Pukul empat sore Barra tiba di kediaman Annisa, kedatangannya langsung mendapat sambutan hangat dari sang istri. Barra menyunggingkan senyum datar. Tiba-tiba ada perasaan tak nyaman memasuki relung hati Barra. Annisa terlihat begitu menyedihkan. Pelipis sebelah kanannya tertutup kain perban, sedangkan di bagian leher tertinggal darah segar yang masih mengalir. Itu segores luka. Sepertinya Bi Sumi belum sempat mengobatinya.
"Mas. Aku merindukanmu." Annisa menghambur ke dalam dekapan Barra. Annisa menangis tersedu. Barra merasa kebingungan dengan sikap aneh yang seringkali Annisa perlihatkan.
"Iya.. sudah, jangan menangis. Aku sudah di sini." Barra terdengar tulus mengucapkannya. Ia memang jujur mengatakan itu. Namun ia tak bisa mengungkapkan bahwa ia merindukan Annisa. Kenyataannya Barra tak menaruh sedikitpun rasa rindu pada perempuan yang kini berada di pelukannya. Menurutnya perasaan yang menelusup ke hati kecilnya merupakan rasa simpati belaka.
"Jangan tinggalkan aku lagi." Annisa mengucapkan itu penuh permohonan.
"Aku tidak meninggalkanmu, aku hanya pergi untuk bekerja." Barra mengurai pelukan Annisa yang terasa sangat erat mendekapnya.
Ada sebuah lengkungan yang menawan di bibir perempuan itu. Annisa menyadari perasaan yang mulai tumbuh. Ia menyeka air mata yang mengalir kembali. Annisa merasa nyaman dan aman ketika sosok Barra ada bersamanya. Selama ia tumbuh dan berkembang, hingga usianya mendekati kepala tiga, Annisa tak menemukan kasih sayang seorang Ayah. Ia tak pernah merasakan figur pria dewasa yang memberikan perlakuan menenangkan seperti Barra.
Annisa tak bisa menerima dengan baik kehadiran pria berparas tampan keturunan Jepang yang tak lain adalah Kenzi. Meskipun Kenzi Zugeba menjabat sebagai suami pertama dari Annisa Yuzawa, akan tetapi sosoknya tak pernah diperhitungkan oleh Annisa.
Annisa Yuzawa, perempuan yang memiliki kecantikan sempurna. Perpaduan wajah yang begitu menawan antara jepang dan Jawa melekat di setiap inci wajahnya. Sangat di sayangkan, karena ukiran indah di wajahnya harus tertutupi oleh banyak goresan. Sejak usia sembilan tahun, Annisa hidup bersama para asisten yang telah mendapat mandat dari majikannya yaitu Tuan Hiro. Bi Sumi adalah perempuan setengah abad yang memiliki peran banyak dalam merawat dan membesarkan Nyonya mudanya tersebut. Annisa merupakan gadis malang, ia tak bisa menikmati keharmonisan sebuah keluarga. Bahkan ingatannya terkadang menghilang begitu saja seperti orang linglung.
Ia amat merindukan senyum hangat Ibunya. Tak terhitung lagi berapa lama ia berpisah dari malaikatnya itu. Perasaan rindu itu kini dapat ia salurkan pada suami ketiganya. Annisa merasa beruntung bisa kembali merasakan sentuhan lembut dari tangan pria bernama Barra Farzan.
Kesempatan hidup satu atap bersama Barra Farzan kala itu tak mampu Annisa resapi dengan baik. Satu tahun itu Annisa merasa hidup di dimensi lain. Kehamilan merupakan hal tersulit untuknya. Annisa merasa ruang geraknya dipangkas hingga tak bersisa. Membuat jalan pikirannya seringkali hilang kendali. Waktu itu ia merasakan seperti berada di dalam penjara.
* *
Terangnya rembulan tergantikan oleh cahaya matahari yang merangkak naik. Barra terbangun dari tidurnya yang begitu singkat. Ia habis oleh kegarangan Annisa. Barra menggeser tubuhnya perlahan. Ia menuju tepi ranjang dan bangkit seketika, lengket di tubuhnya membuat Barra bergidik jijik. Ia melenggang polos tanpa malu ke kamar mandi yang berada di kamar tidur Annisa.
