibu paruh baya membawa dirinya ke ruangan besar. Sudah ada penghulu dan saksi. Tak banyak manusia yang hadir di sana, Barra masa bodo. Ia tak mengenal satu pun. Tibalah waktu Barra mengucapkan janji pernikahan. Ijab kabul pernikahan seharusnya menjadi momen sakral pengikat hubungan. Namun, tanpa sadar mereka telah mempermainkan.

Barra celingukan mencari sosok gadis yang di klaim calon istrinya. Fokus Barra teralih saat Pak penghulu memberi secarik kertas robekan, benar-benar tak ada niat. Kertas berisi nama mempelai pria yang tak lain adalah dirinya, dan mempelai perempuan. 

Annisa Yuzawa, gadis yang akan sah menjadi istri Barra beberapa detik lagi. Dari namanya sudah cantik, Barra berharap dapat uang juga dapat gadis cantik. Gadis blasteran Jawa dan Jepang. Barra sudah menduga-duga kalau ia akan dapat gadis sempurna, hidupnya akan berubah menjadi sultan dalam semalam. Yey. Teriak Barra kegirangan di dalam hati. Tanpa memikirkan alasan dibalik pernikahan bayaran itu.

"Saya terima nikah dan ..."

"Bagaimana para saksi, sah?"

"Sah."

"Alhamdulillah."

Seorang Bapak memimpin doa. Usai serangkaian acara, gadis cantik berdiri di depan Barra, lalu mencium punggung tangannya. Namun, ada hal aneh, Barra seperti merasakan basah di punggung tangannya setelah dikecup gadis itu. Ah mungkin hanya perasaannya saja.

Semua orang bubar, termasuk orang tua Annisa. Barra tak paham, lagi-lagi Barra bersikap tak acuh. Lagian ia sudah dapat perempuan cantik. Hanya tinggal Annisa, Barra dan asisten rumah tangga di rumah megah bak istana itu.

"Ayo, Mas. Ke kamar," ajak Annisa. Baru ini Annisa bicara sejak dua jam lalu mereka bertemu. Barra menyipitkan mata, lumayan agresif menurutnya. Saat di kamar, Annisa yang mulai memimpin permainan. Barra bersiap menembakkan senjatanya, tapi ia ragu. Ia tegang, gugup dan ada rasa takut menyakiti sang istri. Ini pengalaman pertama bagi Barra, ia akan serahkan keperjakaan pada istri sementara. Baru ia tarik napas pelan.

Sleepp! Annisa lebih dulu memasukkan. Tanda tanya kedua. Meski Barra belum pernah melakukan itu, tapi naluri lelakinya bisa membaca. Ronde pertama berlangsung selama 1.5 jam, bukankah itu waktu yang luar biasa untuk sekali klimaks? Tentu saja. karena dalam waktu sepanjang itu Barra dua kali mencapai puncak, sedangkan Annisa baru sekali. Barra terjatuh lemah di sisi tubuh polos gadisnya. Ia duduk mencari bercak merah, benar. Ternyata Annisa bukan perawan. Barra tak ambil pusing, karena ia memang berlaku sebagai suami bayaran.

Annisa tak banyak bicara, tapi sikapnya aneh menurut Barra. Baru saja Barra akan terlelap, tangan Annisa sudah kembali mengusik kejantanannya. Dia bermain agresif. Ronde kedua dimulai. Pertahanan Annisa begitu kuat, sesi kedua berjalan lebih lama. Istirahat tiga puluh menit, dan Annisa minta lanjut lagi.

Semalam penuh mereka bercinta. Barra sampai kewalahan. Paginya dia harus mengirim surat izin ke perusahaan tempatnya bekerja. Badannya seperti patah tulang. Seluruh sendi terasa pegal.

Hal seperti itu terjadi selama tiga hari, dan selama itu Barra tak masuk kantor. Ia juga tak pulang ke rumah. Barra rasa ada yang mereka sembunyikan. Ia ingin melarikan diri dari sana. Hari keempat Barra menyandang gelar suami, tepat hari minggu. Barra bisa gunakan untuk kabur jika ia tak bisa istirahat.

"Mas, ada Bapak ingin ketemu," panggil Bi Sumi. Sial, Barra benar-benar sial. Keinginan kabur harus ia kubur, Hiro memberi ancaman keras pada Barra. Secarik kertas yang dibubuhi tanda tangannya sore itu ternyata surat perjanjian pernikahan. Barra terikat pernikahan siri selama satu tahun. Ia tak bisa lari. Setelah satu tahun, ia baru bisa bebas. Awalnya Barra berpikir akan mempertahankan pernikahan itu. Namun, setelah mengarungi bahtera rumah tangga selama empat hari, Barra menyadari ada yang tak beres.

Hiro sudah mengirimkan surat resign ke tempat Barra bekerja. Shok! Satu kata yang menggambarkan kondisi Barra sekarang. Dia tidak bisa berbuat apa pun. Nyatanya Hiro sudah membeli tubuh dan harga diri Barra selama satu tahun. Barra bergidik takut membayangkan waktu selama itu. Baru jalan hari keempat saja Barra sudah kena demam. Apalagi satu tahun.

Hiro mengulurkan botol berukuran sedang. Warnanya gelap jadi Barra tak bisa menebak maksud dan tujuan Hiro dengan botol itu. Barra meringis malu setelah membaca lebel yang ada di bagian luar. Namun, kenapa Hiro sampai memberinya obat kuat. Terlalu rumit untuk Barra mengerti keluarga konglomerat itu. Annisa terlihat menuruni tangga, seperti biasa ia selalu pasang wajah datar.

"Mas, ayo ke kamar," ajaknya. Selalu saja kalimat itu yang keluar dari mulutnya. Barra merasa tak sanggup kalau harus melayani istrinya lagi. Badan Barra masih terasa remuk. "Nanti malam saja, An. Masih ada ayahmu di sini," jawab Barra pelan dan lembut.

Hiro sudah hendak membuka mulut, entah kalimat apa yang akan diucapkan. Namun, hanya menguap. Mereka langsung panik saat benda tajam sudah ada di tangan Annisa. Barra mendekat, pelan ia ambil benda itu dan ia bawa Annisa ke kamar atas. Menuntaskan gairah yang tak mampu Barra puaskan.

Akankah Annisa melepas Barra setelah perjanjian itu selesai? Atau justru mereka terlibat skandal hubungan gelap?

* *

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status