"Ingat! Tetap waspada, jangan sampai kecerobohanmu merugikan ku! Mengerti!"
"Baik, siap Bos."
"Bermain bersih! Aku tidak menerima kegagalan!"
Setelah panggilan diputus sepihak, pria muda tersebut membuka sarung tangannya. Lalu ia menyimpan semua perlengkapan tempur itu ke dalam bagasi motor yang cukup lebar.
Ia bukanlah pemain profesional, namun dirinya berusaha untuk tetap mengikuti alur permainan. Bermain sesuai arahan rekannya yang lebih berpengalaman. Biarlah seperti itu, asal ia tetap diperbolehkan mendekap seseorang yang berarti di hidupnya.
* *
Barra Farzan mengetuk pintu berkayu akasia tersebut. Jantungnya tidak beraturan, kejadian tadi membuatnya agak parno dengan hal-hal yang mencekam.
Tiga kali sudah ia mengucap salam, namun tidak seorangpun menyahut dari dalam. Hatinya semakin resah karena lampu-lampu di dalam rumah pun dalam kondisi padam. Teras rumah terasa begitu hampa dan sunyi.
Barra memutuskan untuk mengambil
Alfa Zen tidak kembali lagi setelah berkelahi dengan Barra Farzan. Hingga malam berubah menjadi pagi, Alfa Zen tidak menampakkan batang hidungnya. Barra tidak tidur sejak semalam, ia membiarkan pahanya digunakan Astrata sebagai bantal. Semalaman ia menjaga Astrata tidur, di kursi tunggu. Berli Astrata Bustomi, meski dalam keadaan bangun tidur, ia tetap tampak cantik. Menurut Barra, kecantikan Astrata semakin bersinar saat bangun tidur. Dan itu membuat Barra Farzan semakin jatuh cinta. Astrata cepat-cepat duduk saat menyadari Barra Farzan menatapnya intens. Ia malu karena saat bangun tidur, seseorang biasanya akan mengeluarkan kotoran dari mata. Bahkan ada juga yang sampai menciptakan kepulauan dengan air liurnya, sehingga menyisakan bekas-bekas putih di sudut bibir hingga melebar ke dagu. Gadis itu segera menyapukan tangannya ke wajah, jari-jarinya lincah menyeka bagian-bagian yang berpotensi membuatnya malu di depan sang suami. "Kenapa? Tidak
Di sebuah cafe yang berjarak 5 km dari rumah sakit tempat Pak Abbas dirawat, Alfa Zen menemui seorang gadis. Alfa Zen berpisah dengan Chan kala ia mendapat telepon dari gadis tersebut. Ia memutar balik kendaraan dan berakhir di cafe greendi. "Kak, silakan duduk." Ujar gadis itu. "Waktuku tidak banyak, cepat katakan apa tujuanmu memanggilku." Ketus Alfa Zen yang menolak duduk. "Minum dulu, Kak. Aku sudah pesankan minuman untukmu." "Aku tidak punya banyak waktu untuk berbasa-basi denganmu." "Baiklah," Akhirnya gadis tersebut mengalah. "Aku tahu alasan Papi memutus semua kerjasama dengan BPC." "Lalu?!" Gadis itu geleng-geleng, ia berharap informasi itu akan memperbaiki hubungannya dengan Alfa Zen yang merenggang akibat ulah sang papi. Namun, ekspektasi tidak seindah kenyataan. Sikap Alfa Zen tak ubahnya saat pertama ia tahu kalau Hiro melepas semua kerjasama dengan perusahaan pria itu. Alfa Zen seperti tida
Barra bangkit, ingin sekali ia mencari Hiro dan menghabisinya saat itu juga. Akan tetapi itu tidak mungkin, Alby dan Ervi lebih butuh bantuannya. Barra meremas abu bekas rumah makannya. Ia menyumpahi Hiro akan menyesali segala kesalahannya di akhir hidupnya.Barra sangat marah. Hiro memang salah satu manusia berhati iblis. Tidak berperikemanusiaan, Bahkan ia dengan bangga mengungkapkan bahwa dirinyalah penyebab rumah makan habis di lahap si jago merah.Barra usap air matanya dengan punggung tangan. Meninggalkan warna kehitaman bekas arang yang melekat di tangan tadi.Barra kacau, ia terpukul. Berlari kembali menuju klinik Flamboyan."Er ... apa yang terjadi?! Bagaimana kondisi Alby?! Kenapa tidak menelepon Uda sejak pagi?" Barra Farzan memberondong Ervi dengan pertanyaan saat sampai di klinik.Ervi tengah duduk dan menangis tanpa suara. Gadis itu masih saja sesenggukan, tidak menjawab pertanyaan sang kakak."Katakan pada Uda, apa yang sebena
Warning ❗ "Terima kasih, Annisa. Nanti aku akan ganti uangmu," kata Barra Farzan setelah Annisa berbaik hati membayar kerugian yang harus Barra Farzan tanggung. "Nggak perlu, aku kira kamu pergi ke mana, sudah beberapa hari sulit dihubungi. Hampir seminggu kamu nggak dateng ke rumah.Ternyata bekerja di sini? Kenapa harus jadi kuli?" Barra mengangguk. "Aku nggak punya pilihan lain. Ngomong-ngomong, kamu kemari dengan siapa?" "Dengan Ken dan Bi Sumi. Mereka lagi belanja di dalam. Aku ingin makan rawon yang ada di pasar ini, tapi aku mau makannya di rumah. Jadi Ken nunggu pesanan selesai dibungkus, dan Bi Sumi sedang belanja daging di dalam." "Ooh ... begitu." Barra Farzan bahagia, Annisa tampak seperti orang normal. Artinya ia bisa segera melepaskan diri dari perempuan tersebut. Untuk segala risiko yang akan dihadapi, Barra Farzan pikirkan nanti saja. Yang memberatkan ia bertahan dengan Annisa adalah, karena perempuan tersebut sangat membutuhkan orang-orang yang peduli dengannya.