Lima belas menit cukup bagi Barra untuk menyegarkan badan. Annisa tampak menggeliat, perbuatan itu membuat selimut yang membungkus tubuh gempalnya sedikit menyibak. Barra membetulkannya. Setelah itu Barra membalikkan badan, ia akan segera meninggalkan rumah itu untuk bekerja. Namun belum sampai kakinya melangkah, tangannya tertahan oleh Annisa.
"Mas. Aku ingin kau tetap di sini." Pintanya dengan suara khas bangun tidur. Lingkaran mata Annisa terlihat menghitam. Barra tahu kalau Annisa sangat kurang istirahat. Selain kegiatan seks yang menurut Barra tidak biasa, Annisa juga sering mengalami insomnia.
"Aku harus bekerja. Sepulang dari menjalankan tugasku sebagai karyawan, aku akan kembali ke sini." Barra memberikan tawaran bijak. Tak hanya pekerjaan yang membebani Barra, tetapi janjinya pada calon istri sekaligus gadis yang menjadi tambatan hatinya. Semakin hari semakin mendekati tanggal pernikahannya. Ada banyak hal yang harus Barra persiapkan sebelum hari bersejarahnya tiba.
Annisa mencengkram rambutnya sendiri, menariknya sekuat tenaga. Sampai banyak rontokan rambut tertinggal di sela-sela jari jemarinya. Barra menyimpan banyak pertanyaan untuk Bi Sumi. Dengan amat terpaksa, akhirnya Barra mengendurkan egonya dan memilih menemani Annisa.
* *
Sudah malam ke tiga Barra terjebak di rumah mewah kawasan elit Permata. Selama Barra menghabiskan waktu di sana, tak sekalipun ia melihat batang hitung Kenzi. Padahal pria itu menetap di kediaman Annisa.
Ting! Satu pemberitahuan masuk ke nomor ponsel milik Barra.
Love Astra: Jadi mau pulang kapan? Semua baik-baik saja bukan?
Barra melemah sesaat setelah membaca pesan dari Astra. Selain takut ketahuan sedang berbohong, Barra juga merasa sangat bersalah. Ia merutuki kebodohannya, menyia-nyiakan kepercayaan yang telah Astra berikan. Apalah daya, kondisi Ibunya kian hari kian memburuk. Hal tersebut menjadi alasan terkuat Barra melakukan kesalahan kedua.
Setelah menenangkan Annisa, Barra mencari keberadaan Bi Sumi. Barra meyakini kalau Bi Sumi mengetahui banyak hal tentang Annisa. Barra menuju pantry, sebuah dapur modern dilengkapi meja bar bagian tengahnya.
"Den, Aden mau makan malam? Biar Bibi hangatkan dulu makanannya."
"Tidak Bi. Aku tidak lapar. Aku hanya ingin mengobrol dengan Bi Sumi."
"Baik. Den."
Barra menarik kursi, kemudian ia mendudukkan pantatnya di sana. Ia memandangi raut tua Bi Sumi. Terlihat sekali jika wanita paruh baya tersebut sedang mencemaskan sesuatu.
"Aku ingin Bibi menjawab jujur semua pertanyaanku.!" Tegas Barra penuh dengan penekanan. Barra sudah tak bisa menahan lagi rasa penasarannya. Ia yakin kalau ada banyak hal yang belum ia ketahui hingga detik itu. Bi Sumi semakin kepayahan menelan ludahnya sendiri, ia tampak gelisah dengan keingintahuan Barra. Barra dapat melihat kegelisahan itu dari gelagat yang Bi Sumi tunjukkan.
Bi Sumi masih membungkam mulutnya, wanita itu tak memberi respon apapun. Tak mengangguk ataupun menggeleng. Barra memulai tanya jawabnya.
"Siapa sebenarnya Annisa? Apa yang terjadi padanya? Aku yakin ada yang tidak beres." Barra mengeluarkan pertanyaan pertama dengan sikap tenang.
Meskipun sudah lebih dari dua tahun Barra mengenal sosok Annisa, namun tetap saja Barra merasa asing dengan perempuan tersebut. Barra tak pernah berhasil menemukan celah untuk menghadapi amukannya. Sejauh itu, Barra baru mampu menenangkan emosi Annisa. Itu juga baru terjadi beberapa hari.
"Nyo-nyo-nyonya muda, dia.. nyo-nya Annisa. An-nak dari Tu-an be-sar Hiro dan,-" Bi Sumi terbata-bata. Belum juga Bi Sumi menyelesaikan ucapannya, Barra lebih dulu memangkas kalimat Bi Sumi itu.
