Share

2. Gagal membeli mahar

Pagi-pagi sekali Alby sudah membangunkan Barra. Hari itu jadwal mereka belanja kebutuhan warung makan.

"Catatannya mana, Al?" Barra bertanya pada Alby. Catatan yang dimaksud adalah daftar bahan makanan yang hendak mereka beli di pasar pagi.

"Sudah di dalam tas, Da," sahut Alby. Selain kuliah, Alby menjalankan bisnis rumah makan Minang bersama Ervi si adik bungsu.

"Uda, aku titip kue talam ya. Semalam Ibu bilang ingin makan kue itu." Ervi bicara pada Barra. Bu Neini akan bangun saat kedua anaknya sudah kembali dari pasar tradisional. Bukan karena Bu Neini pemalas, tetapi kondisi sakit membuat Bu Neini sering kesulitan tidur saat malam tiba dan baru terlelap dini hari. Ervi menyiapkan bumbu masakan khas Padang.

"Iya Dek, nanti Uda belikan. Jangan lupa buatkan Ibu bubur." Barra ingatkan sang adik. Ervi sering lupa menyiapkan bubur untuk sang Ibu. Padahal Bu Neini tak bisa terlambat sarapan, makan pun harus yang lembut-lembut.

Jam di tangan Barra menunjukkan angka lima. Setelah dua jam mengelilingi pasar pagi Kompleks Garuda, Barra dan Alby menyewa angkot untuk mengantar dan membawa semua barang belanjaan pulang ke rumah. Mereka tak malu melakukan aktivitas tersebut, biar pun terkadang ada saja yang mengatai mereka dengan sebutan pria rasa emak-emak. Namun, kedua pria itu menikmati kebiasaan baiknya.

"Hari ini kuliah jam berapa?" tanya Barra saat mereka sudah berada di dalam angkot.

"Jam tiga sore. Hari ini cuma satu mata kuliah. Kayaknya Ervi lebih padat jadwalnya hari ini," jawab Alby.

"Ya sudah, sepintar-pintarnya kalian saja mengatur jadwal. Kalau memang pas bareng jamnya, jangan dipaksakan. Panggil aja Teh Elis, kalau cuma menunggu kan bisa. Toh ada Ibu juga." Barra memberi saran pada Alby. Ia hanya bisa membantu warung makan ketika akhir pekan. Malam hari Barra juga seringkali tak bisa, ia mengejar lembur di kantor. Terlebih setelah Barra kembali menikahi Annisa. Barra juga harus ke rumah Annisa saat diperintah.

Mereka terlibat obrolan santai sampai angkot tersebut berhenti di depan rumah sederhana bercat hijau daun.

* *

Masih pukul setengah tujuh, Barra sudah berada di halaman parkir gedung pencakar langit bernama Bus Property Corp (BPC). Barra menjadi salah satu karyawan yang memiliki loyalitas tinggi. Sampai satpam perusahaan sangat hafal dengan wajah Barra. Tak salah Pak Abbas menerimanya sebagai calon menantu. Kinerja Barra tak perlu diragukan lagi.

Meski begitu, banyak pegawai lain yang iri dengan Barra. Terutama mereka yang punya jabatan tinggi di perusahaan. Tak sedikit rekan kerja menggunjing di belakangnya, baik pria maupun wanita.

"Itu, itu dia yang bernama Barra. Menurutku dia biasa saja. Lebih tampan juga Pak Chan," bisik seorang gadis pada rekan kerjanya.

"Iya, kenapa juga Bu Astra memilih cowok kayak dia. Dia kan cuma karyawan biasa, ada yang bilang dia orang nggak punya," balas karyawan lain. Seolah mereka adalah Dewi Fortuna, penentu jodoh seseorang.

Bisikan-bisikan menjatuhkan terdengar sampai telinga Barra. Sepertinya mereka sengaja menggunjing dengan volume suara sedikit tinggi. Barra tak merespon sikap buruk rekan kerjanya. Ia hanya diam, bersikap cuek sambil menunggu pintu lift terbuka.

"Kak Barra." Astra memanggil, gadis itu berlari kecil. Astra menghampiri Barra, ia baru saja tiba di kantor.

"Nanti pulang lebih awal aja ya. Hari ini aku full rapat di luar." Astra melanjutkan ucapannya.

"Hhmm. Hati-hati bawa mobilnya, jangan lupa makan siang ya," jawab Barra, tak lupa ia ingatkan Astra yang mempunyai kebiasaan buruk dalam urusan makan.

Keempat karyawan yang sempat mengatai Barra Farzan, merasa iri melihat aksi cukup romantis antara atasan dan bawahan. Lantas ikut mendengar diam-diam. Mereka terkenal ratu gosip di divisinya. Apalagi itu topik terhangat di penjuru kantor.

"Lihat, mereka sama sekali nggak serasi. Penampilan Bu Astra mencerminkan orang kaya, sedangkan calon suaminya. Astaga ... kumal banget, kan," ucap salah satu karyawan perempuan.

Meskipun mereka menggunakan suara pelan, tetapi telinga normal Astrata masih mampu mendengar. Gadis itu marah kalau ada karyawan menjelekkan dan merendahkan Barra. Bagi Astra, Barra tetap terbaik. Barra menunduk, melihat pakaian kusut yang lupa disetrika. Ia menghela napas, memaklumi gunjingan teman lain divisinya tersebut.

Astra melayangkan tatapan tajam ke arah empat karyawan perempuan yang masih berdiri di ambang pintu masuk.