Annisa tersenyum sambil menyisir rambutnya yang basah. Perempuan tersebut memerhatikan Barra Farzan yang baru bangun dengan ekspresi bingung. Segala sesuatu yang datang dari Barra Farzan, selalu saja membuat Annisa bahagia.Barra masuk ke dalam kamar mandi, tidak sampai sepuluh menit sudah keluar dengan rambut basah dan dua handuk ia tutupkan ke seluruh tubuh. Takut jika sampai Annisa akan kembali mengajaknya bergulat."Apa masih ada pakaianku di sini?" Tanya Barra Farzan.Annisa berdiri, membuang handuk yang menutup dada bidang Barra Farzan. Alarm bahaya langsung berdering di otak Barra Farzan."Annisa, adikku membutuhkan aku, apa kau bisa mencarikan pakaian untukku? Aku harus segera ke rumah sakit." Ucap Barra,"Sebentar sayang, aku hanya ingin memelukmu sebentar saja."Annisa mulai mengecupi dada sampai leher, juga sekilas mengecup bibir Barra. Tidak puas begitu saja, Annisa berhenti di bagian leher, mengecup lama bagian itu. Lalu, Annisa
Hari telah berganti dengan Minggu, Alby sudah kembali dari rumah sakit, begitu juga dengan Astrata Bustomi yang ikut berkumpul setelah sekian hari ia habiskan untuk menunggui Abbas Bustomi sang ayah di rumah sakit. Seluruh keluarga Farzan berkumpul di ruang tamu, kecuali Neini sang Ibu. Beliau tidak boleh dibiarkan mendengar kabar apapun tentang hancurnya usaha sang anak.Barra Farzan memijat pangkal hidungnya sebelum mengeluhkan uneg-uneg yang sangat mengganggu pikiran. "Sepertinya Alfa Zen sudah memblack list namaku dan menyebarkan ke seluruh perusahaan yang ada kota ini, sampai toko kecil pun menolak tenagaku."Ervi dan Alby menatap miris sang kakak, tidak tahu bagaimana nasib keluarganya nanti kalau sampai sang pemimpin kehabisan bahan bakar untuk berlayar.Astrata merangkul bahu Barra Farzan, mengusapnya penuh kasih sayang. Entah terbuat dari apa hati seorang Astrata Bustomi, ia memiliki ketegaran dan kasih sayang yang luar biasa. Bahkan ia menerima Barra Farzan dengan semua masa
Saat semua pekerjaan rumah sudah diselesaikan, sekitar pukul delapan, Barra Farzan beserta Alby dan Astrata pergi keluar rumah guna mencari tempat untuk mereka membuka usaha baru. Astrata berseru sebelum kakinya melangkah naik ke vespa tua milik sang suami."Alby, kau pesan ojek online dengan tujuan dealer Honda yang ada di jalan Kenangan. Kami tunggu di sana."Barra menoleh dengan ekspresi tidak datar, "Tidak perlu, kita langsung saja ke pertokoan yang ada di jalan Kaki Lima."Astrata menghentakkan kaki yang sudah akan melangkah naik, ia tampak kecewa dengan penolakan Barra. Hingga beberapa menit, Alby memandangi sepasang suami istri yang berseteru hanya karena masalah pembelian kendaraan. Walau, tetap Barra Farzan yang mengalah.Ketika sampai di dealer Honda, Alby diminta oleh Astrata memilih sebuah motor dengan keinginannya. Tanpa banyak memilih, Alby langsung menunjuk satu motor Honda yang memiliki desain mirip dengan vespa namun lebih girly dan tentunya jauh dari kata antik jikal
Begitu sampai di kampus, Ervi langsung menuju loker akademik, menanyakan hal-hal yang disebutkan di telepon tadi. Matanya terbelalak ketika pihak kampus sama sekali tidak mengerti dengan ucapan Ervi, lalu ia menghubungi Barra Farzan. "Ada apa, Er?" "Maafkan aku, Uda. Aku pergi ke kampus meninggalkan Ibu sendiri di rumah. Tadi ada seseorang yang menghubungi nomor ponselku, dia mengatakan ada hal yang perlu aku urus di akademik. Ternyata, saat aku menanyakan pada pihak kampus, pihak kampus justru terlihat bingung dan tidak paham dengan ... ." Barra Farzan memutus sambungan telepon begitu saja, ia sudah bisa menebak siapa gerangan yang meneror Ervi. Barra berbalik arah, mengurung niatnya untuk mencari tempat usaha baru. "Kita mau kemana? Bukannya kita akan pergi ke jalan Kaki Lima?" Pikiran Barra sudah dirundung seringai licik Hiro dan kemalangan Neini. Barra melaju penuh kecemasan. Sampai-sampai tidak kuasa menjawab pertanyaan Astrata. Gadis itu segera memukulkan telapak tangannya k