"Bukan itu maksudku. Annisa sakit apa?!!" Barra menembak langsung Bi Sumi dengan pertanyaan mematikan. Kalimat yang begitu ia takuti. Tuan besarnya melarang keras Bi Sumi ikut mencampuri keluarganya. Ia hanya ditugaskan menjaga Annisa, bukan mengklarifikasi apapun pertanyaan orang.
"Ma-ma'af Den, sa-saya sudah mengantuk. Sa-saya permisi." Keringat membasahi kening keriputnya. Wanita itu ngibrit pergi menuju kamarnya.
Barra diam mematung, memandangi punggung tua Bi Sumi yang menghilang dibalik pintu jati. Barra membuang napas pelan.
"Aku harus mencari tahunya sendiri." Gumam Barra pelan. Sikap Bi Sumi membuat Barra yakin wanita tua itu menyembunyikan sesuatu.
* *
“Apa! Papi ditangkap polisi karena menyuruh seseorang menembak Kak Barra?” Nayumi terduduk lemah. Bukan kaget mendengar kabar sang ayah ditangkap, melainkan ia terkejut dengan tindakan sang ayah yang melampaui batas.Nayumi menyeka air mata, meskipun tak begitu dekat dengan Barra Farzan, tetapi mendengar selentingan cerita seorang Barra dari beberapa sumber, membikin ia prihatin. Bagus Nayumi, Barra adalah pria terbaik untuk Annisa sang Kakak. Kalau saja Barra bukan suami dari Astrata, mungkin Nayumi juga akan menyatukan keduanya.“Mbak Nay kenapa nangis?” tanya Bi Sumi.“Kak Barra ditembak Papi, Bi. Aku harus melihat keadaan Kak Barra, titip Kak Nisa sebentar ya, Bu.”“Tapi, Mbak ... Non Annisa kan sedang kritis.”“Sebentar saja, Bi. Kalau ada apa-apa langsung telepon aku, ya.”Nayumi melangkah cepat meninggalkan Bi Sumi sendiri, Laksmi sang ibu sudah pulang lebih dulu karena tidak memungkinkan menunggui Annisa bersama bocah balita.Nayumi berjalan menuju ruang UGD, sebab ia tidak ta
Brugh!Tubuh ringannya tumbang ... tepat di depan gerbang rumah sakit. Suasana pecah, kocar-kacir manusia ketakutan mendengar ledakan menggema. Petugas keamanan berpencar, beberapa pergi mengejar, dan ada sebagian yang menolong korban.Langit jingga menjadi kelabu bersama cerita pilu itu. Barra Farzan, inginnya menemui sang istri terhalang petaka.“Cepat kejar pelakunya, dia pake motor besar warna hitam ke arah sana,” seru seorang saksi.“Tolong ini, tolong ... cepat bawa brankar ke sini.” Suara-suara kekhawatiran terdengar jelas. Beruntunglah ia, banyak orang peduli dengan kemalangannya.Tubuhnya berlumur darah. Kaos coklatnya berubah kehitaman. Brankar didorong cepat oleh perawat. Satu tangan masih setia menggenggam map coklat.Sesekali pria itu terbatuk demi mencukupi oksigen dalam otak. Suaranya tertahan rasa sakit. Tangan kirinya mencoba menjawil perawat.“Buk ... to .... tolong ... panggil, uhuk ... uhuk.” Napasnya terpotong-potong, menyulitkan Barra Farzan untuk buka suara.“S
Di hari yang sama, usai kepulangan Barra Farzan, Nayumi mencoba masuk ruangan Astrata. Ia ingin menjelaskan banyak hal mengenai Barra Farzan. Namun, begitu mengetuk pintu, Nayumi mendapat perlakuan kurang mengenakkan dari Alfa Zen.“Permisi ... .” Nayumi melongok pintu yang terbuka. Meski tidak begitu mengenal Nayumi, tetapi Astrata tahu bahwa gadis yang tengah berdiri di ambang pintu ruangan adalah gadis yang pernah mengejar sang Kakak Alfa Zen. Astrata ikut tersenyum, juga dengan Mbok Yami.“Masuk, Kak ... eh ... hem ... .”“Panggil Nayumi saja.” Kaki Nayumi melangkah ke ruang rawat Astrata Bustomi.Sreet!“Auh,” pekik Nayumi terkejut.Tangan Nayumi ditarik dari belakang, bahkan tubuhnya terlempar hampir jatuh membentur kursi tunggu kalau saja kakinya tidak kuat menahan.Astrata terduduk, ia menurunkan kaki ingin keluar dan membantu Nayumi.“Kak ... jangan kasar-kasar sama perempuan.”“Eh, mau ke mana, Neng? Mas Zen, ini ... tolong Neng Berli mau turun.” Mbok Yami menahan tubuh Astr