"Hey, kalian! Apa kalian tidak butuh pekerjaan lagi? Kalian sudah bosan kerja di sini?" Astra marah, ia lempar pertanyaan horor.

"Ma ... maaf, Bu. Kami permisi dulu." Seketika keempat gadis diam dan pergi dari sana.

"Sudah, jangan marah-marah. Sayang tenaganya habis sebelum memimpin rapat." Barra meraih tangan Astra dan mengusap punggung tangannya untuk menenangkan.

"Jangan diam saja kalau ada yang ngomong nggak sopan." Astra masih dengan kemarahannya. Bibirnya melengkung ke bawah, cemberut. Membikin wajah itu malah terlihat menggemaskan bagi Barra.

"Kalau kamu seperti ini, aku tidak akan fokus bekerja nanti," ucap Barra sembari mengusap puncak kepala Astra. "Sana berangkat, atau kamu akan dipecat oleh Kak Zen," lanjutnya.

Mereka mengakhiri percakapan, keduanya berlalu ke arah berlawanan. Barra memasuki lift yang membawanya ke lantai empat belas, di mana kubikelnya berada. Sedangkan Astra menjalankan tugas sebagai sekertaris CEO, yang selalu mengikuti ke mana pun bosnya mengadakan rapat.

Barra tampak fokus mengerjakan tugas. Ia harus menyelesaikan semua sebelum meninggalkan kantor. Menjadi calon menantu pemilik perusahaan tak menjadikan Barra semena-mena. Ia tetap mengingat tanggungjawab. Berjam-jam Barra habiskan di depan komputer, ia sampai melewatkan jam makan siang.

"Bar, kau tak makan siang?" Butet bertanya. Jam sudah berada di angka setengah tiga, tetapi Barra tak juga beranjak dari kursinya. Kubikel Butet berada tepat di samping Barra. Sementara Barra di tempatkan di pojok ruangan divisi pemasaran tersebut.

"Tidak. Setengah jam lagi aku pulang." Barra menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari layar komputer.

"Bah, awal sekali kau pulang."

"Hm. Aku ada janji dengan Astra."

"Okelah calon pengantin." Setelah mengatakan itu, Butet menghilang di balik kubikel miliknya.

Perhatian Barra teralih pada dering telepon. Ia mengangkat panggilan tersebut, dan menutup setelah mengatakan 'iya' pada lawan bicara di seberang telepon. 

Beberapa menit kemudian, Barra sudah berada di dalam mobil kesayangan Astra. Mereka berencana untuk menghabiskan sore di mall. Tujuan utama Barra dan Astra adalah toko perhiasan. Mengingat waktu semakin dekat dengan hari pernikahan yang telah ditetapkan. Barra harus segera membelikan Astra sebuah mahar.

Barra melajukan kendaraan roda empat tersebut. Kecepatan sedang menjadi pilihan untuk menikmati momen berdua dengan calon istrinya.

"Kamu mau mahar apa dariku?" Barra memulai percakapan. Tangannya lincah bergerak memutar kemudi setir.

"Apa saja, itu nggak terlalu penting menurutku," jawab Astra seraya menyibakkan rambut ke belakang telinga.

Ddrrtt ddrtt ... getar ponsel milik Barra menyita perhatian. Astra melirikkan sudut matanya. Ia dapat menangkap nama yang tertera di layar. Dengan gerakan lambat, Barra menjawab panggilan tersebut. Barra tak mengeluarkan satu kata pun, hingga ponsel pintar tersebut kembali ia letakkan di atas pangkuan.

Barra mengurangi kecepatan, ia menghentikan laju mobil di pinggir jalan. Astra menatap heran, ia tak mengerti maksud Barra.

"Maaf, barusan ibu yang telpon, aku harus cepat pulang. Rencananya kita tunda sampai lusa? Bagaimana?" tanya Barra meminta pendapat. Barra memulai kebohongan, dan ia menjadikan sang Ibu sebagai kambing hitam.

Astra mengangguk, ia sangat mengerti kondisi Bu Neini. Ia juga pernah mengunjungi calon Ibu mertuanya tersebut. Bukan suatu hal yang aneh saat tiba-tiba Barra memutuskan untuk segera pulang. Selama menjalin hubungan dengan gadis bermata lentik tersebut, Barra seringkali melakukannya. Dan tak jarang Astra turut mengikuti Barra merawat sang Ibu.

"Aku antar." Astra menawarkan diri. Barra meninggalkan vespanya di parkiran kantor. Akan membuang-buang waktu ketika ia harus kembali ke sana untuk mengambil kendaraan tersebut.

"Tidak, maksudku jangan. Bukan, maksudku tidak perlu karena Ibu sepertinya hanya ingin bertemu denganku. Bukan aku tidak mau diantar." Barra semakin terlihat gugup. 

Astra tertawa kecil, ia tak merasa curiga dengan sikap aneh yang Barra tunjukkan. Ia justru merasa Barra sungguh lucu dengan sikap kekanakan. Baru sekali ini Astra melihat tingkah konyol seorang Barra. Astra yakin, jika Barra sudah sangat nyaman dengannya. Ia tak lagi canggung menunjukkan sifat-sifat yang memalukan.

Astra kemudian memesankan taksi online untuk Barra. lengkap dengan alamat tujuan yaitu jalan Sukmawati. Jalan yang merupakan alamat rumah hunian Barra.

Sekali lagi Barra mengutarakan permintaan maaf. Lalu ia menghilang di dalam mobil merah tersebut.

'Maafkan aku yang berani membohongimu, Astra.' Barra membatin setelah mobil melesat menjauhi gadis kesayangannya.

* *

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status