Barra Farzan melangkah gontai meninggalkan ruang UGD. Seluruh sisa tenaga yang ia miliki seakan lenyap oleh penolakan. Kini, ia berencana pulang, menengok dua adik yang lama ditinggal. Tak ada lagi keluarga yang dipunya selain Alby dan Ervi.Barra meninggalkan rumah sakit tanpa berpamitan pada Nayumi dan Laksmi. Ia menaiki kendaraan umum untuk membawa ke alamat tinggalnya.Tak habis pikir kalau Pak Abbas sang mertua ternyata sudah meninggal dunia. Sungguh sesak menatap aura letih Astrata. Ia sangat Bu ingin mendekap dan saling bertukar kabar dengan perempuan yang dicintai tersebut. Namun, apa mau dikata, dokter sudah mengatakan bahwa Astrata tidak boleh terlampau stres agar kandungannya tetap sehat.Dari gerbang masuk perumahan daerah tinggalnya, Barra berjalan. Ia agak ragu untuk pulang, pasalnya ia sendiri yakin kalau kehidupan Alby dan Ervi baik-baik saja tanpa ada dirinya.“Maafkan Papa, Nak ... Papa tidak bisa menemani kamu dan ibumu. Namun, doa Papa tetap bersama kalian dan
Brankar didorong kencang. Pasien yang terbaring di atasnya meringis kesakitan sambil terus melafalkan doa-doa agar ia tetap sadar. Wanita tua yang mendampingi sampai terseok-seok akibat langkahnya lambat.“Jangan telepon Kak Zen dulu ya, Mbok, aku nggak apa-apa.”“Tapi, Neng ... .”“Sudah, nggak apa-apa. Mbok Yami jangan khawatir.” Astrata berusaha menarik kedua ujung bibir.Ia merasa selama kembali ke rumah hanya menjadi beban sang Kakak. Oleh karena itu, saat ia tiba-tiba jatuh sakit, ia masih berusaha kuat. Astrata sendiri tidak mengerti apa yang sedang terjadi pada tubuhnya. Kenapa dan apa sebabnya ia sampai pendarahan, sama sekali ia tidak paham.Ruangan ICU menyatu dengan ruang gawat darurat. Ketika brankar hampir masuk ke ruang penanganan, seorang pria berlari – menahan brankar dan menatap pasien yang tengah kesakitan.“Berli ... Sayang ... apa yang terjadi?”Astrata menepis tangan Barra dari keningnya. “Tolong usir pria ini, Sus, saya tidak mengenalnya.”“Maaf, Pak, Ibu harus
Niat baik yang dilakukan dengan cara salah, tentu akan menimbulkan dampak buruk di kemudian hari. Ada konsekuensi di dalamnya. Mau tidak mau, Barra harus menanggung sendiri buah dari semua kesalahan.Keluarga yang ia perjuangkan pun tidak sedikit pun tergerak untuk mencari keberadaan Barra yang sudah menghilang beberapa hari. Ervi sang adik perempuan, tidak bisa berbuat banyak. Sekalipun ia telah berusaha menanyai beberapa teman sang kakak sulung, hasilnya nihil.Alby yang notabene tahu semua asal mula timbulnya masalah, tak mau pusing. Ia terlanjur marah dengan Barra Farzan, dan melupakan seluruh kebaikan sang kakak.Usai mengantar Annisa ke rumah sakit, Nayumi mengizinkan Barra pergi. Gadis itu mengusulkan agar Barra menjauh dari Kota Jakarta untuk menghindari kejahatan Hiro. Hari ini mereka berhasil lepas dari perangkap iblis berwujud manusia tersebut. Namun, di lain waktu belum tentu.“Kak ... sebaiknya Kakak pergi dari kota ini. Aku nggak yakin Papi akan menyerah begitu saja.”“A